Anda di halaman 1dari 13

ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA BAYI BARU

LAHIR

DI susun

OLEH

MASITA ABDULRAHMAN

RIDHA SHUHADA

JUHAINA NINGSI SYAHBUDIN

PRIL VIRGIYANTI A

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH MANADO


T.A 2014/2011

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadiran Allah SWT atas berkat dan
karunia nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
seksologi kelainan seksual wanita dan seksual pria Demi meningkatkan
pengetahuan mahasiswa maka mahasiswa harus dapat mempelajari dulu materi
yang akan dibahas dengan cara mahasiswa diharapkan mempunyai kemampuan
untuk mencari pengetahuan sendiri. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimah kasih yang sebesarnya kepada teman-teman dan dosen
pembimbing yang telah memberikan support sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini. Penulis menyadari akan segalah kesalahan dan kekurangan yang ada
dalam makalah ini baik dalam penulisan maupun dalam isi untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat menjadi pemicu untuk lebih giat lagi
dalam menambah ilmu pengetahuan sehingga makalah ini berguna untuk dipelajari.
Palembang, Oktober 2011 Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................

1.2 Tujuan

1.3 Rumusan masalah............................................................................................

1.4.Sistemik

BAB II PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN................................................................................

2.2 . PEMANTAUAN KONTRAKSI............................................................................

2.3 . ROBEKAN JALAN LAHIR........................................................

BAB III

KESIMPULAN

SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat persalinan merupakan saat-saat yang paling ditunggu-tunggu oleh para


ibu namun, ini juga merupakan saat yang paling meneganggangkan dimana pada
saat itu ibu harus berjuang hidup dan mati demi kelahiran sang bayi. Setiap ibu
yang melahirkan pasti menginginkan kelahiran yang normal, sehingga sang ibu bisa
seakan menjadi ibu yang seutuhnya. Pada saat persalinan ibu memiliki resiko
terjadinya perdarahan bisa akibat robekan jalan lahir (biasanya robekan
serviks/leher rahim), atau karena kontraksi rahim kurang baik (atonia uteri). Jika ibu
mengalami perdarahan pasca bersalin sebaiknya ibu harus di beri penanganan
khusus apalagi jika perdarahan tersebut terjadi begitu banyak karena ini bisa
mengakibatkan kematian ibu. Penanganan setiap keadaan (robekan jalan lahir atau
atonia uteri), memerlukan pengelolaan yang berlainan. Apabila ternyata perdarahan
yang terjadi bukan akibat robekan jalan lahir, maka harus diperiksa kembali
plasentanya apakah sudah lahir atau belum. Perdarahan pada kala III (kala uri)
sebelum atau sesudah lahirnya plasenta, merupakan penyebab utama kematian ibu
bersalin. Salah satu upaya mengatasi perdarahan pasca persalinan ini adalah
dengan obat. Namun bila perdarahan terjadi sebelum plasenta lahir (Retensia
plasenta), bidan harus segera minta pertolongan dokter rumah sakit terdekat.
Untuk mengurangi adanya luka yang tidak bagus pasca persalinan biasanya bidan
akan melakukan episiotomi, tujuan melakukan episiotomy ini adalah untuk
memperlebar jalan lahir sehingga mempermudah persalinan pervaginam. Namun
episiotomi tidak boleh dilakukan rutin tapi hanya pada ibu dengan indikasi tertentu
saja yang boleh dilakukan tindakan episiotomi.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Asuhan Kebidanan II (Persalinan)
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tentang pemantauan kontraksi pada ibu bersalin

b. Untuk mengetahui berbagai macam tentang robekan jalan lahir pada ibu
bersalin dan penanganannya.

c. Untuk mengetahui macam-macam kebutuhan dasar ibu pada kal III

C. Sistematika Penulisan

Sistematika dari makalah ini terdiri dari, BAB I PENDAHULUAN yang berisikan
latar belakang dan tujuan penulisan. Kemudian BAB II PEMBAHASAN yang terdiri
dari pengertian kala III persalinan, pemantauan kontraksi, robekan jalan lahir
(perineum, tanda vital, dan hygiene) serta kebutuhan dasar ibu pada kala III.
Selanjutnya yang diakhiri dengan BAB III PENUTUP yang terdiri dari simpulan dan
saran.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

Persalinan kala III merupakan fase pengeluaran plasenta, fase ini dimulai
pada saat bayi telah lahir lengkap dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Kelahiran
plasenta merupakan lepasnya plasenta dari insersi pada dinding uterus, serta
pengeluaran plasenta dari kavum uteri. Lepasnya plasenta dari insersinya bisa
terjadi dari sentral (schultze) ditandai dengan perdarahan baru, atau dari tepi /
marginal (matthews-duncan) jika tidak disertai perdarahan, atau mungkin juga
serempak sentral dan marginal. Pelepasan plasenta terjadi karena perlekatan
plasenta di dinding uterus adalah bersifat adhesi, sehingga pada saat kontraksi
mudah lepas dan berdarah. Pada keadaan normal, kontraksi uterus bertambah
keras, fundus setinggi sekitar / di atas pusat. Plasenta lepas spontan 5-15 menit
setelah bayi lahir.

B. PEMANTAUAN KONTRAKSI

Kala tiga persalinan terdiri dari dua fase berurutan yaitu pelepasan plasenta
dan pengeluaran plasenta. Pelepasan dan pengeluaran terjadi karena kontraksi,
yang mulai terjadi lagi setelah terhenti singkat setelah kelahiran bayi. Kontraksi
kurang lebih setiap 2 sampai 2,5 menit selama kala dua persalinan. Setelah
kelahiran bayi, kontraksi berikutnya mungkin tidak terjadi selama 3 sampai 5 menit.
Kontraksi kemudian berlanjut setiap 4 sampai 5

menit sampai plasenta telah lepas dan keluar. Setelah itu, uterus kosong
berkontraksi dengan sendirinya dan tetap berkontraksi jika tonus otot baik. Apabila
tonus otot tidak baik, seorang wanita akan mengalami peningkatan aliran lokia dan
kontraksi uterus berulang sewaktu uterus relaksasi. Hal ini menyebabkan nyeri
setelah melahirkan. Pelepasan plasenta Langkah pertama dalam mengelola kala
tiga adalah mengevaluasi kemajuan persalinan dan kondisi ibu. Satu tangan
ditempatkan di abdomen ibu untuk merasakan adanya kontraksi ini bisa dilakukan
tanpa masase. Dalam hal ini tanda-tanda plasenta lepas antara lain tali pusat
bertambah panjang dan adanya semburan darah tiba-tiba. Pelepasan plasenta ini
terjadi mulai 10-15 menit setelah

kelahiran bayi. Pengeluaran plasenta Pada saat proses pengeluaran plasenta


gunakan satu tangan untuk memegang abdomen ibu untuk meyakinkan kontraksi
baik. pada saat yang sama tangan yang lain menarik tali pusat. Perlu diperhatikan
jika kontraksi lemah jangan melakukan penarikan karena dapat mengakibatkan
inversion uteri. Pengeluaran plasenta maximal terjadi 30 menit.

C. ROBEKAN JALAN LAHIR

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah bervariasi


banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu
sumber dan jumlah perdaraha sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat
berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus ( rupture uteri).
Perdarahan bisa berbentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan
bersifat arterial atau pecahnya pembuluh darah vena. Jenis perlukaan ringan
berupa lecet, yang berat berupa robekan jalan lahir. Untuk dapat menetapkan
sumber perdarahandapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan

pemeriksaan speculum. Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia


uteri dan robekan jalan lahir adalah:

1. Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).

a. Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih


tinggi.

b. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.

c. Bila kontraksi lembek setelah masase atau pemberian uterotonika,


kontraksi tidak atau lambat menjadi keras.

2. Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).

a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-


menerus. Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.

c. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung


mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Robekan jalan lahir dan
perineum dapat terjadi antara lain :
D. Vagina Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :

1) Melahirkan janin dengan cnam.

2) Ekstraksi bokong

3) Ekstraksi vakum

4) Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto


posterior.

5) Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis)


bentuk robekan vagina bisa memanjang atau
melintang.Komplikasi robekan vagina antara lain :

1) Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial
terjadi perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam,
lebih-lebih jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan
yang hebat.

2) Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi infiksi
bahkan dapat timbul septikami.

Perlukaan pada dinding depan vagina sering kali terjadi terjadi di


sekitar orifisium urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris
dapat menimbulkan perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut
tidak dapat diatasi hanya dengan jahitan, tetapi diperlukan penjepitan
dengan cunam selama beberapa hari. Robekan pada vagina dapat bersifat
luka tersendiri, atau merupakan lanjutan robekan perineum. Robekan vagina
sepertiga bagian atas umumnya merupakan lanjutan robekan serviks uteri.
Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang
berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Baik kepala maupun
bahu janin dapat menimbulkan robekan pada dinding vagina. Kadang-kadang
robekan terjadi akibat ekstrasi dengan forceps. Bila terjadi perlukaan pada
dindin vagina , akan timbul perdarahan segera setelah jalan lahir. Diagnose
ditegakan dengan mengadakan pemeriksaan langsung. Untuk dapat menilai
keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan pemeriksaan dengan
speculum. Perdarahan pada keadaan ini umumnya adalah perdarahan arterial
sehingga perlu dijahait. Penjahitan secara simpul dengan benang catgut
kromik no.0 atau 00, dimulai dari ujung luka sampai luka terjahit rapi. Pada
luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penangan khusus pada
luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara terputus-
putus atau jelujur. Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan
robekan pada vulva maupun perinium. Jika robekan mengenai puncak vagina,
robekan ini dapat melebar ke arah rongga panggul, sehingga kauum dougias
menjadi terbuka. Keadaan ini disebut kolporelasis. Kolporeksis adalah suatu
keadaan dimana menjadi robekan pada vagina bagian atas, sehingga
sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini
dapat memanjang dan melintang.

b. Perlukaan Vulva

Perlukaan vulva terdiri atas 2 jenis yaitu

1) Robekan Vulva Perlukaan vulva sering dijumpai pada waktu persalinan. Jika
diperiksa dengan cermat, akan sering terlihat robekan. Robekan keci; pada
labium minus, vestibulum atau bagianbelakang vulva. Jika robekan atau lecet
hanya kecil dan tidak menimbulkan perdarahan banyak, tidak perlu dilakkan
tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robekan terjadi pada pembuluh darah,
lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, perlu
dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan luka robekan. Luka-luka
robekan diahit dengan catgut secara terputus-putus ataupun secara jelujur.
Jika luka robekan terdapat disekitar orifisium uretra atau diduga mengenai
vesika urinaria, sebaiknya sebelum dilakukan penjahitan, dipasang dulu
kateter tetap.

2) Hematoma Vulva Terjadinya robekan vulva disebabkan oleh karena


robeknya, pembuluh darah terutama vena yang terikat di bawah kulit alat
kelamin luar dan selaput lendir vagna. Hal ini dapat terjadi pada kala
pengeluaran, atau setelah penjahitan luka robekan yang senbrono atau
pecahnya vasises yang terdapat di dinding vagina dan vuluz. Sering terjadi
bahwa penjahitan luka episiotomi yang tidak sempurna atau robekan pada
dinding vagina yang tidak dikenali merupakan sebab terjadinya hematome.
Tersebut apakah ada sumber perdarahan. Jika ada, dilakukan penghentian
perdarahan. Perdarahan tersebut dengan mengikat pembuluh darah vena
atau arteri yang terputus. Kemudian rongga tersebut diisi dengan kasa streil
sampai padat dengan meninggalkan ujung kasa tersebut di luar. Kemudian
luka sayatan dijahit dengan jahitan terputus-putus atau jahitan jelujur. Dalam
beberapa hal setelah summer perdarahan ditutup, dapat pula dipakai drain

c. Serviks Uteri Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah


mengalami perlukaan saat persalinan karena perlukaan itu portio vaginalis
uteri pda seorang multipara terbagi menjadi bibir depan dan belakang.
Robekan serviks dapat menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh
ke lateral sebab di temapat terdapat ramus desenden dari arateria uterina.
Perlukaan ini dapat terjadi pada persalinan normal tapi lebih sering terjadi
pada persalinan dengan tindakan tindakan pada pembukaan persalinan
belum lengkap. Selain itu penyebab lain robekan serviks adalan persalinan
presipitatus. Pada partus ini kontraksi rahim kuat dan sering didorong keluar
dan pembukaan belum lengkap. Diagnose perlukaan serviks dilakukan
dengan speculum bibir servika dapat di jepit dengan cunam atromatik.
Kemudian diperiksa secara cermat sifat- sifat robekan tersebut. Bila
ditemukan robekan serviks yang memanjang, maka lukaa dijahit dari ujung
yang paling atas, terus ke bawah. Pda perlukaan serviks yang berbentuk
melingkar, diperiksadahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas
atau tidak. Jika belum lepas, bagian yang belum lepas itu dipotong dari
serviks, jika yang lepas hanya sebagian kecil saja itu dijahit lagi pada serviks.
Perlukaan dirawat untuk menghentikan perdarahan.

d. Korpus uteri Perlukaan yang paling berat pada waktu persalianan ialah
robekan uterus. Robekan ini dapat terjadi pada waktu kehamilan atau pada
waktu persalianan, namun yang aling seting terjadi ialah robekan ketika
persalinan. Mekanisme terjadinya robekan uterus bernacam- macam. Ada
yang terjadi secara spontan, dan ada pula yang terjadi akibat ruda paksa.
Lokasi robekan dapat korpus uteri atau sgmen bawah uterus. Robekan bias
terjadi pada tempat yang lemah pada dinding uterus misalnya pada parut
bekas operasi seksio sesarea atau bekas miomektomi. Robekan bisa pula
terjadi tanpa ada parut bekas operasi, apabila

segman bawah uterus sangat tipis dan regang karena janin megalami
kesulitan untuk melalui jalan lahir. Robekan uterus akibat ruda paksa
umumnya terjadi pada persalinana buatan , misalnya pada estrasi dengan
cunam atau pada versi dan ekstrasi. Dorongan Kristeller bila tidak dikerjakan
sebagaimana mestinya dapat menimbulkan robekan uterus. Secara anatomi
robekan uterus dapat dibagi dalam dua jenis yaitu:

Robekan inkomplet, yakni robekan yang mengenai endometrium dan


miometrium tetapi perimetrium masih utuh.

Robekan komplet, yakni robekan yang mengenai endometrium, miometrium


dan perimetrium sehingga terdapat hubungan langsung antara kavum uteri
dan rongga perut. Robekan uterus komplet yang terjadi ketika persalianan
berlangsung menyebabakan gejala yang khas yaitu nyeri perut mendadak,
anemia, syok dan hilangnya kontraksi. Pada keadaan ini detak jantung janin
tidak terdengar lagi, serta bagian- bagian janin dengan mudah dapat teraba
dibawah dinding perut ibu.

e. Uterus Ruptura uteri disebabkan oleh his yang kuat dan terus menerus,
rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah
atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepar, cincin van bandi
meninggi. Setelah terjadi ruptura uteri dijumpai gejala- gejala syok,
perdarahan (bisa keluar melalui vagina atau pun ke dalam rongga perut),
pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah
turun. Pada palpasi sering bagian-bagian janin dapat diraba langsung dbawah
dinding perut, ada nyeri tekan,dan di perut bagian bawah teraba uterus kira-
kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal. Jika kejadian
ruptura uteri lebih lama terjadi, akan timbul gejala-gejala metwarisme dan
defenci muscular sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin. Ruptur
uteri dibedakan menjadi dua yaitu,

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Persalinan kala III merupakan fase pengeluaran plasenta, fase ini


dimulai pada saat bayi telah lahir lengkap dan berakhir dengan lahirnya
plasenta. Setelah bayi lahir rahim istirahat sekitar 8 sampai 10 menit
kemudian berkontraksi kembali untuk melepaskan plasenta dari insersinya, di
lapisan Nitabusch. Pelepasan plasenta dapat mulai dari pinggir atau dari
sentral dan terdorong ke bagian bawah rahim. Untuk melahirkan plasenta di
perlukan dorongan ringan secara Crede. Pada saat persalianan sering terjadi
perdarahan yang dapat berasal dari laserasi perineum, vagina, serviks, dan
robekan uterus ( rupture uteri). Sebaiknya setelah ibu melahirkan bidan harus
segera memperhatikan tanda-tanda infeksi, pre eklamsia dan perdarahan
yang mungkin terjadi ( bisa mengarah pada syok). Untuk mengantisipasi itu
bidan harus segera memeriksa tekanan darah ibu dan denyut nadi setiap 30
menit serta memeriksa suhu tubuh setiap 4 jam. Asuhan yang dapat
dilakukan pada ibu pada kala III misalnya memberikan kesempatan kepada
ibu untuk memeluk bayinya dan menyusui segera, pencegahan infeksi pada
kala III dan memberikan motivasi dan pendampingan selama kala III.

B. SARAN

1) Sebaiknya bidan selalu memperhatikan kebersihan diri dan alat-alat yang


digunakan

dalam menolong persalinan untuk mencegah infeksi.

2) Bidan sebaiknya selalu memantau kontraksi ibu selama kala III.

3) Sebaiknya bidan selalu waspada terjadinya perdarahan abnormal yang


berlebihan setelah kelahiran bayi, segera lakukan rujukan ke tempat
pelayanan kesehatan terdekat jika terjadi perdarahan abnormal.

DAFTAR PUSTAKA

Klien, Susan. 2008. Panduan Lengkap Kebidanan.

Yogjakarta : Palmall
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan,

Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk

Pendidikan Bidan. Jakarta : IGC

Prawihardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta :

Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai