Anda di halaman 1dari 4

Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya

dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan
perspektif gender itu sendiri. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di
negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi
persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi
yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan
mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah
bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata
memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini.
Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan
stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-
laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan
perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk
memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan
memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga
kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan
terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan
semakin maju.
Demokratisasi yang tengah berlangsung pasca reformasi diharapkan dapat mewujudkan suatu
kehidupan yang lebih setara dengan menghargai perbedaan sebagai keniscayaan. Demokratisasi
tidak akan berjalan dengan baik apabila prasangka dan stereotipe terhadap kategori sosial seperti
ras, etnis, agama dan gender masih menjadi cara pandang politik. Seperti ditegaskan oleh
Sudarsono (2000) bahwa penguatan masyarakat sipil merupakan prasyarat berlangsungnya
demokratisi. Masyarakat sipil dapat ditegakkan apabila relasi sosial dapat berjalan secara egaliter
dan bertanggung jawab. Relasi semacam ini hanya dapat berlangsung ketika setiap elemen
menempati posisi yang setara dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan manfaat yang
adil dari lingkungannya termasuk politik, ekonomi, sosial budaya.

Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi, kalau tidak menghilangkan sama
sekali, ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut
dialakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal,
nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk:
1. Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi Hak-hak dasar seperti sosial, hukum, politik dan
ekonomi sangat menentukan akses laki-laki dan perempuan terhadap berbagai kesempatan,
sumber daya dan skill serta dapat menguatkan partisipasi produktif keduanya dalam masyarakat
(Bank Dunia, 2000: 17). Pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak dasar ini dapat menurunkan
kemampuan keduanya untuk bertahan dan mancapai kualitas hidup. Selanjutnya, kesetaraan
terhadap hak-hak dasar memungkinkan setiap individu dapat mendapatkan manfaat dari peluang-
peluang yang ditawarkan oleh pembangunan dan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi, politik dan sosial budaya.
Hak-hak dasar ini seringkali tidak dapat diperoleh secara setara karena disebabkan oleh berbagai
tradisi yang tidak lagi sejalan dengan keharusan zaman. Interpretasi agama yang menjadi dasar
pembaharuan hukum, misalnya, justru membelenggu perempuan ketimbang melindunginya.
Pembaharuan peraturan yang dijalankan oleh berbagai daerah dalam rangka desentralisasi telah
banyak membatasi ruang gerak perempuan secara wajar dan leluasa. Peraturan penggunaan
jilbab di ruang publik dan larangan keluar rumah tanpa disertai `mahram' seperti yang digagas
oleh perancang Syari'ah Islam lebih banyak merugikan perempuan daripada melindunginya.
Banyak perempuan yang justru mengalami kekerasan seperti penarikan rambut, pemukulan
setelah sosialisasi penerapan Syari'ah Islam digulirkan.

Untuk itu, perlu dilakukan reinterpretasi yang dapat memungkinkan reaktualisasi ajaran Islam
sebagai `rahmatan lil alamin'. Sesungguhnya, studi-studi Islam yang dikembangkan, baik klasik
dan kontemporer menyediakan perangkat metodologis untuk melakukan pembaharuan. Namun,
sebagaimana, disinyalir oleh Mernissi (1992) menegaskan bahwa konservatisisme sendiri bukan
karena mempertahankan Islam namun mempertahankan otoritas. "Mengajarkan toleransi dan
kebebasan berfikir, humanisme (sekuler) merupakan serangan, bukan terhadap Tuhan tetapi
terhadap jabatan, posisi...... (Mernissi, 1992: 55). Maryam Rajawi (2000) mengingatkan bahwa
awal dari suatu regim teokrasi seperti Iran dan Afganistan akan dimulai bagaimana
mengendalikan perempuan dan menajdikannya sebagai simbol tegaknya negara Islam dan
sekaligus menutupi segala bentuk tirani yang dilakukan atas nama Islam. Mengendalikan
perempuan hanyalah awal dari upaya represif mengendalikan seluruh elemen sosial dan, ini
merupakan isyarat bagi `matinya demokrasi'.

2. Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender Selain melakukan
rekonstruksi nilai. budaya melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama dominan, langkah lebih
konkrit perlu dilakukan pada tataran kebijakan. Pengarusutamaan gender (gender
meanstreaming) kini tengah digalakkan untuk mempersempit kesenjangan gender pada akses
sumber daya produktif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan `afrmative action' pada tingkat
pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong meningkatnya partisipasi perempuan dalam
pendidikan dan ekonomi. Menurut catatan dari Bank Dunia (2000) ada korelasi positif antara
peningkatan jenjang pendidikan dengan peningktan kesehatan keluarga. Sedangkan penguatan
ekonomi perempuan dapat meningkatkan kesadaran perempuan terhadap kesehatan
reproduksinya.

Affirmative Action diarahkan untuk memberikan dukungan publik terhadap perempuan, yang
karena peran tradisionalnya, menghadapi kendala untuk memperoleh manfaat dari kemajuan.
Penyediaan kebutuhan praktis gender perempuan seperti prasarana hernat waktu, pelayanan
penitipan anak di tempat kerja, keleluasaan kerja pada saat perempuan harus melakukan peran
reproduksi seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui dapat secara signifikan
menguatkan posisi sosial ekonomi perempuan yang, juga, merupakan penguatan ketahanan
keluarga.

Pergeseran paradigma pembangunan dalam tubuh Bank Dunia dari ekonomi pertumbuhan dan
efisiensi menuju ekonomi yang berorintasi pada kesejahteraan manusia telah banyak
memberikan perbaika i terhadap kualitas hidup perempuan. Insentif-insentif terhadap peran-
peran kodrati dan tradisional yang sebelumnya dianggap ineffisien ini menjadi bagian dari
bentuk menguatan perempuan.

3. Peningkatan Partisipasi Politik


Upaya-upaya di atas tidak akan secara maksimal dapat dicapai bilamana partisipasi aktif
perempuan belum maksimal. Partisipasi aktif dalam kancah politik menjadi prasyarat bagi
terjaminnya hak-hak perempuan secara asasi seperti hak mendapatkan tunjangan keluarga yang
memadai bagi perempuan, dan hak cuti reproduksi. Bahkan, di negara seperti Australia,
misalnya, kepedulian terhadap hak reproduksi perempuan telah menjadi bagian dari masyarakat
sehingga para bapak dan suami berdemonstrasi untuk dapat memperoleh hak cuti menjadi orang
tua (paternity leave) selama dua minggu menjelang dan sesudah istri melahirkan. Sementara itu,
mereka menuntut cuti melahirkan untuk istri selama 14 bulan (Bernas, 2002).

Keterwakilan perempuan dalam politik juga menjadi agenda publik pasca gerakan reformasi
untuk memenuhi rekomendasi Dewan Sosial dan Ekonomi (ECOSOC) bahwa negara anggota
PBB perlu memenuhi target minimum keterwakilan perempuan dalam posisi pengambilan
keputusan sebesar 30 persen. Bahkan Konferensi Dunia Beijing plus 5 di New York
mengusulkan keterwakilan 50 persen pada tahun 2005 (Masruchah, 2002).

Di Indonesia, proses pengarusutamaan gender yang dilaksanakan melalui Inpres No. 9 tahun
2000 terus ditindak-lanjuti melalui berbagai perda dan Surat Edaran Gubernur untuk
meningkatkan partisipasi politik dan sosial perempan. Di Yogyakarta, Surat Gubernur No.
411.4/0195 tahun 2002 menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan mulai dari penyusunan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan di DIY (Bernas, 2002). Berkait
dengan masalah partisipasi politik perempuan, Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) 2002 melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/2002 telah mengesahkan angka keterwakilan
perempuan di lembaga lembaga pengambil keputusan sebesar 30 persen. Masrurah (2002)
menambahkan bahwa pasal 46 UU no.39 tahun 1999 menetapkan bahwa sistem pemilihan
umum, kepartaian, pemilihan anggota legeslatif, sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan
yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.

Namun demikian, upaya-upaya untuk menjamin keterwakilan perempuan seringkali


menimbulkan polemik, baik dari kaum perempuan sendiri maupun laki-laki. Bahkan,
sebagaimana disinyalir Masrurah (2002), presiden Megawati sendiri sebagai figur politis
tertinggi bagi perempuan Indonesia mengatakan dalam Pidato Hari Ibu ke 73 tanggal 22
Desember 2001 bahwa kemajuan perempuan harus dilakukan secara wajar tanpa rekayasa. Kalau
yang dikatakan rekayasa adalah perlakuan khusus (affirmative action) maka pernyataan tersebut
merupakan langkah mundur. Sebab perlakuan khusus tersebut dimaksudkan untuk memberikan
keadilan kepada mereka yang mengalami ketertinggalan karena adanya sikap-sikap diskriminatif,
baik berbasis ras, etnis, agama dan gender untuk dapat mengejar ketinggalan tersebut. Hal
tersebut pernah dilakukan oleh Mahathir Muhammad yang melakukan afrmative action bagi
masyarakat Melayu dalam bidang ekonomi dan dalam kurun waktu tertentu. Affirmative action
ini tidak dimaksudkan untuk memberikan keistimewaan abadi bagi perempuan tetapi bersifat
sementara sampai kesenjangan sosial tersebut teratasi.

Meski sistem kuota telah ditetapkan namun banyak pihak meragukan keberhasilannya, karena
adanya berbagai faktor. Menurut Maridjan (2002), kuota tersebut sulit dipenuhi apabila Pemilu
masih menggunakan sistem proporsional. Oleh sebab itu, agenda penguatan politik perempuan
juga harus diarahkan pada adanya perubahan perundangan. Tanpa itu, sistem kuota tersebut tidak
akan berhasil meningkatkan partisipasi perempuan. Maridjan dan Priyatmoko (2002) menilai
bahwa kuota perempuan di parlemen bukan merupakan hal yang substansial, sebab perempuan
yang menduduki jabatan strategis, seperti presiden tidak secara otomatis memiliki perspektif
feminist dan sensitif dengan isu-isu perempuan. Menurut mereka, kuota bukan hal yang penting
tetapi bagaimana kepentingan perempuan terwakili dalam pengambilan keputusan.

Kalangan feminist memandang kuota menjadi penting karena dapat memberikan suatu justifikasi
politis dan mendorong proses peningkatan kapabilitas (Nussbaum, 1999: 101). Oleh sebab itu,
kuota harus diperjuangkan pada tingkat normatif melalui berbagai mekanisme kenegaraan seperti
undang-undang dan sejenisnya. Pada saat yang sama, pemberdayaan (empowerment) perempuan
terhadap isu-isu strategis dan praktis perempuan harus mengiringi proses pemenuhan kuota
tersebut. Kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok marginal yang berbasis pada perbedaan
ras, etnis, agama, klas seringkali terabaikan manakala mereka tidak secara fisik terwakili dalam
pengambilan keputusan, demikian juga kepentingan perempuan.

Anda mungkin juga menyukai