BHN (Filsafat)
BHN (Filsafat)
I. Pendidikan Hindu-Budha.
Pendidikan pada zaman keemasan Hindu-Budha yang berlangsung antara abad ke-14
hingga abad ke-16 masehi. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di
nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-
biara atau pedepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya
berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat,
ilmu pengetahuan, tata negara, dan hukum. Kerajaan-kerajaan hindu di tanah jawa banyak
melahirkan empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi.
Pada masa, itu pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para
pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan
Majapahit pada awal abad ke 16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam kerajaan-
kerajaan Islam datang menggantikannya.
Pendidikan berlandaskan ajarna Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat
India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak
teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran islam mula-mula berkembang
di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Didapati pendidikan
agama Islam di masa prakolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan
di pesantren, dan pendidikan di madrasah.
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang
menguasai malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa, mereka
menyusuri pulau-pulau Ternate, Tidore, Ambon, dan Bacan. Dalam pelayarannya itu, mereka
selau disertai misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai penasihat spiritual
dalam perjalanan yang jauh dan penyebar agama di tanah yang didatanginya. Kemudian
Belanda menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya
sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial
Belanda. Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan
sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak
orang Eropa di Indonesia, sedangkan sekolah-sekolah bumiputera tingkatan dan prestisenya
lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputra yang terpilih. Mulai akhir abad ke-19
dan hingga dasawarsa awal abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangat
beragam, meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah petukangan,
sekolah kejuruan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah
dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk mengimbangi
pendidikan Belanda, pada periode ini berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan bercorak
keagamaan dan kebangsaan oleh Muhamadiyah, taman siswa, INS kayutaman, Maarif dan
perguruan Islam lainnya.
Perubahan lain yang sangat berarti bagi Indonesia di kemudian hari ialah bahasa
Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor
pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sejak saat itu, bahasa
Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah. Tujuan
pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan Jepang dengan
menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha.
Pendidikan dan pengajaran sampai dengan tahun 1945 diselenggarakan oleh Kantor
Pengajaran yang terkenal dengan nama Jepang Bunkyo Kyoku dan merupakan bagian dari
kantor yang menyelenggarakan urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Segere
setelah diproklamasikannya kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk
menunjuk Ki Hajar Dewantara, sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran mulai 19 Agustus
sampai dengan 14 November 1945, kemudian digantikan oleh Mr. T.G.S.G Mulia dari
tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. Tidak lama kemudian Mr. Dr.
T.G.S.G Mulia digantikan oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2
Oktober 1946. Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak
banyak yang dapat diperbuat oleh para menteri tersebut, apalagi Indonesia masih disibukkan
dengan berbagai persoalan bangsa setelah diproklamasikannya kemerdekaan.
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima
kali perubahan, mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan kebangsaan kita.
Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP&TK), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1046, tujuan pendidikan nasional pada
masa awal kemerdekaan amat menanamkan penananman jiwa patriotisme. Hal ini dapat
dipahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajahan yang
berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah
Indonesia. Oleh karena itu, penanaman jiwa patriotisme melalui pendidikan dianggap
merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sistem persekolahan yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya
melanjutkan apa yang telah dikembangkan pada zaman pendudukan Jepang. Sistem
dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Sistem persekolahan tersebut terus dipertahankan dan merupakan sistem oersekolahan
yang berlaku pada zaman kemerdekaan, bahkan hingga tahun 1980-an. Hingga akhir tahun
1960-an, kalaupun terjadi perubahan, hal ini lebih pada bentuk kelembagaannya.
Perkembangan lain yang terpenting dicatat pada era 1945-1969 ialah berrdirinya 42
Perguruan Tinggi Negeri berupa universitas, institut dan sekolah tinggi yang umumnya
terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebagai era
pertumbuhan PTN
Pada tanggal 2 Mei 1994 waib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
dicanangkan. Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1984, Indonesia juga
memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989
Pasal 6 menyatakan tentang hak warga negara untuk mengikuti pendidikan sekurang-
kurangnya tamat pendidikan dasar. Kemudin PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar, Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri
atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP. Wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama yang berkaitan satu
sama lain yaitu: meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi
semua kelompok umur 7-15 tahun dan untuk meningkatkan mutu sumber daya Indonesia
hingga mencapai SLTP.
Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia yang semula 6 tahun
ditingkatkan menjadi 9 tahun. Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9
tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan
kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menempuh studi lanjutan dan hidup di
masyarakat.
Sejak dimulai pada tahun 1994, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang dicatat menunjukkan bahwa
angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya ruang belajar, jumlah
guru, dan fasilitas belajar lainnya.
Permasalahan Pendidikan
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya
dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sisitem pendidikan tidak mempunyai arti
apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang
pendidikan sebagai sistem dengan sosial budaya sebagai suprasistem tersebut di mana sistem
pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan
intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu permasalahan intern
dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem
pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat
dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, serta masih
banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu
hasil belajar tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah
pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak
pihak.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air
kita dewasa ini, yaitu: bagaimana semua warga negara dapat menikmati kesempatan
pendidikan dan bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan
untuk terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
pembangunan.
Banyak pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif. Cara konvensional
antara lain: membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar dan
menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore)
sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah
membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau
menyekolahkan anaknya.
a. sistem Pamong(pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau Inpacts
System(Instructional Management by Parent, Community and, Teacher). Sistem
tersebut dirintis di Solo dan didiseminasikan ke beberapa propinsi
b. SD kecil pada daerah terpencil
c. Sistem Guru Kunjung
d. SMP Terbuka (ISOSA- In School Out off School Approach)
e. Kejar Paket A dan B
f. Belajar Jarak Jauh
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti
yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi.
Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga
pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Jadi
mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Dengan kata lain apakah
keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Meskipun disadari bahwa pada
hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan
sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu sistem pendidika dianggap mempunyai andil
yang cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah bahwa pengukuran mutu produk tersebut
tidak mudah. Berhubung dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika
seorang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil
belajar yang dikenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas, atau hasil Sipenmaru, UMPTN, karena ini
mudah diukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran tentang
hasil pendidikan.
Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang
bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil yang
bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal menghasilkan skor hasil ujian yang baik
maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Umumnya kondisi
mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di
daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu
pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala
jenis dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan
mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia
dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Masalah penempatan guru, khsusnya guru
bidang studi, sering mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di
lapangan. Gejala tersebut membawa ketidakefisienan dalam memfungsikan tenaga guru,
meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan,
namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan
sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, karena tidak ada
insentif yang menarik. Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya
terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan
kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana di lapangan.
Masalah aktual ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya.
Perlu dipahami bahwa tidak semua masalah aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan
ada yang sudah lama. Sudah sejak lama masalah aktual itu kita sepakati untuk mengatasinya,
tetapi dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama.
I. Masalah Keutuhan Pencapaian sasaran
Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Apalagi kalau
kita lihat di lapangan terdapat masalah pengembangan tenaga kependidikan yang biasanya
terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan
kurikulum menuntut adanya penyesuaian diri para pelaksana di lapangan. Padahal proses
pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya
terjadi kesenjangan antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum dengan saat mulai
dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan berlangsung
kurang efisien dan efektif.
Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan humanisme yang memberikan arah baru
pada pendidikan. Sejalan dengan itu perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-
cara baru yang lebih mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Dalam realisasinya
dipandu oleh kurikulum yang selalu disempurnakan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai
suatu komponen sistem pendidikan juga harus berubah.
Dahulu guru merupakan satu-satunya sumber belajar, ia menjadi pusat bertanya. Tugas
guru memberikan ilmu pengetahuan kepada murid. Cara demikian dipandang sudah memadai
karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas. Dewasa ini
berkat perkembangan iptek yang demikian pesat bahkan merevolusi, bagi seorang guru tidak
mungkin lagi menjadikan dirinya gudang ilmu dan oleh karena itu juga tidak satu-satunya
sumber belajar bagi muridnya. Tugasnya bukan memberikan ilmu pengetahuan melainkan
terutama menunjukkan jalan bagaimana cara memperoleh olmu pengetahuan, dan
mengembangkan dorongan untuk berilmu. Dengan singkat dikatakan bahwa tugas guru
adalah membelajarkan pelajar
Dalam pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti
banyak hambatanya. Hambatan lain berasal dari sambutan masyarakat, utamanya dari orang
tua/ kalangan yang kurang mampu. Mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan
anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama. Padahal dapat berharap banyak dari
anaknya untuk segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.
Sumber Bacaan:
Abdulhak, Ishak., Supriadi, D., Wahyudin, Dinn. 2006. Pengantar Pendidikan. Universitas
Terbuka, Jakarta.
Prof. Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. PT Rineka
Cipta, Jakarta.