Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DHF (dengue haemorhagic fever), adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan
masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty
(betina).
Di Indonesia Dengue Hemorrhagic Fever pertama kali di curigai di
Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virology baru di peroleh pada
tahun 1970. Setelah itu berturut-turut di laporkan kasus dari kota di Jawa
maupun dari luar Jawa, dan pada tahun 1994 telah menyebar keseluruh
propinsi yang ada. Pada saat ini Dengue Hemorrhagic Fever sudah endemis di
banyak kota besar, bahkan sejak 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah
pedesaan. Oleh karena itu sudah seharusnya semua tenaga medis yang bekerja
di Indonesia untuk mampu mengenali dan mendiagnosisnya, kemudian dapat
melakukan penatalaksanaan, sehingga angka kematian akibat Demam
Berdarah Dengue dapat ditekan.
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan
persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2
provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang menyebabkan masalah
dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi, penyebaran penyakit
yang mudah meluas dan terutama menyerang anak-anak.
Infeksi virus dengue pada manusia terutama pada anak mengakibatkan
suatu spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit ringan (mild
undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengue hemorrhagic fever
(DHF) dan dengue shock syindrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas
tinggi di sebabkan renjatan dan perdarahan hebat . gambaran manifestasi klinis

1
yang bervariasi ini dapat di samakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS
sebagai kasus - kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung
es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan kasus - kasus dengue
ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung
es. Di perkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di Rumah sakit,
telah terjadi 150 200 kasus silent dengue infection.
Demam berdarah dengue/dengue hemorrhagic fever (DHF) adalah
demam dengue yang di sertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan.
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien
jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini di sebut
dengue shock syndrom (DSS).

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana anatomi fisiologi hematologi
b. Apakah definisi dari DHF
c. Apasaja etiologi dari DHF
d. Bagaimana patofisiologi dari DHF?
e. Bagaimana Manifestasi klinis dari DHF?
f. Bagaimana WOC dari HF?
g. Apa saja klasifikasi dari DHF?
h. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?
i. Bagaimana penatalaksaan dari DHF?
j. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan?
k. Bagaimana asuhan keperawatan dengan masalah DHF?

1.3 Tujuan
a. Bagaimana anatomi fisiologi hematologi
b. Apakah definisi dari DHF
c. Apasaja etiologi dari DHF
d. Bagaimana patofisiologi dari DHF?
e. Bagaimana Manifestasi klinis dari DHF?
f. Bagaimana WOC dari HF?
g. Apa saja klasifikasi dari DHF?
h. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?
i. Bagaimana penatalaksaan dari DHF?
j. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan?
k. Bagaimana asuhan keperawatan dengan masalah DHF?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Hematologi

Darah merupakan cairan ekstraseluler yang terletak dalam saluran


yakni pembuluh darah, yang terdiri atas pembuluh darah dan sel darah. Darah
memiliki fungsi pertama, sebagai transportasi pernapasan, dimana sebagian
besar oksigen diangkat oleh eritrosit dari alveoli ke organ atau jaringan tubuh,
dan karbondioksida diangkut oleh jaringan oleh plasma darah menuju alveoli
paru.
Komposisi Darah yaitu

A. Sel darah merah


Sel darah merah atau eritrisit berbentuk cakran bikonkaf yang tidak
berinti. Membrane sel darah merah sangat tipis, sehingga gas seperti
oksigen dan karbondioksida dapat dengan mudah berdifusi melaluinya.
Sel darah merah dewasa terdiri atas hemoglobin yang menyusun sampai
95% massa sel. Sel ini tidak mempunyai inti dan hanya memiliki sedikit
enzim metabolisme dibandingkan sel lainnya. Adanya sejumlah besar
hemoglobin memungkinkan sel ini menjalankan fungsi utamanya, yaitu
sebagai alat pengangkut oksigen antara paru dan haringan.

3
B. Sel darah putih
Leukosit dibagi dalam dua kategori, yaitu granulosit dan sel
mononuclear (agranullosit). Darah normal jumlah totol leukosit adalah
5.000-10.000 sel/mm3. Sekitar 60% diantaranya adalah granulosit dan
40% sel mononuclear. Leukosit dengan mudah dapat dibedakan dari
eritrosit dengan adanya inti, ukurn yang bersar, dan perbedaan
kemampuan mengikat warna.
Fungsi sel darah putih adalah melindungi tubuh dari infaksi bakteri
atau benda asing lainnya. Fungsi utama PMN adalah memakan benda
asing atau fagositosis. Fungsi limfosit terutama menghasilnya substansi
yang membantu penyerangan benda asing. Sekelompok limfosit (limfosit
T) membunuh sel secara langsung atau menghasilkan berbagai limfokin,
suatu substansi yang memperkuat aktivitas sel fagositik. Kelompok
limfosit lainnya (limfosit B) menghasilkan antibody suatu molekul protein
yang akan menghancurkan benda asing dengan berbagai mekanisme.
Eosinofil dan basofil berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai
material biologiskuat seperti histamine serotonin, dan heparin. Pelepasan
senyawa tersebut memegaruhi suplai darah ke jaringan seperti yang
terjadi selama peradangan, dan membantu memobilisasi mekanisme
pertahanan tubuh. Peningkatan jumlah eosinofil pada keadaan alergi
menunjukkan bahwa sel ini terlibat dalam reaksi hipersenstifitas.
Proses fagositosis dimualai dari masuknya bakteri dan terjadi
proses endositosis. Fagosom dengan cepat menangkat bakteri yang masuk
kedalam kapsulnya. Badan golgi mengeluarkan lisosom yang kemudian
melebur atau menyatu denga fogosom dengan tujuan untuk

4
menghancurkn bakteri. Setelah bakteri hancur dengan proses ekksositosis
bakteri yang telah hancur kemudian dilepaskan.

Granulosit ditentukan adanya granula dalam sitoplasmanya. Diameter


granulosit biasanya 2-3 kali eritrosit.
Granulosit dibagi menjadi 3 bagian yang ditandai dengan perbedaan
kemampuannya mengikat warna.
1. Eosinofil memiliki granula berwarnah merah terang dalam
sitoplasmanya
2. Basofil granulanya berwarna biru
3. Neotrofil dengan granula yang berwarna ungu pucat.

Neutrofil dalam sirkulasi atas kelompok sirkulasi dan kelompok


marjinal (sel-sel darah putih yang terletak di dinding kapiler). Dengan
gerakann seperti amoba neutrofil bergerak dengan cara diapedesis dari
kelompok marjinal untuk masuk kedalam jaringan dan membrane
mukosa. Sel-sel ini bekerja sebagai sistem pertahanan primer tubuh untuk
mrlawan infeksi bakteri. Metode pertahanannya adalah dengan proses
fagositosis. Diduga ada suatu sistem umpan balik negative untuk
menghambat produksi dan pelepasan neutrofil ketika sudah ada sejumlah
neutrofil.

5
Eosinofil mempunyai fngsi fagosit lemah yang tidak dipahami
secara jelas mereka kelihatannya berfungsi pada reaksi antigen/antobodi
dan meningkatka pada serangan asma, reaksi obat-obatan, dan investasi
parasit tertentu.

Basofil membawa heprin. Factor-faktor pengaktifan histamine dan


platelet dalam granla-granulanya untuk menimbulakan peradangan.

Polomorfonuklear (PMN). Inti granulosit matang biasanya


mempunyai nbanyak lobus (biasanya 2-4) dihubungkan dengan filament
tipis material inti oleh karena sifat khas intinya maka sel ini dinamakan
polimorfonuklear. Granulosit yang belum matang memiliki inti oval 1
lobus disebut sel band. Normalny sel band hanya merupakan persentase
kecil granulosit yang bersirkulasi meskipun persentasenya dapat
meningkat pesat pada saat produksi leukosit PMN menigkat.

C. Plasma darah
Apabila elemen seluler diambil dari darah, bagian cairan yang
tersisi dinamakan plasma darah. Plasma darah mengandung ion, protein,
dan zat lain. Apabila plasma dibiatkan membeku sisa cairan yang
tertinggal dinamakan serum. Serum mempunyai kandungan yang sama
dengan plasma kecuali kandungan fibrinogen dan beberapa factor
pembekuan.
Protein plasma tersusun terutama oleh albumin dan globulin.
Globulin tersusun atas reksi alfa, beta, dan gama yang dapat dilhat dengan
uji laboratorium yang dinamakan elektroforesis protein.

6
Gama globulin yang tersusun terutama oleh antibody dinamakan
imonoglobilin. Protein ini dihasilkan oleh limfosit dan sel plasma. Protein
plasma yang berperan penting dalam fraksi alfa dan beta adalah globulin
transport dan factor pembekun yang dibentuk dihati. Globulin transport
membaw berbagai zat dalam bentuk terikat sepanjang sirkulasi. Misalnya
tiroid terikat globulin, membwa tiroksin dan tranferin membawa besi.
Factor pembekun termasuk fibrinogen tetap dalam keadaan tidak aktif
dalam plasma darah sampai diaktivasi pada reaksi tahap-tahap
pembekuan.
Albumin terutama penting untuk pemeliharaan volume cairan
dalam sistem vascular. Dinding kapiler tidak permeable terhadap albumin,
sehingga keberadaannya dalam plasma menciptakan gaya onkotik yang
menjaga cairan dlaam rongga vascular. Albumin yang dihasilkan oleh
hati, memiliki kapasitas mengikat berbagai zat yang ada dalam plasma.
Dalam hal ini albumin berfungsi sebagai protein transport untuk logan
asam lemak, bilirubin, dan obat-obatan diantara zat lainnya.

Fungsi kedua, sebagai transportasi makanan, mineral, vitamin,


elektrolit, dan air dari gastrointestinal menuju hati melalui proses
metabolisme, baru kemudian ke organ atau jaringan tubuh lain. Fungsi ketiga,
teransport metabolit atau hasil sisa yakni zat yang tidak digunakan dikirim ke
ginjal untukselanjutnya dikeluarkan melalui urine. Fungsi keempat, sebagai

7
transportasi hasil suatu jaringan atau organ seperti hormon yang dihasilkan
oleh kelenjar akan diangkut oleh darah.

Demikian juga hasil metabolisme di hati diangkut oleh plasma menuju


ke organ yang membutuhkan. Fungsi kelima, sebagai pembentuk antibodi
yang dilakukan oleh plasma sel dan limfosit, leukosit yang berperan dalam
fagositosis. Fungsi keenam, berperan alam mempertahankan keseimbangan
asam dan basa, juga sebagai transportasi bahan-bahan yang diberikan melalui
cairan yang lewat aliran darah. Dan fungsi ketujuh, sebagai hemostasis yang
terletak pada plasma darah. Proses hemostasis ini merupakan upaya untuk
mempertahankan hilangnya darah akibat kerusakan pembuluh darah atau
pecah.

a. Proses homeostasis
melalui berbagai tahap, yakni tahap vascular, koagulasi, serta pembersihan
dan rekonstruksi.
1. Tahap vascular
Tahap ini merupakan tahap awal dari kerusakan pembuluh
darah, dapat terjadi vasokontriksi lokal dan retraksi, kemudian
trombosit akan mengadakan agregasi, aglutinasi berperan atau akan
lisis dan mengeluarkan bahan untuk proses homeostasis seperti
serotonin. Kemudian, rusaknya pembuluh darah menyebabkan
masuknya tromboplastin jaringan yang dapat mempercepat proses
koagulasi. Demikian juga darah yang rusak di sekitar akan membantu
mengurangi pendarahan yang selanjutnya.

2. Tahap koagulasi

8
Pada tahap koagulasi,faktor pembekuan dan zat yang
menghambat koagulasi atau antikoagulan berperan dan terjadi
keseimbangan. Proses koagulasi terdiri atas tiga tahap. Diawali dengan
proses pembentukan aktifator protrombin, perubahan protrombin
menjadi trombin. Dan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
3. Tahap pembersihan dan rekonstruksi.
Merupakan tahap akhir dalam proses hemostasis berupa proses
fibrinolisis dan pembentukan jaringan baru pada jaringan yang
mengalami kerusakan. (Hidayat, 2006)
b. Faktor Pembekuan Darah
1. Faktor I
Fibrinogen: sebuah faktor koagulasi yang tinggi berat molekul
protein plasma dan diubah menjadi fibrin melalui aksi trombin.
Kekurangan faktor ini menyebabkan masalah pembekuan darah
afibrinogenemia atau hypofibrinogenemia.
2. Faktor II
Prothrombin: sebuah faktor koagulasi yang merupakan protein
plasma dan diubah menjadi bentuk aktif trombin (faktor IIa) oleh
pembelahan dengan mengaktifkan faktor X (Xa) di jalur umum dari
pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke bentuk aktif
fibrin. Kekurangan faktor menyebabkan hypoprothrombinemia.
3. Faktor III
Jaringan Tromboplastin: koagulasi faktor yang berasal dari
beberapa sumber yang berbeda dalam tubuh, seperti otak dan paru-
paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam pembentukan

9
prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur koagulasi
ekstrinsik. Disebut juga faktor jaringan.
4. Faktor IV
Kalsium: sebuah faktor koagulasi diperlukan dalam berbagai
fase pembekuan darah.
5. Faktor V
Proaccelerin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang
relatif labil dan panas, yang hadir dalam plasma, tetapi tidak dalam
serum, dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik koagulasi jalur.
Proaccelerin mengkatalisis pembelahan prothrombin trombin yang
aktif. Kekurangan faktor ini, sifat resesif autosomal, mengarah pada
kecenderungan berdarah yang langka yang disebut parahemophilia,
dengan berbagai derajat keparahan. Disebut juga akselerator globulin.
6. Faktor VI
Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu bentuk
aktif faktor V, tetapi tidak lagi dianggap dalam skema hemostasis.
7. Faktor VII
Proconvertin: sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang
relatif stabildan panas dan berpartisipasi dalam Jalur koagulasi
ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh kontak dengan kalsium, dan
bersama dengan mengaktifkan faktor III itu faktor X. Defisiensi
faktor Proconvertin, yang mungkin herediter (autosomal resesif) atau
diperoleh (yang berhubungan dengan kekurangan vitamin K), hasil
dalam kecenderungan perdarahan. Disebut juga serum prothrombin
konversi faktor akselerator dan stabil.
8. Faktor VIII
Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan
yang relatif labil dan berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari
koagulasi, bertindak (dalam konser dengan faktor von Willebrand)
sebagai kofaktor dalam aktivasi faktor X. Defisiensi, sebuah resesif
terkait-X sifat, penyebab hemofilia A. Disebut juga antihemophilic
globulin dan faktor antihemophilic A.
9. Faktor IX
Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor koagulasi
penyimpanan yang relatif stabil dan terlibat dalam jalur intrinsik dari

10
pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan Defisiensi faktor X. hasil di
hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor antihemophilic B.
10. Faktor X
Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang
relatif stabil dan berpartisipasi dalam baik intrinsik dan ekstrinsik
jalur koagulasi, menyatukan mereka untuk memulai jalur umum dari
pembekuan. Setelah diaktifkan, membentuk kompleks dengan
kalsium, fosfolipid, dan faktor V, yang disebut prothrombinase; hal
ini dapat membelah dan mengaktifkan prothrombin untuk trombin.
Kekurangan faktor ini dapat menyebabkan gangguan koagulasi
sistemik. Disebut juga Prower Stuart-faktor. Bentuk yang diaktifkan
disebut juga thrombokinase.
11. Faktor XI
Tromboplastin plasma yg di atas, faktor koagulasi yang stabil
yang terlibat dalam jalur intrinsik dari koagulasi; sekali diaktifkan, itu
mengaktifkan faktor IX. Lihat juga kekurangan faktor XI. Disebut
juga faktor antihemophilic C.
12. Faktor XII
Hageman faktor: faktor koagulasi yang stabil yang diaktifkan
oleh kontak dengan kaca atau permukaan asing lainnya dan memulai
jalur intrinsik dari koagulasi dengan mengaktifkan faktor XI.
Kekurangan faktor ini menghasilkan kecenderungan trombosis.
13. Faktor XIII
Fibrin-faktor yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang
merubah fibrin monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi
stabil dan tidak larut dalam urea, fibrin yang memungkinkan untuk
membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor ini memberikan
kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan
protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut
transglutaminase
c. Mekanisme Pembekuan
1. Pembentukan tromboplastin plasma intrinsik yang juga disebut
tromboplastogenesis, dimulai dengan trombosit, terutama faktor
trombosit III dan faktor pembekuan lain dengan pembentukan
kolagen. Faktor pembekuan tersebut adalah faktor IV, V, VIII, IX, X,
XI, XII kemudian faktor III dan VII.

11
2. Perubahan protombin menjadi trombin yang dikatalisasi oleh
tromboplastin, faktor IV, V, VII dan X.
3. Perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan katalisator trombin,
faktor trombosit I dan II.Hemostatis yang baik berlangsung dalam
batas waktu tertentu sehingga tidak hanya terbentuk tromboplastin,
trombin dan fibrin saja yang penting, tetapi juga lama pembentukan
masing-masing zat. Secara keseluruhan, mekanisme pembentukan
mempunyai 2 fenomena dasar untuk jangka waktu berlangsungnya
proses tersebut, yaitu tahap permulaan yang lambat disusul tahap
autokatalitik yang sangat cepat. Trombin memegang peranan yang
penting pada tahap yang cepat, di samping itu trombin menyebabkan
trombosit menjadi lebih sehingga mudah melepaskan faktor trombosit
dan meninggikan aktivitas tromboplasmin (Ngastiyah, 2005).
d. Mekanisme Fibrinolitik
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya
dipecahkan oleh plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi
fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi
untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi
menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein dalam bersikulasi
(proaktivator plasminogen), dengan adanya enzim-enzim kinase seperti
streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor VIIa, dikatalisasi
menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim tambahan,
seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah palsminogen, suatu
protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi
plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi
fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin/ fibrinogen) yang
mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin,
menyebabkan hancurnya bekuan. Dalam keadaan normal sistem
fibrinolitik darah memegang peranan penting untuk mempertahankan
sistem pembuluh darah bebas dari gumpalan fibrin, dan merupakan
pelengkap sistem pembekuan.

2.2 Definisi Dengue Hemoragic Fever

12
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus
(arthropadborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes
albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus
dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam dangue maupun
demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
Aegypti dan Aedes Albocpitus. (Soegijanto, 2004).

Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri


demam manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang
dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer, 2000).

Dengue hemoragic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada


anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang
disertai leukopenia, dengan / tanpa ruam (rash) dan limfadenopati.
Thrombocytopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan (Noer Syaifullah,
2000).

Jadi demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang


disebabkan oleh virus dengue dengan menifestasi klinis demam disertai gejala
perdarahan dan bila timbul renjatan dapat menyebabkan kematian. Untuk
memahami DHF perlu pemahaman terkait Anatomo fisiologi pada sistem
sirkulasi.

2.3 Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain
seperti mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3

13
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

2.4 Etiologi

DBD / DHF disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk aides,
di Indonesia dikenal dua jenis nyamuk aides yaitu :

1. Aides aegypti
a. Paling sering ditemukan
b. Nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang
biak di dalam rumah yaitu di tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan air di sekitar rumah.
c. Nyamuk ini tampak berlurik, berbintik - bintik putih.
d. Biasanya menggigit pada siang hari , terutama pada pagi dan sore hari.
e. Jarak terbang 100 meter.
2. Aedes Albopictus
a. Tempat dan habitatnya di tempat air jernih. Biasanya disekitar rumah atau
pohon - pohon, dimana tertampung air hujan yang bersih yaitu pohon
pisang, pandan, kaleng bekas , dll.
b. Menggigit pada waktu siang hari.
c. Jarak terbang 50 meter.
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus
dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4
serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini
ada di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering
menimbulkan wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam
kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain
serta masa viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom
RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid
yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E dan protein membrane
2.5 Patofisiologi

14
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
sebagai vector ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi
yang pertama kali dapat member gejala sebagai DD. Apabila orang itu
mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan
menimbulkan reaksi yang berbeda. DBD dapat terjadi bila seseorang yang
telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue
lainnya. Virus akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke
jaringan lain, terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen
maupun secara hematogen. Tubuh akan membentuk kompleks virus antibody
dalam sirkulasi darah sehingga akan mengaktivasi sistem komplenen yang

C3
berakibat dilepaskannya anafilatoksin a dan C5a sehingga permeabilitas

dinding pembuluh darah meningkat. Akan terjadi agregasi trombosit yang


melepaskan ADP, trombosit melepaskan vasoaktif yang bersifat meningkatkan
permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit factor 3 yang merangsang
koagulasi intravaskuler. Terjadinya aktivasi factor Hageman (factor XII) akan
menyebabkan pembekuan intravaskuler yang meluas dan meningkatkan
permeabilitas dinding pembuluh darah.

Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut


permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan
tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus
berat. (Gubler, 1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan
ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit.
Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu
perunahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto,
2004).
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk
Aedes aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ
hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran
darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN
mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.

15
Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponenya. Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses
perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu
serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype tersebut
tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992). Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain
adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin
C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik
syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear
merangsang terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih
banyak didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada
kejadian ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling
permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel
makrofag yang menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody
nonnetralisasi akan memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya
sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan
sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma
dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:

16
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang
terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan
mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas
alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit,
sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis
tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa
pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.

Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih


merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada
DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan
secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah
ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan
dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit

17
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu.
Virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain
virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar
(Suvatte, 1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

18
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan factor pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan
gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup
banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan
mempercepat syok yang terjadi (Suvatte, 1977).

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang ringan, sedang seperti DD,
sampai ke DBD dengan manifestasi demam akut, perdarahan, serta
kecenderungan terjadi renjatan yang dapr berakibat fatal. Masa inkubasi
dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Pada DD terdapat peningkatan suhu secara tiba-tiba, disertai sakit kepala,
nyeri yang hebat pada otot dan tulang, mual, kadang muntah, dan batuk
ringan.
Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada supraorbital dan
retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut
ditekan. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva,
lakrimasi, dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa pegal. Eksantem dapat
muncul pada awal demam yang terlihat jelas di muka dan dada, berlangsung
beberapa jam lalu akan muncul kembali pada hari ke-3-6 berupa bercak
petekie di lengan dan kaki lalu ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun ke
normal, ruam berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa
gatal. Pada sebagian pasien dapat ditemukan kurva suhu yang bifasik. Dalam
pemeriksaan fisik pasien DD hamper tidak ditemukan kelainan. Nadi pasien

19
mula-mula cepat kemudian menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4
dan ke-5. Bradikardi dapat menetap beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Dapat ditemukan lidah kotor dan kesulitan buang air besar. Pada pasien DBD
dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekie,
perpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya
membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya
penyakit. Pada pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit terasa
lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung,
jari-jari tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan darah. Renjatan
biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke-3
dan hari ke-7 penyakit.
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung
2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil
dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3
dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan
hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38-40 C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta
seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


b. Perdarahan

20
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3
demam. Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang
menandakan fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009).
Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak, demam
chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura,
ekomosis, epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji
tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm
di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa
disertai ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba
hingga 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik,
2009). Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya
perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam
biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009).
Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan
lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi
hipotensi dengan tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit
lembab, dan pasien terlihat gelisah.

21
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Toourniquet
Sebuah tourniquet (juga dukenal sebagai rumple-leede tes
kerapuhan kapiler) menentukan kapiler kerapuhan. Ini adalah metode
diagnostic klinik untuk menentukan kecenderungan perdarahan pada
pasien. Ia menilai kerapuhan dinding kapiler dan digunakan untuk
mengidentifikasi trombositppenia (dengan pengurangan count platelet).
Pengujian ini didefinisikan oleh WHO sebagai salah satu syarat
yang diperlukan untuk diagnosis DBD. Ketika manset tekanan darah
dipacu ke titik antara tekanan darah sistolik dan diastolic selama lima
menit, maka tes ini akan dinilai. Tes positif jika ada 10 atau lebih petechiae
per inci persegi. Dalam DBD tes biasanya memberikan hasil positif yang
pasti dengan 20 petechiae atau lebih.
Tes ini tidak memiliki spesifitas tinggi. Factor menggang dengan
uji ini adalah perempuan yang pramenstruasi, postmentrual dan tidak
mengambil hormone, atau mereka dengan kulit rusak matahari, karena
semua akan mengalami peningkatan kerapuhan kapiler.

Sebuah tourniquet tes positif di sisi kanan pasien dengan demam berdarah.
Catatan : penihkatan jumlah petechiae.

22
Menurut WHO pada tes tourniquet dilakukan perhitungan jumlah
petekie dalam daerah seluas 1 inchi 2 (1 inci = 2,5cm) dimana saja yang
paling banyak petekienya termasuk di bawah fosa cubiti dan bagian dorsal
lengan dan tangah. Dalam klinik untuk mempermudah perhitungan
digunakan plastic transparan dengan gambaran lingkaran beriameter 2,8
cm (10) atau bujur sangkar dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 cm

Dengan demikian lingkaranatau bujur sangkat tersebut dapat


dengan mudah digeserkan di seluruh permukaan kulit dan dicari daerah di
mana petekie paling banyak. Dalam menilai kenaikan hematokrik harus
diingat pula pengaruh adanya anemi, perdarahan dan pemberian terapi
cairan dini. Untuk membuktikan adanya kebocoran plasma dapat pula
dicari efusi pleura pada pemeriksaan radiologic atau adanya
hipoalbuminemi. Dalam pengalaman klinik ternyata tidak selalu semua
criteria WHO tersebut dipenuhi. Hemokonsentrasi baru dapat dinilai
setelah pemeriksaan serial hematokrit sehingga pada saat penderita
pertama kali datang belum dapat ditemukan adanya hemokonsentrasi atau
tidak.

Secara umum langkah-langkah tes tourniquet dapat dibagi dalam 3 tahap


utama yaitu :

1. Pra Analitik
a. Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapankhusus
b. Prinsip : terhadap kapiler diciptakan suasana anoksia dengan jalan
membendung darah vena. Terhadap anoksia dan penambahan

23
tekanan internal akan terlihat kemampuan kapiler bertahan. Jika
ketahanan kapiler turun an timbul petechie di kulit.
c. Alat dan bahan : tensimeter dan stetoskop, timer, spidiol
2. Analitik
Cara kerja:
a. Pasang menset tensimeter pada lengan atas. Carilah tekanan sistol
(TS) dan tekanan (TD)
b. Buat lingkaran pada bagian volar lengan bawah : radius 3 cm, titik
pusat terletak 2 cm dibawah garis lipatan siku
c. Pasang lagi tensimeter dan buatlah tekanan sebesar x (TS xTD),
pertahankan tekanan ini selama 5 menit
d. Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya petechie dalam
lingkaran yang telah dibuat
3. Pasca analitik
Nilau rujukan :
a. < 10 : normal (negative)
b. 10-20 : dubia (ragu-ragu)
c. > 20 : abnormal (positif)

Tes tourniquet merupakan tes yang sederhana untuk melihat


gangguan pada vaskuler maupun trombosit. Tes tourniquet akan
positif jika ada gangguan pada vaskuler maupun trombosit.

b. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji
serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,
2012).

24
Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF
3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.
4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
c. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala,
Puvanendran, Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011).
d. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura.
Umumnya posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih
baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi
berbaring.
e. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan
sebagai pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar
X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya
acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai
alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebih berat
misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan
penebalan pancreas.
f. Diagnosis Serologis

25
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis,
sifatnya sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat
menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan
dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan
pada studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan
titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280)
baik pada serum akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+)
atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru terjadi
(Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya
rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi
bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue.
Biasanya memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test
(PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.
Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan
antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan
bertahan lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu
lama sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5
infeksi virus dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti
IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6
IgM masih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat
bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi.
Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji
Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas
yang sama dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase
chain reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap
serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.

26
Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari
darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama
dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh
penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody
dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,
2011).
2.9 Penatalaksanaan
a. Pre Hospital
Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara
yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam
berdarah. DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang
dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu
kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M
Plus:

1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak


mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan
nyamuk dengan cara:
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit
dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau
Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan sekali dengan
takaran 10 gram Abate ( 1 sendok makan peres)
untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( 1/4 sendok
makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat diperoleh di
puskesmas atau di apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar

27
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus
positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah
tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk.
Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya
mengalami demam tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh
kekurangan cairan karena penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai
adalah muntah atau intake tidak adekuat (tidak mau minum), akhirnya
jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama yang dapat diberikan
adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan minum 2 liter/hari
(kira kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15 menit. Minuman yang
diberikan sesuai selera misalnya air putih, air teh manis, sirup, sari buah,
susu, oralit, shoft drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang banyak
beredar saat ini. Untuk mengetahui pemberian cairan cukup atau masih
kurang, perhatikan jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air
kecil minimal 6 kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi
(IDAI, 2009).
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit,
tapi butuh kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah
sebagai berikut (WHO, 1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari
(lebih banyak lebih baik)

2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.


Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih
dari 4 kali sehari. Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen,
sebab dapat menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion tambahan (
pocari sweet )
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk meningkatkan
trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam kuantitas
yang banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus berikut
ini:

28
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam
maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan
cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan
kejang pada anak sehingga harus diberikan obat penurun panas. Untuk
menurunkan demam, berilah obat penurun panas. Untuk jenis obat
penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal dari golongan
parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal atau
aspirin oleh karena dapat merangsang lambung sehingga akan
memperberat bila terdapat perdarahan lambung. Kompres dapat membantu
bila anak menderita demam terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres
hangat dan bukan kompres dingin, oleh karena kompres dingin dapat
menyebabkan anak menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang
mempunyai riwayat kejang demam disamping obat penurun panas dapat
diberikan obat anti kejang (IDAI, 2009).
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan
baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik
maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi
perdarahan hebat penderita akan tampak sangat kesakitan, tapi bila syok
terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak sadar lagi. Dampak
syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan kekurangan oksigen dan
akhirnya menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu
penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila terdapat tanda gejala
dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat

29
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus,
kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau
penurunan jumlah trombosit

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk


membantu dalam menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan
Kota Denpasar mengarahkan apabila ada penderita yang terkena demam
berdarah maka harus segera melaporkan Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau
sarana pelayanan kesehatan terdekat bila ada anggota masyarakat yang
terkena DBD.
Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet
bagi kader kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam berdarah
dengue memberikan gambaran bahwa setelah diberikan penyuluhan dan
simulasi pemeriksaan uji tourniquet terjadi perubahan yang bermakna
dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang penyakit demam
berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana yang dapat dilakukan
sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan kesehatan.
b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan
pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD
sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik,
hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana
DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat
suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease awal
terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis

30
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit
20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi
untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai
cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat
ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <
50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di
Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah
sakit kelas B danA (DepKes RI, 2005).
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik
kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti
tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif
selama demam (DepKes RI, 2005).

31
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang
mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu
turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan
derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht,
dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan
awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok
mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume
yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus
smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang

32
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl
0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%
1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini
(DepKes RI, 2005).
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan
tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama (DepKes RI, 2005)
2) Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dansembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan
tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan
kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok
teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20
ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit.
Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB
ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan
pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok
belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan
tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian
kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg

33
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg
BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak
diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi
kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar
hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil
(10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume
Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat,
saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan
apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya.
Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah
yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan
dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup,
tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi
(DepKes RI, 2005).

34
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai
pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana
pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak
diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
e) Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen
(DepKes RI, 2005).
f) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit (DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk
pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga

35
dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen
degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI,
2005).
g) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal
yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinis pasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan
apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi dieresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan.
Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian
dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).
2.10 Pencegahan

Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty


dengan cara:

36
a. Rumah selalu terang
b. Tidak menggantung pakaian
c. Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya
minimal 4 hari sekali
d. Kubur barang barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat
terkumpulnya air hujan
e. Tutup tempat penampungan air
Perencanaan pemulangan dan PEN KES

a. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai


dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
b. Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping
c. Menjelaskan gejala gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi gejala
d. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan

37
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH DENGUE
HEMORARGE FEVER

3.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan
nafsu makan menurun.
b. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot,
pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual,
dan nafsu makan menurun.
c. Riwayat penyakit terdahulu
Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain
sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa
ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis,
pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar
ronchi, krakles.
b. Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran.
c. Sistem Cardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,
trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi
cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari,
pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
d. Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada
epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang,
penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat
hematemesis, melena.
e. Sistem perkemihan

38
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan
mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah.
f. Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat
positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat
terjadi perdarahan spontan pada kulit.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermi berhubungan dengan termoregulasi tidak stabil.
2. Ketidakefektifan perfusi serebri berhubungan dengan hpoksia jaringan
otak.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan perdarahan
gastrointertinal.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai darah
ke kapiler menurun.
5. Resiko defisit cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler
ke ekstravaskuler.
6. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual
dan nafsu makan yang menurun.
7. Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
8. Resti komplikasi berhubungan dengan DIC dan asidosis metabolik

3.3 Intervensi dan Implementasi


No Dx. Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
. Keperawatan
1 Hipertermi Suhu tubuh 1.Suhu tubuh Mandiri
1. Berikan 1.Kompres dingin akan
berhubungan normal antara 36-
kompres (air teradi pemindahan
dengan kembali 370C.
2.Membran biasa/kran). panas secara
termoregulasi dengan suhu
mukosa konduksi.
tidak stabil. tubuh 360C 2. Berikan /
2.Untuk mengganti cairan
basah.
370C setelah anjurkan
3.Nadi dalam tubuh yang hilang
mendapatkan pasien banyak
batas normal akibat evaporasi.
tindakan minum 1500-
(80-100
keperawatan 1
x/menit).

39
x 24 jam. 4.Nyeri otot 1.Memberikan rasa
2000 cc/hari.
hilang. nyaman dan pakaian
HE yang tipis mudah
1. Anjurkan
menyerap keringat
pasien
dan tidak merangsang
mengenakan
peningkatan suhu
pakaian yang
tubuh.
tipis dan
mudah
menyerap 1.Pemberian cairan sangat
keringat. penting bagi pasien
dengan suhu tubuh
Kolaborasi yang tinggi. Obat
1. Pemberian
khususnya untuk
cairan
menurunkan suhu
intravena dan
tubuh pasien.
pemberian
antipiuretik.
1.Mendeteksi dini
kekurangan cairan

Observasi serta mengetahui


1. Kaji intake dan keseimbangan cairan
output, tanda dan elektrolit dalam
vital (suhu, tubuh. Tanda vital
nadi, tekanan merupakan acuan
darah) tiap 3 untuk mengetahui
jam sekali atau keadaan umum
lebih sering. pasien.
2 Ketidakefektifa Setelah Mandiri
1. Pasien akan 1.Jelaskan pada 1. keluarga klien bisa
n perfusi serebri dilakukan
mempertahan keluarga klien lebih tenang dengan
berhubungan tindakan
kan atau tentang keadaannya dan
dengan hipoksia keperawatan 3
meningkatkan keadaannya benar benar
jaringan otak. x 60 menit
tingkat saat ini. menjaga
klien

40
menunjukkan kesesehatannya.
kesadaran.
perfusi HE
2. Fungsi
1.Lakukan
jaringan yang 1. Pendekatan
kognitif dan
pendekatan
efektif ditandai terapeutik akan
sensorik baik.
terapeutik pada
dengan akral 3. Tidak ada terjalin kerjasama
klien.
hangat. tanda PTIK yang kooperatif
(muntah antara klien dan
proyektil, petugas kesehatan.
Kolaborasi
nyeri kepala 1.kolaborasi
hebat, dengan dokter 1. terapi farmakologis
penurunan untuk dapat mempekecil
kesadaran). pemberian kemungkinan
4. TTV dalam
terapi terjadinya
batas normal
farmakologi. komplikasi.
(TD= 60-90
mmgh/90-
Observasi
130mmhg, 1.Kaji fungsi paru 1. menghindari syok
nadi 60-100 dan kondisi yang tak terduga
kpm, suhu tungkai karena O2 dalam
36,5 37,5 paru menurun.
derajat
celcius, RR
12- 20 kpm)
3 Gangguan rasa Setelah 1. Secara Mandiri
1.Atur posisi yang 1. Posisi kaki lebih
nyaman nyeri dilakukan subyektif
baik dan tinggi dari badan 30o
berhubungan tindakan pasien
mengenakkan. dapat mengurangi
dengan keperawatan menyatakan
peningkatan
perdarahan dalam waktu 1 penurunan
penekanan pada
gastrointertinal. x 60 menit rasa nyeri
jaringan yang rusak
terdapat secara
sehingga mengurangi
penurunan objektif.
2. Didapatkan nyeri.
respon nyeri HE
TTV dalam 1.Anjurkan klien
ditandai

41
dengan wajah batas normal. nafas panjang 1. Nafas panjang dan
3. Wajah rileks
pasien tidak dan dalam. dalam merelaksasi
4. Tidak terjadi
meringis. otot dan
penurunan
terimobilisasi
perfusi
sehingga nyeri
perifer. Kolaborasi
5. Urine > 600 1.Terapi analgetik berkurang.
ml/hari.
1. Analgetik merupakan
obat anti nyeri yang
Observasi
1.Kajian tingkat bekerja secara sentral
nyeri. atau perifer/local.

1. Nyeri dapat
diantisipasi klien
2.Catat
secara individualisme
karakteristik
dan penanganan yang
nyeri, lokasi,
berbeda.
intensitas dan 2. Variasi penampilan
penyebarannya dan perilaku klien
. karena nyeri terjadi
sebagai temuan
pengkajian.
4 Gangguan Setelah 1.TD 100/60 Mandiri
1.Aktivitas pasien yang
perfusi jaringan dilakukan mmHg. 1. Anjurkan pada
2.Nadi 80-100 tidak terkontrol dapat
perifer tindakan klien untuk
x/menit menyebabkan
berhubungan keperawatan banyak
reguler. terjadinya perdarahan.
dengan dalam waktu istirahat tirah
3.Pulsasi kuat
penurunan 1x60 menit 4.Tidak ada baring
2.Keterlibatan pasien dan
suplai darah ke tidak terjadi perdarahan (bedrest).
2. Berikan keluarga dapat
kapiler perdarahan spontan (gusi,
penjelasan membantu untuk
menurun. selama hidung,
kepada klien penanganan dini bila
perawatan. hematemesis
dan keluarga terjadi perdarahan.
dan melena)

42
5.Trombosit tentang bahaya
dalam batas yang dapat
normal timbul akibat
(150.000/uL) dari adanya
perdarahan,
dan anjurkan
untuk segera
melaporkan
jika ada tanda
perdarahan
seperti di gusi,
hidung
1.Mencegah terjadinya
(epitaksis),
perdarahan lebih
berak darah
lanjut.
(melena), atau
muntah darah
(hematemesis).
1.Pemeriksaan darah
HE lengkap.
1. Gunakan sikat
gigi yang
lunak, pelihara
kebersihan 1.Penurunan trombosit
mulut. merupakan tanda
adanya kebocoran
Kolaborasi
pembuluh darah yang
1. Kolaborasi
pada tahap tertentu
dalam
dapat menimbulkan
pemeriksaan
tanda-tanda klinis
laboratorium
seperti epistaksis,
secara berkala.
ptekie.

Observasi

43
1. Kaji tanda-
tanda
penurunan
trombosit yang
disertai tanda
klinis.
5 Resiko defisit Setelah 1.Input dan Mandiri
1.Untuk memenuhi
cairan dilakukan output 1. Anjurkan
kabutuhan cairan
berhubungan tinakan seimbang. untuk minum
2.Vital sign tubuh peroral.
dengan keperawatan 1500-2000
dalam batas
pindahnya dalam waktu 3 ml /hari.
normal.
cairan x 60 menit
3.Tidak ada tanda 1. Menyeimbangkan
HE
intravaskuler ke pasien tidak
presyok. cairan dalam tubuh.
1.Anjurkan pasien
ekstravaskuler. mengalami 4.Akral hangat.
5.Capilarry refill untuk banyak
devisit voume
< 3 detik. minum.
cairan
(dehidrasi).
Kolaborasi
1. Kolaborasi 1.Dapat meningkatkan
Pemberian jumlah cairan tubuh,
cairan untuk mencegah
intravena. terjadinya
hipovolemik syok.

Observasi
1.Vital sign membantu
1.Kaji tanda-tanda
mengidentifikasi
vital tiap 3
fluktuasi cairan
jam.
intravaskuler.
2.Indikasi keadekuatan
2.Observasi
sirkulasi perifer.
capillary
3.Penurunan haluaran
Refill.
3.Observasi intake urine pekat dengan
dan output. peningkatan BJ

44
Catat warna diduga dehidrasi.
urine /
konsentrasi.
6 Resiko Setelah 1.Tidak ada Mandiri
1. Makanan sedikit
gangguan diberikan tanda-tanda 1.Anjurkan kepada
dapat menurunkan
pemenuhan tindakan malnutrisi. klien untuk
kelemahan dan
kebutuhan keperawatan 2.Menunjukkan makan sedikit
meningkatkan
nutrisi kurang dalam waktu berat badan namun sering.
masukan juga
dari kebutuhan 3x60 menit yang
mencegah ditensi
tubuh nutrisi pasien seimbang.
gaster.
berhubungan terpenuhi. 3.Nafsu makan
HE
dengan intake meningkat.
1.Berikan dan
nutrisi yang
bantu oral
1. Meningkatkan nafsu
tidak adekuat
hygiene.
makan dan masukan
akibat mual dan
peroral.
nafsu makan Kolaborasi
yang menurun. 1.Kolaborasi
1. Nutrisi parenteral
pemberian
sangat diperlukan
cairan
jika intake peroral
parenteral.
sangat kurang.

Observasi
1. Mengidentifikasi
1. Kaji riwayat
defisiensi, menduga
nutrisi,
kemungkinan
termasuk
intervensi.
makanan yang
disukai. 2. Mengawasi masukan
2. Catat masukan
kalori/kualitas
makanan
kekurangan konsumsi
pasien.
makanan.
7 Resiko syok Setelah Tanda Vital Mandiri
1.Untuk memonitor
hypovolemik dilakukan dalam batas 1.Monitor keadaan
kondisi pasien selama
berhubungan tindakan normal umum pasien.

45
dengan keperawatan perawatan terutama
perdarahan yang dalam waktu saat terdi perdarahan.
berlebihan, 1x24 jam tidak Perawat segera
pindahnya terjadi syok mengetahui tanda-
cairan hipovolemik. HE tanda presyok / syok.
intravaskuler ke 1.Anjurkan pasien
ekstravaskuler. untuk banyak 1. Menyeimbangkan
minum. cairan dalam tubuh.

Kolaborasi
1. Kolaborasi
Pemberian
1.Cairan intravena
cairan
diperlukan untuk
intravena.
mengatasi kehilangan
cairan tubuh secara
2. Kolaborasi
hebat.
pemeriksaan : 2.Untuk mengetahui
HB, PCV, tingkat kebocoran
trombosit. pembuluh darah yang
dialami pasien dan
untuk acuan
melakukan tindakan
lebih lanjut.
Observasi
1. Observasi vital
sign setiap 3 1.Perawat perlu terus
jam atau lebih. mengobservasi vital
sign untuk
memastikan tidak
terjadi presyok / syok.
8 Resiko Setelah 1. Tidak ada Mandiri
Berbaring terus akan
komplikasi dilakkan tanda-tanda Lakukan
menyebabkan
berhubngan tindakan perdarahan perubahan sikap

46
dengan DIC dan keperawatan 2. Tidak ada baringnya setiap pneumonia hipostatik,
asidosis dalam waktu tanda-tanda 3 jam : miring mengubah sikap
metabolik 3x24 jam asidosis kana miring kiri berbaring secara
pasien tidak metabolik teratur mencegah
terjadi dekubitus dan
komplikasi. melancarkan aliran
darah.
HE
Memudahkan proses
Anjurkan pasien
penyembuhan untuk
untuk istirahat
menghindari
mutlak/ tirah
komplikasi
baring
1. mengurangi kerja
Kolaborasi
usus dan
1. berikan
memudahkan
makanan
absorbs nutrisi serta
yang cukup
menghindari
mengan dung
perlukaan
cairan dan
kalori serta 2. mempercepat
rendah serat kesembuhan dan
2. pemberian
mencegah
medikament
komplikasi
osa
Observasi
Observasi tanda-
tanda vital,
selidiki
perubahan tiba-
tiba/
penyimpangan

3.4 Implementasi
Melakukan tindakan apa yang direncanakan pada tabel intervensi.
3.5 Evaluasi

47
1. Suhu tubuh normal antara 36-370C.
2. Menunjukkan perfusi jaringan yang efektif.
3. Nyeri hilang atau terkontrol.
4. Perdarahan teratasi (tidak terjadi perdarahan spontan).
5. Defisit volume cairan terkontrol.
6. Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/
meningkatkan berat badan.
7. Pasien tidak mengalami syok hipovolemik teratasi.
8. Pasien tidak mengalami komplikasi.

48
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Demam berdarah adalah masalah kesehatan yang serius karena hamper
tiap tahun selalu ada dan bahkan kadang-kadang meningkat tajam megarah
kekajadian luar biasa (KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Penyakit demam berdarah dalam
keadaan gawat memerlukan pertolongan segera dan semakin cepat ditolong
makin besar kemungkinan untuk sembuh kembali. Pada seting prehospital
masyarakat dan keluarga harus waspada terhadap tanda dan gejala yang
dikeluhkan oleh pasien. Koordinasi dengan instansi terkait, missal dinas
kesehatan adalah penting dalam rangka pencegahan penularan demam
berdarah. Peran masyarakat sangat penting karena tanpa peran serta
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk maka sebesar apapun dana
yang dikeluarkan dan sebagus apapun program pemerintah tidak akan optimal
dalam penanggulangan dan pemberantasan penyakit demam berdarah. Untuk
dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang
terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta
bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/DSS terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.

4.2 Saran
Diperlukan peran masyarakat dan pemerintah secara luas untuk bersama-
sama menjalankan program-program yang telah dibuat dalam penanggulangan
DBD.
Dibutuhkan peran serta perawat Puskesmas sebagai lini terdepan dalam
pencegahan DBD di lingkungan masyarakat dengan deteksi dini dan
peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat terkait DBD.

49

Anda mungkin juga menyukai