Anda di halaman 1dari 489

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN… 1
A. Pengertian Filsafat… 1
B. Munculnya Filsafat… 4
1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah… 7
2. Filsafat dalam Periode Klasik… 8
a. Yunani Periode
Sebelum Socrates (600-400 SM)… 9
b. Yunani Periode
Trio Filosof Legendaris… 11
c. Yunani Periode
Setelah Trio Filosof Legendaris… 13
3. Filsafat dalam Periode Pertengahan… 14
4. Filsafat dalam Periode Modern… 16
5. Filsafat dalam Periode Kontemporer… 20

BAB II FILSAFAT SEBAGAI ILMU


PENGETAHUAN... 22
A. Filsafat Sebagai Pandangan Hidup... 22
B. Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan... 28
C. Perbedaan Filsafat dengan Agama... 35

BAB III CIRI-CIRI FILSAFAT… 48


A. Filsafat India… 48
1. Zaman Weda… 53
2. Zaman Skeptisisme… 54
3. Zaman Puranis… 54
4. Zaman Muslim… 54
5. Zaman Modern… 55
B. Filsafat China… 56
1. Konfusius… 56

i
2. Taoisme… 58
3. Mencius dan Xunzi… 58
4. Mohisme… 59
5. Daoisme… 60
6. Neo Konfusianisme… 60
C. Filsafat Islam… 65
1. Al-Kindi… 74
2. Al-Ghazali… 75
D. Filsafat Barat… 77

BAB IV SISTEMATIKA FILSAFAT… 85


A. Epistemologi… 85
B. Ontologi… 101
C. Aksiologi… 120

BAB V FILSAFAT YUNANI… 128


A. Filsafat Yunani pada masa Pra-Socrates… 128
1. Thales… 129
2. Anaximandros… 131
3. Anaximenes… 131
4. Pythagoras… 133
5. Heraclitos… 133
B. Sophis… 134
1. Protagoras…138
2. Georgias… 143
3. Hippias… 144
4. Prodikos… 145
C. Socrates… 147

BAB VI FILSAFAT PATHRISTIK DAN


SCHOLASTIK… 159
A. Filsafat Kristen… 159

ii
1. Patristik Timur… 163
2. Patristik Barat… 168
B. Filsafat Hindu… 173
1. Adwaita Wedanta… 183
2. Wishistadwaita… 184
3. Dwaita… 185

BAB VII FILSAFAT ISLAM… 187


A. Filsafat Islam di Dunia Timur… 187
1. Al-Kindi… 192
2. Al-Farabi… 195
3. Ibnu Maskawaih… 203
4. Ibnu Sina… 208
5. Al-Ghazali… 214
B. Filsafat Islam di Dunia Barat… 225
1. Ibnu Rusyd… 238
2. Ibnu Bajjah… 256
3. Ibnu Tufail… 268

BAB VIII LATAR BELAKANG


FILSAFAT MODERN… 281
A. Renaissance… 281
B. Aufklarung… 295

BAB IX RASIONALISME, EMPIRISME DAN


KRITISISME… 307
A. Rasionalisme… 307
1. Rene Descartes… 309
2. Gootfried Eihelm von Leibniz... 314
3. Blaise Pascal... 315
4. Spinoza... 316
B. Empirisme… 317

iii
1. Francis Bacon... 320
2. Thomas Hobbes... 321
3. John Locke... 321
4. David Hume...323
5. Herbert Spencer... 324
C. Kritisisme… 325
1. Kritik terhadap Rasionalisme… 329
2. Kritik terhadap Empirisme… 334
3. Kombinasi antara rasionalisme
dan empirisme… 335

BAB X POSITIVISME, IDEALISME… 336


A. Positivisme… 336
B. Idealisme… 346
1. Jenis Aliran Idealisme... 354
a. Idealisme Subjektif… 354
b. Idealisme Objektif… 357
2. Tokoh-tokoh Aliran Idealisme... 360
1. J.G. Fichte… 360
2. F.W.J. Shelling… 367
3. G.W.F Hegel… 376

BAB XI FENOMENOLOGI... 386


A. Fenomenologi… 386

BAB XII MATERIALISME… 402


A. Pengertian materialism… 402
B. Pendapat-pendapat yang Ada Pada Paham
Materialisme… 404
C. Aliran-aliran dalam Materialisme… 405
1. Aliran Materialisme Mekanik… 405
2. Aliran Materialisme Metafisik… 408

iv
3. Aliran Materialisme Dialektis… 410
D. Tokoh-Tokoh Aliran Materialisme… 411
1. Ludwig Feuerbach… 411
2. Karl Marx… 416

BAB XIII PRAGMATISME… 426


A. Kemunculan dan Perkembangan
Pragmatisme…426
B. Tokoh Pragmatisme… 436
1. Charles Sandre Peirce… 436
2. William James… 437
3. John Dewey… 440
C. Kritik atas Praggmatisme… 457
1. Kekuatan Pragmatisme… 457
2. Kelemahan Pragmatisme… 459

DAFTAR PUSTAKA… 464

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat sendiri banyak sekali yang mem-
berikannya, dari pengertian tersebut antara yang
satu dengan yang lain berbeda-beda, akan tetapi
tidak berlawanan hanya saling melengkapi. Namun,
pengertian filsafat secara bahasa adalah berasal
gabungan antara bahasa Arab falsafah dan bahasa
Inggris philoshopy, yang mana kedua bahasa tersebut
berasal dari bahasa Yunani philoshopia yang berarti
philos: cinta dan shopia: bijaksana, pengetahuan,
hikmah (wisdom).1 Jadi bila digabungkan artinya
adalah cinta kepada kebijaksanaan atau kepada
kebenaran. Sedangkan dalam pengertian praktisnya
filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir.
Berfilsafat artinya berpikir.2
Sedangkan dalam pengertian praktisnya
filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir.
Berfilsafat artinya berpikir, Namun tidak semua
kegiatan berpikir disebut filsafat, hanya berpikir
secara mendalam dan sungguh-sunguh serta secara
radikal sampai ke akar-akarnya dan sistematis saja
yang disebut berfilsafat.3

1
A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung; Pustaka Setia, 2009), 7.
2
Namun tidak semua kegiatan berpikir disebut filsafat, hanya berpikir
secara mendalam dan sungguh-sunguh serta secara radikal sampai ke
akar-akarnya dan sistematis saja yang disebut berfilsafat. Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia. 2009),
12.
3
Ibid., 13.

1
Istilah filsafat secara terminologi (dilihat dari
konteks penggunaannya) memiliki beberapa arti.
Pertama, filsafat berarti pandangan hidup, yakni
suatu cara pandang seseorang tentang kehidupan
yang didasarkan pada suatu prinsip atau nilai
tertentu yang diyakini kebenarannya. Filsafat,
dalam hal ini bersifat praktis.4
Kedua, filsafat berarti metode atau cara
berfikir. Cara berfikir filsafati bersifat khas, berbeda
dengan cara berfikir orang awam atau berbeda
dengan cara berfikir para spesialis.
Kekhasan berfikir filsafati ditandai dengan
penekanan pada tiga hal, yaitu; radikalitas, kompre-
hensivitas dan integralitas. Radikalitas berfikir filsafat
ditandai dengan kemampuan berfikir secara men-
dalam, dalam rangka menemukan hakikat suatu
persoalan.5
Komperehensivitas berfikir filsafati adalah
kemampuan dan kemauan memikirkan segala
aspek yang terkait dengan suatu persoalan, karena
sesungguhnya setiap persoalan tidak berdiri sendiri
sebagai satu variabel saja, tetapi selalu terkait
dengan banyak variabel.
Sedangkan, integralitas berfikir filsafat adalah
kemampuan mensistematisasi berbagai variabel dari
suatu persoalan sebagai suatu keutuhan. Filsafat

4
yakni merupakan praktek kehidupan, yang semua orang melakukannya.
M.M. Syarif, Para Filosuf Muslim (Bandung; Mizan. 1991), 236.
5
Berfikir radikal dapat dilakukan apabila minimal beberapa syarat berikut
dipenuhi, yakni; adanya sikap yang bebas, kritis, argumentatif, wawasan
yang luas dan terbuka. Betrand Russel, The Problems of Philoshopy,
Terj. Ahmad Asnawi (Yogyakarta; Ikon teralitera, 2002), 39.

2
dalam arti metode berfikir maka bersifat teoritis,
dari metode berfikir yang demikian kemudian
melahirkan ilmu yang disebut dengan ilmu filsafat. 6
Bila dalam tradisi pemikiran Barat filsafat diartikan
sebagai cinta kebenaran, maka dalam alam pikiran Jawa
filsafat berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksanan
atau kearifan, wisdom. Pemikiran Barat lebih menekankan
hasil renungan dengan rasio atau cipta-akal pikir-nalar.
Sedangkan dalam kebudayaan Jawa, kesempurnaan
berarti mengerti tentang awal dan akhir hidup atau wikan
sangkan paran.7 Seorang filsuf berarti seorang pecinta
kebijaksanaan, berarti orang tersebut telah mencapai
status adimanusiawi atau wicaksana. Orang yang wicaksana
disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskitha ngerti
sadurunge winarah atau jalma limpat seprapat tamat.8
Banyak sekali definisi yang diberikan oleh
para filosuf-filosuf pada filsafat di antaranya adalah
sebagai berikut:
Plato (tahun 427 SM-347 SM), menurutnya filsafat
adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
sesungguhnya).
Aristoteles (tahun 382 SM-322 SM), mendefinisakn
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan

6
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,
1978), 30-33.
7
Purwadi, Filsafat Jawa Dan Kearifan Lokal ( Yogyakarta; Panji
Pustaka, 2007), 10.
8
Purwadi dan Djoko Dwinyanto, Filsafat Jawa; Ajaran Hidup Yang
Berdasarkan Nilai Tradisiomal (Yogyakarta; Panji Pustaka, 2009), 3.

3
estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala
benda).
Al-Farabi (wafat 950 M), mengatakan filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Immanuel Kant (1724 -1804), mempunyai pendapat
juga bahwa filsafat adalah itu ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencangkup di dalamnya ada
empat persoalan, yaitu: apa yang dapat kita ketahui?
(dijawab metafisika), apa yang boleh kita kerjakan?
(dijawab etika), apa yang bisa kita harapkan? (dijawab
oleh agama), apa manusia itu? (dijawab antropologi).9
Dari beberapa definisi yang diajukan oleh
para filosuf di atas dapat dilihat bahwa filsafat dari
masa kemasa memiliki pengertian atau definisi yang
berubah-ubah sesuai dengan konteks zamannya,
akan tetapi yang tidak berubah hanyalah bahwa
filsafat merupakan sebuah kegiatan berfikir kritis
sesuai dengan konteks zamannya.

B. Munculnya Filsafat
Awalnya filsafat diartikan sebagai “cinta
terhadap kebijaksanaan” (love wisdom) atau men-
cintai kebijaksanaan (love for wisdom). Pada masa ini
filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha men-
jadi orang yang bijaksana atau sifat orang yang
ingin atau mencintai pada kebijaksanaan. Pada
tahapan ini pula filsafat juga berarti sebagai kerja
seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak.
Jadi, yang pertama filsafat menjadi sifat, dan yang
kedua filsafat menjadi kerja.
9
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya,
2009), 10-11.

4
Dari masa-masa filsafat diartikan sebagai
cinta kebijaksanaan ini, khususnya pada zaman
Ariestoteles hidup, pengertian filsafat masih sangat
umum. Pada waktu itu, segala usaha dalam mencari
kebenaran dinamakan filsafat, begitu pula hasil
usaha tersebut, dapat dikatakan luas sekali karena
semua pengetahuan, termasuk special science, ter-
cakup dalam filsafat.10
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan
bahwa pengertian filsafat mulai menyempit, yaitu
lebih menekankan pada latihan berpikir untuk
memenuhi kesenangan intelektual. Definisi dari
Bertrand Rusell bahwa philoshophy is the attempt to
answer ultimate question critically. Pada fase ini jelas
pengertian filsafat jauh lebih sempit dari pada
pengertian filsafat pada masa Aristoteles tadi. Tugas
filsafat pada masa ini, menurut definisi Rusell
tersebut, adalah menjawab pertanyaan yang tinggi,
yaitu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
sains.
Definisi dari William James berbeda dari
definisi Rusell. James menyatakan bahwa filsafat
ialah kumpulan pertayaan yang belum pernah ter-
jawab secara memuaskan.
Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat
mestinya mencakup seluruh pikiran semua filosof
yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jika meng-
ikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan
yang akan dihasilkan membutuhkan banyak waktu

10
Akibatnya definisi dari Ariestoteles tidak dapat dipahami oleh para
pelajar, karena ia memisahkan special science dari pengertian filsafat.

5
dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuan jilid
buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki
penulisan sejarah filsafat ideal adalah Copleston. 11
Dalam bagian ini, hanya akan mencoba
memahami sejarah filsafat dengan cara yang sangat
sederhana dan serba ringkas, karena yang penting
setidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara
sekilas dengan karakter dasar berfilsafatnya. Salah
satu cara melakukan penyederhanaan pemahaman
tentang sejarah filsafat adalah melalui pendekatan
periodisasi sejarah filsafat.
Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi
sejarah filsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri
fundamental pemikiran filosofis yang sama dilaku-
kan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu,
dan dikurun waktu berikutnya bisa ditemukan
tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiran
filsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas
kritisnya terhadap kurun sebelumnya, demikian
seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang
menunjukkan kesamaan atau setidaknya kecen-
derungan berfilsafat yang sama diberi nama-nama
yang membedakan periode pertama dengan periode
berikutnya.
Sejarah filsafat dengan penggunaan pendeka-
tan periodisasi sejarah ini banyak dilakukan para
penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat dibagi ke
dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertenga-
han, dan modern. Munitz menyebut ada empat
11
Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dari awal sejak filsafat
pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yang berjumlah
beberapa jilid.

6
periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik
(ancient period), periode pertengahan (medieval
period), periode modern (modern period), dan periode
kontemporer (contemporary period).
Tulisan dalam buku ini akan menggunakan
periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan
satu periode lagi, yaitu periode sebelum periode
klasik, yang disebut di sini periode pra-sejarah.
Periode ini untuk membari pengakuan adanya
eksistensi aktivitas berfilsafat yang tak pernah
sampai kepada kita karena tidak ada peninggalan
tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan
periode berfilsafat sebelum masa Yunani.12
1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah
Yang sampai pada kita tentang informasi
historis mengenai filsafat dalam periode paling
awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika
Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab
misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara
rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh
Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia.
Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran
mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan
pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak
pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat,
namun cara-cara berpikir mereka yang baru
dalam mengerti dunia yang berbeda dengan cara-
cara orang yang hanya mengerti dunia dengan
mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang

12
Yang biasa disebut sebagai periode klasik. Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 21-26.

7
setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang
disebut filsafat.
Boleh jadi orang yang berpikir seperti cara
berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa
ditemukan jauh sebelum Thales dan kawannya.
Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk menge-
nali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh
sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi
dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi
mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka
perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah
filsafat pra-sejarah.
2. Filsafat dalam Periode Klasik
Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya
banyak disebutkan dimulai dari filosof pra-
Socrates.13 Dari filosof pra-Socrates, kemudian
diikuti filosof Yunani legendaris, seperti Socrates,
Plato, Aristoteles.
Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat
diakhiri dengan serentetan filsafat-filsafat mulai
dari Neoplaonisme, Epicureanisme, Skeptisisme,
Stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal
dari pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode
klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering
dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi
dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I
dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode
Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain

13
seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides,
Heraclitus, Pythagoras, dan Democritos.

8
sebagainya. Tulisan dalam buku ini lebih suka
menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates,
Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, serta
Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400
SM)
Zaman Yunani pra-Socrates, merupakan
masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang
membedakan diri dari kondisi pada saat itu
yang didominasi oleh pemikiran mitologis.
ara filosof cenderung menawarkan pemikiran
rasional yang penuh dengan argumen logis
yang sebelumnya menganggap bahwa alam
tercipta karena adanya dewa Apollo, atau
dewa-dewa yang ada di planet lain. Selain
terkenal sebagai “pemikir”, para filosof pada
masa ini juga dikenal sebagai ilmuwan dan
agamawan seperti Phytagoras.
“The earliest Western philosophers were
Greeks: men who spoke dialects of the Greek
language, who were familiar with the Greek
poems of Homer and Hesiod, and who had been
brought up to worship Greek Gods like Zeus,
Apollo, and Aphrodite…, These early
philosophers were also early scientists, and
several of them were also religious leaders.14”
Argumen yang ditawarkan para filosof
masa ini cenderung menganggap alam ini
berasal dari air demikian dikemukakan oleh
Thales. Bahkan Thales menambahkan bahwa

14
Anthony Kenny, An Ilutrated Brief History of Western Philosophy
(Oxford: Blackwell-Wiley, 2006), 1.

9
air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan
oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam
bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat
berbentuk benda halus (uap), sebagai benda
cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat
diamati di mana-mana, bahkan di makanan
sekalipun.
Berbeda dengan pemikiran Thales, yaitu
Anaximandros mengatakan bahwa, realitas
terdasar bukanlah air melainkan to apeiron
yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air
masih ada lawannya, yaitu api. Api tidak
mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to
apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang
tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion
disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis)
dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas
unsur-unsur yang berlawanan seperti panas
dan dingin, kering dan basah dan sebagainya,
selain itu juga ada hukum keseimbangan.
Juga terdapat pendapat beda, yaitu
Anaximenes berpendapat lain bahwa alam ini
berasal dari hawa dan udara. Heraklitos
mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi,
segala yang ada bergerak terus menerus,
bergerak secara abadi artinya perubahan
adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya
Parmindes yang berbeda dari Heraklitos.
Filosof-filosof awal pada periode ini
mengenalkan suatu cara baru dalam me-
mahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka
adalah berpikir memahami dunia atau alam

10
semesta dengan cara yang non-mitologis.
Mereka menggunakan daya nalar rasional
untuk menjelaskan alam semesta.
Mereka tidak memahami alam dari luar
diri manusia, seperti hanya mengambil jawab-
an dari mitos-mitos yang sudah ada, melain-
kan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni
dengan menggunakan rasio atau akal manusia
itu sendiri.
b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris
Periode ini adalah masa yang terbentang
antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini
merupakan pola pemikiran Yunani Klasik
yang sangat menonjol dari segi analisis
rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh
luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga
filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates
(470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM).15
Trio filosof besar diataslah yang banyak
memberikan kontribusi besar terhadap dunia
filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat
dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani di-
capai pada zaman ini. Banyak sekali temuan
filosofis yang disumbangkan pada zaman ini,
antara lain Sokrates menyumbangkan tentang
nilai kebaikan yang dicapai melalui penge-
tahuan tentang apa yang baik itu.

15
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004).

11
Plato merupakan penggabung pemikiran
Heraklitos dan Parminendes dan melahirkan
tentang faham idealisme. Idealisme Plato me-
nekankan tentang alam idea yang menjadi
sumber dari yang tampak sebagai fenomena.
Ia berkesimpulan sebenarnya realitas
yang tampak itu secara empiris bukan merupa-
kan realitas yang sesungguhnya.
Realitas yang sesungguhnya adalah apa
yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato
meyakini bahwa dalam pikiran manusia
terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan
terpanggil kembali ketika melihat hal-hal,
benda, atau realitas yang bisa dipersepsi.16
Berbeda dengan Plato yang berbicara
tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam
ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan
dengan pandangan gurunya. Dia cenderung
mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada
secara sejati, dan mengatakan bahwa benda-
benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi
secara empiris yang bisa dipersepsi merupa-
kan realitas-realitas yang ada secara nyata,
bukan fatamorgana.
Dari pemikirannya ini lahir paham
realisme. Realisme merupakan paham filsafat
yang mengakui bahwa yang ada secara
empiris adalah ada meskipun ia tidak diper-
sepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya
16
Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada
secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau
kejadian-kejadian empiris.

12
pemikiran yang menghasilkan gagasan atau
ide.
Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal
pengembangan ilmu pengetahuan, karena
merekalah yang memulai berpikir mikro-
kosmos yakni memasuki alam dan seisinya
termasuk manusia.
Aristoteles membagi filsafat menjadi
empat: Pertama; Logika, Kedua; Filsafat
Teoritik: metafisika, fisika dan matematika,
Ketiga; Filsafat Praktik: politik, ekonomi dan
etika, serta Keempat; Filsafat Poetika yakni
estetika.
Inilah landasan ontologik ilmu penge-
tahuan dan sekaligus juga landasan epistimo-
logik. Pandangan Aristoteles memetakan ada-
nya konsep filsafat sebagai landasan pengem-
bangan ilmu pengetahuan.
c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof
Legendaris.
Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh
filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan
dan mengembangkan pemikiran mereka.
Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang
etika, juga Epikurisme tentang etika.
Selanjutnya yang paling berpengaruh
adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang
bernama asli Plotenus yang merupakan pen-
dukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan
bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu
proses imanisasi, yang berasal dari yang Esa.
Yang Esa adalah sumber dari yang ada.

13
Konsep ini banyak dikembangkan ke-
dalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab
ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk
memperkuat doktrin agama digunakanlah
argument akal seperti pada pandangan Neo
Platonisme.
Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini
bukan hanya bergerak dari masalah makro-
kosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui
pada hal-hal yang berada pada masalah
metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal
abad pertama Masehi.
3. Filsafat dalam Periode Pertengahan
Periode pertengahan dari sejarah filsafat
adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan
Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya
memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St.
Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus,
William of Ockham, Maimonide, dan termasuk
para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi,
Ibnu Rusyid.
Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai
abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu
dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi
kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini
filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik
dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang
bersifat dogmatik cenderung menolak keberada-
an filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai
pusat kebenaran (The Trust is in the Church); tak
ada keselamatan di luar gereja (there is no salvation
outside the church). Jadi ukuran kebenaran adalah

14
apa yang menjadi keputusan gereja.
Gereja sangat otoriter dan otoritas gereja
harus ditegakkan. Pada dasarnya, memang pada
masa ini filsafat tidak identic dengan ajaran
individual filosof melainkan Gerejawi lewwat
sistem kependetaan.
For the Middle Ages it was not the individual
who taught, but the Church through the clergy.
Clerical science was the corporate transmission of
traditional wisdom. The task of the monastic
teacher was ordered to the service of God and
centered on the understanding of God’s word as
recorded in the sacred writings and interpreted by
the Fathers.17
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah
tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang
dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya
banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam
penjara seperti Galilio Galilei, Cicero adalah
ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan
tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang
astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya
gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman
Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik
diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa
Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para
teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus.
Kemudian disebut Skolastik berarti guru, atau
17
Charles H. Lohr, “The Ancient Philosophical Legacy and its
Transmission to the Middle Ages”, dalam Jorge J. E. Gracia dan Timothy
B. Noone, A Companion to Philosophy in The Middle Ages (Oxford:
Blackwell, 2002), 15.

15
sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas
van Aquinas dan Bonaventura.
4. Filsafat dalam Periode Modern
Periode modern dari sejarah filsafat biasanya
dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16
sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari
filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon
dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof
Abad ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de
Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad
ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan
David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad
ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopen-
hauer, dan Nietzsche.
Filsafat modern membalikkan paradigma
filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari
filsafat abad pertengahan memandang alam
semesta dalam logika hirarkhi wujud atau
konsepsi organis tentang alam semesta ini yang
berujung pada Tuhan sebagai puncak dari
hirarkhi ini.
Segala penyikapan pengetahuan dihubung-
kan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof
modern tidak berarti menyalahkan begitu saja
proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi
pertanyaan besar mereka adalah ketidak ter-
bukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat
dan mengetahui alam dan kebebasan kritis
manusia dalam mengupayakan kebenaran.
Francis Bacon, misalnya, di masa kemundur-
an filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara
mengetahui yang mencampur-adukkan gejala-

16
gejala alam objektif dengan kepercayaan-
kepercayaan mitologis dan religius.
Cara-cara ini telah membengkokkan ilmu-
ilmu perbintangan dan planet-planet yang
seharusnya berupa astronomi menjadi astrologi;
ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada
penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam
magis.
Francis Bacon menawarkan cara mengetahui
alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara
induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari
alam itu sendiri, sehingga manusia bisa mengua-
sai dan mengontrol alam; bukan memahami alam
dengan mengkaitkan dengan cerita mitologis
sehingga manusia dibawa pada ketakutan dan
ketidakberdayaan pada alam.
Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat
abad pertengahan dengan mengambil fokus pada
cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes
bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiada-
an kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam
memahami realitas manusia selalu dipaksa
tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang
sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan
dalam diri manusia sendiri tidak boleh di-
aktualisasikan berseberangan dengan teori-teori
pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya
dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal,
cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah
menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa
ada bergantung pada manusia itu sendiri selama
dia mau berpikir.

17
Sejak saat itu, subjektifisme menjadi ciri
filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud
adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah
subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan
Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan.
Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya
humanisme, paham yang mencoba menggali
pengertian manusia dan maksud menjadi
manusia, berkembang pesat.
Karena pikirannya ini, kemudian Descartes
disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern.
Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut
sebagai filsafat modern dari segi tawaran baru-
nya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam
logika organisisme, melainkan mekanisme; yakni
dari memahami alam yang hanya sekedar berupa
hubungan antar wujud yang digerakkan dan
dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah me-
mahami alam dari alam secara objektif dengan
mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika
alam secara objektif yang ditemukan dengan
cara-cara induktif.
Bocheński menggarisbawahi filsafat modern
terdiri dari dua prinsip fundamental, yaitu
mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai
prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman
alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon.
Yang perlu dikembangkan manusia dalam me-
mahami alam dengan paradigma mekanisme
adalah tidak lagi memperpanjang cara menge-
tahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh
Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari

18
kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai
gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam
dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk
mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup
dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan
adalah pandangan yang mengalihkan manusia
dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan
menggantinya dengan manusia atau subjek
sebagai pusat perhatiannya.
Dengan mengamati karakter pokok dari
filsafat modern yang lahir dari respon kritikal
terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan,
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari
filsafat modern adalah sebagai berikut:
a) Reformasi keagamaan
Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa
ada gerakan internal keagamaan yang menen-
tang hegemoni Gereja Abad Tengah.
Dalam padangan para Kristiani yang me-
lakukan gerakan protes keagamaan, Gereja
tidak hanya bermasalah dengan kebebasan
berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan
berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah
dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri.
Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan
gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin
oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini
adalah purifikasi keagamaan.
Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa
waktu itu. Mereka bermaksud membongkar
praktek keagamaan Gereja waktu itu yang
menurut mereka telah menyimpang dari pesan

19
substansial dari agam Kristen. Gerakan ini
kemudian memuculkan aliran keagamaan baru
yang dikenal dengan Kristen Protestan.18
b) Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan
mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti per-
kembangan pemikiran manusia
c) Meningkatnya otoritas Ilmu (science)
d) Pergeseran otoritas pemerintahan:
Negara menggantikan gereja
e) Pergeseran paradigma sosial:
Feodalisme ke kapitalisme (labour intensive to
capital intensive)
f) Humanisme liberal, manusia sebagai fokus
sentral atau antroposentrisme.
g) Akal mengkondisikan segala sesuatu,
Yaitu; Akal sebagai instrumen objektivasi
realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar dan
nilai.
5. Filsafat dalam Periode Kontemporer
a) Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain:
masalah diversitas epistemologi
b) Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan
mempertimbangkan nilai lingkungan serta nilai
tradisi
c) Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu
(science), dan sumber pengetahuan lain

18
Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang
hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini
mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang
sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang
kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan
ilmuwan.

20
d) Dari nalar objektivisme-justifikatif menuju
nalar kritis-komunikatif
e) Akal dikondisikan segala sesuatu, akal sebagai
instrument pemahaman tidak terkondisikan
oleh realitas atau diversitas-pluralitas nalar dan
nilai
f) Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke
multikulturalisme atau nasionalisme ke inter-
nasionalisme

21
BAB II
FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

A. Filsafat sebagai Pandangan Hidup


Setiap manusia tentu mempunyai pandangan
hidup, sementara pandangan hidup itu bersifat
kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan
seseorang. Untuk itu perlu dijelaskan pula apa arti
pandangan hidup.
Pandangan hidup artinya pendapat atau per-
timbangan yang dijadikan pegangan, pedoman,
arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat itu
merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan
pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat
hidupnya.
Pandangan hidup banyak sekali macam dan
ragamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat di-
klasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari
3 macam: Pandangan hidup yang berasal dari
agama yaitu pandangan hidup yang mutlak ke-
benarannya. Pandangan hidup yang berupa ide-
ologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan
norma yang terdapat pada negara tersebut. Dan
pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan
hidup yang relatif kebenarannya.
Pandangan hidup itu bersifat kodrati karena
ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan
hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang
dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk
hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu
merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan
pengalaman sejarahmenurut waktu dan tempat

22
hidupnya. Dengan demikian pandangan hidup itu
bukanlah timbul seketika atau dalam waktuyang
singkat saja, melainkan melalui proses waktu yang
lama dan terus menerus, sehingga hasil pemikiran
itu dapat diuji kenyataannya.
Hasil pemikiran itu dapat diterima oleh akal,
sehingga diakui kebenarannya. Atas dasar itu
manusiamenerima hasil pemikiran itu sebagai
pegangan, pedoman, arahan, atau petunjuk yang
disebut pandangan hidup.
Pandangan hidup berdasarkan asalnya yaitu
terdiri dari 3 macam:
1) Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu
pandangan hidup yang mutlak kebenarannya.
2) Pandangan hidup yang berupa ideologi yang
disesuaikan dengan ke-budayaan dan norma
yang terdapat pada suatu negara.
3) Pandangan hidup hasil renungan yaitu suatu
pandangan hidup yang relatif kebenarannya.
Apabila pandangan hidup itu diterima oleh
sekelompok orang sebagai pendukung suatu
organi-sasi, maka panndangan hidup itu disebut
ideologi.
Pandangan hidup pada dasarnya mempunyai
unsur: cita-cita, kebajikan, usaha, keyakinan. Cita-
cita ialah apa yang diinginkan yang mungkin dapat
dicapai dengan usaha atau per-juangan. Tujuan
yang hendak dicapai ialah kebaji-kan, yaitu segala
hal yang baik yang membuat manusia makmur,
bahagia, damai,tentram. Usaha atau perjuangan
adalah kerja keras yang dilandasi keyakinan.
Keyakinan diukur dengan kemampuan akal, ke-

23
mampuan jasmani, dan kepercayaan kepada Tuhan.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia,
yang disebut cita–cita adalah keinginan, harapan,
tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Baik
keinginan, harapan, maupun tujuan merupakan apa
yang mau diperoleh seseorang pada masa men-
datang. Dengan demikian cita–cita merupakan
pandangan masa depan, merupakan pandangan
hidup yang akan datang. Pada umumnya cita–cita
merupakan semacam garis linier yang makin tinggi,
dengan perkataan lain, cita–cita merupakan
keinginan, harapan dan tujuan manusia yang makin
tinggi tingkatannya.
Kebajikan atau kebaikan atau perbuatan yang
mendatangkan kebaikan pada hakekatnya sama
dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai
dengan norma–norma agama dan etika. Untuk
melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari
tiga segi, yaitu manusia sebagai mahluk pribadi,
manusia sebagai anggota masyarakat dan manusia
sebagai mahluk Tuhan. Sebagai makhluk pribadi,
manusia dapat menentukan senditi apa yang baik
dan apa yang buruk. Suara hati selalu memilih yang
baik, sebab itu ia selalu mendesak orang untuk
berbuat yang baik bagi dirinya. Manusia sebagai
anggota masyarakat, maka seseorang juga terikat
dengan suara masyarakat. Setiap masyarakat adalah
kumpulan pribadi–pribadi, sebagaimana suara hati
tiap pribadi selalu menginginkan yang baik. Sebagai
mahluk Tuhan, manusia pun harus mendengarkan
perintah Tuhan. Perintah tuhan selalu memerintah-
kan agar manusia berbuat baik dan menghindari

24
perbuatan yang tidak baik.
Usaha/perjuangan adalah kerja keras untuk
mewujudkan cita–cita. Setiap manusia harus kerja
keras untuk kelanjutan hidupnya. Sebagian hidup
manusia adalah usaha. Perjuangan untuk hidup dan
ini sudah kodrat manusia. Tanpa usaha, manusia
tidak dapat hidup sempurna. Apabila manusia
bercita– cita menjadi kaya, ia harus bekerja keras.
Apabila seseorang bercita–cita menjadi ilmuwan, ia
harus rajin belajar dan tekun serta memenuhi semua
ketentuan akademik. Keyakinan yang menjadi dasar
pandangan hidup berasal dari akal atau kekuasaan
Tuhan. Menurut Prof.Dr.Harun Nasution, ada tiga
aliran filsafat, yaitu aliran naturalisme, aliran
intelektualisme dan aliran gabungan.
Aliran Naturalisme, hidup manusia itu di-
hubungkan dengan kekuatan gaib yang merupa-kan
kekuatan tertinggi. Aliran Intelektualisme, dasar
aliran ini adalah logika/akal. Manusia mengutama-
kan akal, dengan akal manusia berpikir. Mana yang
benar menurut akal itulah yang baik walaupun
bertentangan dengan hati nurani. Aliran Gabungan,
dasar aliran ini ialah kekuatan gaib dan juga akal.
Kekuata gaib artinya kekuatanya yang berasal dari
Tuhan (percaya adanya Tuhan sebagai dasar
keyakinan). Sedangkan akal adalah dasar kebudaya-
an, yang menentukan benar tidaknya sesuatu.
Manusia pasti mempunyai pandangan hidup
walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita
memperlakukan pandangan hidup itu tergantung
pada orang bersangkutan. Ada yang memperlaku-
kan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai

25
tujuan dan ada pula yang memperlakukan sebagai
penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagai-
nya. Akan tetapi yang terpenting, kita seharusnya
mempunyai langkah–langkah berpandangan hidup.
Adapun langkah–langkah itu sebagai berikut :
Mengenal, merupakan suatu kodrat bagi
manusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap
aktifitas hidupnya yang dalam hal ini mengenal apa
itu pandangan hidup. Mengerti, yang dimaksud
dengan mengerti di sini adalah mengerti terhadap
pandangan hidup itu sendiri.
Menghayati, dengan menghayati pandangan
hidup kita dapat memperoleh gambaran yang tepat
dan benar mengenai kebenaran pandangan hidup
itu sendiri. Meyakini, merupakan suatu hal untuk
cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga
dapat mencapai suatu tujuan hidupnya.
Mengabdi, pengabdian merupakan suatu hal
yang penting dalam menghayati dan meyakini
sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima, baik
oleh dirinya lebih–lebih orang lain. Dengan me-
ngabdi maka kita akan merasakan manfaat dari
tujuan hidup yang kita hayati dan yakini tersebut.
Filsafat diartikan sebagai pandangan hidup
karena filsafat pada hakikatnya bersumber pada
hakikat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan).
Hal ini berarti bahwa filsafat mendasarkan
pada penjelmaan manusia secara total dan sentral
sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk
monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari
jiwa dan raga). Manusai secara total (menyeluruh)

26
dan sentral didalamnya memuat sekaligus sebagai
sumber penjelmaan macam-macam filsafat sebagai
berikut :
a) Manusia dengan unsur raganya dapat melahir-
kan filsafat biologi.
b) Manusia dengan unsur rasanya dapat melahir-
kan filsafat keindahan (estetika).
c) Manusia dengan monodualismenya (kesatuan
jiwa dan raganya) melahirkan filsafat antro-
pologi.
d) Manusia dengan kedudukannya sebagai makh-
luk Tuhan dapat melahirkan filsafat ketuhanan.
e) Manusia dengan kedudukannya sebagai makh-
luk sosial dapat melahirkan filsafat sosial.
f) Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat
melahirkan filsafat berpikir (logika).
g) Manusia dengan unsur kehendaknya untuk ber-
buat baik dan buruk dapat melahirkan filsafat
tingkah laku (etika).
h) Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahir-
kan filsafat psikologi.
i) Manusia dengan segala aspek kehidupannya
dapat melahirkan filsafat nilai (aksologi).
j) Manusia dengan dan sebagai warga Negara
dapat melahirkan filsafat Negara.
k) Manusia dengan unsur kepercayaannya ter-
hadap spiritual dapat melahirkan filsafat agama.
Filsafat sebagai pandangan hidup (Weltsan-
chaung) merupakan suatu pandangan hidup yang
dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari, juga diperguna-kan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang

27
dihadapi dalam kehidupan. Pandangan hidupnya
itu akan tercermin didalam sikap hidup dan cara
hidup. Sikap dan cara hidup tersebut dapat muncul
apabila manusia memikirkan dirinya sendiri secara
total.

B. Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan


Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi,
yaitu; semantik dan praktis. Sebagaimana telah di-
singgung pada bahasan sebelumnya bahwa, dari
segi semantik perkataan filsafat berasal dari kata
Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani,
philosophia yang berarti philos = cinta, suka (loving)
dan Sophia = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi
philosopia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau
cinta kepada kebenaran.1
Pengertian ilmu yang dikemukakan Moham-
mad Hatta adalah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan
masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
hubungannya dari dalam.
Harsojo, sekaligus Guru Besar antropologi
Universitas Pajajaran mendefinikan ilmu adalah
akumulasi pengetahuan yang disistemati-sasikan

1
Kembali pada keterangan di atas, bahwa, maksudnya, setiap orang yang
berfilsafah akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pengetahuan disebut philosopher dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Dari segi praktis filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir.
Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat maknanya berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia,
1999), 9.

28
suatu pendekatan atau metode pendekatan ter-
hadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang
terikat oleh faktor ruang dan waktu yang pada
prinsipnya dapat diamati panca indera manusia.
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada
ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi
dalam bentuk: “jika,….maka…”
Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu”
dan ini terjadi setelah orang melakukan peng-
inderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana
penginderaan ini terjadi melalui panca indera
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga.
Pengetahuan adalah informasi atau mak-
lumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang.
Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada
deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan
prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah
benar atau berguna. Pengertian lain, pengetahuan
adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan indrawi.
Pengetahuan muncul ketika seseorang meng-
gunakan indera atau akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum pernah
dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika
seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya,
ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk,
rasa, dan aroma masakan tersebut.
Pengetahuan yang lebih menekankan penga-
matan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai

29
pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori.
Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan
pengamatan dan observasi yang dilakukan secara
empiris dan rasional.2
Pengetahuan empiris tersebut juga dapat
berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila
seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan
segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek
empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa
didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia
yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang
sering dipilih untuk memimpin organisasi dengan
sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang
manajemen organisasi. Selain pengetahuan empiris,
ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui
akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasional-
isme.
Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan
yang bersifat apriori; tidak menekankan pada
pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang mate-
matika. Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan
didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan
empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis
akal budi.3
Sedangkan membicarakan masalah ilmu pe-
ngetahuan beserta definisinya ternyata tidak se-
mudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai
definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum
dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu
2
Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), 62.
3
Kaelan, Filsafat Bahasa dan Semiotika ( Yogyakarta: Paradigma, 2009),
17-20.

30
pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepen-
tingan dengan mengadakan klasifikasi sehingga
garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu
dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha
untuk mengorganisir dan mensitematisasikan se-
suatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari
pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan
pemikiran secara cermat dan teliti dengan meng-
gunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir
secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk
menggambarkan dan memberi makna terhadap
dunia faktual. Ini diperoleh melalui observasi, eks-
perimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal
yang objektif dengan menyampingkan unsur pri-
badi, mengedepankan pemikiran logika, netral
(tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif).
Ilmu sebagai milik manusia secara komprehensif
yang merupakan lukisan dan keterangan yang
lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang di-
pelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jang-
kauan logika dan dapat diamati panca indera
manusia.4
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun
bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah penge-
tahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikata-
kan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

4
Listiyono Santoso, et. al. Epistemologi Kiri. (Yogyakarta: Ar-Ruz
Media, 2010). 228.

31
Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek mate-
rial dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu
ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi
kedua objek tersebut. Ilmu merupakan suatu bentuk
aktiva yang dengan melakukannya umat manusia
memperoleh suatu lebih lengkap dan lebih cermat
tentang alam di masa lampau, sekarang dan ke-
mudian serta suatu kemampuan yang meningkat
untuk menyesuaikan dirinya.5
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemo-
logi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan
pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek
empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide,
nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan
manusia itu sendiri.6
Pada umumnya metodologi yang digunakan
dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini
menunjukkan pada dua macam hal yang pokok,
yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu
kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan
empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang
diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan
pertama dapat diregistrasi secara indrawi.
Metode siklus-empirik mencakup lima tahap-
an yang disebut observasi, induksi, deduksi, ekspe-
rimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada
kelangsungan proses yang runut dari segenap
5
Charleshworth, Philoshophy and Linguistic Analysis (Pittsburgh:
Duquesne University, 1959), 49.
6
Bakker, Metode-Metode, 28.

32
tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada
prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali
dilakukan secara bersamaan.7
Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap
rahasia alam haruslah mengetahui anggapan ke-
filsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu
diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan
struktural.
Dalam dimensi fenomenal ilmu menampak-
kan diri pada halhal berikut:
1. Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang
dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada
kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinter-
estedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur
2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit
yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi,
observasi, eksperimentasi, komparasi, dan se-
bagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk
mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-
dalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta
hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik,
maupun non fisik.
Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas
komponen-komponen berikut:
1. Objek sasaran yang ingin diketahui
2. Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa
mengenal titik henti
3. Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu
objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan.

7
A.J. Ayer, Logical Positivisme (Newyork:tp, 1959), 63-70.

33
Temuan-temuan yang diperoleh selangkah
demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatu-
an sistem.
Pada hakikatnya setiap ilmu memiliki objek,
begitu juga dengan filsafat. Seperti halnya ilmu-ilmu
yang lain, filsafat memiliki dua objek, yang pertama
objek material yaitu sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan, diibaratkan seperti tubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan
yang kedua adalah objek formal yaitu cara pandang
tertentu tentang objek material tersebut, seperti
pendekatan empiris dan induktif dalam ilmu-ilmu
modern.8
Filsafat sebagai proses berpikir yang sis-
tematis dan radikal juga memiliki objek material
yaitu segala yang ada. Segala yang mencakup “ada”
yang tampak dan “ada” yang tidak tampak. Ada
yang tampak adalah alam fisik/empiris, sedangkan
yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian
para filosuf membagi objek material filsafat atas tiga
bagian, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada
dalam pikiran dan yang ada dalam kemungkinan.
Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut
pandang yang menyeluruh, rasional, radikal, bebas,
dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai
substansinya.9
Cakupan objek filsafat lebih luas dibanding-
kan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas hanya

8
Bahtiar, Filsafat Agama, 34.
9
Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajagrafindo, 2010), 1.; Juhaya
S. Praja, Aliran-Aliran Filsfat Dan Etika (Jakarta; Prenada Media,
2008), 18.

34
pada permasalahan empiris tertentu saja, sedangkan
filsafat mencakup hal-hal yang empiris maupun
yang metafisika. Objek ilmu terkait dengan filsafat
pada objek empiris.
Selain itu secara historis membuktikan bahwa
ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya
filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang
segala yang ada ini secara sistematis, rasional dan
logis, termasuk hal-hal yang bersifat empiris.10
Dengan demikian filsafat disebut-sebut sebagai
induk dari ilmu-ilmu modern yang ada sekarang.11

C. Perbedaan Filsafat dengan Agama


Istilah filsafat dan agama mengandung pe-
ngertian yang dipahami secara berlawanan oleh
banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak
dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu.
Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir
sementara agama banyak terkait dengan pengalam-
an. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat
kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis
atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenar-
an dari segi logisnya karena agama kadang tidak
terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik
berkepan-jangan antara orang yang cenderung
berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis,
pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang

10
Bahtiar, Filsafat Agama, 2-6.
11
Dikarenakan dari segala kegiatan yang dilakukan filosuf seperti di atas
melahirkan ilmu-ilmu modern yang sekarang. Suriasumantri, Ilmu
Dalam Perspektif, 31.

35
sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia.
Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan
agama secara mendalam perlu diketahui terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan
filsafat itu.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit
“a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi,
tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam
kehidupan manusia. Ter-nyata agama memang
mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi
orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup
manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan
religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara
manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu
direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi
berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti
mengumpulkan, membaca.
Agama me-mang merupakan kumpulan cara-
cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu
terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di
sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti
mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai
sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang ber-
agama tetap terikat dengan hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi me-
ngandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini
disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan
aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma
mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-

36
hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga
sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai
sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli
rohani manusia yang berhubungan dengan alam
semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang
terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari
makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari
segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi
tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang
kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa.
Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang
biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum
pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-
religi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk
awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu
bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa
pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan
yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan
kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang di-
hayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk
mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu
manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran
tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia
dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu
terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa
berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk
pribadi manusia.

37
Selain itu dalam al-Qur’an terdapat kata din
yang menunjukkan pengertian agama. Kata din
dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan
dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Qur’an
menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama
dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata
dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi
yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau
kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan,
lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua.
Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang
mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi,
ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantu-
an dan bagi manusia. Kata din dengan arti hari
kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk
kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut
terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena
pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi
orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa
segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat
dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain
yang berarti utang juga terdapat pihak pertama
sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan
yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah,
dan merasa segan terhadap yang berpiutang.
Dalam diri orang yang berutang pada dasar-
nya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan
dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan
itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia
berutang kepada Tuhan berupa kewajiban me-
laksanakan ajaran agama.

38
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti
undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan
dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di
balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat
balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu
diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada
pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak
pula di antara pemikir yang mencoba memberikan
definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi
definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang
berbagai macam. Dengan kata lain agama itu
mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah
yang sangat umum ada orang yang mengatakan
bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup
di dunia ini.
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa
agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus,
menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam
bentuk ritus, kultus dan permohonan dan mem-
bentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas
terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam
agama itu masih bersifat umum, Gazalba meng-
emukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan
kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk
peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasar-
kan al-Qur’an dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengata-
kan agama yang diambil dari pengertian din al-haq
ialah sistem hidup yang diterima dan diredai Allah

39
ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri
dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh
kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai
aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah
dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk
manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu
dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu
agama yang mene-kankan kepada iman dan ke-
percayaan dan yang ke dua menekankan kepada
aturan tentang cara hidup. Namun demikian
kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi
agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-
yaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan
tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu
ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan.
Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan
ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam
kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul
dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuat-
an yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan
definisi untuk agama, yaitu:
1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia
dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
menguasai manusia.
3) Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup
yang mengandung pengakuan pada suatu sum-

40
ber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan manusia.
4) Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu.
5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari
kekuatan gaib.
6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban yang
diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul
dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui seorang Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun Nasution
dapat disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari
nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama
berkaitan dengan keterikatan manusia dengan
kekuatan gaib yang lebih tinggi dari manusia yang
mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang
berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang
dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa me-
lebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang
dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala
dalam zaman Jahiliah.
Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada
agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi.
Jika disimpulkan, definisi agama itu menunjuk ke-
pada kuatan gaib yang ditakuti, disegani oleh
manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap
pemarah dari yang gaib itu.

41
Dari delapan difinisi di atas dapat diklasi-
fikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam
setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa
dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu
sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu,
manusia merasa harus mengadakan hubungan baik
dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu
dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan
larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejah-
teraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung
pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib
itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejah-
teraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang
pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil dari
manusia. Respon itu bisa berupa rasa takut seperti
yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau
perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-
agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil
bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama
primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama
menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil
bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang
bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred)
dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk
kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan
dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

42
Setelah diketahui pengertian masing-masing
dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenar-
nya pengertian filsafat agama. Harun Nasution
mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir
tentang dasar-dasar agama menurut logika yang
bebas.
Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk,
yaitu: Pertama membahas dasar-dasar agama secara
analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama,
dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran
suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama
secara analitis dan kritis dengan maksud untuk
menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau
sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa
yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak
bertentangan dengan logika.
Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain
pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadi-
an hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal
kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain.
Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah
berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan
logika tentang agama secara mendalam sampai
kepada setiap dasar-dasar agama itu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang
berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan
antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam
agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang
Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan
dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai
sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma,

43
Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha
Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya.
Semua itu merupa-kan bagian dari ajaran agama dan
setiap ajaran agama itulah yang menjadi objek
pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang
dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika
kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri
sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan
antara filsafat dan agama bukan terletak pada
bidangnya, tetapi terletak pada cara menye-lidiki
bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedang-
kan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak
hu-bungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak
hubungan dengan pemikiran. Williem Temple,
seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa
filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami,
sedangkan agama menuntut pengeta-huan untuk
beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan
pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting
adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoy-
ment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah
ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki
mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan
enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta
itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan,
sedangkan filsafat mulai dari mempertanyakan
sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama
mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan
dengan mencari argumentasi untuk memperkuat

44
keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedang-
kan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan
bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah
keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu). Dalam
pendapat Mahmud Subhi, agama di sini kelihatan
identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan,
bukan ber-awal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan filsafat
adalah bahwa agama banyak hubungan dengan hati,
sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan
pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat
diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan
dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpama-
kan dengan air telaga yang jernih, tenang dan
kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama biasa-
nya selalu mempertahankan agama habis-habisan
karena dia sudah mengikatkan diri kepada agama-
nya itu. Sebaliknya seorang ahli filsafat sering
bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendirian-
nya jika ternyata pendapatnya keliru. Dalam diri
seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti
argumen yang mendukung pendapatnya dan ke-
lemahan argumen tersebut meski untuk argumen dia
sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama
tidak terdapat keinginan seperti itu.
Di sisi lain Harun Nasution membandingkan
pembahasan filsafat agama dengan pembahasan
teologi, karena setiap persoalan tersebut juga
menjadi pembahasan tersen-diri dalam teologi. Jika
dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada
dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan
pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian

45
terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi
Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat
karena pandangan masing-masing penganut agama
dan filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih
baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang
penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan
uraian tentang paham atau agama lain dan meminta
bukti dari paham atau agamanya itu.
Seseorang memerlukan kepiawaian dalam
mengemukakan argumen, memahami teknik analisa
serta mengetahui sejumlah bahan pengetahuan
untuk memikirkan segala sesuatu secara logis,
termasuk setiap problem kehidupan yang ada
hubungannya dengan hal itu. Melihat sesuatu itu
memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi.
Tetapi harus disadari bahwa agama pada satu sisi
memang ditandai dengan unsur-unsur yang bersifat
memi-hak kepada keyakinannya sendiri. Tanpa ada
sifat memi-hak, agama kadang-kadang kurang terasa
maknanya.
Dengan demikian, seorang ahli agama bisa
menyeli-diki ajaran agamanya sendiri, demikian juga
agama lain, tetapi dia harus menyadari posisinya
pada waktu meneliti agama untuk menghindari
banyaknya unsur subjektif yang sering muncul
dalam pekiran ahli agama itu.
Meskipun filsafat dan agama sangat pada
dasarnya sangat berlainan, keduanya tak jarang
berinteraksi satu sama lain. Hal ini terjadi lebih
dikarenakan kebutuhan manusia akan keduanya.
Manusia dalam hidupnya tak akan lepas dari agama,

46
filsafat, sains dan seni. Dari fenomena pertemuan ini,
kemudian muncullah berbagai paradigma yang coba
dirumuskan. Dalam hal ini, Ian Barbour dalam
bukunya Science and Religion memberikan tipologi
yang agaknya paling relevan. Ia membedakan empat
hubungan filsafat-agama yaitu; konflik [conflict],
perpisahan [independence], dialog [dialogue], dan
integrasi-perpaduan [integration]. Walaupun ia
sendiri tidak menuturkan tendensinya sendiri,
Barbour menunjukkan intensi utamanya yakni
memberikan ruang bagi agama, yang notabene
penuh metafisik, dalam dunia ilmu pengetahuan
yang serba empirik.
….my goals are to explore th e place of religion in an age of
science and to present an interpretation of Christianity that
is responsive both to the biblical faith and to contemporary
science.12

12
Ian Barbour, Religion And Science: Historical And Contemporary
Issues (San Fransisco: Harper Collins, 1989), 9.

47
BAB III
CIRI-CIRI FILSAFAT

A. Filsafat India
India terkenal dengan filsafat spiritual yang
sangat kaya dalam menunjukkan petunjuk ideal
tentang hidup. Filsafat India tidak hanya menyaji-
kan intelektualitas tapi juga menyentuh jantung
eksistensi yang mengarah pada perbaikan diri.
Umumnya orang hanya mengenal India sebagai asal
dari agama Hindu dan Buddha.
Penyebutan Hindu itu sendiri terlalu luas.
Kenyataannya Hindu itu sendiri memuat beberapa
sistem filsafat. Secara populer, orang mengenal ajar-
an Hindu dalam epos Mahabharata dan Ramayana
yang mendunia. Penyebutan Hindu itu sendiri ada
ketika orang Islam menyebut orang yang beragama
berbeda di lembah Indus. Hindu mengacu pada
agama orang-orang yang tinggal di sekitar lembah
Indus. Sementara agama Buddha akhirnya lenyap di
India namun menyebar melampaui batas benua
asalnya.
Dalam tulisan ini, saya menjelaskan sejarah
filsafat India secara singkat. Tujuan saya adalah
menjadikan tulisan ini sebagai pengantar awal
sebelum mungkin pembaca nantinya mempelajari
filsafat India tertentu secara lebih mendalam. Bagi
mereka yang tertarik dengan latihan spiritual,
memahami filsafat India bisa menjadi rujukan
utama dan dapat diandalkan. Sejarah filsafat India
menunjukkan evolusi pemikiran dan spiritual yang
mungkin menjadi pemikiran yang sama dengan

48
yang sedang kita alami. India adalah laboratorium
yang menampung banyak pelajaran karena telah
menghasilkan banyak sistem filsafat. Ada keunikan
mendasar dalam sejarah filsafat India.
Dunia Barat pada akhirnya mengakui ke-
canggihan sistem pemikiran India. Sementara
sekarang ini banyak orang Timur justru tidak tahu
menahu identitas dirinya. Cenderung mengikuti
gaya hidup Barat, suatu sikap dan gaya hidup yang
sudah banyak ditinggalkan oleh orang Barat itu
sendiri.
Memahami sejarah filsafat India, kita mesti
tahu latar belakang sebelum masuknya bangsa Arya
yang nantinya membawa Veda dan menetapkan
sistem kasta. Veda disebut sebagai literatur India
kuno paling awal. Max Muller menyebutkan Veda
ada tahun 1200 SM. Hang tahun 2400 SM, dan
Balgangadhara Tilak menyebutkannya lebih lama
lagi yaitu sekitar 4000 SM.
Sebelum masuknya bangsa Arya, lembah
Indus sudah memiliki peradabannya sendiri,
kebudayaan Dravida, dengan peninggalan Mahenjo
Daro yang berawal sekitar 4000 SM. Dari reruntuh-
an situs menunjukkan bahwa bangsa Dravida yang
dicirikan bertubuh pendek, berkulit gelap dan
berhidung pesek, memiliki bentuk religi yang meng-
hormati kultus lingga dan praktik bertapa yang
lebih mengarahkan diri kedalam. Ada juga pening-
galan bangsa Dravida dalam memuja dewi ibu.
Bangsa Arya merupakan satu rumpun dengan
bangsa Mesir dan Indo Jerman, yang bercirikan
bertubuh tinggi, hidung mancung, mata lebar dan

49
kulit putih. Bangsa Arya gemar berperang dan lebih
progresif dalam menaklukkan lawan-lawannya.
Semangat seperti ini juga nampak dalam himne-
himne Veda. Agama yang ditampilkan bangsa Arya
lebih berorientasi ke luar seperti memuj dewa-dewa
yang mewakili kekuatan alam. Masa berkuasanya
bangsa Arya juga membuat adanya pergeseran cara
hidup nomaden menjadi bertani. Dari situlah
peradaban bangsa Arya dibangun.
Ketika bangsa Arya menguasai bagian barat
laut dan utara tengah, bangsa Dravida menjadi
kasta bawah. Namun kemuliaan bangsa Dravida
tidak sepenuhnya lenyap di bagian timur laut.
Nantinya religi bangsa Dravida bangkit kembali
dengan munculnya Jainisme. Ada dugaan kuat
bahwa tantra yang berkembang belakangan adalah
bentuk religi awal bangsa pribumi ini karena simbol
lingga juga menjadi bagian dari simbol tantra.
Seperti yang sudah saya sebutkan, bentuk
awal agama bangsa Arya lebih berorientasi keluar
lalu mulai mengalami pembalikan ke dalam dengan
mengadopsi agama bangsa Dravida. Pada masa
munculnya Brhadaranyaka Upanisad (salah satu
bagian dari Veda) sekitar 2000-900 SM, nampak
adanya pergeseran penekanan pada orientasi ke
dalam. Penemuan religi ini adalah kalimat sayasca
ayam puruse yasca ditye sa ekah (dia yang ada dalam
manusia dan dia yang ada di matahari adalah satu,
dan Satyam Brahman (the true brahman) adalah aham
(cahaya) di dalam matahari dan aham (saya) di-
dalam manusia.

50
Konsep Ketuhanan Veda adalah Brahman,
yang sering disimbolkan seperti cahaya, sebagai
sumber utama. Kebudayaan pra-Arya (Dravida)
bukan hanya tradisi kontemplatif seperti meditasi.
Ada juga pemujaan populer pada dewa-dewa
tertentu. Bangsa Arya tidak menghancurkan semua-
nya tapi mengubah bentuk pemujaan pra-Arya dan
juga dewa-dewa Arya sebagai simbol tahapan
proses spiritual. Bangsa Arya memuja kekuatan
alam, itu nampak dari dewa-dewa yang menunjuk-
kan kekuatan alam yang mengontrol hidup
manusia. Namun kesibukan filosofis bangsa Arya
akhirnya mengarah pada pemahaman bahwa ke-
selamatan bukan dari luar tapi dari dalam diri
manusia sendiri. Walaupun demikian, kultus dewa
tetap dilakukan namun terarah pada jalan
pengenalan diri, yang berpuncak pada realisasi
atman atau nirvana, bukan berorientasi pada surga
atau tujuan-tujuan duniawi. Tujuan manusia bukan
lagi pada kesenangan (kama), kesuksesan (artha) saja,
tapi juga pada kewajiban (dharma), dan juga kebe-
basan atau keselamatan (moksha).Veda dikenal
sebagai literatur awal India kuno, paling tidak
dalam bentuknya yang lebih tertata, karena
memang menjadi sumber rujukan bangsa Arya. Dr.
Radhakrishnan membagi periode filsafat India
dalam empat periode:
1. Periode Veda,
2. Periode Epik,
3. Periode Sutra, dan
4. Periode Sekolah (school).

51
Periode Veda terhitung 1500-600 SM. Artinya,
Veda tidak disusun dalam satu masa, tapi dalam
kurun waktu yang lama, hingga akhirnya menjadi
empat bagian, yaitu: Rig Veda, Yajur Veda, Sama
Veda, dan Atharva Veda. Masing-masing bagian
terbagi dalam empat bagian, yaitu: samhitas
(mantras), brahmana, aranyakas, dan upanisad.
ada periode Epik, filosof spiritual menye-
lamatkan kekayaan spiritual dalam bentuk Sutra.
Sutra adalah kalimat epikgramatis dalam bentuk
syair. Periode ini terhitung 600 SM- 200 M. Pada
periode ini Badarayana menulis Brahma-Sutra atau
juga disebut sebagai Vedanta-Sutra. Sutra inilah
yang menjadi fondasi sekaligus perbedaan inter-
pretasi sistem filsafat di India. Disebutkan ada enam
sistem filsafat India yang menjadikan Brahma-Sutra
sebagai dasarnya:
1. Vaishesika,
2. Nyaya,
3. Samkhya,
4. Yoga,
5. Purva-mimamsa, sering disebut karma-mimamsa
atau mimamsa, dan
6. Uttar-mimamsa, sering disebut vedanta.
Enam sistem filsafat ini disebut juga saddhar-
shana, yang digolongkan sebagai sistem ortodoks
(astika). Pada periode Epik ini juga muncul sistem
filsafat lain, yang digolongkan sebagai sistem
heterodoks (nastika). Disebut heterodoks, karena
mereka menolak otoritas Veda, seperti Carvakisme,
Jainisme, dan Buddhisme. Beriringan periode Sutra
Periode adalah periode Sekolah (school) yang

52
terhitung 200–1700 M. Pada periode ini, para filosof
membuat komentar Sutra untuk memudahkan
pemahaman siswa bahkan tiap filosof membuat
versi pemahamannya sendiri. Filosof yang terkenal
adalah Shamkaracharya, Ramanujacharya, dan
Madhavacharya. Akhirnya Vedanta memiliki tiga
sekolah: Advaita Vedanta versi Shamkaracharya,
Vishishtadvaida Vedanta versi Ramanujacharya,
dan Dvaita Vedanta versi Madhavacharya. Berikut
pembagian periode filsafat India:
1. Zaman Weda (2000 - 600 SM)
Bangsa Aryam masuk ke India dari utara,
sekitar 1500 SM. Literatur suci mereka disebut
Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana,
Aranyaka, dan Upanisad. Samhita memuat
Rigweda (kumpulan pujian-pujian), Samaweda
(himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus
korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus
magis). Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad
memuat komentar-komentar pada semua
literatur. Upanisad merupakan yang terpenting
dari filsafat India, yang sepanjang sejarah India
merupakan sumber yang sangat kaya untuk
inspirasi dan pembaharuan.
Tema yang menonjol untuk Upanisad
adalah ajaran tentang hubungan Atman dan
Brahman. Atman adalah segi subjektif dari
kenyataan, "diri" manusia. Sedangkan Brahman
adalah segi objektif, makrokosmos, alam semesta.
Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan
Brahman memang sama dan bahwa manusia

53
mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia
menyadari identitas Atman dan Brahman.
2. Zaman Skeptisisme (600 SM – 300 M)
Tahun 600 SM mulai suatu reaksi, baik ter-
hadap ritualisme imam-imam maupun terhadap
spekulasi hubungan dengan korban para rahib.
Para imam mengajarkan ketaatan dating secara
dari pada Sekolah itu adalah Saddharsana
(Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Purwa-
Mimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting
dari sekolah itu adalah Samkhya (artinya jumlah)
dan Yoga (dari kata "juj", menghubungkan). Yoga
mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai
kesatuan dengan ilahi. Samkhya mengajarkan
sebagai tema terpenting hubungan alam-jiwa,
kesadaran-materi.
3. Zaman Puranis (300 – 1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap
dari India. Pemikiran India dalam abad per-
tengahan dikuasai oleh spekulasi teologis, ter-
utama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh
cerita tentang inkarnasi dewa terdapat dalam dua
epos besar, Mahabharata dan Ramayana.
4. Zaman Muslim (1200 – 1757)
Dua nama yang menonjol dalam periode
muslim yaitu Kabir (yaitu seorang pengarang
syair) yang mencoba mengembangkan suatu
agama universal, dan Guru Nanak (yaitu sang
pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan
Islam dan Hinduisme.

54
5. Zaman Modern (setelah 1757)
Zaman modern adalah zaman pengaruh
Inggris di India mulai tahun 1757. Periode ini
memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India,
bersama dengan pembaharuan sosial. Nama
penting dalam periode ini adalah Raja Ram
Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan mono-
teisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral
berdasarkan Khotbah di Bukit dari Injil, Viveka-
nanda (1863-1902) yang mengajarkan semua
agama benar tetapi agama Hindu paling cocok di
India, Gandi (1869-1948), dan Rabindranath
Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan
penmikir religius yang membuka pintu untuk ide-
ide luar.
Sejumlah pemikir India zaman sekarang
melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara
filsafat Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan
(1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-
batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme
hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola
berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir lain
tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini.
Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir
Timur dan Barat terlalu besar untuk mengadakan
suatu interaksi, dalam arti "saling melengkapi".
Filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan
positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari
intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos
dan mengenal identitas mikrokosmos. Mungkin,
filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan filsafat
Timur terlalu mistik.

55
B. Filsafat China
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina,
ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat
adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan
pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari
keyakinan fundamental sekelompok orang. Karena-
nya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut.
Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan
agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas
yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai
sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidup-
an yang berfokus pada pemecahan masalah tentang
pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan
penghargaan yang wajar atas berbagai masalah
kehidupan, entah secara individu ataupun sosial.
Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-
konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis
ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok
orang/masyarakat.
Filsafat Cina terbagi menjadi beberapa bagi-
an, yaitu:
1. Konfusius
Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan
Confusius adalah biografi yang terangkum dalam
bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical
Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap 86
SM). Dari riwayat hidupnya ini, bisa diperoleh
ide bahwa ajaran Konfusius lahir atas kepri-
hatinannya akan situasi sosial dan politik pada
saat itu. Maka tak heran jika doktrin utama
Konfusianisme adalah tidak adanya disparitas

56
antara hak pribadi dan kepentingan umum.
One of the key points of Confucianism is that there is no
essential disparity between the „self-cultivation‟ of the
individual and the interests of the community.1
Bagi Konfusius kekacauan itu timbul karena
Li kehilangan jiwanya. Untuk menghidupkan
kembali Li berarti menghidupkan kembali ritual
dan musik denngan pendasaran pada Ren.
Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang me-
ngambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari
tempat penyimpanannya dan membeberkannya
di depan umum. Konfusius pulalah yang meng-
ubah aneka tata cara dan upacara serta kebiasaan
feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius
berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya
untuk membangun dan memelihara suatu
masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus
menerus menekankan pentingnya hubungan
antara manusia atas dasar doktrin ren.
Ren, adalah gagasan sentral dari Konfu-
sianisme yang juga merupakan kelanjutan yang
lebih jernih dari gagasan yang hidup sebelum
jaman Konfusius. Ren bisa dipahami sebagai:
kebaikan hati ataupun kasih antar manusia.
Kebaikan ini adalah hakikat terdalam manusia
yang membuat unsur lain (dalam hidupnya)
menjadi mungkin. Menurut Konfusius „ren‟
adalah sesuatu di dalam diri yang membuat
seseorang sungguh-sungguh manusia.

1 Oliver
Leaman, Eastern Philosophy: Key Readings (New York:
Routledge, 2000), 86.

57
Sedangkan Li mengandung arti „tatacara dan
upacara keagamaan‟, tetapi Konfusianisme
memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus
dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada
tindakan tepat manusia, dan Xiao merujuk pada
tindakan antar manusia yang menumbuhkan
„ren‟ yang juga berarti “hormat bakti yang muda
terhadap yang lebih tua”.
2. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”)
yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan
Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan
manusia” melainkan “jalan alam” yang merupa-
kan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip
kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat
tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse
lebih pada metafisika, sedangkan Konfusius lebih
pada etika. Puncak metafisika Taoisme adalah
kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang
Tao.
3. Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfu-
sius, tetapi kemudian dibangun dan dikembang-
kan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius,
Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi
ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus
dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan
dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam
tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat
untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi
adalah cara tepat untuk membimbing tindak
eksternal.

58
Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem
Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim
masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu
Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-
Adik, teman-teman.
4. Mohisme
Adapun perbedaan pendapat anatara konfu-
sianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para
Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ),
tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi
moral atau pendirian, para Konfusianis meng-
utamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa
menghitung keberhasilan-nya. Penganut Mo Tzŭ
lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara
khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian
(Kung).
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran
sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa
besar keberuntungan yang diberikan kepada
negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus
berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasi-
kan supaya menyumbang sesuatu nilai secara
mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa
diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa
diajarkan secara efektif kepada manusia lain
untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio
belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan
dengan idealisme Konfusianis, yang mengutama-
kan pembentukan moralitas yang mendukung
tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut
apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang
lebih memanfaatkan.

59
5. Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada
yang salah dalam hakekat masyarakat dan
peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat
Cina untuk membuang semua pranata dan
konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa
manusia yang dulu mempunyai suatu surga
kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri,
yaitu karna ia mengembangkan peradaban.
Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara
terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari
peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan
beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran
naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang
menjunjung tinggi Dao dan alam.
Chuang Tzu memandang Dao sebagai
totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam
semesta ini. Semua hal harus dibiarkan ber-
kembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan
tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah
suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasil-
kan dunia tidak atas dasar perencanaan atau
kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau
kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat
yang mewakili kaum materialistic Daoisme.
Apapun perbedaannya, mereka menekankan
bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan
kodratnya dan puas dengan apa adanya
6. Neo Konfusianisme
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfu-
sianisme yang terutama dikembangkan selama
Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke

60
permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang
lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka
cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimen-
si kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi
merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan.
Kosmologi Zhou Dunyi merupakan peng-
embangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab
Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk
ilustrasi dan membentuk „Tai Ji Tu dan Tai JI
Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao
Yong (kosmologis lain yang mengembangkan
ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi
Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64
hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai
(kosmologis lain yang juga mengembangkan
ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi
Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah
lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi „ke-satu-an‟ dari
segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan
Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rang-
kuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan
tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecer-
matan, itulah segalanya. Secara metafisis ada
kesatuan antara semua yang ada. Gagasan
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada
akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
Pertama-tama karena masalah politik dan
pemerintahan merupakan masalah sehari-hari
yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina
berkecendrungan mengutamakan pemikiran
praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-

61
hari. Dengan perkataan lain ia cenderung meng-
arahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
Para ahli sejarah pemikiran mengemuka-kan
beberapa ciri yang muncul akibat kecen-
derungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran
kebanyakan orang Cina antara teori dan pelak-
sanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan
demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat
tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat
justru lahir karena adanya berbagai persoalan
yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak
dari semacam „humanisme‟. Tekanannya pada
persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat
Yunani dan India. Manusia dan perilakunya
dalam masyarakat dan peristiwa kemanusiaan
menjadi perhatian utama sebagian besar filosof
Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika
dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu
secara padu. Etika dianggap sebagai intipati
kehidupan manusia dan sekaligus tujuan
hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian
diungkapkan melalui perkembangan jiwa sese-
orang yang menjunjung tinggi etika. Artinya
spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan
etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan
dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan
sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada
persoalan manusia sebagai makhluk sosial, per-
soalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau

62
individualitas tidak dikesampingkan. Namun
demikian secara umum filsafat Cina dapat
diartikan sebagai „Seni hidup bermasyarakat
secara bijak dan cerdas‟. Kesetaraan, persamaan
dan kesederajatan manusia mendapat perhatian
besar. Menurut para filosof Cina keselerasan
dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai
dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan
dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajar-
kan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina
pada umumnya yakin bahwa manusia dapat
mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan
menata dirinya melalui berbagai kebijakan
praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap
demokratis membuat bangsa Cina toleran ter-
hadap pemikiran yang anekaragam dan tidak
cenderung memandang sesuatu secara hitam
putih.
Keenam, agama dipandang tidak terlalu
penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka
menganjurkan masyarakat mengurangi pem-
borosan dalam penyelenggaraan upacara ke-
agamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan pada kemanusiaan
dan individu tampak dalam filsafat hukum dan
politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya
dibanding aturan-aturan formal yang abstrak
dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam
memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak
benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada
relativisme nilai-nilai.

63
Kedelapan, dilihat dari sudut pandang
intelektual, Para filosof Cina berhasil mem-
bangun etos masyarakat Cina seperti mencintai
belajar dan mendorong orang gemar melakukan
penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum
memecahkan dan melakukan sesuatu.
Demikianlah pengetahuan dan integritas
pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina.
Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja
hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksana-kan
oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.
Dapat disimpulkan pemikiran filsafat Cina
antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan; bertolak dari semacam „humanisme‟,
pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas
(masalah keruhanian) menyatu secara padu;
persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi
atau individualitas tidak dikesampingkan, meng-
ajarkan sikap optimistis dan demokratis; agama
dipandang tidak terlalu penting dibanding kebija-
kan berfilsafat; penghormatan terhadap kemanusia-
an dan individu tampak dalam filsafat hukum dan
politik, dalam memandang sesuatu tidak berdasar-
kan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedom-
an pada relativisme nilai-nilai; membangun etos
masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan
mendorong orang gemar melakukan penelitian
mendalam atas segala sesuatu sebelum memecah-
kan dan melakukan sesuatu.

64
C. Filsafat Islam
Islam berasal dari kata salam yang terutama
berarti damai dan juga berarti menyerahkan diri,
maka keseluruhan pengertian yang dikandung
nama ini adalah kedamaian sempurna yang ter-
wujud jika hidup seseorang diserahkan kepada
Allah. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah
Muslim.
Penyebutan filsafat barat-timur untuk filsafat
Islam terkesan buat-buatan karena secara geografis,
sebagian filosof Islam bermukim di Eropa dan
Afrika. Sangat sulit menemukan batasan-batasan
yang tepat dimana barat-timur ini diawali dan
diakhiri.
“The whole concept of „Eastern‟ philosophy is rather an
artificial one, since there are difficult issues in defining
where „East‟ starts and ends. Some of the thinkers
included here operated pretty far in the „West‟ (ibn
Rushd, for example, spent his life in Spain and North
Africa).”2
Akan tetapi, Filsafat Islam bisa digolongkan
ke dalam filsafat timur karena lebih dominan
sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti
umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia
timur, seperti Cina dan India. Jadi, yang dimaksud
filsafat timur disini adalah yang memiliki aliran
idealism, utamanya bercirikan spiritualis, yang
esensinya adalah dengan berfikir. Juhaya meng-
ungkapkan bahwa kata idealis itu dapat mengan-
dung beberapa pengertian, antara lain:

2 Ibid., ix.

65
1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang
tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya.
2. Orang yang dapat melukiskan dan menganjur-
kan suatu rencana atau program yang belum
ada.
Dalam buku Mulyadhi Kartanegara yang
berjudul Gerbang Kearifan, dia mendiskusikan
beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat
Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak
pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen.
Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para
filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat
Yunani, bukan filsafat Islam.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang
tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang
terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian
dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof
Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang
lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan
bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya
filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para
penulisnya banyak berasal dari Persia, dan nama-
nama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun dia sendiri cenderung pada sebutan
filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya
3 alasan :
1. Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia
Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi
yang menekankan keesaan Tuhan dan syari‟ah,
yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu
dominannya Pandangan tauhid dan syari‟ah

66
ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun,
termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai
dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan
pandangan syari‟ah yang bersandar pada ajaran
tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan
filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof
Muslim selalu memperhatikan kecocokannya
dengan pandangan fundamental Islam tersebut,
sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “peng-
islaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
2. Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah
pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa
ada kekurangan yang diderita oleh filsafat
Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka
mengeritiknya secara mendasar.
Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompok-
kan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak
segan-segan mengertik pandangan Aristoteles,
kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya
dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya
seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan
Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika
Aristotetles. Sementara al-„Amiri mengeritik
dengan pedas pandangan Empedokles tentang
jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan
pandangan Islam.
3. Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat
islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai
agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof
Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat
yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof

67
Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian,
mi‟raj dan sebagainya.
Berbeda dengan lingkup filsafat modern,
filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembang-
kan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang
yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika
dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang
filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak
menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang
luas ini.
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam
mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya
yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagai-
mana yang telah saya jelaskan dalam karya saya
yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya
integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi
ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu,
bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga
persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan
kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai
sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah
integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara meta-
fisika, fisika dan matematika, dengan berbagai
macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di
bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu
filsafat Islam tidak hanya mengakui metode
observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana
yang dipahami secara eksklusif dalam sains
modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti
entitasentitas yang bersifat abstrak, „irfani, untuk
melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan

68
(musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani,
yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir
bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-
teks suci, seperti al-Qur‟an dan Hadis. Oleh karena
itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi
indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan
juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan
penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat
selama ini banyak orang yang setelah menjadi
ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai
tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa
menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan
tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat
irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi
Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains.
Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik,
ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang
sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi
ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek
dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin
bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof
dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa
dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam
sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa
menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak
perlu menolak keabsahan dari masing-masing
bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga
unsur tersebut dipandang sama realnya.
Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di
dunia timur, kebanyakan lebih mengutamakan sisi
spiritual, dalam arti nilai-nilai keagamaan memang

69
kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat
timur. Dalam prinsip filsafat timur ini pada perilaku
manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma
sehingga manusia memiliki tujuan dalam
bertingkah laku. Begitu juga filsafat yang lahir dari
pemikir-pemikir Islam yang lebih menekankan
pandangannya mengenai dunia dengan berlandas-
kan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus
ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir
secara sistematis, radikal dan universal tentang
hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam.
Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang
berorientasi kepada al-Qur‟an, mencari jawaban
mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan
wahyu Allah.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid
naik tahta tahun 786 M, buku-buku pengetahuan
Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa
untuk membeli manuskrip. Pada mulanya pener-
jemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran,
tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain dan filsafat
pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa
ilmu pengetahuan Mesopotamia waktu itu,
kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi akhirnya
diadakan penerjemahan langsung dalam bahasa
Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah
sebagian besar karya Aristoteles, beberapa karangan
Plato serta karangan-karangan mengenai neo-
platoisme, Galen dan karangan di bidang kedokter-
an serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat
dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan di bidang

70
filsafat banyak menarik perhatian Mu‟tazilah
sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemuja-
an daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani.
Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja
mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi
telah memodifikasi dan menyempurnakan penge-
tahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil
usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi,
Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain
mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga
melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang
sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia dan
Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang
sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian
(Sassanian) telah mencapai puncak renaisan
kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam
datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian
menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat,
bersama-sama membawa sebuah sinkronisme
kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani,
Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut
dengan agama Islamnya, Huston Smith mengutip
juga dari Philip Hitti yang menyatakan sekitar nama
orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya dari
kegemilangan yang dimiliki oleh para penakluk
dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini
muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu
daerah kekuasaan yang terbentang dari pantai
Samudra Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang
merupakan suatu daerah kekuasaan yang lebih
besar dari kekaisaran Romawi pada zaman puncak

71
kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang
luar biasa ini mereka “merangkul berbagai unsure
asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan
bentuk fisik mereka, lebih daripada yang pernah
atau sesudahnya, tidak terkecuali orang Yunani,
Romawi, Anglo-Sakson, atau Rusia”. Tentu saja
periode yang dimaksud dalam kutipan tersebut
adalah saat pemerintahan Harun al-Rasyid.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus
sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat
tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan
dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme
(Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi
transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karak-
teristik tersebut sudah sering dikaji oleh para
sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham
kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang
bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari
Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang
cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai
sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi,
Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn
Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak
berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-
Platonisme. Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara
mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk
pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya.
Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola
Platonik, yang selama periode Hellenistik dan
Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam
pikiran Kristiani dan Yahudi. Tokoh yang ternama

72
dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi.
Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah
membuka jalan suatu dialog dengan wacana-
wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam
dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang
meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan
kebenaran yang dijadikan ukuran adalah
pengalaman “intuitif” yang kemudian mengela-
borasi dan memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah di perkenalkan
oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru
filsafat dengan semangat untuk mempertemukan
berbagai aliran pemikiran yang berkembang di
kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian
cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi
dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn
„Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat
hikmah cenderung berbicara masalah esensi
(wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai
eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai
bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui
penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis
intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner
witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan
(hudhur, presence). Begitulah perkembangan filsafat
Islam yang telah mendapat pengaruh dari beberapa
filosof Romawi dan Yunani yang kemudian diserap
menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata
Islam. Hanya saja sedikit pengaruh-pengaruh baik
dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakul-
turasi dalam filsafat ini.

73
Dalam pembahasan ini diulas mengenai
pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi
dan Al-Ghazali sebagai contoh gambaran konkrit
dari filsafat Islam.
1. Al-Kindi (196-873 M)
Nama lengkap filsuf ini adalah Ya‟kub bin
Ishaq bin al-Kindi yang lahir di Kufah dan
bertempat tinggal di Kindah, Yaman. Orangtua-
nya adalah Gubernur Basrah. Menurut keterangan
Ibnu al-Nadim buku-buku yang ditulisnya itu
berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika,
ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa,
politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya.
Dalam The Legacy of Islam dapat kita jumpai
informasi yang menjelaskan bahwa buku Al-Kindi
tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa
latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.
Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi
menjadi dua, yakni Pertama pengetahuan Illahi
atau ilm ila’hiy (devine science) seperti yang
tercantum dalam al-Quran, yaitu pengetahuan
langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar
pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, penge-
tahuan manusiawi atau ilm insaniyy (human
science) atau filsafat yang didasarkan atas
pemikiran (ration reason). Filsafat baginya adalah
pengetahuan tentang yang benar atau baths an al-
haqq (knowledge of the truth). Dari sinilah kita bisa
melihat persamaan antara filsafat dan agama.
Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama,
yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang
baik. Agama, disamping wahyu, juga mengguna-

74
kan akal. Adapun kebenaran pertama, menurut
al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq al-
awwal, the first Truth. Dengan demikian filsafat
membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi
dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi,
filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang
Tuhan.
Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari
dari manusia. Para filsuf Islam banyak memper-
bincangkan hal ini, karena al-Quran atau Hadis
Nabi tidak menjelaskan hakikat jiwa atau ruh.
Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya menurut al-
Ghazali dan Ibn Taimiyyah, mempunyai tiga
macam daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah,
dan daya berpikir/berakal. Namun demikian,
pendapat al-Kindi berbeda dengan keduanya
ketika ia mengatakan ada tiga macam akal, yaitu:
(a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang
telah keluar dari sifat potensial menjadi actual,
dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua
dari aktualitas (Juhaya,
2. Al-Ghazali (1059-1111 M)
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di
tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang
terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran
dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam
dikenal pada mulanya sebagai syak (skeptis)
terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini
kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran
ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-
Juwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti
dalam ilmu pasti itu dijumpai al-Ghazali dalam

75
hal yang ditangkap dengan panca indera, tetapi
baginya kemudian ternyata bahwa panca indera
juga berdusta. Sebagai upama, ia sebut bayangan
(rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi
akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-
bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu
lebih besar dari bumi. Karena al-Ghazali tidak
percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian
meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi
akal juga ternyata tak dapat dipercayai. “Sewaktu
bermimpi”, demikian kata al-Ghazali, ”orang
melihat hal-hal yang kebenarannya diyakni betul-
betul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa
yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.”
Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasa
benar menurut pendapat akal, nanti kalau
kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata
tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan
orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya.
Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatan-
nya untuk menyelidiki apakaha pendapat yang
diajukan filsuf-filsuf itulah yang merupakan
kebenaran. Baginya ternyata bahwa argumen
yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut
keyakinannnya ada yang ada yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam.
Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa
syak (keragu-raguan) yang lama mengganggu
dirinya. Dalam tasawuflah ia memperoleh
keyakinan yang dicari-crinya. Pengetahuan
mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke

76
dalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali
memperoleh keyakinannya kembali. Dengan
demikian satu-satunya pengetahuan yang dapat
menimbulkan keyakianan akan kebenarannya
bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diper-
oleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.

D. Filsafat Barat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di
Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat
muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak meng-
gantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di
Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala
itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
Jawabannya sederhana: Di Yunani, tidak seperti di
daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta
sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang
Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah
Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki.
Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja
ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates
adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah
murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-
komentar karya Plato dan Aristoteles belaka”. Hal
ini menunjukkan pengaruh keduanya yang sangat
besar pada sejarah filsafat.
Orang-orang Yunani yang hidup pada abad

77
ke 6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa
segala sesuatu yang bersumber dari dongeng-
dongeng atau mitos-mitos yang berlaku dalam
masayarakat harus diterima sebagai suatu kebenar-
an yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan
ataupun didekonstruksi. Dengan sistem keper-
cayaan yang seperti itu, tentunya suatu kebenaran
yang dihasilkan lewat akal pikir (logos) kalau tidak
sesuai mitos atau dongeng yang berlaku maka tidak
bisa dikatakan sebagai suatu kebenaran. Akal tidak
begitu mendapat tempat pada mada masa itu. Bisa
dikata bahwa masyarakat yang hidup pada masa
sekitar abad ke 6 SM atau sebelumnya, adalah
masyarakat orality yang menjadikan tradisi lisan
sebagai pegangan.
Pasca Abad ke 6 SM, mulai bermunculan
para pemikir Yunani yang menentang adanya
sistem kepercayaan yang berdasar pada mitos.
Mereka mulai mempertanyakan wujud sesuatu dan
sebab dari sesuatu itu, dalam arti mereka telah
mendudukkan akal pada posisinya. Obyek besar
kajian pada masa itu adalah alam semesta (kosmos).
Upaya para pemikir yang menggunakan akal
sebagai tolak ukur kebenaran ini menimbulkan
banyak orang yang mencoba membuat suatu
konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara
murni.
Secara garis besar, munculnya Filsafat Yunani
disebabkan oleh tiga faktor:
1. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng),
dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya
orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-

78
mitos tersebut kemudian disusun secara sistema-
tis yang untuk sementara kelihatan rasional
sehingga muncul mitos selektif dan rasional,
seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-
lain.
2. Banyaknya karya sastra Yunani yang dapat
dianggap sebagai pendorong kemuculan filsafat
Yunani, seperti karya Homerus yang mempunyai
kedudukan penting untuk pedoman hidup orang-
orang Yunani yang didalamnya terdapat nilai-
nilai edukatif.
3. Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang
berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai
Nil, yang kemudian mereka pelajari dan
kembangkan sehingga menjadi ilmu pengetahuan
yang teoritis dan kreatif.
Dalam buku-buku filsafat yang kami jadikan
sebagai referensi, sejarah Filsafat Yunani terbagi
menjadi dua fase atau dua periode, periode Yunani
kuno dan periode Yunani klasik. Periode Yunani
kuno diisi oleh ahli pikir alam seperti Thales,
Anaximandros, Pythagoras, Heraclitos, Parmanides,
Democritos dsb. Sedangkan pada periode Yunani
klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato,
Aristoteles dan masih banyak lagi.
Setelah filsafat Yunani mengalami kemegah-
an dan kejayaanya dengan hasil yang sangat
gemilang, yaitu melahirkan peradaban Yunani
merupakan titik tolak peradaban manusia di dunia.
Maka giliran selanjutnya adalah warisan peradaban
Yunani jatuh ke tangan kekuasaan Romawi.
Kekuasaan Romawi memperlihatkan kebesaran dan

79
kekuasaanya hingga daratan Eropa (Britania), tidak
ketinggalan pula pemikiran filsafat Yunani juga ikut
terbawa.
Di dalam masa pertumbuhan dan per-
kembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad)
belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi
setelah abad ke-6 masehi, barulah muncul para ahli
fikir yang mengadakan penyeledikan filsafat. Jadi,
ilsafat Eropa yang mengawali lahirnya Filsafat Barat
Aban Pertengahan.
Kekuasaan pengaruh antara filsafat Yunani
dengan agama Kristen dikatakan seimbang, karena
apabila tidak seimbang pengaruhnya, maka tidak
mungkin berintegrasi membentuk suatu formula
baru. Walaupun agama Kristen relatif masih baru
keberadaanya, tetapi pada saat itu muncul
anggapan yang sama terhadap filsafat Yunani
ataupun agama Kristen. Anggapan manusia bahwa
Tuhan turun ke bumi (dunia) dengan membawa
kabar baik bagi umat manusia. Kabar baik tersebut
berupa firman Tuhan yang dianggap sebagai
sumber kebijaksanaan yang sempurna dan sejati.
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas
di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat
ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani
kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi
Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan
rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti
Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnah-
kan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan
eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap

80
telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di
Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar
filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin
kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat, diantaranya:
Wittgenstein mempunyai aliran analitik
(filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-
negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga
diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak
setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”.
Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang
empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu
eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat.
Yang menjadi obyek penelitian filsafat
analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-
peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip.
Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu
yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang
menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah
analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam
mengembangkan sistem bahasa buatan.
Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat
″kritik” yang tidak mau melewati batas
kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme
dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia
membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman

81
inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama
antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan
keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan
harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga:
a. Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat
ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang
dapat diketahui. Manusia hanya dapat menge-
tahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus
ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang
dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya
menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh
pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan
dunia.
b. Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya
buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori
imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini
dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat:
kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya
Tuhan.
c. Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant mem-
bicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan
antara yang umum dan yang khusus.
Rene Descartes, berpendapat bahwa kebenar-
an terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal
pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia,
khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memper-
oleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu.
Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni
aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses
kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang
jelas dan tajam.

82
Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi
dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya
Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya
tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif.
Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa
dan res copgitans”.
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa di-
pelajari secara akademis di universitas-universitas
di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat
ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani
kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran
barat konvensional pemikiran yang sistematis,
radikal, dan kritis seringkali merujuk 6 pengertian
yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis.
Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat
analitik memberikan criteria bahwa pemikiran
dianggap filosofis jika mengadung kebenaran
korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni
sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan
itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika
pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika
indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataan-
nya tidak maka pernyataannya dianggap salah.
Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar
jika pernyataan itu mengandung koherensi logis
(dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi
menjadi tiga bagian besar yakni:
1. Bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being).
2. Bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epis-
timologi dalam arti luas)

83
3. Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentu-
kan apa yang seharusnya dilakukan manusia
(aksiologi).
Pada umumnya, filsuf-filsuf Barat dibagi ke
dalam beberapa cabang pokok. Pembagian itu di
dasarkan pada jenis pertanyaan yang diajukan oleh
orang-orang yang bekerja di lapangan. Cabang yang
paling banyak berpengaruh pada masa dunia kuno
adalah Stoic, yaitu menahan hawa nafsu. Stoic
dibagi ke dalam beberapa bagian filsafat, seperti
Logika, Etika, Ilmu pengetahuan, dan Fisika. Fisika
merupakan konsep studi tentang gejala-gejela alam
di dalam dunia ini, dan termasuk ilmu pengetahuan
alam dan metafisika. Filsafat kontemporal secara
umum dapat dibagi ke dalam metafisika,
epistimologi, etika, axiology, dan estetis. Logika
terkadang juga dijadikan sebagai bagian di dalam
filsafat, terkadang juga hanya sebagai metode yang
digunakan untuk seluruh cabang-canbang filsafat.
Sub disiplin filsafat terdapat di dalam
cabang-cabang yang luas tersebut. Pada level yang
terluas, terdapat filsafat Analitik dan filsafat
Kontinental. Filsafat Analitik lebih sederhana
dibandingkan denga filsafat Kontinental. Sub
disiplin ini terkadang menjadi topik yang hangat
dan dapat menempati tempat yang banyak dalam
tulisan-tulisan. Hal ini disebabkan oleh orang-orang
yang beranggapan bahwa sub disiplin ini sebagai
cabang-cabang utama.

84
BAB IV
SISTEMATIKA FILSAFAT

A. Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa
Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan
dan „logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu.
Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari
kata kerja epistamai, artinya menundukkan,
menempatkan, atau meletakkan.
Maka, secara harafiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepat-
nya. Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-
negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di
negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat
Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun
lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-
masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahu-
an, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umum-
nya epistemologi itu hanya membicarakan tentang
teori pengetahuan dan kebenaran saja.1
Epistemologi merupakan salah satu cabang
filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat
pengetahuan.2 Lebih lanjut, epistemologi adalah
suatu teori pengetahuan yang membahas berbagai

1
Salam Burhanuddin, Logika Materil: Filsapat Ilmu Pengetahuan
(Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1, 4.
2
yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang
secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan. Jujun S.Sumatriasumatri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988) 234.

85
segi pengetahuan seperti: kemungkinan, asal mula,
sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan,
validitas, dan reliabilitas, sampai pada soal
kebenaran. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang
mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya,
pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran
ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan
dari epistemologinya.3
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu
tentang pikiran.4 Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor.
Logika minor mempelajari struktur berpikir dan
dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor
mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan
kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu
dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut
Sophis, yaitu orang yang secara sadar memper-
masalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis
adalah kelompok yang paling bertanggung jawab
atas keraguan itu. Oleh karena itu, epistemologi
juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu
disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan
sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk
menentukan pengetahuan yang benar dan yang
tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani,
krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan
menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar
dan yang tidak benar memang agak dekat dengan
3
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006). 37-41.
4
J. Archie Bahm, What Is Science: Reprinted from my Axiology; The
Science Of Values (Albuquerqe, New Mexico: World Books, 1984), 51.

86
episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual
untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.5 Jika
diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas
bahwa hal yang hendak diselesaikan epistemologi
ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Ada beberapa pengertian epistemologi yang
diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan
untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory
of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi
berasal dari kata yunani episteme berarti penge-
tahuan, dan logos berarti teori. epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mem-
pelajari asal mula atau sumber, struktur, metode
dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.6
Pengertian lain, menyatakan epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang
lingkup pengetahuan? sampai tahap mana penge-
tahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan
espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan,
epistemologi adalah cabang filsafat yang mem-
pelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya
dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger meng-

5
C. Semiawan, dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan
Ilmu Sepanjang Zaman. (Jakarta : Mizan Publika. 2005).
6
W.S Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian. Realms of Philosophy
(tp:Schenkman Pub Co. 1965). 221.

87
emukakan, epistemologi adalah pengetahuan
tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya
pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita,
atau pengetahuan yang kita miliki tentang
pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi
adalah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo
memberikan pendapat bahwa epistemology adalah
bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicara-
kan tentang terjadinya pengetahuan dan mengada-
kan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan
yang telah terjadi itu.7
Pada awalnya, manusia percaya bahwa
dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai
realitas sebagaimana adanya. Para filosof tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini
(epistemologi), sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan
perubahannya, sehingga mereka sering disebut
filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja
bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin,
meskipun beberapa diantara mereka menyarankan
bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan
dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber
tertentu, daripada sumber-sumber yang lainnya,
misalnya penekananan penggunaan indera,
penekanan penggunaan akal, meskipun tidak
satupun dari mereka yang meragukan kemungki-

7
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
2006). 25.

88
nan adanya pengetahuan mengenai kenyataan
(realitas).8
Kemudian muncul keraguan terhadap ada-
nya kemungkinan itu, mereka yang meragukan
akan kemampuan manusia mengetahui realitas
(kaum sophis), mereka menanyakan seberapa jauh
pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar
merupakan sumbangan subjektifitas manusia?
Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai
kodrat sebagaimana adanya? Sikap skeptis inilah
yang mengawali munculnya epistemologi.
Epistemologi sering juga disebut teori penge-
tahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih
memfokuskan kepada makna pengetahuan yang
berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria
pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain
sebagainya. Harold Titus, secara sistematis
menjelaskan tiga persoalan dalam bidang epistemo-
logi, yaitu:9
a. Apakah sumber pengetahuan itu, dan dari mana-
kah datangnya pengetahuan yang benar, serta
bagaimana cara mengetahuinya?
b. Apakah sifat dasarnya, adakah dunia yang benar-
benar di luar pikiran kita, serta kalau ada, apakah
kita dapat mengetahui ?
c. Apakah pengetahuan itu valid, dan bagaimana
membedakan yang benar dan salah?

8
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibnu Arabi: Kritik Metafisika
Ketuhanan (Yogyakarta: LKiS, 2012). 32-33.
9
P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. 1994). 18-21.

89
Lain halnya pendapat Kattsoff, yang me-
nyatakan bahwa pertanyaan epistemologi hanya
ada dua macam:10
a. Bahwa epistemologi itu kefilsafatan yang ber-
hubungan dengan psikologi, dan pertanyaannya
semantik yang menyangkut hubungan antara
pengetahuan dan objeknya.
b. Bahwa epitemologi adalah sumber, sarana, dan
tata cara, menggunakan itu untuk mencapai
pengetahuan.
Sementara Quassim Cassam menyatakan
bahwa pertanyaan mendasar dalam epistemologi
setidaknya ada dua yaitu:
1. To answer “what is knowledge”. It is to analyse
the concept of knowledge.
2. To analyse the concept of knowledge is to come up
with noncircular necessary and sufficient conditions
for someone to know that something is the case.11
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui
akal, indera dan lain-lain mempunyai metode ter-
sendiri dalam teori pengetahuan, 12 yaitu antara lain:
1. Metode Induktif
Metode ini mengemukakan adanya keter-
batasan indera dan akal manusia untuk mem-
peroleh pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkan pun akan berbeda-beda. Oleh sebab
itu, harus dikembangkan suatu kemampuan akal
yang disebut dengan intuisi. Metode induksi ini
10
Rakhmat Cece. Membidik Filsafat Ilmu (Bandung: Mizan, 2010). 126.
11
Quassim Cassam, “What is Knowledge”, dalam Anthony O’hear (ed.),
Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101.
12
Amsal Bakhtiar , Filsafat Ilmu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
2006).152.

90
yang menyimpulkan pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu peryataan yang lebih
umum13.
2. Metode deduktif
Deduksi adalah metode yang menyimpul-
kan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut
dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-
hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-
kesimpulan itu sendiri.
3. Metode postivisme
Metode ini berawal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Menge-
nyampingkan segala uraian diluar yang ada
sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gekala.
Dengan demikian , metode ini dalam bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada
bidang gejal-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan bahwa adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkan pun juga berbeda-beda, dan harusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang
disebut : intuisi.
5. Metode Dialektis
Metode ini berasal dari bahasa Yunani
yaitu: Dialektike, yang artinya cara atau metode
berdebat dan berwawancara yang diangkat

13
Ibid, 152-155.

91
menjadi sarana dalam memperoleh pengertian
yang dilakukan secara bersama-sama mencari
kebenaran. Dialektika dalam hal ini berarti
mengkompromikan tesis, anti tesis dan sintesis.
Sebagai ciri yang perlu diperhatikan dalam
epistemologi perkembangan ilmu pada masa
modern adalah munculnya pandangan baru
mengenai pengetahuan. Pandangan baru ini
mengenai kritik terhadap pemikiran Aristoteles
yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
sempurna tidak boleh mencari untung, namun
harus bersikap kontemplatif, diganti dengan
pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari
untung, artinya dipakai untuk memperkuat
kemampuan manusia di muka bumi ini.
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemo-
logi, meliputi hakekat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi
enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan,
batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M
Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi
mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah
ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa
hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang
tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah
kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua

92
masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah
benarnya ilmu.14
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali
kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada
dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis.15 Sedang-
kan Paul Suparno menilai epistemologi banyak
membicarakan mengenai apa yang membentuk
pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek
lainnya justru diabaikan dalam pembahasan
epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang men-
dapat perhatian yang layak.16
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan
kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemo-
logi itu hanya terbatas pada sumber dan metode
pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya
diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih
lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi
secara sistemik, seserorang cenderung menyeder-
hanakan pemahaman, sehingga memaknai epis-
temologi sebagai metode pemikiran, ontologi
sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi
sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa
berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif
maupun negatif. Padahal sebenarnya metode

14
Lorens Bagus. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2005). 63-64.
15
Amin Abdullah. Pendekatan Integratif- Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2006). 13-15
16
. The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty. 2004).
30.

93
pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari
cakupan wilayah epistemologi.
Berdasarkan cara kerja atau metode
pendekatan yang diambil terhadap gejala penge-
tahuan,17 epistemologi dibedakan menjadi tiga
yaitu: Pertama, epistemologi metafisis. Yaitu epis-
temologi yang mendekati gejala pengetahuan
dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika
tertentu. Epistemologi macam ini berangkat dari
suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu
membahas tentang bagaimana manusia mengetahui
kenyataan tersebut.
Kedua, epistemologi skeptis. Dalam epistemo-
logi ini, kita perlu membuktikan dulu apa yang
dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau
benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan
menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala
sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan.
Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah
apabila orang sudah masuk sarang skeptisme dan
konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemu-
kan jalan keluar.
Ketiga, epistemologi kritis. Epistemologi ini
tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi
tertentu, melainkan berangkat dari asumsi,
prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat
ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan
pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam

17
Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta: Pustaka
Kanisius 1992). 72-73.

94
kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis
asumsi, prosedur, dan kesimpulan tersebut.
Selain tiga macam epistemologi berdasarkan
titik tolak pendekatannya, secara umum berdasar-
kan objek yang dikaji,18 epistemologi juga dapat
dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama,
epistemologi individual. Dalam epistemologi
individual, kajian tentang bagaimana struktur
pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam
proses mengetahui, misalnya dianggap cukup
mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua
pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh.
Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status
kognitifnya maupun proses pemerolehannya,
dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan
manusia individual sebagai subjek penahu terlepas
dari konteks sosialnya.
Kedua, epistemologi sosial. Adalah kajian
filosofis terhadap pengetahuan sebagai data
sosiologis. Bagi epistemologi sosial, hubungan
sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial
dipandang sebagai faktor-faktor yang amat
menentukan dalam proses, cara, maupun
pemerolehan pengetahuan.
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu
pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang
pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan
menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita
ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah

18
Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge (New York: Scribner,
1959). 68-71.

95
masalah sentral epistemologi, tetapi masalah ini
bukanlah semata-mata masalah filsafat. Pandangan
yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina,
bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat,
melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab
epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan
pikiran manusia, the workings of human mind.
Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas
terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang
memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran
manusia.19
Cara pandang demikian akan berimplikasi
secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-
spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek
filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan
upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika
diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam
menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin
ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran
manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode
deduktif yang penuh penjelasan dari hasil
pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini
berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali
psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.20
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan
dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupa-
kan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi

19
Peter R. Senn, Social Science and its Methods (tp: Holbrook, 1971), 9-
35.
20
Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adams and
Co, 1971). 120-122.

96
menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penye-
lidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya
untuk mendapatkan pengetahuan dan mengem-
bangkannya. Aktivitas ini ditempuh melalui
perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan padangan tentang eksistensi
epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertim-
bangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan
Thomas C. Hunt yang menilai, epistemologi
keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.
Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu
bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit,
sebab epistemologi menjangkau permasalahan-
permasalahan yang membentang seluas jangkauan
metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun
yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu,
pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak
dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya
diandaikan begitu saja, maka minat untuk mem-
bicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban ter-
hadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk
melebihi takaran minat kita.21
Epistemologi atau teori mengenai ilmu
pengetahuan itu adalah inti sentral setiap
pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang
bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang
tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa
yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa

21
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam MencariIlmu
dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1987). 50.

97
yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah
diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin
diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa
dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap
objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti
dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-
objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madarat-
nya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui,
meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada
juga objek yang benar-benar merupakan misteri,
sehingga tidak mungkin bisa diketahui.22
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara
dan arah berpikir manusia. Seseorang yang
senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan
bertolak dari teori yang bersifat umum menuju
detail-detailnya, berarti dia menggunakan pen-
dekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung
bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik
kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan
pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu
mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang
masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan
pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan
melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah
dilalui. 23
Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi
terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang
menemukan seseorang beraktivitas dengan serba
22
A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis
Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta : PT. Bumiaksara. 2011). 80-83.
23
Stanley, Metode, 52.

98
strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa
depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang
dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia,
karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek,
jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka
tindakannya itu justru merugikan.24
Pada bagian lain dikatakan, bahwa
epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan
gabungan antara berpikir secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir
tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam
untuk menemukan kebenaran, sebab secara epis-
temologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah
usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan
bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari
diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi
berpikir rasional, sedangkan usaha untuk mem-
buktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini
juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan
berkaitan dengan deduksi, sedangkan usaha
membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan
kedua macaram cara berpikir tersebut disebut
metode ilmiah.25
Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemo-
logi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di
satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan
landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa

24
Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian, 83.
25
D. Runes, Dictionary of. 121.

99
metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan
empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di
sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu
pada landasannya, karena lebih mencerminkan
esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman
ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu
memang rumit sekali, sehingga selalu membutuh-
kan kajian yang dilakukan secara berkesinam-
bungan dan serius.26
Secara global epistemologi berpengaruh
terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban,
sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya.
Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia,
dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial.
Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan
kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu
mereka itu (suatu kesatuan yang merupakan hasil
pengamatan kritis dari ilmu-ilmu) dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains
dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh
penguasaan dan bahkan pengembangan epistemo-
logi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa
fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan
teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemo-
logi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
yang strategis dalam merekayasa pengembangan-
pengembangan alam menjadi sebuah produk sains

26
Hector Hawton,. Filsafat Yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah
(Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003). 220.

100
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian halnya yang terjadi pada teknologi.
Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi
jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi
sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengem-
bangan epistemologi.27
Epistemologi senantiasa mendorong manusia
untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan
menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk
teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-
pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran
dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana
cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa
yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu
itu, dan sebagainya.

B. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian
filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas
makna realitas atau suatu entitas bukan menerima
apa adanya. Walaupun terkesan sederhana, tak
sedikit pembahasan ontologi disalah-artikan. “What
is existing” merupakan pertanyaan mendasar dalam
kajian ontologis.
“The concept of being is so fundamental to philosophy that we
usually take the idea of existence for granted rather than try
to analyse its meaning….., it appears that the definition of
existence is transparently simple, although its implications are
easily misinterpreted…., What exists? This is what we really

27
J. Donald Walters,, Crises In Modern Thought (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003). 20-22.

101
want to know: whether and in what sense spatiotemporal
physical entities, numbers and sets, propositions and
universals, persons and minds and God, among other things,
are real.28
Pembahasan mengenai ontologi berarti
membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapat-
kan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses
bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenaran-
nya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar
pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada
bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai
dasar pembahasan realitas.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari
suatu pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti
atau pengamat tersebut berusaha membuat
penjelasan mengenai hasil pengamatan atau
penelitiannya tersebut. Dengan demikian, ilmu
merupakan suatu kegiatan yang sifatnya opera-
sional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana
suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang
operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak dapat
menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam
pengkajiannya.
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos
= ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu
yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk

28
Dale Jacquette, Ontology: Central Problem of Philosophy (Chesham:
Acumen, 2002), 1.

102
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Ada
beberapa pengertian ontology menurut para tokoh-
tokoh filsafat diantaranya:
Menurut Suriasumantri ontologi membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut dan
bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa,
dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Menurut Soetriono & Hanafie, ontologi yaitu
merupakan azas dalam menerapkan batas atau
ruang lingkup wujud yang menjadi obyek
penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat
realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek
formal tersebut dan dapat merupakan landasan
ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh
pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam
kenyataan dan keberadaan. Pandangan The Liang
Gie, ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang
mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang
pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:
Apakah artinya ada, hal ada? Apakah golongan-
golongan dari hal yang ada? Apakah sifat dasar
kenyataan dan hal ada? Apakah cara-cara yang
berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori
logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis,

103
pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat
dikatakan ada?.
Pengertian paling umum pada ontologi
adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba
mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini
menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri
menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersen-
diri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam
dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian
untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep
terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat
diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”.
Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori
tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin
terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkas-
nya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi
tentang sesuatu yang ada.
Ontologi merupakan salah satu di antara
lapangan-lapangan penyelidaikan kefalsafatan yang
paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang tertua di
antara segenap filsuf Barat yang kita kelan ialah
orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama
Thales. Atas perenungannya terhadap air yang
terdapat dimana-mana, ia sempai pada kesimpulan
bahwa air merupakan subtansi terdalam yang
merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang
penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajaran-

104
ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal
mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari
satu subtansi belaka
Thalas merupakan orang pertama yang
berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah
pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah
letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya,
semua orang waktu itu memandang segala sesuatu
sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka
menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya,
hal-hal tersebut dipandang sebagai subtansi-
subtansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata
lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada peme-
liharaan antara kenampakan (appearance) dangan
kenyataan (reality).
Jarang terjadi sekali, si polon (orang
kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa yang
secara selayang pandang tampak sabagai makanan
yang sedap, namun setelah dicicipinya ternyata
sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika
kita menginginkan suatu istilah yang dapat
diterapkan kepada orang kebanyakan semacam itu,
kiranya mereka dapat dinamakan para penganut
paham pluralisme yang bersahaja di bidang
ontologi. Dikatakan bersahaja kerena segala sesuatu
di pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan
penganut paham pluralisme kerena perpendirian
ada banyak subtansi yang terdalam.
Kebanyakan orang setidak-tidaknya
mengadakan pembedaan antara barang-barang
yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat

105
kejasmanian atau yang dipahamkan “jiwa”.
Kadang-kadang orang banyak menjumpai mereka
yang berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu
tidak ada, yang ada dalam kenyataan ialah barang-
barang kejasmanian. Pertimbangan keselamatan diri
mereka.
Tetapi kadang-kadang mereka sangat resah
akan ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin sekali
mereka memaki-maki dengan keres para penganut
paham meterialisme tersebut, atau mungkin mereka
juga setelah mendengar pendirian tersebut ber-
istirahat sejenak menjauhi keramaian dunia dan
memikirkan masalah tersebut sambil bertanya-
tanya: siapakah sesungguhnya yang benar dalam
hal ini? Dan sesungguhnya apakah hakekatnya itu?
Yang demikian ini merupakan pertanyaan di
bidang ontologi. Selanjutnya dapat menyababkan
pertanyaan-pertanyaan lain seperti: hubungan
apakah yang terdapat di antara berbagai bagian dari
keyataan dan bagaimanakah caranya kenyataan itu
berubah? Pernyataan semacam ini di acap kali
dinamakan pertanyaan-pertanyaan „di bidang
kosmologi‟, sebab menyangkut ketertiban serta
tatanan kenyataan, dan bukan hakekatnya yang
terdalam.
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat
kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang
mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau
jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan
secara kauntitatif. Atau orang dapat juga mengaju-
kan pertayaan, “dalam bab terahir, apakah yang
merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini

106
merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam
hubungan tertentu, segenap masalah dibidang
ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum, seperti
“bagaimanakah cara kita hendak membicarakan
kenyataan?”
Kiranya jelas, penyifati-penyifati yang satu
dan sama dapat diberikan kepada segenap segi
kenyataan, maka kenyataan itu tunggal. Kesimpul-
an diatas dapt ditarik, karena juga terdapat dua
bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka
keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada
salah satu penyifatan yang tidak dapat diberikan
kepada seluruh yang ada.
Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat
dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas
sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai
dengan pendapat ini, maka usaha pertama untuk
memahami ontologi ialah menyusun daftar dan
memberikan keterangan mengenai sejumlah istilah
dasar yang digunakan di dalamnya.
Di antara istilah-istilah terpenting yang
terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence),
perubahan (change), tunggal (one), jamak (many).
Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna
yang terkandung oleh istilah-istilah tersebut,
termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan yang
menggunakan istilah-istilah tadi.
Ontologi, dalam bahasa Inggris „ontology‟,
berakar dari bahasa yunani „on‟ berarti ada, dan
„ontos‟ berarti keberadaan. Sedangkan „logos‟

107
berarti pemikiran. Jadi, antologi adalah pemikiran
mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya
menurut A.R. Lacey, antologi diartikan sebagai “a
central part of metaphisics” (bagian sentral dari
metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai
“that which comes after „physics‟,………the study of
nature in generla”. (hal yang hadir setelah
fisika,………..studi umum mengenai alam). Dalam
metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai
substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam
semesta iniberhakikat monistik atau pluralistic,
bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam
semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau
kemungkinan (potency).
Beberapa karekteristik ontology seperti
diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat diseder-
hanakan sebagai berikut:
1. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan
“berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada
dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya
yang paling abstrak.
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mem-
pelajari tata dan struktur realitas dalam arti
seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-
katagori seperti: ada atau menjadi, aktualitas
atau potensialitas, nyata atau penampakan,
esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan
waktu, perubahan, dan sebagainya
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba
melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu
yang satu, yang absolute, bentuk abadi,

108
sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang
mutlak bergantung kepada-nya.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status
realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran
itu nyata, dan sebagainya.
Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak
atau jenis menentukan kesatuan (kesamaan) dari
berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau
barang-barang yang berbeda-beda dan terpisah-
pisah,. Perbedaan dan keterpisahan dari orang-
orang bernama Socrates, Plato, Aristoteles dan
sebagainya, terikat dalam satu kesamaan sebagai
manusia. Manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-
benda lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah,
tyersatukan dengan kesamaan jenis sebagai
makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai
titik sifat abstrak tertinggi daripada sesuatu hal (an
ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi
inilah segala macam perbedaan dan keterpisahan
menyatu dalam subtansi dalam filsafat, study
mengenai hakikat jenis atau hakikat abstrak ini
masuk kedalam bidang metafisika umum (general
metaphisics) atau ontology. Oleh sebab itu,
pembahasan tentang hakikat jenis ilmu pengetahu-
an berarti membahas ilmu pengetahuan secara
ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta
perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan ini
merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan
(potency), dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan
itu tentang pluralistic atau monolistik?.
Secara ontologis, artinya secara metafisika
umum, objek materi yang dipelajari didalam

109
pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada
tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek materi
pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan
berada pada tingkat abstrak tertinggi yaitu dalam
kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk.
Kenyataan itu mendasari dan menentukan
kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata
lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu,
yaitu dalam kesatuan objek materinya.
Disamping objek materi, keradaan ilmu
pengetahuan juga lebih ditentukan oleh objek
forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai
sudut atau titik pandang (point of view), selanjutnya
menentukan ruang lingkup studi (scope of the study).
Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya
ilmu pengetahuan berkembang menjadi plural,
berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara
satu dengan yang lain. Berdasarkan pada objek
forma, selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung
dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah
dan jenis bagian yang ada didalam objek meteri.
Dari objek materi yang sama dapat menimbulkan
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang plural dan
berbeda-beda. Dari objek materi manusia, misalnya:
melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi,
psikologi, dan ilmu pendidikan dengan ranting-
rantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan
ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, dan mate-
matika dengan ranting-rantingnya.
Jadi secara ontologis, hakikat pluralitas ilmu
pengetahuan menurut perbedaan objek forma itu

110
tetap dalam kesatuan sistem, baik “interdisipliner”
maupun “multidisipliner”. Interdisipliner artinya
keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan
dalam objek materi yang sama, dan multidisipliner
artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahu-
an dalam objek materi yang berbeda. Berdasarkan
kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu
pengetahuan justru mendapatkan validitasnya,
tetapi secara ontologios pemisahan atas perbedaan
ilmu pengetahuan yang berbeda-beda berkon-
sekuensi negative berupa perilaku disorder
(pengerusakan) terhadap realitas kehidupan.
disamping, pendekatan kuantitatif menurut objek
materi dan objek forma terhadap pemecahan
masalah hakikat ilmu pengetahuan, secara ontologis
masih ada pendekatan kualitatif. Melalui pen-
dekatan kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek
ontology ilmu pengetahuan dengan persoalan
hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan,
dapat digolongkan kedalam tingkat-tingkat abstrak
universal, teoretis potensial dan konkret fungsional.
Pada tingkat abstrak universal, pluralitas
ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada tingka ini
yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu
dalam jenis, sifat dan bentuknya didalam ilmu
pengetahuan „filsafat‟. Karena filsafat memandang
suatu objek materi menurut seluruh segi atau sudut
yang ada didalamnya.dari keseluruhan segi itulah
filsafat mempersoalakan nilai kebenaran hakiki
objek materinay, yaitu kebenaran universal yang
berlaku bagi semua ilmu pengetahuan yang berbeda
dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang

111
bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi filsafat,
perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat
aksidental, bukan substansial. Bagaimanapun
perbedaan objek materi, tetap dalam satu system
yang tak terpisahkan, yaitu tak terpisahkan dalam
substansi mutlak (causa prima). Didalam causa
prima inilah kebenaran universal tertinggi yang
bersifat demikian, maka meliputi pluralitas
kebenaran, dan berfungsi sebagai sumber dari
segala sumber kebenaran.
Selanjutnya, pada tingkat teoreti potencial,
pluralitas ilmu pengetahuan mulai tampak. Pada
tingkat teoretis, boleh jadi pluralitas ilmu
pengetahuan masih berada dalam satu kesatuan
system. Suatu teori berlaku bagi banyak jenis ilmu
pengetahuan serumpun, tetapi tidak berlaku bagi
banyak jenis ilmu pengetahuan yang berlainan
rumpun. Teori ilmu pengetahuan social, cenderung
tidak dapat digunakan dalam rumpun ilmu
pengetahuan alam, karena perbedaan watak objek
materi. Manusia dan masyarakat, sebagai objek
materi ilmu pengetahuan social, berpotensi labil dan
cenderung berubah-ubah, sedangkan badan-badan
benda sebagai objek materi ilmu pengetahuan alam
berpotensi stabil dan cenderung tetap. Karena itu,
teori ilmu pengetahuan social cenderung berubah-
ubah menurut dinamika eksistensi kehidupan
manusia dan masyarakat, dan teori ilmu pengetahu-
an alam cenderung bersifat tetap.
Kemudian, pada tingkat praktis fungsional,
pluralitas ilmu pengetahuan justru mendapatkan
legalitas akademik. Karena pada tingkat ini, ilmu

112
pengetahuan dituntut untuk memberikan kontribusi
praktis secara langsung terhadap upaya reproduksi
demi kelangsungan eksistensi kehidupan manusia.
Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial
disusun dalam suatu system tekhnologis, sehingga
membentuk tekhnologi yang siap memproduksi
barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan manusia
dan masyarakat. Pada tingkat praktis fungsional ini,
pluralitas dalam hal perbedaan dan keterpisahan
ilmu pengetahuan, tersatukan dalam suatu system
tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan demi kelangsungan eksis-
tensi kehidupan. Adapun aliran-aliran dalam
Ontologi sebagai berikut:
1. Ontologi Yang Bersahaja
Kebanyakan orang tidaknya mengadakan
pembedaan antara barang-barang yang dapat
dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian
atau yang dipahamkan „jiwa‟. Kadang kadang
orang kebanyakan menjumpai mereka yang
berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak
ada, yang ada dalam kenyataannya ialah barang
kejasmanian, pendirian yang demikian ini tidak
begitu diperhatikan, demi pertimbangan ke-
selamatan diri mereka. Tapi kadang mereka
sangat resah akan ajaran-ajaran semacam itu.
Mungkin mereka sesekali memaki-maki dengan
keras para penganut paham materialisme
tersebut.
2. Ontologi Kuantitatif dan Kualitatif
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat
kenyataan dari dua macam sudut pandang.

113
Orang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu
tunggal atau jamak?” yang demikian ini
merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang
dapat juga mengajukan pertanyaan, “dalam
babak terakhir, apakah yang merupakan
kenyataan itu?‟ yang demikian ini merupakan
pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan
tertentu, segenap masalah dibidang ontology
dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanya-
an yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah
cara kita hendak membicarakan kenyataan”.
3. Ontologi Monistik
Parmenides mengatakan, kenyataan itu
tunggal adanya, dan segenap keanekaragaman,
perbedaan serta perubahan, bersifat semu
belaka. Dewasa ini system monistik seperti itu
tidak umum dianut orang. Karena, justru
perbedaanlah yang merupakan katagori dasar
segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya. Tetapi, ada juga
orang-orang yang berpendirian bahwa pada
dasarnya segala sesuatu sama hakekatnya.
Pendirian yang demikian ini dianut oleh para
pendukung paham monisme dewasa ini.yaitu
kaum idealism dan kaum materialisme.
Sesungguhnya, yang tersngkut dalam hal ini ilah
masalah terdapat atau tidaknya macam-macam
kenyataan yang berbedah-bedah. Sudah tentu
jika kita mengatakan segala sesuatu merupakan
kenyataan, maka sampai sejauh itu memang
segala sesuatu sama. Perbedaan yang pokok
diantara par penganut monisme dengan para

114
pengenut non monisme ialah dalam sikap
mereka masing-masing yang menerima atau
menolak pernyataan.
Ontologi berdasarkan cara menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Naturalisme
Kejadian sebagai katagori pokok.William R.
Dennis seorang pengenut paham naturalisme
dewasa ini mengatakan, naturelisme modern-
ketika berpendirian bahwa apa yang di namakan
kenyataan pasti bersifat kealaman-beranggapan
bahwa katagori pokok untuk memberikan
keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian.
Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu
merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan
yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh
manusia biasa. Hanya satuan-satuan semacam
itulah yang merupakan satu-satunya penyusun
dasar bagi segenap hal yang ada.
Yang nyata pasti bereksistensi. Ada dua
macam kesimpulan yang segera dapat ditarik
dari pendirian di atas. Pertama, sesuatu yang
dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak
mungkin merupakan kenyataan. Kedua apa pun
yang di anggap tidak mungkin untuk ditangani
dengan menggunakan metode yang digunakan
dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupa-
kan kenyataan. Ini bukan hanya berarti bahwa
yang bereksistensi bukan merupakan himpunan
bawahan dari kenyataan melainkan bahwa
kedua himpunna tersebut persis sama artinya.

115
2. Materialisme
Yang terdalam ialah materi. Materialisme
mendasarkan ajarannya pada pengertian “alam”,
berusaha melampaui pengertian “alam” dan
mendasar diri pada macam substansi atau
kenyataan terdalam yang dinamakan “materi”.
Sebelum berkembangnya fisika modern dengan
hasil panyelidikannnya yang menunjukkan
bahwa substansi reniks yang keras, bulat serta
tidak tertimbus yaitu atom ternyata masih dapat
dipecahkan lebih lanjut, maka substansi
semacam itulah yang dipandang sebagai materi.
Kaum materalisme pada masa lampau meman-
dang alam semesta tersusun dari zat-zat renik
yang terdalam tersebut dan memandang alam
semesta dapat diterangkan berdasarkan hukum-
hukum dinamika. Berangakta dari pemahaman
itu kaum materialis dewasa ini mengenal rumus
yang paling mengejutkan di dalam fisika yaitu
E=MC2, yang menggambarkan bahwa tenaga E
kedudukannya dapat saling dipertukarkan
dengan massa M.
3. Idealisme
Para penganut faham naturialisme dan
materiallisme mengatakan bahwa istilah-istilah
yang mereka sarankan (meteri, alam, dsb).
Sudah cukup untuk memberikan keterangan
mengenai segenap kenyataan. Namun kiranya
ada banyak orang benar-benar dapat merasakan
bahwa ada hal-hal serat gejala-gejala yang tidak
dapat semata-mata diterangkan berdasarkan
penegertian alam lebih-lebih sekedar berdasar-

116
kan pengertian materi. Kiranya ada hal-hal
seperti pengelaman nilai, makna dan sebagainya
yang tidak akan mengandung makna, kecuali
jika ada usaha untuk memperkenalkan istilah-
istilah yang lain, atau merupakan tambahan
terhadap istilaih-istilah yang bersifat natura-
listik.
Alam sebagai sesuatu bersifat rohani.
Secara umum dapat dikatakan ada dua macam
kaum idealis; kaum spiritualis dan kaum dualis.
Para pengatut paham spiritualisme (jangan di
campur adukkan dengan ilmu pengetahuan
semu yang disebut spiritisme) berpendirian
bahwa segenap tatanan alam dapat di kembali-
kan kepada atau berasal dari sekumpulan roh
yang beraneka ragam dan berbeda derajatnya.
Memang mereka memandang alam sebagai
keseluruhan yang bertingkat-tingkat dan diri
kita masing-masing sebagai pusat-pusat rohani
yang berkesinambungan dengan tingkat-tingkat
yang lain. Sebab, kita sendiri merupakan pusat-
pusat dan berkesinambungan dengan tingkat-
tingkat yang lain dan dapat disimpulkan bahwa
bahwa tingkat-tingkat yang lain pun tentu
merupakan pusat rohani pula. Apa yang kita
namakan dunia material juga merupakan dunia
dengan pusat-pusat rohani yang mempengaruhi
alat-alat indrawi kita.
4. Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang
menyatakan ada dua substansi. Pandangan
tentang hubungan antara jiwa dan raga,

117
dualisme mengklaim bahwa fenomena mental
adalah entitas non-fisik.
Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga
berasal setidaknya sejak zaman Plato dan
Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi
tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan
kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles
berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa
“kecerdasan” seseorang (bagian dari pikiran
atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelas-
kan dengan fisik.
Versi dari dualisme yang dikenal secara
umum diterapkan oleh René Descartes (1641),
yang berpendapat bahwa pikiran adalah
substansi nonfisik. Descartes adalah yang
pertama kali mengidentifikasi dengan jelas
pikiran dengan kesadaran dan membedakannya
dengan otak, sebagai tempat kecerdasan.
Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan
permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang
ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan
berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme
dan fenomenalisme. Substansi dualisme ber-
tentangan dengan semua jenis materialisme,
tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis
materilasme emergent sehingga akan hanya
bertentangan dengan materialisme non-
emergent.
5. Agnostisisme
Agnotisisme adalah suatu pandangan
filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu
klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan

118
teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa,
dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan
akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang
agnostik mengatakan bahwa adalah tidak
mungkin untuk dapat mengetahui secara
definitif pengetahuan tentang “Yang-Mutlak”;
atau, dapat dikatakan juga, bahwa walaupun
perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun
secara obyektif pada dasarnya mereka tidak
memiliki informasi yang dapat diverifikasi.
Dalam kedua hal ini maka agnostikisme
mengandung unsur skeptisisme. Agnostisisme
berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu)
dan a (tidak). Arti harfiahnya “seseorang yang
tidak mengetahui”.Agnostisisme tidak sinonim
dengan ateisme.
Dari pembahasan di atas tentang Ontologi
maka dapat di simpulkan ontologi adalah bagian
dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat
dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengerti-
an untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep
terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat
diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”.
Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori
tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin
terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi
adalah studi tentang sesuatu yang ada. Di samping

119
itu ada juga aspek-aspek permasalahan ontologi
yang sangat nyata pada kejadian sebagai katagori
pokok, menurut William R. Dennis seorang
pengenut paham naturalisme dewasa bahwa
katagori pokok untuk memberikan keterangan
mengenai kenyataan ialah kejadian.

C. Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal
dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Dalam Encyclopedia of Philosophy
(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan
dengan value and valuation. Nilai digunakan
sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang
lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajib-
an, kebenaran dan kesucian.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya
ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia
sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga
dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagai-
mana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari
kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau
wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut

120
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri
adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh
setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan
jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada
masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri
dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau
kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan,
yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik
material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.
Menurut Bramel dalam Amsal Aksiologi
terbagi tiga bagian:
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini
melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan,
bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik,
yang akan melahirkan filsafat social politik.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika dimana
makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan
suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan,

121
tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat
objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.
Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi, sains dan
teknologi dikembangkan untuk memudahkan
hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan
dengan perkembangan sains dan teknologi karena
itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia
berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat
sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia
bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
Perkembangan ini baik dibidang kesehatan,
pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan
komunikasi telah mempermudah kehidupan
manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah
dikaitkan dengan tujuan perang, disamping lain

122
ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan,
dimana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
manusia, namun sebaliknya manusialah yang
akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan
teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada
hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya
mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharus-
nya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu
akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan
nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan
berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian?
Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia,
terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi
seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan
umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga
berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada
penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu penge-
tahuan yang pada esensinya mempelajari alam
sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dihadapkan dengan masalah moral dalam meng-
hadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat

123
merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan
pendapat yaitu golongan pertama yang mengingin-
kan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi.
Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada
metafisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya
ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal
yakni: Ilmu secara faktual telah dipergunakan
secara destruktif oleh manusia yang telah
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang
mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin
eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa
yang mungkin terjadi apabila adanya penyalah-
gunaan. Ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat
dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat
bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang
dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal
ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan
adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupa-
kan berkat atau justru malapetaka bagi umat
manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka
yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu,
karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya,

124
lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu
ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan
ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon
seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri
yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”
apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru
malapetaka bagi umat manusia.29
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu
itu digunakan, kita dapat memulainya dengan
melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan
memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau
ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu
sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau
sistem politik, maka sebaiknya mempelajari
teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mem-
pelajari teori-teori filsafat ilmu.

29
Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu,
bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu,
karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
meng-gunakannya.

125
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam
posisi yang kedua ini semua teori ajarannya
diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam
kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan
hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan
masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu,
setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung,
maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat
diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan
masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai
yang paling rumit. Bila cara yang digunakan
amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang
detail itu biasanya dapat mengungkap semua
masalah yang berkembang dalam kehidupan
manusia.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang
bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai
tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadar-
an manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan
demikian nilai subjektif selalu memperhatikan

126
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah
menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat
objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara
peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah
terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus
melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan
budaya.30
Dari penjelasan diatas dapat diambil
kesimpulan yaitu sebagai berikut: Menurut bahasa
Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai
dan logos artinya teori atau ilmu. Aksiologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanya-
kan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika dimana makna
etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya.

30
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya,
bebas melakukan eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya
tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be
rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia
tidak mau terikat pada nilai subjektif.

127
BAB V
FILSAFAT YUNANI

A. Filsafat Yunani pada Masa Pra-Socrates.


Kegemaran bangsa Yunani merantau secara
tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi
berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir
bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya
tidak pernah ada agama yang didasarkan pada
kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan
Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone
berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir
bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari
agama dan politik secara bersamaan. Lahirnya
filsafat pra socrates juga disebabkan karena ke-
menangan akal atas dongeng atau mitos yang
diterima dari agama yang memberitahukan tentang
asal muasal segala sesuatu. Para pemikir atau ahli
filsafat ini mencoba untuk mencari-cari jawaban
tentang akibat terjadinya alam semesta beserta
isinya.
Filsafat Pra Socrates juga dapat dikatakan
sebagai filsafat alam, karena para ahli filsafat
dimasa tersebut menjadikan alam semesta sebagai
objek pemikirannya. Tujuan filosofi mereka dalam
memikirkan soal alam semesta yaitu untuk menge-
tahui darimana terjadinya alam atau darimana alam
ini berasal, hal inilah yang menjadi sentral
persoalan bagi mereka. Pemikiran yang demikian
itu merupakan pemikiran yang sangat maju,
rasional dan radikal. Sebab pada waktu itu kebanya-

128
kan orang menerima begitu saja keadaan alam
seperti apa yang dapat ditangkap dengan indranya,
tanpa mempersoalkannya lebih jauh. Sedang di lain
pihak orang cukup puas menerima keterangan
tentang kejadian alam dari cerita nenek moyang.
“What all the pre-Socratic philosophers have in
common is their attempt to create general theories of
the cosmos (kosmosis the Greek term for “world”) not
simply by repeating the tales of how the gods had
created everything, but by using observation and
reason to construct general theories that would
explain to the unprejudiced and curious mind the
secrets behind the appearances in the world.”1
Filosuf yang hidup pada masa pra Socrates
disebut para filosuf alam karena objek yang mereka
jadikan pokok persoalan adalah alam. Yang
dimaksud dengan alam (fusis) adalah kenyataan
hidup dan kenyataan badaniah. Jadi, perhatian
mereka mengarah kepada apa yang dapat diamati.
Ada beberapa filosof pada masa pra socrates,
yaitu:
1. Thales
Thales adalah ahli filsafat pertama yang
hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Thales
adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke
Mesir. Ia menemukan ilmu ukur dari Mesir dan
membawanya ke Yunani. Ia juga dikenal sebagai
seorang yang ahli dalam bidang astronomi dan
metafisika.

1
Donald Palmer, Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of
Philososphy Made Lighter (New York: McGraw-Hill, 2006), 11.

129
Thales memberikan jawaban bahwa
segala sesuatu berasal dari air, ia juga menyata-
kan bahwa bumi ini berasal dari air. Air adalah
pusat dan sumber segala yang ada atau pokok
dari segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari
air dan kembali ke air. Dari air itu terjadilah
tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah
pun mengandung air. Argumen Thales merupa-
kan argument yang bukan hanya rasional, tetapi
juga observatif.
Pandangan Thales merupakan cara ber-
pikir yang sangat tinggi, karena sebelumnya,
orang-orang Yunani lebih banyak mengambil
jawaban tentang alam dengan kepercayaan dan
mitos-mitos yang dipenuhi dengan ketakhayul-
an. Thales telah membuka alam pikiran dan
keyakinan tentang alam dan asal muasalnya
tanpa menunggu dalil-dalil yang agamis.
Selain itu, juga mengemukakan pandang-
an bahwa bumi terletak di atas air. Bumi
dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar
dari laut dan kemudian terapung-apung di
atasnya.
Thales berpendapat bahwa segala sesuatu
di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya
terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda
mati. Teori tentang materi yang berjiwa ini
disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasar-
kan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa
karena mampu menggerakkan besi.

130
2. Anaximandros
Anaximandros adalah salah satu murid
Thales. Anaximandros adalah seorang ahli
astronomi dan ilmu bumi. Meskipun dia murid
Thales namun ia mempunyai prinsip dasar alam
satu akan tetapi bukanlah dari jenis benda alam
seperti air sebagai mana yang dikatakan oleh
gurunya.
Prinsip dasar alam haruslah dari jenis
yang tak terhitung dan tak terbatas yang oleh dia
disebut Apeiron yaitu zat yang tak terhingga dan
tak terbatas serta tidak dapat dirupakan dan
tidak ada persamaannnya dengan apapun.
Meskipun tentang teori asal kejadian alam tidak
begitu jelas namun dia adalah seorang yang
cakap dan cerdas. Pendapatnya yang lain yaitu,
bumi seperti silinder, lebarnya tiga kali lebih
besar dari tingginya. Sedangkan bumi tidak
terletak atau bersandar pada sesuatupun.
3. Anaximenes
Anaximenes berpendapat bahwa udara
merupakan asal usul segala sesuatu. Udara
melahirkan semua benda dalam alam semesta ini
karena suatu proses pemadatan dan pengeceran,
kalau udara semakin bertambah maka muncul-
lah berturut-turut angin, air, tanah dan akhirnya
batu. Sebaliknya kalau udara itu menjadi encer
yang timbul adalah api.
Pandangan Anaximenes tentang susunan
jagat raya berbeda dengan Anaximandros.
Menurutnya bumi ini seperti meja bundar dan
melayang di atas udara. Demikian pula mata-

131
hari, bulan dan bintang. Benda-benda yang ada
dijagad raya itu tidak terbenam di bawah bumi
sebagaimana yang dipikirkan Anaximandros
tetapi mengelilingi bumi yang datar itu,
matahari lenyap pada waktu malam tertutup di
belakang bagian-bagian tinggi.
4. Pythagoras
Pythagoras lahir dipulau Samos yang
termasuk daerah Ionia. Di kota ini Pythagoras
mendirikan suatu tarekat beragama yang bersifat
religious, mereka menghomati dewa Apollo.
Menurut kepercayaan Pythagoras, jiwa
manusia asalnya dari Tuhan, jiwa itu adalah
penjelmaan dari tuhan yang jatuh kedunia
karena berdosa dan dia akan kembali kelangit
kedalam lingkungan tuhan semula apabila
dosanya itu sudah habis dicuci, hidup didunia
ini adalah persediaan buat akhirat. Sebab itu dari
sekarang dikerjakan hidup untuk hari kemudian.
Pythagoras tersebut juga sebagai ahli
pikir. Terutama dalam ilmu matematik dan ilmu
berhitung. Falsafah pemikirannya banyak
diilhami oleh rahasia angka-angka. Dunia angka
adalah dunia kepastian dan dunia ini erat
hubungannya dengan dunia bentuk. Dari sini
dapat dilihat kecakapannya dia dalam
matematik mempengaruhi terhadap pemikiran
filsafatnya sehingga pada segala keadaan ia
melihat dari angka-angka dan merupakan
paduan dari unsur angka.

132
5. Heraclitos
Ia lahir dikota Ephesos diasi minor, ia
mempunyai pendangan yang berbeda dengan
filosof-filosof sebelumnya. Ia menyatakan bahwa
asal segala suatu hanyalah satu yakni api. Ia
memandang bahwa api sebagai unsur yang asal
pandangannya semata-mata tidak terikat pada
alam luaran, alam besar, seperti pandangan
filosof-filosof Miletos.
Segala kejadian didunia ini serupa dengan
api yang tidak putusnya dengan berganti-ganti
memakan dan menghidupi dirinya sendiri
segala permulaan adalah mula dari akhirnya.
Segala hidup mula dari pada matinya. Didunia
ini tidak ada yang tetap semuanya mengalir.
Tidak sulit untuk mengerti apa sebab Heraklitos
memilih api. Nyala api senantiasa memakan
bahan bakar yang baru dan bahan bakar itu dan
berubah menjadi abu dan asap. Oleh karena itu
api cocok sekali untuk melambangkan suatu
kesatuan dalam perubahan. Api mempunyai
sifat memusnahkan segala yang ada, dan
mengubah segala sesuatu itu menjadi abu dan
asap. Walaupun sesuatu itu apabila dibakar
menjadi abu dan asap, toh adanya api tetap ada.
Segala sesuatunya berasal dari api, dan akan
kembali menjadi api. Pernyataan itu mengan-
dung pengertian bahwa kebenaran selalu
berubah, tidak tetap. Pengertian adil pada hari
ini belum tentu masih benar besok. Hari ini 2 x 2
= 4 besok dapat saja bukan empat. Pandangan
ini merupakan warna dasar filsafat sofisme.

133
B. Sophis
Nama “Sofis” (sophistes) tidak dipergunakan
sebelum abad ke-5.Arti tertua dari kata “Sofis”
adalah “seseorang bijaksana” atau “seseorang yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Agak
cepat kata ini dipakai dalam arti “sarjana” atau
“cendekiawan”.
Herodotos memakai nama sophiestes untuk
Phytagoras. Pengarang Yunani yang bernama
Androtion (4 SM) menggunakan nama ini untuk
menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad 6
dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup
sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini
untuk Plato. Tetapi pada abad ke-4 nama philosophos
menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti
“sarjana” atau “cendekiawan”, sedangkan nama
sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang
berkeliling dari kota ke kota dan memainkan
peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar
paruh abad ke-5.
Pada kemudian hari nama “Sofis” menjadi
tidak seharum sebelumnya. Dalam bahasa Inggris,
kata “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu
orang lain dengan menggunakan argumentasi-
argumentasi yang tidak sah. Sokrates, Plato, dan
Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis
menyebabkan nama “Sofis” makin mencerminkan
citra buruk. Salah satu tuduhannya adalah ahwa
para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang
mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato
mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik
warung yang menjual barang rohani”.

134
Dan Aristoteles mengarang buku Sophistikoi
elenchoi (Cara-cara berargumentasi kaum Sofis);
maksudnya cara berargumentasi yang tidak sah.
Dari hal-hal tersebutlah sehingga nama kaum Sofis
pada saat ini memiliki kesan buruk.
Munculnya kaum sophis dilator belakangi
oleh beberapa factor yang pertama sesudah perang
Parsi selesai (449 SM), Athena berkembang pesat
dalam bidang politik dan ekonomi. Dibawah
pimpinan Perikles, polis inilah yang menjadi pusat
seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu Athena
belum mengambil bagian dari filsafat dan ilmu
pengetahuan yangs edang berkembang sejak abad
ke-6. Tapi seringkali dapat disaksikan dalam sejarah
bahwa negara atau kota yang mengalami zaman
keemasan dalam bidang politik dan ekonomi
menjadi pusat perhatian pula dalam bidang
intelektual dan kultural.
Demikian halnya juga dengan kota Athena.
Anaxagoras, adalah figur pertama yang memilih
Athena sebagai tempat tiinggalnya, sehingga ia
mendapatkan gelar fisuf pertama di Yunani serta
meletakkan dasar-dasar filsafat Yunani. Para Sofis
juga tidak membatasi aktivitas mereka pada polisi
Athena saja, mereka adalah guru-guru yang
berkeliling dari satu kota ke kota yang lain.
Protagoras misalnya, yang dari sudut pandang
filsafat boleh dianggap sebagai tokoh utama antara
para Sofis, yang seringkali mengunjungi Athena.
Factor yang kedua, kebutuhan akan
pendidikan yang dirasakan seluruh Hellas pada
waktu itu. Sebagaimana penjelasan sebelumnya

135
bahwa bahasa merupakan alat politik terpenting
dalam masyarakat Yunani. Sukses tidaknya dalam
bidang politik sebagian besar tergantung pada
kemahiran berbahasa yang diperlihatkan dalam
sidang umum, dewan harian atau sidang pengadil-
an. Itulah sebabnya tidak mengherankan bahwa
orang muda merasakan kebutuhan akan pendidikan
serta pembinaan, supaya nantinya mereka dapat
memainkan peranannya di bidang politik. Sampai
saat itu pendidikan di Athena tidak melebihi
pendidikan elementer-elementer saja.
Kaum Sofis memenuhi kebutuhan akan
pendidikan lebih lanjut. Mereka mengajarkan ilimu-
ilmu seperti matematika, astronomi, dan terutama
tata bahasa. Mengenai ilmu bahasa mereka boleh
dipandang sebagai perintis. Tentu saja, mereka
memiliki jasa yang sangat besar dalam pengem-
bangan bidang ilmu retorika dan berpidato. Selain
dari pelajaran dan latihan untuk orang muda,
mereka juga memberi ceramah-ceramah dengan
cara populer untuk kalangan umum yang lebih luas.
Kaum Sofis juga tidak bisa berbicara untuk diri
mereka sendiri, mereka adalah pengarang yang
produktif. Tetapi hanya sedikit dari karya mereka
yang bisa bertahan selain dalam bentuk-bentuk
yang singkat dan terpecah-pecah. Tidak hanya itu
saja, sumber informasi utama kita tentang segala
aspek kelompok Sofis, Plato seringkali bermusushan
dan sulit memahami penjelasannya tentang kaum
Sofis.
Plato menggambarkan bahwa, Sofis sebagai
individu-individu yang suka bermusuhan dan suka

136
berpindah tempat, terutama di polis di luar Athena,
dimana mereka menghasilkan dampaknya yang
paling kuat. Bagi Plato, Sofis lebih dekat dengan
sejarah publisitas daripada dengan ide, sebuah
penilaian yang diartikulasikan oleh antitesis antara
Sokrates dan Sofis yang meliputi tulisan-tulisan
Plato. Akan tetapi, dari penjelasan tersebut juga
dapat disimpulkan bahwa, Kaum Sofislah kelompok
yang pertama kali dalam sejarah mempelopori
pendidikan untuk orang muda. Oleh karena itu
paideia (kata Yunani untuk “pendidikan”) dapat
dianggap sebagai penemuan Yunani.
Faktor yang terakhir adalah karena pergaul-
an dengan banyak negara asing, orang Yunani
mulai menyadari bahwa kebudayaan mereka
berbeda dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Kebudayaan Yunani terletak di tengah
kebudayaan-kebudayaan yang coraknya sangat
berlainan. Bisa jadi bahwa apa yang dengan tegas
ditolak dalam kebudayaan yang satu, sangat di-
hargai dalam kebudayaan lain. Sejarawan Yunani
Herodotos yang hidup dalam zaman ini dan banyak
berpergian ke negeri-negeri lain, telah menuliskan
pengalaman itu dengan cukup jelas, dan ia
menyetujui pendirian penyair Pindaros bahwa adat
kebiasaan raja segala-galanya. Pengalaman itu
menampilkan banyak pertanyaan.
Apakah peraturan-peraturan etis, lembaga-
lembaga sosial dan tradisi-tradisi religius hanya
merupakan satu kebiasaan atau konvensi saja?
Apakah semuanya hanya kebetulan tersusun seperti
itu? Apakah mungkin suatu susunan yang sama

137
sekali berlainan? Para Sofis akan merumuskan
persoalan ini dengan bertanya: apakah peraturan-
peraturan etis beralaskan adat kebiasaan (nomos)
atau beraaskan kodrat (physis)? Pada umumnya
para Sofis akan menjawab bahwa hidup sosial tidak
mempunyai dasar kodrati.
Sampai-sampai Protagoras tidak ragu-ragu
mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk
segala sesuatu. Dengan demikian kaum Sofis jatuh
dalam relativisme di bidang tingkag laku etis dan di
bidang pengenalan.
Dengan relativisme dimaksudkan bahwa
pendirianbaik buruk dan benar salah itu bersifat
relatif saja. Atau dengan kata lain, baik buruk dan
salah benar tergantung pada manusia bersangkutan.
Sokrates dan Plato dengan tajam mengkritik
pendirian tersebut, tetapi dapat dibayangkan bahwa
kaum Sofis mengalami sukses besar dengan
anggapannya yang menentang tradisi-tradisi tua,
terutama dalam kalangan kaum muda. Berikut ini
tokoh-tokoh kaum sophis yang membesarkan
namanya:
1. Protagoras
Protagoras lahir kira-kira pada tahun 485
di kota Abdera di daerah Thrake. Demokritos
adalah warga sekotanya yang lebih muda.
Seringkali ia datang ke Athena dan ia disana
terhitung pada kalangan sekitar Perikles. Atas
permintaan Perikles ia mengambil bagian dalam
mendirikan kota perantauan Thurioi di Italia
Selatan pada tahun 444. Pendirian kota itu di-
maksudkan Perikles sebagai usaha pra-Hellen,

138
berarti seluruh Hellas diharapkan mengambil
bagian di dalamnya. Ada tokoh terkemuka yang
ikut dalam usaha itu, seperti misal Herodotos,
Hippodamos, dan Lysias.
Protagoras diminta untuk mengarang
undang-undang dasar bagi polis baru itu.
Menurut Diogenes Laërtios, pada akhir hidup-
nya Protagoras dituduh di Athena karena
kedurhakaannya (asebeia) dan bukunya tentang
agama dibakar di hadapan umum. Diceritakan
pula bahwa Protagoras melarikan diri ke Sisilia,
tetapi dalam perjalanan ini ia tewas, akibat
perahu layar tenggelam. Tetapi karena kesaksian
Diogenes Laërtios ini tiidak dapat dicocokkan
dengan data-data lain, kebanyakan sejarawan
modern menyangsikan kebenarannya.
Protagoras mengarang sejumlah buku.
Hanya beberapa fragmen pendek masih di-
simpan. Tetapi isi ajarannya dapat diterapkan,
karena gagasan-gagasan Protagoras masih ramai
dipersoalkan di kemudian hari. Plato merupakan
sumber yang utama, khususnya kedua dialog-
nya yang berjudul Theaitêtos dan Protagoras.
Dalam buku yang berjudul Alêtheia
(“Kebenaran”) terdapat tuturan Protagoras yang
terkenal, yang disimpan dalam kumpulan
H.Diels sebagai fragmen 1: “Manusia adalah
ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal
yang ada sehingga mereka ada dan untuk hal-
hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada”.
Pendirian ini boleh disebut relativisme, artinya
kebenaran dianggap tergantung pada manusia.

139
Manusialah yang menentukan benar tidaknya,
bahkan ada tidaknya. Disini dapat dipersoalkan
bagaimana kita mesti mengerti kata ”manusia”
itu. Yang dimaksudkan Protagoras, manusia
perorangan ataukah manusia sebagai umat
manusia? Apakah kebenaran tergantung pada
Anda atau pada saya, sehingga kita mempunyai
kebenaran sendiri-sendiri? Atau kebenaran ter-
gantung pada kita bersama-sama, sehingga
kebenaran itu sama untuk semua manusia,
biarpun tidak mempunyai arti terlepas dari
manusia? Tidak dapat disangsikan bahwa Plato
mengartikan perkataan Protagoras itu mengenai
manusia perorangan.
Itu jelas karena contoh yang diberikannya
untuk menerangkan pendapat Protagoras.
Contohnya sebagai berikut; Angin yang sama
dirasai panas oleh satu orang (yaitu orang sehat)
dan dirasai dingin oleh orang lain (orang sakit
demam). Mereka kedua-duanya benar! Dan
tidak ada alasan yang menuntut bahwa kita
membatasi pendapat Protagoras ini atas penge-
nalan indrawi saja.
Oleh karenanya, kebenaran seluruhnya
harus dianggap relatif terhadap manusia ber-
sangkutan. Semua pendapat sama benar,
biarpun sekali bertentangan satu sama lain.
Tetapi, kalau demikian, pendapat Protagoras
sendiri tidak merupakan kekecualian. Karena,
sebagaimana disimpulkan oleh Plato, secara
konsekuen pendapat Protagoras hanya benar

140
untuk dirinya sendiri saja dan mungkin sekali
bagi orang lain kebalikannya yang benar.
Karangan lain adalah berjudul Antilogiai
(“Pendirian-pendirian yang bertentangan”). Dalam
karya ini Protagoras mengemukakan anggapan
yang tentu ada hubungan relativisme yang
diuraikan diatas. Dan anggapan ini sesuai
dengan keaktifan khusus kaum Sofis, sebab kita
sudah melihat bahwa mereka terutama giat
dalam bidang kemahiran berbahasa. Suatu
fragmen disimpan yang barangkali merupakan
kalimat pertama dari karya tersebut: “tentang
semua hal terdapat dua pendirian yang
bertentangan”. Dalam karya ini Protagoras
mengemukakan anggapan yang tentu ada
hubungannya dengan relativisme yang diurai-
kan di atas. Dan anggapan ini sesuai dengan
keaktifan khusus kaum Sofis yang memiliki
kemahiran dalam berbahasa.
Ada sebuah petikan atau fragmen dari
karya Protagoras yang berbunyi “Tentang semua
hal terdapat dua pendirian yang bertentangan”.
Boleh diandaikan bahwa perkataan ini menyata-
kan gagasan pokok yang terkandung dalam
karya tersebut. Kalau benar tidaknya sesuatu
tergantung pada manusia, harus disimpulkan
bahwa satu pendirian tidak lebih benar daripada
kebalikannya. Ini mempunyai konsekuesi besar
untuk seorang ahli berpidato. Tergantung pada
kepandaiannya apakah ia akan berhasil me-
yakinkan para pendengarnya mengenai kebenar-
an suatu pendirian yang sepintas lalu rupanya

141
tidak begitu sah. Dari sebab itu perlu suatu
latihan yang memungkinkan orang membuat
orang “membuat argumen yang paling lemah
menjadi yang paling kuat”
Para musuh kaum Sofis telah menafsirkan
gagasan ini dalam arti moral. Mereka memberi
kesan seakan-akan menurut Protagoras per-
buatan yang sama serentak dapat dicela dapat
juga dipuji, sehingga sesuatu yang baik menjadi
buruk begitu pula sebaliknya.
Dalam karya yang bernama Tentang
keadaan yang asali, Protagoras memberi suatu
teori tentang asal-usul negara. Teori ini di-
pengaruhi di satu pihak oleh pengalaman yang
telah disebutka diatas, yakni tiap-tiap negara
mempunyai adat kebiasaan sendiri dan di lain
pihak kenyataan di lapangan banyak kota
perantauan masing-masing mendapat undang-
undang baru. Protagras juga berpendapat bahwa
negara tidak berdasarkan kodrat, tetapi ia
diadakan oleh manusia itu sendiri. Ia melukisk-
kan timbulnya negara dengan memulainya
bahwa manusia pada awalnya hidup sendiri-
sendiri.
Kemudian karena terdapat lemah dan
banyak mendapatkan ancaman binatang buas,
mereka mulai mencari teman manusia lainnya.
Ternyata setelah berkumpul mereka mendapat-
kan kendala lagi, bahwa hidup bersama itu tidak
semudah yang difikirkan, karena terdapat
banyak keragaman di dalamnya.

142
Akhirnya seorang dewa turun dan mem-
berikan mereka anugrah berupa keinsyafan akan
keadilan (dike) dan hormat kepada orang lain.
(aidos). Berkat kedua berkah ini manusia akan
dapat hidup bersama. Ia sendiri dapat
mengadakan undang-undang. Jadi, undang-
undang tertentu tidak “lebih benar” dari pada
undang-undang yang lain. Permasalahannya
adalah antara cocok atau tidaknya undang-
undang tersebut diterapkan di negara tersebut.
Salah satu karya Protagoras yang berjudul
Peri theôn (“perihal dewa-dewa) diambil sebuah
kutipan yang menyatakan “saya tidak merasa
sangggup menetapkan mereka (dewa-dewa) itu
ada atau tidak; dan saya juga tidak dapat
menentukan hakikat mereka. Banyak hal yang
merupakan halangan, baik kaburnya pokok ber-
sangkutan maupun pendeknya hidup manusia”.
Pendapat Protagoras tentang dewa-dewa boleh
disebut suatu skeptisisme, artinya disini tidak
mungkin mencapai kebenaran. Sangat cocok
denga anggapan relativistis yang dianut oleh
Protagoras dalam bidang pengenalan.
2. Georgias
Georgias lahir di Leontinio di Sisilia
sekitar tahun 483. Rupanya ia merupakan murid
Empedokles, kemudian dipengaruhi oleh dialek-
tika Zeno. Pada tahun 427 ia datang ke Athena
sebagai dua kota asalnya untuk meminta per-
tolongan melawan kota Syrakusa. Sebagai Sofis
ia mengelilingi kota-kota Yunani, terutama
Athena, dimana ia mengalami sukses besar,

143
karena luar biasa fasih lidahnya. Ia meninggal
pada usia 108 tahun, kira-kira pada tahun 375.
Dalam bukunya yang berjudul Tentang
yang tidak ada atau alam, Gorgias menuliskan tiga
pendiriannya: 1) tidak ada sesuatu pun. 2)
seandainya sesuatu ada, maka itu itu tidak dapat
dikenal. 3) seandainya sesuatu dapat dikenal,
maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan
kepada orang lain. Ketiga pendirian ini disokong
oleh banyak argumen. Jika yang dimaksudkan
oleh Gorgias itu seperti apa adanya, maka
Gorgias bukan saja menganut suatu paham
skeptisisme, melainkan juga memihak kepada
nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu
pun atau tidak ada sesuatu yang bernilai). Tetapi
sulit sekali untuk membayangkan bahwa
pendirian-pendirian itu mengandung maksud
Gorgias sendiri. Agaknya is ingin menyindir
metode berargumentasi yang dipakai madzhab
Elea dengan memperlihatkan bahwa cara ber-
argumentasi mereka dapat diteruskan hingga
menjadi mustahil.
3. Hippias
Hippias adalah kawan sebaya dengan
Sokrates dan berasal dari kota Elis. Ia dibicara-
kan dalam kedua dialog Plato yang berjudul
Hiipias Major dan Hippias Minor. Rupanya ia
menguasai banyak lapangan keahlian. Terutama
ia mempunyai jasa-jasa besar dalam bidang ilmu
ukur.
Seperti Sofis lainnya, Hippias juga men-
curahkan perhatiannya pada pertanyaan, apakah

144
tingkah laku manusia dan susunan masyarakat
harus berdasarkan nomos (adat kebiasaan,
undang-undang) atau harus berdasarkan physis
(kodrat). Tapi ia memberi jawaban yang bertolak
belakang dengan kebanyakan rekan Sofis. Ia
beranggapan bahwa kodrat manusiawi merupa-
kan dasar bagi tingkah laku manusia dan
susunan masyarakat. Ia berfikir begitu, karena
undang-undang berkali-kali harus dikoreksi atau
diubah. Oleh karenanya bukan undang-undang
yang merupakan norma terakhir yang menentu-
kan yang baik dan yang jahat. Palagi, undang-
undang menggolongkan manusia sebagai pe-
nguasa atau bawahan, sebagai orang bebas atau
budak. Padahal, menurut kodratnya, semua
manusia sama derajatnya. Dengan demikian
pada Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme
dan universalisme yang menandai banyak Sofis.
4. Prodikos
Kritias hidup di abad ke-5 SM. Ia berasal
dari Athena dan memainkan peranan pentik
dalam politik kota itu. Pokok ajaran Kristias
yang harus disebut disini adalah pendapatnya
tentang agama. Ia beranggapan bahwa agama
ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang
licik. Kebanyakan pelanggaran dapat diadili
menurut hukum. Tetapi selalu ada pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan tersembunyi dan
tidak diketahui umum.
Oleh sebab itulah penguasa-penguasa
menemukan dewa-dewa supaya orang percaya

145
bahwa mereka akan membalas juga pelanggaran
tersembunyi.
Dalam uraian-uraian sejarah filsafat, kaum
Sofis tidak selalu dipandang dengan cara yang
sama. Kadang mereka dikemukakan dalam
timbangan yang negatif, tetapi dalam uraian lainnya
kaum Sofis mendapatkan citra positif. Di satu pihak
gerakan para Sofis menyatakan krisis yang tampak
dalam pemikiran Yunani. Rupanya pada waktu itu
orang merasa jemu dengan sekian banyak pemikir-
an dan pendirian yang telah dikemukakan dalam
filsafat prasokratik. Reaksinya adalah skeptisisme
yang dianut oleh para Sofis. Kebenaran diragukan
dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan
(Protagoras, Gorgias). Dengan itu, Sofistik pasti
mempunyai pengaruh negatif atas kebudayaan
Yunani waktu itu. Banyak nilai tradisional dalam
bidang agama dan moralitas mulai roboh.
Peranan polis sebagai kesatuan sosial-politik
mulai merosot, karena kaum Sofis memajukan suatu
orientasi pan-Hellen. Tekanan pada ilmu berpidato
dan kemahiran berbahasa menampilkan bahaya
bahwa teknik berpidato akan dipergunakan untuk
maksud-maksud jahat. Kalau prinsip Protagoras,
yakni”membuat argumen paling lemah menjadi
paling kuat”, dikaitkan dengan relativisme dalam
bidang moral, maka dengan sendirinya jalan
terbuka untuk penyalahgunaan itu. Sofis-Sofis yang
besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak me-
nyalahgunakan ilmu berpidato untuk maksud-
maksud jahat. Mereka orang yang dihormati oleh

146
umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal
yang sama tidak bisa dikatakan mengenai Sofis lain.
Akan tetapi di lain pihak aliran Sofistik pasti
juga mempunyai pengaruh positif atas kebudayaan
Yunani. Bahkan boleh dikatakan bahwa para Sofis
mengakibatkan suatu revolusi intelektual di Yunani.
Gorgias dan Sofis lain menciptakan gaya bahasa
yang baru untuk prosa Yunani. Sejarawan-
sejarawan Yunani yang besar, seperti Herotodos
dan Thukydides, dipengaruhi secara mendalam
oleh pemikiran Sofistik. Pandangan hidup kaum
Sofis bergema juga pada dramawan-dramawan
terkenal seperti Sophokles dan terutama Euripides.
Jasa terbesar mereka adalah mempersiapkan ke-
lahiran filsafat baru. Sokrates, Plato, dan Aristoteles
merealisasikan semua itu.

C. Socrates
Socrates (470 SM – 399 SM) adalah filsuf dari
Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur
paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates
lahir di Athena, tanggal 4 Juni 470 SM, dan
merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat
besar di Yunani, yaitu Socrates, Plato dan
Aristoteles. Plato dan Aristoteles merupakan murid
Socrates.
Ayah Socrates berprofesi sebagai pemahat
patung dari batu (stone mason) bernama
Sophroniscos. Ibunya adalah seorang bidan yang
bernama Phainarete, dari sinilah Socrates menama-
kan metodenya berfilsafat dengan metode kebidan-
an. Socrates beristri seorang perempuan bernama

147
Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak yaitu
Ramprocles, Sophroniscos dan Menexene. Socrates
adalah sosok tokoh filosuf yang penuh teka-teki
dalam sejarah perkembangan filsafat. Ia tidak
pernah menulis sebaris kalimatpun dalam sebuah
tulisan.
Masa hidup Socrates sezaman dengan kaum
sofis. Ia terkenal sebagai orang yang berbudi baik,
jujur, dan adil. Cara menyampaikan pemikirannya
kepada para pemuda ia menggunakan metode
tanya jawab. Sebab itu ia memperoleh banyak
simpati dari para pemuda di negerinya. Namun ia
juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan
menuduhnya sebagai orang yang merusak moral
para pemuda negerinya. Selain itu ia juga dituduh
menolak dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang telah
diakui negara.
Kelanjutan dari tuduhan terhadap dirinya
menjadikan ia diadili oleh pengadilan Athena.
Dalam proses pengadilan ia mengatakan pembelaa-
nya yang kemudian ditulis oleh Plato dalam
naskahnya yang berjudul Apologi. Plato mngisah-
kan adanya tuduhan itu. Tuduhan mengatakan
bahwa Sokrates tidak hanya menentang agama
yang diakui oleh Negara, akan tetapi juga mengajar-
kan agama baru buatannya sendiri. Salah seorang
yang mendakwanya yaitu Melithus, mengatakan
bahwa dia adalah seorang tak-berTuhan dan
menambahkan: Socrates berkata matahari adalah
batu dan bulan adalah tanah. Socrates tentu saja
mengatakan bahwa tuduhan baru yang mengatakan
dia atheis ini bertentangan dengan dakwaan

148
sebelumnya, dan selanjutnya ia memaparkan
berbagai pendangan yang lebih luas.
Buku Apologi memberi gambaran jelas
tentang sosok manusia tertentu: seorang manusia
yang sangat percaya diri, berjiwa besar, tak peduli
pada kesukaan duniawi, yakni bahwa ia dibimbing
oleh suara illahi, dan yakin bahwa penalaran yang
jernih adalah syarat terpenting untuk hidup secara
benar. Dalam Apologi, Socrates membela dirinya
bukanlah demi kepentingannya sendiri, melainkan
demi kepentingan para hakim. Menurutnya, para
hakim adalah nyamuk masyarakat, dikirim dewa ke
negeri itu, dan tak mudah menemukan orang lain
semacam dia (Socrates). Sokrates menjawab
(menyangkal) tuduhan itu, dan menanyakan
kepadanya, siapakah orang yang memperbaiki
pemuda.
Melithus menjawab mula-mula para hakim,
kemudian terdesak sedikit mengatakan bahwa
semua orang Athena kecuali Sokrates memperbaiki
pemuda. Sokrates mengucapkan selamat bahwa
Athena memiliki nasib baik untuk memiliki begitu
banyak orang yang berusaha memperbaiki pemuda,
dan orang-orang baik tentu lebih pantas untuk
dipergauli dari pada orang jelek, maka dari itu ia
tidak akan dapat menjadi begitu bodoh untuk dapat
merusak mereka dengan sengaja. Setelah keputusan
dibacakan, ia ditolak hukuman alternatif sebesar
tiga puluh minae (yang untuk ini Socrates menyebut
nama Plato sebagai salah seorang yang sanggup
membayarnya, dan hadir dalam sidang itu), dan
Sokrates menyampaikan pidato terakhiranya

149
tentang kematian. Ia mengatakan bahwa kematian
bukanlah akhir dari segalanya, kematian
merupakan terpisahnya jasad dari ruh untuk
melanjutkan ke dunia selanjutnya. Dalam proses
pengadilan Socrates dinyatakan bersalah dengan
suara 280 melawan 220. Ia dituntut hukuman mati.
Sokrates dihukum mati dengan meminum racun,
ada yang menyebutkan racun dari tumbuhan
cemara, yang jelas racun itu yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan.
Cara matinya juga memberikan contoh,
betapa seorang filosof setia kepada ajarannya dan
tetap menggenggam teguh keyakinanya meskipun
nyawa menjadi taruhannya. Sokrates telah me-
ninggal dunia, tetapi nama dan pemikirannya tetap
hidup untuk selama-lamanya. Socrates merupakan
orang yang biasa-biasa saja, semua orang sepakat
bahwa raut muka Socrates amat buruk, hidungnya
papak dan perutnya begitu gendut; ia “lebih jelek
ketimbang para Silenus dalam drama Satiris”
(Xenopon, Symposium). Ia selalu mengenakan
pakaian kumal dan tua, kemanapun ia pergi selalu
bertelanjang kaki. Sikapnya yang tak peduli pada
panas dan dingin, lapar dan haus mengherankan
semua orang.
Dalam Symposium, Alkibiades yang me-
ngisahkan Socrates ketika menjalani tugas militer
bahwa dia lebih tanggung dibandingkan teman-
teman lainnya. Ketika dalam keadaan terputus
dalam perbekalan dan terpaksa berangkat tanpa
makanan, dia tetap perkasa dibandingkan yang lain.
Pada saat itu cuaca sedang beku, tanpa menghirau-

150
kan rasa dingin dia tetap melangkah dengan pasti
diatas tumpukan es yang membatu dengan ber-
pakaian seperti biasanya, kumal dan bertelanjang
kaki. Kemampuan mengendalikan semua nafsu
jasmani terus-menerus ditonjolkan. Dia jarang
minum anggur, namun selagi dia mau, dia lebih
kuat minum dibanding semua orang.
Kaum sofis hidup sejaman dengan Socrates,
dan memang ada kesamaan pendapat diantara
keduanya itu. Menurut Cicero, Socrates memindah-
kan filsafat dari langit ke bumi, artinya sasaran yang
diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia.
Akan tetapi bukan hanya Socrates yang membuat
demikian, kaum sofis juga. Mereka juga menjadikan
manusia sasaran pemikiran mereka. Itulah sebabnya
Aristophanes menyebut Socrates seorang sofis.
Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar
antara Socrates dan kaum sofis. Filsafat Socrates
adalah suatu reaksi dan suatu kritik terhadap kaum
sofis. Sebutan “sofis” mengalami perkembangan
sendiri. Sebelum abad ke-5 istilah itu berarti:
sarjana, cendekiawan. Pada abad ke-4 para sarjana
atau cendekiawan bukan lagi disebut “sofis”, tetapi
“filosofis”, filsuf, sedang sebutan “sofis” dikenakan
untuk para guru yang berkeliling dari kota ke kota
untuk mengajar. Akhirnya sebutan “sofis” tidak
harum lagi, karena seorang sofis adalah orang yang
menipu orang lain dengan memakai alasan-alasan
yang tidak sah. Para guru berkeliling itu dituduh
sebagai orang-orang yang minta uang bagi ajaran
mereka.

151
Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif
telah menggoyangkan teori-teori sains yang telah
mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini
menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam
kehidupan. Inilah sebabnya Socrates bangkit. Ia
harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak
semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum
yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian
kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya.
Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan.
Kaum sofis beranggapan bahwa semua
pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada
pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi
itu Socrates dapat membuktikan kepada kaum sofis
bahwa pengetahuan yang umum itu ada, yaitu
definisi itu sendiri. Jadi, kaum sofis tidak seluruh-
nya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan
bersifat umum dan sebagian bersifat khusus, yang
khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya
relatif. Seperti contoh berikut: apakah kursi itu?
Orang bisa periksa seluruh kursi, kalau bisa seluruh
kursi yang ada dunia ini. Misalnya kursi hakim
terdiri dari tempat duduk dan sandaran, berkaki
empat, dari bahan kayu jati. Kedua, kursi malas,
terdiri dari tempat duduk, sandara dan berkaki
empat, terbuat dari besi anti karat begitulah
seterusnya. Jadi dapat diambil kesimpulah bahwa
setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan
sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi.
Sedangkan ciri yang lain tidak dimiliki semua kursi.
Maka, semua orang akan sepakat bahwa kursi
adalah tempat duduk yang bersandaran. Contoh

152
tersebut merupakan kebenaran obyektif – umum,
tidak subyektif–relatif. Tentang jumlah kaki, bahan,
ukuran, dsb. Merupakan kebenaran yang relatif.
Jadi, memang ada pengetahuan umum, itulah
definisi.
Ajarannya dapat diperolah dari tulisan
murid-muridnya, terutama Plato. Bartens menjelas-
kan ajaran Socrates itu ditujukan untuk menentang
ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains
dan agama. Cara sokrates memberikan ajarannya
adalah ia mendatangi orang dengan bermacam-
macam latar belakang mereka, seperti: ahli politik,
pejabat, tukang dan lain-lain.
Metode itu bersifat praktis dan dijalankan
melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis
pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai
pendapat mengenai salah dan tidak salah, adil dan
tidak adil, berani dan pengecut, dsb. Socrates selalu
menanggapi jawaban pertama sebagai hipotesis dan
dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik
konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan
dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipo-
tesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena
menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka
hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu
hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-
jawaban lain, dan begitu seterusnya.
Sering terjadi percakapan itu berakhir
dengan aporia (kebingunan). Akan tetapi, tidak
jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang
dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan
Socrates biasanya disebut dialektika. Menurut Plato,

153
dialektika dalam pengertian sebagai metode untuk
menggali pengetahuan dengan cara tanya jawab,
bukan ditemukan oleh Socrates. Agaknya metode
ini pertama kali dipraktikkan secara sistematis oleh
Zeno, murid Parmenindes; dalam dialog Plato
berjudul Parmenindes, Zeno mengungguli Socrates
lewat cara yang sama dengan yang terjadi dalam
dialog-dialog Plato lainnya di mana Socrates
mengungguli orang-orang lain. Namun ada cukup
alasan untuk menduga bahwa Socrates mem-
praktikkan sekaligus mengembangkan merode ini.
Metode Socrates dinamakan dialektika karena
dialog mempunyai peranan penting didalamnya.
Sebutan yang lain ialah maieutika, seni kebidanan,
karena cara ini Socrates bertindak seperti seorang
bidan yang menolong kelahiran bayi “pengertian
yang benar”.
Dengan cara bekerja yang demikian itu
Socrates menemukan suatu cara berfikir yang
disebut induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan
yang sifatnya umum dengan berpangkal dari
banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya:
banyak orang yang menganggap keahliannya
(tukang besi, tukang sepatu, pemahat, dan lain-lain)
sebagai keutamaannya. Seorang tukang besi
berpendapat, bahwa keutamaannya adalah jikalau
ia membuat alat-alat dari besi yang baik. Seorang
tukang sepatu menganggap sebagai keutamaanya,
jikalau ia membuat sepatu yang baik. Demikian
seterusnya.
Untuk mengetahui apakah “keutamaan”
pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-

154
keutamaan yang bermacam-macam itu harus
disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya
umum. Demikianlah dengan induksi itu sekaligus
ditemukan apa yang disebut definisi umum. Definisi
umum ini pada waktu itu belum dikenal.
Socrateslah yang menemukannya, yang ternyata
penting sekali bagi ilmu pengetahuan. Bagi Socrates
definisi umum bukan pertama-tama diperlukan
bagi keperluan ilmu pengetahuan, melainkan bagi
etika. Yang diperlukan adalah pengertian-
pengertian etis, seperti umpamanya: keadilan,
kebenaran, persahabatan dan lain-lainya.
Socrates juga mengatakan bahwa jiwa
manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas
hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam.
Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat manusia
sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh
karena jiwa adalah intisari manusia, maka manusia
wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya
(eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik),
lebih dari pada kebahagiaan tubuhnya atau ke-
bahagiaan yang lahiriah, seperti umpamanya:
kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat
jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Jikalau
hanya hidup saja, hal tersebut belum ada artinya.
Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan
adalah Pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup
baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik.
Hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuan-
nya tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat
dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan
kemauan manusia.

155
Pada bagian kisah terakhir dalam hidup
Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan
tentang apa yang terjadi sesudah mati, ia benar-
benar yakin pada imortalitas. Seperti dalam
cuplikan pidato penutup Socrates setelah dia
dijatuhi hukuman mati:
“In the next place, I desire to predict to you who have
condemned me, what will be your fate: for I am now in
that condition in which men most frequently prophesy,
namely, when they are about to die. I say then to you, O
Athenians, who have condemned me to death, that
immediately after my death a punishment will overtake
you, far more severe, by Jupiter, than that which you
have inflicted on me. For, if you think that by putting
men to death you will restrain any one from upbraiding
you because you do not live well, you are much
mistaken; for this method of escape is neither possible
nor honorable, but that other is most honorable and
most easy, not to put a check upon others, but for a man
to take heed to himself.”2
“Dan sekarang wahai orang-orang yang
telah menghukumku, ingin kuramalkan
nasib kalian; sebab sebentar lagi aku mati,
dan saat-saat menjelang kematian manusia
dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan
kuramalkan kalian, para pembunuhku,
bahwa tak lama sesudah kepergianku maka
hukuman yang jauh lebih berat daripada
yang kalian timpakan kepadaku pasti akan
menantimu… jika kalian menyangka bahwa

2
Socrates, “On Being Condemned to Death”, dalam William Jennings
Bryan (ed.), The World’s Famous Orations (New York: Funk and
Wagnalls, 1906), 153.

156
dengan membunuh seseorang kalian dapat
menjegal orang itu sehingga tak mengecam
hidup kalian yang tercela, kalian salah
duga; itu bukan jalan keluar terhormat dan
membebaskan; jalan paling mudah dan
bermartabat bukanlah dengan mem-
berangus orang lain, namun dengan
memperbaiki diri kalian sendiri.”
Kematian mungkin sama dengan tidur tanpa
mimpi (yang jelas baik) atau mungkin pula
berpindahnya jiwa ke dunia lain. Dan adakah yang
memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan
untuk berbincang dengan Orpheus, Musaeus,
Hesiodus, dab Homerus? Maka, sekiranya hal ini
benar, biarlah aku mati berulang kali. Di dunia lain
itu mereka tak akan menghukum mati seseorang
hanya karena suka bertanya: tentu tidak. Sebab
kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita saat
ini, mereka yang di dunia lain itu abadi, sekiranya
apa yang sering dikisahkan itu benar… “
Dari uraian pidato penutup diatas, Socrates
telah percaya bahwa ada kehidupan setelah mati,
dan mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke
dunia selanjutnya. Orang mati hanya meninggalkan
jasad. Socrates berpendapat bahwa ruh itu telah ada
sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita
ketahui. Kendatipun ruh itu telah bertali dengan
tubuh manussia, tetapi diwaktu manusia itu mati,
ruh itu kembali kepada asalnya semua. Diwaktu
orang berkata kepada Socrates, bahwa raja ber-
maksud akan membunuhnya. Dia menjawab:
“Socrates adalah di dalam kendi, raja hanya bisa

157
memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan
kembali ke dalam laut”. Maksudnya, yang hancur
luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal
(abadi).

158
BAB VI
FILSAFAT PATHRISTIK DAN SCHOLASTIK

A. Filsafat Kristen
Lahirnya agama Kristen pada awal abad
Masehi secara tidak langsung mempengaruhi
kedudukan filsafat di Barat. Pemikiran-pemikiran
para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan
dicampuri oleh pembahasan tentang pandangan
hidup kristiani. Agama Kristen yang ketika itu
sedang berkembang, membawa suatu dimensi baru
dalam perjalanan filsafat selanjutnya. Dimensi itu
tak lain ialah sebuah masa dimana pembahasan-
pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan
tentang “iman” kristiani. Dengan kata lain inilah
masa yang dikenal sebagai periode “pengkristenan”
filsafat. Inilah yang dikenal dengan masa Patristik.
Istilah Patristik berasal dari kata latin patres
(bentuk plural dari pater) yang berarti bapak-bapak
dalam lingkungan gereja, yang dimaksudkan
adalah para pujangga Kristen (Gereja) dan tokoh-
tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak
dasar intelektual kekristenan. Di dunia Barat agama
Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang
Tuhan, manusia, dunia, dan etikanya. Untuk mem-
pertahankan dan menyebarkanya maka mereka
menggunakan filsafat Yunani dan menderivasi lebih
lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang ber-
hubungan dengan manusia, kepribadian, kesusila-
an, juga sifat Tuhan.
Para pemikir Kristen pada zaman Patristik
mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap

159
filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali
filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil
pemikiran manusia semata, sehingga setelah ada
wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan
berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan
tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani,
karena perkembangan pemikiran Yunani itu
dipandang sebagai persiapan bagi Injil. Kedua
macam sikap ini yang mewarnai di zaman
pertengahan itu.
Periode ini ditandai dengan adanya Bapak-
bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan
tampilnya apologet dan para pengarang Gereja.
Apologet adalah orang yang secara resmi
menentang ajaran-ajaran sesat dengan mengemuka-
kan ajaran-ajaran “iman” yang benar. Mereka
dikenal juga sebagai pembela-pembela ajaran yang
benar. Para Apologet memiliki tugas utama men-
jawab berbagai persoalan dan keberatan mengenai
ajaran-ajaran Gereja, terhadap berbagai ajaran atau
paham-paham filosofis yang mengancam ajaran
“yang benar”.
“Apologetic is a defense of the truth of a position or
religion. For Christians, apologetics names the practice
of setting forth reasons for accepting the Christian
faith.”1
Para pengarang Gereja adalah orang-orang
yang menulis buku dan karangan-karangan tentang
berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan
mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan

1
Charles Thaliaferro dan Elsa J. Marty (ed.), A Dictionary of Philosophy
of Religion (New York: Continuum, 2010), 19.

160
sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens
dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254
M).
Kemudian tampil juga para pujangga Gereja
(325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi
Gereja dan ajaran Kristen, diantaranya: Athanasius
(296-373 M), Gregorius dari Naziaza (329-389 M),
Basilius (330-379 M), Gregorius dari Nyssa (330-395
M), Sirilus dari Alexandria dan Dyonisius
Areopagita (± 500 M), mereka adalah para pujangga
Gereja tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa
Yunani (Patristik Yunani). Sedangkan Hilarius (315-
367 M), Ambrosius (339-397 M), Hieronymus (374-
420 M) dan Agustinus (354-430 M) termasuk dalam
tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin
(Patristik Latin). Ajaran-ajaran mereka, terutama
ajaran Agustinus, berkembang luas dan sangat
berpengaruh dalam diri para filosuf abad per-
tengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai 1000
M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai periode
transisi, dan para filsuf yang terkelompok dalam
periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480-
525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir 800 M).
Pada abad-abad pertama, Gereja Kristen
mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak
penguasa-penguasa Romawi. Kedaan ini berubah
secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar
Constantinus Agung mengeluarkan pernyataan
yang biasa disebut “edik Milano” dimana kebebas-
an beragama untuk semua orang Kristen terjamin.
Sesudah kejadian itu Agama Kristen berkembang
pesat dalam semua propinsi kekaisaran Romawi.

161
Sejak saat itu mulailah zaman keemasan Patristik,
baik dalam wilayah yang berbahasa Yunani
maupun dalam wilayah yang berbahasa Latin.
Menurut para sejarawan, filsafat Patristik
mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad
VIII. Selanjutnya di barat dan timur muncul tokoh-
tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak
pemikiran yang mulai berbeda dengan masa
Patristik. Dalam sejarah, pada awal abad masehi
agama Kristen telah tumbuh dan berkembang
dalam berbagai bentuk yang mengagumkan yang
ditandai dengan kecanggihan intelektual Thomas
Aquinas tentang eksistensi Allah, manusia dan lain-
lain.
Sebelumnya, tampil orang-orang seperti
Rasul Paulus, dan Rasul Yohanes yang menghadap-
kan kepercayaan Kristen dengan kepercayaan yang
bukan Kristen pada waktu itu. Sejarah menunjuk-
kan suatu pergumulan yang menentukan hidup,
dan mati agama baru ini, dimana-mana agama
Kristen ditentang, baik oleh penguasa maupun oleh
pemikir pada saat itu, akan tetapi kemudian orang-
orang atas (para pemikir) tersebut menjadi pengikut
agama Kristen. Timbulnya agama Kristen pada
abad masehi menyebabkan filsafat menduduki
tempat baru yakni :
1) Hikmah hidup yang dikemukakan oleh filsafat.
2) Hikmah hidup yang dikemukakan oleh agama
Kristen. Saling konfrontasi, konfrontasi sebenar-
nya telah tampak pada kitab suci Kristen sendiri
dengan tampilya Rosul Paulus dan Yuhanes.
Kristen ditentang oleh pengusa dan ahli pikir.

162
Golongan pemeluk Kristen dibagi menjadi dua
yaitu : Rakyat Jelata (Orang sederhana) masa ini
tidak ada perbedaan secara falsafi dan ahli pikir
(Golongan atas) mulai menentukan sikap
teerhadap filsafat Yunani.
Bangkitnya ahli pikir yang mempertahan-
kan kepercayaan Kristen disebut Patristik. Istilah
patristik berasal dari bahasa latin yaitu Pater yang
berarti Bapak (para bapak gereja) zaman ini dimulai
sampai dengan abad ke-8. Pemikir dalam menang-
gapi filsafat terpecah menjadi beberapa golongan:
1) Menerima karena filsafat Yunani dipandang
sebagai persiapan menuju Injil.
2) Menolak filsafat Yunani, karena hasil pikiran
manusia setelah ada wahyu tidak dipergunakan
lagi.
3) Melebur kepercayaan Kristen dengan filsafat
Yunani.
Filsafat patristik dibagai menjadi dua
yaitu Patristik Timur dan Patristik Barat.
1. Patristik Timur
Pemikiran filsafat agama Kristen dimulai
dari Apologit para pembela agama Kristen
diantaranya Aristdes, Yustinus dan Tatianus.
Para apologit dalam pembelaanya dari tuduhan-
tuduhan non Kristen seperti Keristen munafik,
pecundang, melakukan persetubuhan bebas,
membenci sesama, tidak mau menyembah dewa
dan sebagainya, Jawaban apologi adalah fitnah,
sebab dalam kenyataannya orang Kristen
menurut hukum Allah sehingga mereka tidak
jatuh pada kesalahan-kesalahan seperti yang

163
dilakukan oleh orang-orang besar Keristen,
mereka tidak membuang bayi, mereka tidak
melakukan persetubuhan berlebihan, bahkan
mengasihi sesama.
Agama Kristen tidak mau menyembah dewa
tetapi Kristen percaya kepada Allah Yang Esa
dan menyembahnya Kristen hanya ada satu
Allah saja yang transenden yang secara hakiki
berbeda dengan manusia. Para apologit
memanfaatkan filsafat Yunani dalam pembelaan-
nya seperti:
a. Yustianus
Agama Kristen bukan agama baru,
Agama Kristen lebih tua dari filsafat Yunani,
Nabi Musa telah menumbuhkan kedatangan
Kristus, Musa hidup sebelum Plato, Plato
menurunkan hikmahnya dari hikmah Musa,
filsafat Yunani dipandang mengganggu
hikmah dari kitab suci orang Yahudi.
Keyakinan Kristus adalah Logos, Kristus
telah membagi-bagikan logos kepada seluruh
umat manusia, sehingga kepada yang bukan
Kristen juga tertanam rasa kebenaran. Logos
berkerja kepada semua orang baik intelektual
maupun moral. Setiap orang yang mendapat-
kan bagian logos adalah orang Kristen,
sekalipun tidak dibaktis seperti Socrates
Orang Yunani kurang mengerti akan pen-
cerahan yang telah diberikan logos, sehingga
menyimpang dari ajaran yang murni hal ini
karena pengaruh Demon yang dikepalai Iblis

164
sehingga bangsa Romawi banyak yang meng-
hambat Kristen.
b. Klemes
Pangkal pemikirannya adalah iman, di
samping iman ada hal yang lebih tinggi yaitu
Gnosis. Iman berlaku bagi tiap-tiap orang
Kristen. Genosis diperlukan bagi orang-orang
kristen yang dapat berfikir mendalam untuk
menerangi Iman. Seseorang yang telah me-
miliki Gnosis harus mematikan hawa nafsu-
nya dan kembali kepada Allah dalam satu
kasih yang telah dibersihkan dari hawa nafsu.
Klemes mengandalkan Iman, tanpa Iman
tiada Gnosis, Iman awal pengetahuan yang
harus berkembang menjadi pengetahuan
tetapi pengetahuan tidak mengadakan Iman.
Gnosis bagi Klemes Ilmu Sejati, suatu penge-
tahuan yang pasti berdasarkan penguraian
yang benar dan pasti. Orang yang dianggap
punya Ilmu Pengetahuan (berhikmah) jika
akalnya meneguhkan pengetahuan dengan
uraian-uraian yang mempunyai bukti.
c. Origenes
Iman kurang berguna bagi orang yang
sudah berpengetahuan, sebab iman diperlu-
kan bagi orang yang sederhana yang tidak
mengerti Kitab suci secara Rohani. Menurut
Origenes Kitab suci mempunyai 3 macam arti:
1) Harfiah/Somatis berlaku bagi orang yang
sederhana.
2) Etis/Psikis diuraikan di dalam khutbah,
diperuntukan bagi orang psikis

165
3) Pneomatis/rohani diperuntukan bagi para
teolog dan filosuf.
Allah adalah transenden, tidak bertubuh,
esa tidak berubah, Allah pencipta segala
sesuatu, baik bersifat rohani maupun badani,
penciptaan Allah kekal abadi, sebelum dunia
diciptakan Allah telah menciptakan dunia lain
yang mendahului dunia tampak, setelah
zaman dunia ini akan ada dunia yang baru.
Allah menciptakan dengan perantaraan
anak, sejak kekal anak diperankan bapak,
sedangkan roh kudus keluar dari anak, anak
Allah adalah logos, ide segala ide. Hubungan
Allah bapak, anak roh kudus sebagai sub-
ordinasi artinya yang satu dibawah yang lain,
yang satu lebih rendah dari pada yang lain.
Roh diciptakan oleh Allah, tetapi roh
tidak setia pada Allah sehingga dibelenggu
didalam tubuh. Jagat raya yang tampak
disebabkan oleh Dosa, semua bersifat
bendawi akibat dosa, sekalipun demikian
akibat tidak kesetiaan tadi, tidak semuanya
sama melaikan bertingkat. Ada roh yang
memiliki tubuh halus, ada roh yang memiliki
tubuh kasar ada malaikat, ada manusia. Jiwa
manusia dapat juga naik tingkat menjadi
malaikat. Seluruh roh pada akhirnya akan
kembali kepada Allah setelah mengalami
banyak kelahiran dan akhirnya semua
mahluk baik yang jahat dan yang baik akan
selamat.

166
d. Gregorius Nazianze.
Akal manusia dengan sendirinya dapat
mengenal Allah dengan mempelajari hasil
penciptaan Allah, manusia dengan akalnya
dapat mengetahui bahwa Allah ada sekalipun
zat dan hakekatnya tersembunyi bagi
manusia. Mengetahui zat Allah manusia
hanya dapat mengungkapkan secara negatif
seperti bahwa Allah tidak berubah, Tidak
dilahirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak
binasa.
e. Basilius
Hanya Allah yang tampak awal,
sedangkan dunia berawal awal dunia juga
awal waktu, dunia dan waktu berhubungan
secara timbal balik. Ketika Allah menciptakan
dimulai juga waktu, akan tetapi perbuatan
Allah dalam menciptakan tidak dikuasai oleh
waktu, perbuatan menciptakan itu sendiri
terjadi diluar waktu.
f. Gregorius
Iman dan pengetahuan mempunyai
perbedaan, sumber dan isi Iman berbeda
dengan sumber dan isi ilmu pengetahuan,
kepastian tidak dapat dijelaskan dengan akal
karena lebih tinggi dari kepastian akal.
Pengetahuan dengan akal dapat dipakai
untuk membaca Iman, untuk menjabarakan
Iman. Akal dapat mengenal Allah dengan
mempelajari hasil penciptaan tetapi penge-
tahuan tidak menyelamatkan. Orang di-
selamatkan hanya dengan Iman.

167
2. Patristik Barat
Bagi Patristik Barat, ada dua macam
sikap terhadap filsafat yaitu : (1) Aliran yang
menolak filsafat. (2) Aliran yang menerima
filsafat. Dalam uraian selanjutnya akan dibicara-
kan hal-hal yang penting saja.
a. Tertullianus
Ajarannya materialism. Akal manusia
dapat menemukan adanya Allah dan me-
nemukan sifat jiwa yang tidak dapat mati.
Baik Allah maupun jiwa bertubuh, sekalipun
berbeda dengan tubuh jasmani. Allah adalah
suatu zat yang halus, jiwa terdiri dari zat yang
halus yang bertubuh yang tembus sinar sama
seperti uap.
Jiwa tidak setiap kali diciptakan Allah,
tetapi pembentukan diteruskan oleh para
orang tua kepada anak-anak mereka. Jiwa
berasal dari seperma sang Ayah, sehingga
setiap jiwa adalah suatu ranting dari Adam,
jiwa selalu mendapat dosa warisan dari
Adam.
b. Aurelius Agustinus
Ia menentang sikap aliran spektis, sikap
spektis disebabkan karena adanya pertentang-
an batiniah. Barang siapa ragu-ragu sebenara-
nya ia berfikir dan barangsiapa berfikir ia ada,
aku ragu-ragu maka aku berfikir dan aku
berfikir maka akan berada. Pikiran dapat
mencapai kebenaran dan kepastian berfikir
ada batasnya, namun dengan berfikir orang

168
dapat mencapai kebenaran yang tiada batas-
nya yang kekal abadi.
Kita lebih dapat mengataka Allah itu
bukan apa dari pada Allah itu apa, sebab
Allah tidak dapat dimasukan kedalam
kategoris yang dimiliki manusia, Allah adalah
roh yang esa tidak bertubuh, tidak berubah,
tidak berada dimana mana serta meliputi
egala sesuatu. Manusia tidak dapat mengenal
Allah secara sempurna.
c. Dionision
Allah adalah segala asala yang ada, yang
keadaanya transenden secara mutlak sehingga
tidak mungkin memikirkan tentang dia
dengan cara yang benar dan memberikan
kepadanya makna yang tepat, hal ini karena
ia mengatasi segala yang ada, segala yang
dapat dipikirkan orang. Segala sesuatu yang
keluar dari Allah berusaha kembali kepada
Allah, Didalam usaha kembali ini manusia
mencoba sedikit memikirkan tentang Allah
dan menyebutnya. Percobaan ini dapat di-
lakukan dengan tiga cara:
1) Orang dapat secara positif menyebut
segala hal yang baik, yang terdapat dalam
jagat raya ini untuk Allah.
2) Orang dapat menyangkal, bahwa segala
yang baik, yang ada pada Allah berada
dengan cara yang sama seperti adanya
segala sesuatu didalam jagat raya ini.
3) Orang dapat meneguhkan, bahwa segala
kesempurnaan ada pada Allah, dengan

169
cara yang tidak terhingga melebihi segala
kesempurnaan makhluk. Usaha kembali
kepada Allah melalui jalan pikiran ini
menjadikan hidup penuh arti.
Allah adalah terang, terangnya begitu
gemilang, sehingga mata manusia menjadi
terlalu lemah untuk mengamatinya, akibatnya
terang itu menjadi kegelapan, sekalipun
demikian manusia dapat menjadikan matanya
bias menerima terang itu, sehingga manusia
dapat mengenal Allah yaitu dengan jalan
yang disebut di atas.
Dionisios menekankan kehendak bebas
manusia, ia menolak ajaran tentang kepindah-
an jiwa, dan penyamaan antar tubuh dan
dosa. Tubuh pada dirinya bukanlah dosa,
kejahatan ada dimana tiada kebaikan.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa filsafat pada masa patristik menandai bahwa
pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi
atau bahkan dicampuri oleh pembahasan tentang
pandangan hidup kristiani. Sehingga melahirkan
sebuah dimensi di mana pembahasan-pembahasan
filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang
“iman” kristiani. Secara lebih lugas, masa ini me-
rupakan masa di mana terjadi proses “kristenisasi”
filsafat.
Sebagaiman sudah dijelaskan, para pemikir
Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap
yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada
yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena
dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata,

170
sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak
diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan”
umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima
filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran
Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil.
Kondisi para pemikir Kristen semacam ini
mirip dengan sikap yang ditunjukkan oleh pemikir
Muslim ketika harus berhadapan dengan pemikiran
filsafat yang masuk ke dunia Islam pada masa yang
lain. Bedanya, jika beragamnya respon para pemikir
Kristen lebih didasarkan pada kekhawatiran akan
terkontaminasinya ajaran kristiani, maka beragam-
nya respon di dunia Islam lebih dikarenakan oleh
problem substansial filsafat jika dihadapkan dengan
al-Qur‟an. Dalam ajaran Kristen, ajaran kristiani
sendiri tidak sepi dari koreksi manusia. Artinya
body of knowledge ajaran kristiani tidak terdeskripsi
dengan bentuk yang jelas. Sehingga, upaya untuk
melakukan kompromi antara filsafat dengan ajaran
Kristen dipandang sebagai pilihan rasional. Hal itu
sebagaimana dilakukan Klemens dari Aleksandria.
Salah satu pemikiran Klemens yang penting
adalah usahanya untuk membangun hubungan
yang baik antara “iman” Kristen dengan filsafat.
Pada waktu itu, kebanyakan orang takut untuk
menghubungkan keduanya karena akan dianggap
sesat. Klemens mengklaim bahwa dengan mem-
pelajari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat
tidak lantas membuat orang menjadi sesat. Upaya
Klemens didasarkan kepada pertimbangan bahwa
kalau gereja menutup diri terhadap kebudayaan
dan filsafat yunani, maka gereja akan tertutup bagi

171
orang-orang yang berpendidikan. Itulah mengapa
kami katakan bahwa “kristenisasi filsafat” atau
bahkan “filsafatisasi Kristen” menjadi pilihan
bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Karena pada
kenyataannya, terminologi dan batasan dari istilah
“sesat” sendiri menjadi delicated dalam ajaran
kristiani. Hal ini berbeda dengan yang dialami umat
Islam pada masa jauh setelah masa ini. Studi filsafat
di dunia Islam lebih kental dengan metodologi al-
Quran yang vis a vis dengan metodologi filsafat
dalam membangun keimanan dan pandangan
hidup.
Walhasil, perkembangan filsafat barat pada
masa patristik lebih didasarkan pada tradisi
intelektual dalam koridor keyakinan yang berakhir
dengan tidak tersisanya apa yang disebut dengan
ajaran “orisinil” keduanya, kecuali menghasilkan
kompromi, hal itilah yang kita bias lihat dari
pemikir paling terkemuka Agustinus. Agustinus
dalam argumen filsafat dan teologinya, banyak
dipengaruhi oleh Platonisme dan Neoplatonisme,
terutama oleh karya plotinus, penulis Enneds,
kemungkinan melalui perantaraan Profiri dan
Victorius (seperti dalam argumen Pierre Hadot).
Pandangannya yang umumnya positif terhadap
pemikiran Neoplatonik ikut menolong “dibaptis-
kannya” pemikiran Yunani dan masuknya ke dalam
tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual
Eropa. Tulisan awalnya yang berpengaruh tentang
kehendak manusia, sebuah topik sentral dalam
etika, kelak menjadi fokus bagi para filsuf berikut-
nya seperti Arthur Scopenhaur dan Nietzsche.

172
Adapun jika kita analogikan dengan masuk-
nya filsafat ke dunia Islam, memang merupakan
tradisi intelektual dalam koridor keimanan, yang
berakhir dengan skema yang masih mapan, kedua-
nya masih merupakan entitas pemikiran keyakinan
yang berdiri sendiri. Meskipun usaha untuk meng-
kompromikannya sudah dilakukan sejak watu yang
lama, namun belum bisa dipandang berhasil dan
hanya diadopsi oleh sebagian kecil umat Islam.
Tetap saja masih dalam arena perdebatan
intelektual. Secara teoretis, filsafat menawarkan
tentang apa itu kebenaran (al-haq). Secara praktis,
filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-
khayr). Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat
merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia,
sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya.
Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-
Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa
filsafat adalah paham (isme) di luar agama para
Nabi. Di sinilah problematikanya, sebab Islam telah
mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr
(kebaikan), termasuk cara pandang yang khas
tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah
menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode
berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya.

B. Filsafat Hindu
Agama Hindu tidak didirikan oleh orang
tertentu, pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan
demikian, tradisi Agama Hindu bukanlah bersifat
tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau
praktek yang sederhana. Hal ini terdiri dari ber-

173
bagai pemikiran da pengalaman yang berbeda yang
telah terkumpulkan selama lebih dari ribuan tahun
oleh para Resi dan orang-orang suci.
“Hinduism is so to speak a tradition (or collection of
them) by induction. It does not, like Islam, emanate
from a single source, the Qur'an.”2
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan.
Walaupun agama berlandaskan kepercayaan, dan
filsafat berdasarkan pertimbangan (rasio), akan
tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut
tujuannya, sama-sama mencari kebenaran. Agama
Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal
dengan nama Darsana (Filsafat Hindu).
Dalam agama Hindu, seorang umat berkon-
templasi tentang misteri Brahman dan mengung-
kapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak
habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis.
Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan
manusia melalui praktik askese atau meditasi yang
mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya
(Sradha). Umat Hindu juga menyebut agamanya
sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang
kekal abadi. Menurut kepercayaan para penganut-
nya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan
sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang
disebut Awatara.
Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan
ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluh-
an ribu tahun yang lalu. Ajaran Kresna atau Tuhan
2
Ninian Smart, “Hinduism”, dalam Philip L. Quinn, A Companion to the
Philosophy of Religion (London: Blackwell, 1999), 7.

174
sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita,
adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu,
siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk
menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan
asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pen-
cerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu
Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau
untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang
diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya
adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang,
kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi,
tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya
dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke
mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang
sebenarnya manusia hidup ke dunia.
Pengertian filsafat seperti yang dijelaskan
pada bab sebelumnya berbeda dengan ilmu penge-
tahuan dan berbeda pula dengan pengertian agama.
Menurut S.P. Siagian dalam bukunya Filsafat
Administrasi mengatakan “kata filsafat‟ berasal dari
bahasa Yunani, dari kata “Philllos” berarti gemar,
senang atau cinta, dan kata “Sophia” artinya
kebijaksanaan. Karena itu filsafat berarti cinta
kepada kebijaksanan. Seseorang menjadi bijaksana
karena berusaha mendalami hakikat sesuatu.
Dengan demikian filsafat berarti berusaha menge-
tahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya,
baik mengenai hakekat adanya sesuatu fungsi, ciri-
cirinya,kegunaannya, masalahnya serta pemecahan
terhadap masalah-masalah itu.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, Falsafat

175
berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hkum, dsb.
daripada segala yang ada dalam alam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya”
sesuatu. Selain itu Prof. Ir. R. Pudjawijatna, dalam
bukunya Pembimbing ke arah Filsafat, juga
menegaskan arti filsafat adalah ilmu yang berusaha
mencari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Secara
garis besar perkembangan filsafat di dunia dibagi
menjadi 2 kubu, yakni filsafat yang mengacu ke
Timur (Asia) dan filsafat yang mengacu pada Barat
(Eropa).
Dari kedua kubu filsafat tersebut, yang
pertama berkembang adalah filsafat yang berasal
dari Timur. Filsafat Timur sendiri sebenarnya terdiri
dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi
dan wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina,
dan filsafat Arab. Filsafat India mengarah pada
Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah
kepada Taoisme dan Konfusianisme, sedangkan
filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam.
Mengacu pada periodesasi filsafat Timur, filsafat
yang berkembang pertama kalinya adalah aliran
filsafat India yang mengarah kepada Hinduisme
dan Budhaisme. Terdapat dua kelompok filsafat
India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan
kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda,
sedangkan kelompok Astika sebaliknya.
Dalam Astika, terdapat enam aliran filsafat
yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa

176
dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut
dikenal sebagai Filsafat Hindu.
Nyaya darsana merupakan merupakan dasar
dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat
Hindu. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai
sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama
atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada
atau Dirghatapas kurang lebih pada abad ke-4 SM.
Nyaya berarti „argumentasi‟, sehingga sering pula
disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang
suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam
Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan
(Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang
berarti bersifat analitik dan logis. Didalamnya juga
termaktub 4 sumber pengetahuan yakni persepsi
(indera), inferensi, analogi dan firman. Dari konsep
ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya
menekankan pada aspek logika dan nalar dengan
pendekatan silogisme ala Aristoteles.
“The Nyaya deals mainly with logical methods….,
There are four sources of knowledge, according to the
Nyaya perception (pratyaksha), inference (anumana),
analogy (upamana), and credible testimony (sabda)….,
The process of reasoning is discussed in detail and the
analysis of the process remarkably resembles the
syllogistic analysis of Aristotle.3
Nyaya merupakan alat utama untuk me-
yakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak
terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian
dengan berbagai argumentasi dan melewati ber-

3
Oliver Leaman, Eastern Philosophy: Key Readings (New York:
Routledge, 2000), 234.

177
bagai perbantahan sehingga membentuk suatu ke-
yakinan yang penuh. Menurut konsep Nyaya,
pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu:
1. Subyek atau si pengamat (pramata)
2. Obyek (Prameya)
3. Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti)
4. Cara mengetahui (Pramana)
Obyek yang diamati (Prameya) berjumlah 12,
yaitu:
1. Roh (Atman)
2. Badan (Sarira)
3. Indriya
4. Obyek Indriya (Artha)
5. Kecerdasan (Buddhi)
6. Pikiran (Manas)
7. Kegiatan (Pravrrthi)
8. Kesalahan (dosa)
9. Perpindahan (Pretyabhava)
10. Buah atau hasil (Phala)
11. Penderitaan (Duhkha)
12. Pembebasan (Apawarga)
Nyaya darsana yang bertindak pada garis
ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada
tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika)
seperti : jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta),
Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang
disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan
Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi,
kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa
atom-atom.
Vaishesika dan Nyaya Darsana bersesuaian
dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat dan

178
hakekat sang Diri dan teori atom alam semesta, dan
dikatakan pula bahwa Vaishesika merupakan tam-
bahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki analisa
pengalaman sebagai obyektif utamanya.
Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya
(samkhya, yoga, purva-mimamsa, dan vedanta) adalah
bersifat spekulatif, dalam arti bahwa mereka
menjelaskan alam semesta sebagai satu kesatuan
menyeluruh, maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili
tipe filsafat analitis serta menjunjung tinggi akal
sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah
penggunaan metode sebagai sains, yakni pe-
meriksaan logis dan kritis.
Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil
pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang,
waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan penge-
tahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan
menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang
alam semesta. Bagian yang logis dan fisik menjadi
ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem
Nyaya menjelaskan mekanisme pengetahuan secara
mendetail serta berargumen melawan skeptisisme
yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti.
Sedangkan sistem Vaishesika memiliki tujuan untuk
menganalisis pengalaman.
Adapun Wedanta berasal dari kata “weda”
dan “anta”, yang artinya bagian terakhir dari Weda
(Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda. Nama ini
adalah nama yang diberikan pada ajaran Upanisad.
Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat
yang sistematis agar dapat dianalisis dengan lebih
mudah. Wedanta merupakan kesimpulan dan per-

179
luasan tafsir Upanisad. Didirikan oleh Badarayana
pada 500 M.
Didalamnya dibicarakan apa yang disebut
“Jnana Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu
menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu
jalan kelepasan dengan mempergunakan ilmu
(pengetahuan). Kitab Upanisad ini juga disebut
Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujud-kan
bagian akhir dari Weda yang bersifat menyim-
pulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai
Wedanta, sudah ribuan tahun menjadi sumber
inspirasi filsafat religius umat Hindiu.
Kata Upanishad memiliki arti duduk dekat
guru atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Upanishad merupakan ajaran rahasia dari Weda
yang oleh para guru dinamakan dengan istilah
Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108
buah.
Walaupun hanya diterima sebagai “sruti”,
yaitu sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status
Upanishad bukan menyampaikan kearifan manusia,
namun menyediakan kebenaran yang membebas-
kan. Ada tiga faktor yang meyebabkan Upanishad
disebut dengan Wedanta, yaitu:
1. Upanishad adalah hasil karya terakhir dari
zaman Weda.
2. Pada zaman Weda program pelajaran yang di-
sampaikan oleh para Resi kepada sisyanya,
Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir.
Para Brahmacari pada mulanya diberikan
pelajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari
zaman Weda. Kemudian dilanjutkan dengan

180
pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk me-
laksanakan upacara keagamaan.
3. Upanishad merupakan kumpulan syair-syair
yang terakhir daripada zaman Weda. Oleh
karena itu Upanishad adalah inti dari Weda atau
Wedanta.
Ada yang menyebutkan bahwa sebutan
Wedanta itu diartikan sebagai suatu sistem filsafat
yang ajarannya didasarkan pada kitab Upanishad.
Karena banyaknya kitab Upanishad dan
untuk memudahkan sistem pengajarannya, maka
Badarayana mencoba menyusun secara sistematis
pengajaran Upanishad dalam sebuah Sutra yang
dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini terbagi atas
empat bab yang setiap babnya memuat hal–hal
sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa Brahman adalah realitas
yang tertinggi dan semua ayat Weda mengan-
dung Brahman di dalamya.
2. Menyatakan bahwa semua ajaran yang tidak
sesuai dengan Weda tidak akan dapat diper-
tahankan.
3. Membicarakan syarat–syarat untuk menyatukan
diri dengan Brahman.
4. Membicarakan pahala dari seseorang yang telah
mendapatkan pengetahuan tentang Brahman
atau Brahma Widhya.
Kitab Brahma Sutra (Wedanta Sutra),
Upanisad dan Bhagawadgita, ketiga kitab tersebut
menjadi dasar filsafat Wedanta. Ajaran Vedanta,
sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu
penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini meng-

181
kaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta
berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti
akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab
Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama
Brahmasutra (Aphorisme yang berhubungan degan
Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelum-
nya, pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau
dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna
Dwipayana.
Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan
ringkasan dari filsafat dasar dari Upanishad dalam
empat treatise (Adhyaya). Dengan adanya pandang-
an dari para cendikiawan, dalam Brahma Sutra
merefleksikan filsafat Chandogya Upanisad lebih
dari Upanisad yang lain. Aphorisme dalam Brahma
Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya
hanya terdiri dari satu atau dua kata. Aphorisme ini
tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan.
Komentar tradisional yang mengandung dasar dari
berbagai sistem filsafat, yang beberapa diantaranya
memberikan interpretasi diametris yang berlawanan
dari sutra kecil yang sama. Ada tiga sekolah utama
filsafat Wedanta yang berbeda satu sama lain dalam
cara memandang hubungan antar pribadi, hal-hal
dan realitas tertinggi (Brahman).
Untuk memenuhi sebagai pendiri aliran
Vedanta dengan julukan “master” (acarya), seorang
pemimpin religius harus menulis komentar ter-
hadap teks-teks utama Upanisad, Bhagavad-ghita,
dan Vedanta Sutra. Seperti yang telah disebutkan
diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang
masing-masingnya memiliki tokoh dan pendapat

182
yang berbeda. Perbedaan dasar dari sistem ini
adalah kepercayaan mereka untuk pertain dengan
hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman.
a. Adwaita Wedanta
Pemikiran Adwaita didasarkan pada
interpretasi Wedanta yang dibuat oleh Adi
Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang
cendekiawan terkemuka, yang sering disebut
dengan seorang ahli metafisika Hindu yang
jenius. Beliau hidup kira-kira 788-820 SM yang
terlahir dalam keluarga Brahmana di kota
Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan
tahun, ia sudah menguasai semua kitab Hindu.
Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual
juga pereformasi dan pendiri dari empat
Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di
Himalaya, di Dwarika di Pantai Barat,di Puri di
Pantai Timur, dan yang terakhir di Sringeri di
daerah Mysore. Biara ini sangat terkenal dan
merupakan pusat pembelajaran dan tempat suci
di India.
Adwaita adalah sistem nondualistis.
Menurut Sankara, Atman sama dengan
Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu
dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya ter-
gantung pada Brahman, tetapi Brahman tidak
tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar
seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan
dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak
empiris, tidak objektif, bukan tidak ada, sangat
berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan
diri dicapai dengan praktek devosi dan me-

183
wudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama
orang hidup.
Menurut Adwaita Wedanta, semua
makhluk baik yang hidup maupun yang tidak
hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman
adalah kenyataan mutlak dan tidak ada
kenyataan yan lain selain Brahman. Dalam kata-
katanya Sankaracarya mengatakan:
“Brahman satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva
naparah”
“Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia
yang tidak nyata ini. Atman (Jiwa individu)
adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”.
b. Wishistadwaita
Ramanujacarya (1055-1137) adalah tokoh
utama yang menguraikan pemikiran filsafat
Wedanta. Ia terlahir dari keluarga Brahmana di
Bhutapuri di India Selatan. Ia adalah orang suci
dan seorang cendekiawan dan mengajarkan
pencerahan suci di Srirangam dekat dengan
Tiruchirappali saat ini.
Wishistadwaita menekankan perbedaan
dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri,
Brahman itu riil, tapi dunia dan diri tergantung
pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi,
dunia atau materi diri dan Brahman membentuk
satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya
sebagai tubuh Brahman. Diluar Brahman tidak
ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut
nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman
memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi
apapun manusia merealisasikan diri, Brahman

184
masih lebih tinggi. Manusia harus selalu meng-
hormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja
menekankan aspek kebaktian pada Brahman.
Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa
Brahman adalah kesatuan organis yang dibentuk
oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari bagian-
bagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi
konkrit dengan dibentuk oleh objek-objek yang
bermacam-macam dari kesadaran dan serempak
juga kesadaran itu sendiri. Kesatuan organis
inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau
Dewa (Ishvara).
c. Dwaita
Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan
oleh Madhvacarya (1199-1278) SM, yang lahir di
Udipi dekat dengan Managlore di pantai Barat
India. Ia adalah vaisnava (pemuja Dewa Wisnu)
seorang yang suci dan pereformasi keagamaan.
Ia mengembangkan sistem filsafat yang meng-
kombinasikan dualisme dengan theisme da
dikenal dengan nama Dwaita, “filsafat dari
keduanya”.
Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran
filsafatnya adalah perbedaan (beda). Sistem ini
disebut juga realistis karena mengakui bahwa
dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya
sistem ini juga bersifat theistis, karena menerima
adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya
kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra)
dengan kata lain Madhva mengakui/percaya
dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang
beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah

185
mengakui adanya kenyataan yang beraneka
ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri
dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan
perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di dunia ini
ada lima macam perbedaan-perbedaan, yaitu:
1) Perbedaan antara Tuhan dengan jiwa.
2) Perbedaan antara jiwa dengan jiwa yang
lainnya.
3) Perbedaan antara Tuhan dengan benda.
4) Perbedaan antara jiwa dengan benda.
5) Perbedaan antara benda yang satu dengan
benda yang lainnya.
Semua itu berbeda secara mutlak,
sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa
semuanya tidak saling bergantungan. Penemuan
besar pada masa Upanishad adalah apa yang
biasa disebut sebagai sintesis sebagai Atman-
Brahman, yakni identifikasi jiwa individual
(Atman) dengan dasar semesta alam (Brahman).

186
BAB VII
FILSAFAT ISLAM

A. Filsafat Islam di Dunia Timur


Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai
sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak
bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang
mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan mendasar
(radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai
ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang
(tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat
dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa
dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan
metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan
realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi
dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta
akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat
bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog.
Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan
peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat

187
ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang
Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti
Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St.
Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan
oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan
John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa
orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani
dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof
Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap
pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas
menolaknya, karena menurutnya salinan buku
filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap
Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran
yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan
bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury,
seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,
tidak akan menyalin kembali buku Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam.
Akan tetapi perlu ditegaskan disini bahwa
filosof muslim tak hanya menyalin dan mener-
jemahkan karya-karya filsafat Yunani tetapi juga
melengkapinya. Di dalam karya-karya para filosof
muslim sangat kentara sekali unsur-unsur intristik
Islami. Maka kiranya sangat relevan jika menyebut

188
Islam memiliki tradisi falsafah sendiri yang
kemudian disebut sebagai filsafat Islam.
“the pivotal of Islamic philosophers played in
preserving and transmitting the legacy of classical
Greek thought to Europe. True as this picture is, it is
incomplete, because it overlooks the intrinsic value of
Islamic philosophy. This is a vital, flourishing tradition
in its own right, one that needs to be approached not
just from the perspective of its European beneficiaries,
but on its own terms as well.”1
Sebagaimana telah diketahui, orang yang
pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari
orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM)
adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian
diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu
diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles
(384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah
tidak mencatat lagi generasi penerus hingga
munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi
banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan
Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan
Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-
Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato
dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof
Islam kenamaan yang terus mengembangkan
filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah: Al-
Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu
Rushd. Berbeda dengan filosof-filosof Islam

1
Peter S. Groff, Islamic Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 2007), ix.

189
pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu
Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam
lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja
(Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer). Ibnu baja
dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasional-
isme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa
menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan
dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang
dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran
berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal
sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan
bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli agama, telah memancing ke-
marahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka
meminta kepada khalifah yang memerintah di
Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai
atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh
Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi
dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy).
Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak
dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan
kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili
oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili
oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-
Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh

190
pihak gereja untuk menghambat berkembangnya
pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance.
Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat
dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis.
Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-
Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf
(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini
kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam
karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of
the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas
pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai
perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) me-
nyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat
Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan
peradaban Islam yang didukung oleh maraknya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri
(2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu
dalam peradaban Islam bermula dengan ber-
kembangnya filsafat dan mengalami kemunduran
dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja
melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd,
sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham
pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang
menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran
filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas
Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka
yang menentang Averroisme umumnya banyak
menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh

191
Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah.
Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang di
perdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat
pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah
yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
1. Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku
yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan
Kindah yang sejak dahulu menempati daerah
selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki
apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan
banyak dikagumi orang.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu
Yusuf Ya‟qup bin Ishaq Ash-Shabbah bin „Imran
bin Isma‟il bin Al Asy‟ats bin Qays Al-Kindi. Ia
dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M).
Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur
Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan
Harun Al-Rasyid dari Bani „Abbas. Ayahnya
meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi
lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan
dalam keadaan yatim.
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai
filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatan-
nya dalam memberikan batasan-batasan makna
istilah-istilah yang dipergunakan dalam termino-
logi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang
ia bahas mencakup epistimologi, metafisika,
etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para
penganut aliran Phythagoras, Al-Kindi juga me-

192
ngatakan bahwa dengan matematika orang tidak
bisa berfilsafat dengan baik.
Dari karangan-karangannya dapat di-
ketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran
eklektisisme dalam metafisika dan psikologi ia
mengambil pendapat Plato; dalam bidang etika
ia mengambil pendapat-pendapat Socrates dan
Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-
Kandi sebagai filsafat Muslim tetap bertahan.
Di sini al-Kindi (seperti halnya dalam
problematika-problematika lain) meletakkan
batu pertama dalam rangka menjelaskan
kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk
itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah
sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari
niat dan kehendak dan bahwa kehendak
manusia merupakan potensi psikologis yang
digerakkan oleh getaran-getaran hati. Ia berani
menngatakan teori tawallud yang dikemukakan
oleh Mu‟tazilah. Menurutnya, sebab ada dua:
dekat yang merupakan sebab langsung dan jauh
yang merupakan sebab tidak langsung. Ia
mendukung teori perhatian Tuhan yang
konsekuensinya menundukkan alam kepada
hukum-hukum yang tetap. Sumber-sumbernya
yang sampai kepada kita hanya sampai di sini,
yang karenanya tidak membicarakan manusia
dengan sistem alam atau kehendak Allah. Ini
adalah apa yang akan dikaji oleh para peng-
gantinya yang datang sesudahnya.
Sebagai seorang pelopor yang dengan
sadar berusaha mempertemukan agama dengan

193
filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa
filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang
tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi
kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk
memiliki filsafat itu. Pernyataan ini terutama
tertuju kepada ahli-ahli agama yang menging-
kari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik,
jalan menuju kekafiran dan keluar dari agama.
Al-Kindi sendiri sebagai filosof Muslim tidak
kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan
pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya
dalam menyeberangkan pendapat dengan
Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap
berpegang kepada keyakinannya bahwa alam
adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan
akan berakhir menjadi tiada pula.
Dengan demikian, bagi Al-Kindi, ber-
filsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan
mengorbankan keyakinan agama, seperti yang
sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat
sejalan dan dapat mengabdi kepada agama,
walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu
sendiri masih terikat dengan filsafat terdahulu.
Dan dari beragam definisi, tampaknya Al-Kindi
menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir
yaitu; filsafat adalah pengetahuan tentang segala
sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum),
baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini
menitikberatkan dari sudut pandang materinya.
Menurut Al-Kindi, filosof adalah seorang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup
mengalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu

194
orang yang hidup menjunjung tinggi nilai
keadilan atau hidup adil.
Dengan demikian, filsafat yang sebenar-
nya bukan hanya pengetahuan tentang kebenar-
an, tetapi disamping itu juga merupakan aktual-
isasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Hal
yang disebut terakhir menunjukkan bahwa
konsep Al-Kindi tentang filsafat merupakan
perpaduan antara konsep Socrates dan aliran
Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungan-
nya dengan moralitas.
2. Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama lain Abu
Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi.
Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama
kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasij
dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M).
Kadang-kadang ia mendapat sebutan orang
Turki, sebab ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran
menikah dengan wanita Turki. Sepertinya nama
sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya
berasal dari negara Turki. Kepribadian Al-
Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar.
Dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempunyai
kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap
bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat ia
pahami. Justru bahasa Yunani dan Suryani
sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu
itu, Al-Farabi belum bisa menguasai.
Untuk memulai karir dalam pengetahuan-
nya, ia hijrah ke kota Baghdad, yang pada waktu
itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia

195
belajar di sana kurang lebih dua puluh tahun. Ia
betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmu
pengetahuan kepada Ibnu Suraj untuk belajar
tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta ibn Yunus
untuk belajar ilmu mantiq (logika).
Dari Baghdad Al-Farabi mencoba pergi ke
Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan
Yunani di Asia Kecil. Di sana ia berguru dengan
Yohana Ibn Hailan, namun tidak lama
kemudian, ia meninggalkan kota ini untuk kem-
bali ke kota Baghdad. Di sini kembali mendalami
filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu
mantiq, ia kemudian mendapat prediket guru
kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama
kali memasukkan ilmu logika ke dalam ke-
budayaan Arab. Keahlian ini rupanya sama yang
dialami oleh Aristoteles sebagai guru pertama, ia
(Aristoteles) orang yang pertama menemukan
ilmu logika.
Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi
pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,
kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara
layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti Al-
Hamdan di Allepo (Halab). Sampai wafat Al-
Farabi dengan usia 80 tahun. Pengalaman selama
di istana Saif Al-Dullah, Al-Farabi dapat
mengembangkan ilmunya dengan para sastra-
wan, ahli bahasa, para penyair dan ilmuan
lainnya. Sehingga ia menjadi filosof yang
masyhur pada masanya di istana tersebut.
Dalam kepandaian Al-Farabi dibidang filsafat
membawa pengaruh terhadap kemajuan peme-

196
rintahan Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi
yang dapat mencemerlangkan pemerintahan Al-
Mu‟tasyim.
Karya Al-Farabi bila dibandingkan
dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih
kalah dalam jumlahnya. Dengan modal
karangannya yang pendek berbentuk risalah dan
sedikit sekali jenis karangannya yang berupa
buku besar dan mendalam dalam pembicaraan-
nya. Sebagian karangan Al-Farabi masih di-
ketemukan di beberapa perpustakaan, sehingga
di dunia Islam dapat mengenang dan mengab-
dikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada
pada karangannya adalah bukan saja mengarang
kitab besar atau makalah-makalah, namun juga
memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap
karya Aristoteles, Iskandar Al Fraundismy dan
Plotinus.
Sebagai contoh ulasan Al-Farabi; terhadap
karya Aristoteles adalah masalah Burhan (dalil),
Ibarat (keterangan), Khotibah (cara berpidato), al
Jadal (argumen/berdebat), Qiyas (analogi),
Mantiq (logika), adapun ulasan ia terhadap karya
Plotenus adalah kitab Al Majesti fi-Ihnil Falaq,
juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy
tentang Makalah fin-nafsi.
Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah:
a) Al Jami‟u Baina Ra‟yai Al Hakimain Afalatoni Al
Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara
Plato dan Aristoteles);
b) Tahsilu as Sa‟adah (mencari kebahagiaan);

197
c) As Suyasatu Al Madinah
(politik pemerintahan);
d) Fususu Al Taram
(hakikat kebenaran);
e) Arroo‟u Ahli Al Madinati Al Fadilah
(pemikiran-pemikiran utama pemerintahan);
f) As Syiyasyah
(ilmu politik)
g) Fi Ma‟ani Al Aqli;
h) Ihsho‟u Al Ulum
(kumpulan berbagai ilmu);
i) At Tangibu „ala As Sa‟adah;
j) Isbatu Al Mufaraqat;
k) Al Ta‟liqat.
Upaya untuk menyebarluaskan pemikiran
Al-Farabi, sehingga kitab-kitabnya banyak di-
terjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris,
Almania, bahasa Arab dan Prancis, adapun
karya yang pertama dari Al-Farabi yaitu Isho‟u
Al Ulum membahas berbagai ilmu dan cabang-
cabangnya, seperti memuat ilmu-ilmu bahasa,
matematika, logika, ketuhanan, musik, astro-
nomi, perkotaan, fiqih, fisika, mekanika dan ilmu
kalam. Ilmu tersebut mendapat perhatian besar
oleh Al-Farabi adalah ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah:
Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat,
yang berarti sesuatu ilmu yang menyelidiki
hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al-
Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat
ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat
bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat

198
Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan
pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu
dalam tujuannya.
Memahami atas pemikiran Al-Farabi di
atas, seolah-olah filsafatnya adalah perpaduan/
campuran dari filsafat Aristoteles dan Plato.
Dalam masalah alam, Al-Farabi sependapat
dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru,
yang terjadi dari tidak ada (sama dengan
pendapat Al-kindi). Ide Plato tentang alam mirip
suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam.
Persoalan tentang terjadinya alam serta
bagaimana hubungan pencipta (khaliq) dengan
makhluknya, Al-Farabi setuju atas teori emanasi
Neo Platonisme (mengutip pendapat Al-Kindi),
lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi
dengan istilah nama Nadhariyatul Faidl, dengan
pemikiran dan uraiannya sendiri. Pola pikir
pada bidang mantiq dan fisika, Al-Farabi sepen-
dapat dengan alur pikir Aristoteles, dalam
bidang etika dan politik, ia sependapat dengan
Plato, dan persoalan metafisika ia sependapat
dengan Plotinus.
Ia juga lebih banyak menggeluti masalah
moral, politik dan psikologi dibandingkan Al-
Kindi. Ia menghadapi secara tegas problematika
qada dan qadar. Ia menggeluti tingkah laku
individu di samping serius mengatur urusan-
urusan kemasyarakatan. Nampaknya ia merupa-
kan kaum Paripatetik Arab paling serius men-
dalami sosiologi. Ia memfokuskan diri pada
kebahagiaan, yang menurutnya merupakan

199
tujuan tertinggi yang didambakan manusia yang
bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-
perbuatan terpuji melalui kehendak dan
pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa
melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan
jika hal itu dikehendakinya. Sebab menurutnya
kehendak merupakan sendi moral sekaligus
sebagai sendi politik_begitu menurut istilah
dia_juga ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti
tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum
volisional, bakat, moral, tabiat nilai tempat
lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukum-
hukum ini. Sebab, moral dan politik menurut Al-
Farabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah
(kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang
sempurna dan sehat yang masing-masing
anggotanya saling membantu.
Ketika Al-Farabi menyusun konsep
tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya
berisi satu pikiran yang memikirkan akan
dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah „aqil
(berpikir) dan ma‟qul (dipikirkan), melalui
Ta‟aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika
Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu
wujud baru atau akal baru yang disebut oleh Al-
Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal
yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama
yang Ta‟aqqul tentang pemikiran Tuhan dan
dirinya sendiri. Dengan Ta‟aqqul Tuhan me-
limpah ke Al Aqlis Tsani (akal kedua), yang dapat
menimbulkan al falakul Aqsha (langit yang paling
luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam

200
makhluk. Al Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts
Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul
Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap,
kemudian akal ketiga melimpah ke Al Aqlur
Rabi‟ (akal keempat) yang menimbulkan langit
bintang zuhal (Saturnus), kemudian melimpah
ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan
munculnya langit bintang Musytari (Yupiter),
lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama
bintang Mirris (Mars), selanjutnya Al Aqlust
Tsabi‟ (akal ketujuh) dengan munculnya langit
matahari, Al Aqlusts Tsamin (akal kedelapan)
bersama langit bintang zuhrah (Venus), Al Aqlut
Tasi‟ (akal kesembilan) dengan langit bintang
„Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir
bersama dengan langit bulan. Adapun Al Aqlul
Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul
Fa‟al (akal yang aktif bekerja), orang barat
menyebut Active Intellect.
Persoalan yang muncul adalah bagaimana
hubungan Al Aqlul Fa‟al dengan isi bumi baik
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan?. Al-
Farabi menjawab dengan kembali kepada teori
Aristoteles. Al-Farabi membedakan zat (materi)
dan bentuk (surah), bahwa materi merupakan
kemungkinan belaka, namun bentuk dapat
menentukan kemungkinan tersebut. Sebagai
contoh, kayu sebagai materi banyak
mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi,
lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru
tersebut dapat terlaksana menjadi realitas

201
apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari,
kursi, meja, kotak, dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan bumi beserta
isinya, susunan bumi dan segala isinya. Al-
Farabi berpendapat, pembahasannya dimulai
terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud yang
terbawah/rendah adalah materi yang abstrak,
belum mempunyai bentuk, kemudian disebut Al
Maddatul Ula la Musytarakah yaitu materi
pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih
tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api,
dan udara. Tingkatan yang lebih tinggi lagi dari
bentuk unsur-unsur tersebut berbentuk wujud,
misalnya emas, perak, besi, tembaga, dan lain
sebagainya. Kemudian ada tingkatan yang lebih
tinggi lagi adalah tumbuh-tumbuhan, dengan
diwujudkan karena ada Jiwa. Sebagai jiwa yang
wujudnya paling rendah yaitu Jiwa Vegetatif
yaitu jiwa yang berdaya jadera. Akhirnya sampai
Al Aqlul Fa‟al yang berbentuk wujud manusia,
oleh jiwa yang memiliki daya berpikir aktual (Al
Aqlu Bil Fi‟li). Di samping itu juga mempunyai
daya menanggap (Al Quwwatul Mutaehajjilah). Al
Aqlu Bil Fi‟li adalah kenyataan yang mana
manusia menumpuhnya melalui dahulu dalam
masa akal kemungkinan Al Aqlu Bil Quwwah
yaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan iri akan
menjadi akal kenyataan apabila telah menerima
pengetahuan dari Al Aqlu Fa‟al (akal aktif).
Bahwa kebenaran jiwa dari kotoran-
kotoran merupakan syarat pertama bagi
pandangan filsafat dan buahnya, ini yang

202
mendasarkan pemahaman Al-Farabi dalam
menata kehidupannya atas kemurnian jiwa. Ilmu
kalam dan ilmu akal diharapkan dapat
membawa manusia berpandangan benar. Hal itu
dapat dicapai dengan cara setingkat demi
setingkat dengan ilmu pasti dan ilmu mantiq. Al-
Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah
memperdalam ilmu dengan segala yang maujud
hingga membawa pengenalan Allah sebagai
penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat
adalah ilmu satu-satunya yang dapat meng-
hamparkan di depan kita dengan gambaran
yang lengkap mengenai cakrawala dengan
segala cosmosnya (kaum). Sebagaimana hal
tersebut diungkapkan Prof. Dr. Abubakar Aceh.
3. Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf
Muslim yang memusatkan perhatiannya pada
etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang di-
milikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib,
ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang
kebudayaan Romawi, Persia, dan India,
termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-
Khasim Ahmad bin Ya‟qub bin Maskawaih.
Sebutan nama yang lebih masyhur adalah
Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini
diambil dari nama kakeknya yang semula
beragama Majusi (Persia) kemudian masuk
Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh
dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah
dipandang sebagai yang berhak menggantikan

203
nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin
umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini
tidak salah jika orang mengatakan bahwa
Maskawaih tergolong penganut aliran Syi‟ah.
Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-
Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan
pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari
Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawannya.
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran
sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para
penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M
Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang
wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16
Pebruari 1030 M.
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafat-
nya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan
Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh
Bani Buwaih yang beraliran Syi‟ah dan berasal
dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai
berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari
Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih
sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara‟)
dengan gelar Mu‟izz Al-Daulah pada 945 M.
„Adhud Al-Daulah amat besar perhatian-
nya kepada perkembangan ilmu pengetahuan
dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih
memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu
jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang
filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi,
disamping itu, ada hal yang tidak menyenang-

204
kan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral
yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah
agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika
Islam.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak
diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak
menulis autobiografinya, dan para penulis
riwayatnya pun tidak memberikan informasi
yang jelas mengenai latar belakang pendidikan-
nya. Namun demikian dapat diduga bahwa
Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak
menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin
memberikan gambaran pendidikan anak pada
zaman „Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-
anak bermula dengan belajar membaca, menulis,
mempelajari Al-Qur‟an dasar-dasar bahasa Arab,
tata bahasa Arab (nahwu) dan „arudh (ilmu
membaca dan membuat sya‟ir). Mata pelajaran-
mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-
surau; di kalangan keluarga yang berada yang
mana guru didatangkan ke rumah untuk
memberikan les privat kepada anak-anaknya.
Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan,
kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu
fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab,
Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu
diberikan pula macam-macam ilmu praktis,
seperti: musik, bermain catur dan furusiah
(semacam ilmu kemiliteran).
Diduga Maskawaih pun mengalami
pendidikan semacam itu pada masa mudanya,

205
meskipun menurut dugaan juga Maskawaih
tidak mengikuti pelajaran privat, karena
ekonomi keluarganya yang kurang mampu
untuk mendatangkan guru, terutama untuk
pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya
mahal.
Kemungkinan besar perkembangan ilmu
Maskawaih diperoleh dengan banyak dan
tekunnya ia membaca buku, terutama disaat
memperoleh kepercayaan menguasai perpus-
takaan Ibnu Al-„Amid, Menteri Rukn Al-Daulah,
juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawan „Adhud Al-Daulah.
Adapun karya-karya Maskawaih yang
dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) di
antaranya adalah sebagai berikut:
a) Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang Ketuhanan,
jiwa dan kenabian (metafisika);
b) Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang etika;
c) Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika;
d) Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-„Araq,
tentang etika;
e) Kitab Tartib As-Sa‟adat, tentang etika dan
politik terutama mengenai pemerintahan
Bani „Abbas dan Banu Buwaih;
f) Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang
berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak
setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369
H;
g) Kitab Al-Jami‟, tentang ketabiban;
h) Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan;
i) Kitab Al-Asyribah, tentang minuman;

206
j) Kitab Al-Mustaudi, berisi kumpulan syair-
syair pilihan;
k) Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-„Aql, tentang
jiwa dan akal;
l) Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), yang
membicarakan panjang lebar tentang
pemerintahan dan hukum yang berlaku di
Arab, Persia, India, dan Romawi.
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia mem-
bedakan antara pengertian hikmah (kebijaksana-
an, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya,
hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas
(aqilah) yang mampu membeda-bedakan
(mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau
mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai
adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan
bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui
perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-
perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-
kebenaran spiritual (ma‟qulat) dapat membedakan
mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib
ditinggalkan”.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih
tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia
hanya membagi filsafat menjadi dua bagian;
bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori
merupakan kesempurnaan manusia yang me-
ngisi potensinya untuk dapat mengetahui segala
sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya
itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan
tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan

207
bagian praktis merupakan kesempurnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesem-
purnaan moral ini dimulai dengan kemampuan
mengatur potensi-potensi dan perbuatan-
perbuatan itu dapat sejalan benar dengan
potensi rasionalnya yang dapat membeda-
bedakan hal yang benar dan salah, yang baik
dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu
benar-benar teratur sebagaimana mestinya.
Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai
dapat mengatur hubungan antar sesama
manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup
bersama.
Jika manusia berhasil memiliki dua bagi-
an filsafat, yang teoritis dan yang praktis
tersebut, maka berarti ia telah memperoleh
kebahagiaan yang sempurna.
4. Ibnu Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali
Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih
dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di
sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada
tahun 340 H / 980 M. Kelahiran beliau ditengah
masa yang sedang kacau, di masa kekuasaan
„Abassiyah mulai mundur dan negeri-negeri
semulanya dibawah kekuasaan „Abbasiyah
sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri.
Termasuk kota Baghdad sebagai pusat peme-
rintahannya dikuasai oleh goongan Banu
Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.

208
Ibnu Sina dibesarkan di daerah
kelahirannya. Ia belajar Al-Qur‟an dengan meng-
hafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta
ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti:
astronomi, matematika, fisika, logika, kedokter-
an, dan ilmu metafisika.
Ketika umur beliau belum mencapai 16
tahun sudah menguasai ilmu kedokteran,
sehingga banyak orang yang datang kepadanya
untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya
dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia
menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur,
penguasa Bukhara menderita sakit, dan ke-
banyakan dokter tidak mampu mengobati,
maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina,
Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia
mendapat sambutan yang baik sekali dari
masyarakat.
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun,
ayahnya meninggal dunia, kemudian ia me-
ninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke
Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di
Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena
kekacauan politik, ia tidak lama tinggal di situ.
Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat
ke tempat lain, hingga sampai di Hamadan. Di
tempat ini beliau dijadikan menteri oleh
Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun
di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan.
Kemudian ia pergi ke Isfahan, di bawah
penguasa Ala Addaulah, ia kembali ke
Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri

209
Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H/1037
M pada usia 57 tahun.
Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh
kegiatan politik namun karena kecerdasan yang
dimilikinya, menyebabkan ia mampu menulis
beberapa buku. Karena ia pandai mengatur
waktu dalam aktivitas politik, mengajar, dan
mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang
dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Ia
sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan karya-
karya yang berguna.
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina
yang terkenal adalah:
a) As-Syifa‟, buku ini adalah buku filsafat yang
terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan
metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mem-
punyai beberapa naskah yang terbesar di
berbagai perpustakaan barat dan timur.
Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak
dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun
1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di
Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian
fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa,
dengan terjemahannya ke dalam bahasa
Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch.
Bagian logika diterbitkan di Kairo pada
tahun 1954, dengan nama Al-Burhan, di
bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
b) An-Najat, buku ini merupakan ringkasan
buku As-Shafa‟, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam

210
ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di
Roma dan pada tahun 1331 H di Mesir.
c) Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku
terakhir dan yang paling baik, dan pernah
diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan
sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo
pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr.
Sulaiman Dunia.
d) Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini banyak
dibicarakan orang, karena tidak jelasnya
maksud judul buku, dan naskah-naskahnya
yang masih ada memuat bagian logika. Ada
yang mengatakan bahwa isi buku tersebut
mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos
Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbang-
an dari filsafat barat.
e) Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut
penyebutan orang-orang barat. Buku ini
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan pernah menjadi buku standard untuk
universitas-universitas Eropa, sampai akhir
abad ke 17 M. Buku tersebut pernah
diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di
India tahun 1323 H.
Adapun filsafat ajaran Ibnu Sina tentang
wujud, sebagaimana para filosuf muslim
terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang
mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian
karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak,
sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat inteligensi
pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena

211
ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya
mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan
oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak
saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia,
inteligensi pertama memunculkan dua ke-
maujudan yaitu: (1) inteligensi kedua melalui
kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas,
dan (2) lingkungan pertama dan tertinggi
berdasarkan segi terendah dari adanya, ke-
mungkinan alamiyahnya. Dua proses pemancar-
an ini berjalan terus sampai kita mencapai
inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini,
yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut
malaikat Jibril. Nama ini diberikan, karena ia
memberikan bentuk atau memberitahukan materi
dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia.
Karena itu ia juga disebut pemberi bentuk (dator
formarum menurut sarjana-sarjana barat abad
pertengahan).
Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan, dan
hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal,
secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain
memiliki kodrat yang mendua. Karena ketung-
galannya, maka apakah Tuhan itu dan ke-
nyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur
dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik
dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah
Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan
eksistensi-Nya. Hal ini buka merupakan kejadian
bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian
lain yang eksistensinya identik dengan esensi-
nya, dengan kata lain, misalnya seorang Eksimo

212
yang tidak pernah melihat gajah, ia tergolong
salah seorang yang berdasarkan kenyataan
bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya
Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya
sesuatu yang lain hanya mungkin dan
diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan
bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung
kontradiksi, karena dengan demikian yang
lainpun juga tidak akan ada.
Argumentasi kosmologi yang didasarkan
pada doktrin Aristoteles tentang sebab pertama,
akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan.
Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak memilih
untuk membangun argumen ontologis.
Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan kita
lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting
bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah
Aquinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz
tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia,
yaitu pemberian Tuhanlah apa yang kita dapat
mengerti tentang adanya dunia. Di sini, sebab-
akibat mempunyai premis dan kesimpulan-
kesimpulan yang serupa.
Di samping ke belakang, yaitu juga ke
depan yaitu memulai dari premis yang tidak
diragukan lagi kepada suatu kesimpulan.
Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan
menciptakan sesuatu karena adanya keperluan
yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-
pengetahuan Tuhan tentang semua kejadian,
seperti apa yang kita lihat dalam pembahasan-
nya tentang Tuhan. Dunia, secara keseluruhan,

213
ada bukan karena kebetulan, tetapi diberikan
oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini
diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina
tentang eksistensi secara singkat.
5. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu
Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus,
suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M.
Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari
bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah
ayahnya meninggal, Al Ghazali diasuh oleh
seorang ahli tasawuf.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu
fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin
Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada
Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan.
Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya,
maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada
ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan
tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa
dan dapat menguasai beberapa ilmu penge-
tahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq
(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi‟i.
Karena kecerdasannya itulah Imam Al Haromain
mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah “lautan
tak bertepi....”.
Setelah Imam Al Haromain wafat, Al
Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung
kepada Menteri Nizam al Muluk dari pemerin-
tahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar.

214
Kemudian dipertemukan dengan para alim
ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui
akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al
Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru
besar (profesor) pada perguruan tinggi
Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al
Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi
selama 4 tahun. Ia mendapat perhatian yang
serius dari para mahasiswa, baik yang datang
dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia
menjauhkan diri dari keramaian.
Pada tahun 488 H Al Ghazali pergi ke
Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun
Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan
haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk
mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian me-
lanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan
menetap untuk beberapa lama. Di sini ia
beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut
hingga terkenal sampai sekarang dengan nama
Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sampai
mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab
tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al
Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang lebih
selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat
sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan
makan minum, mengunjungi masjid-masjid,
memperbanyak ibadah dan berbuat yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
berkhalawat.

215
Setelah penulisan Ihya Ulumud Din selesai,
ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan
majlis pengajaran dan menerangkan isi dan
maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada
desakan dari penguasa yaitu Muhammad
penguasa waktu itu, Al-Ghazali diminta kembali
ke Naisabur dan mengajar di perguruan tinggi
Nizamiyah. Pekeerjaan ini hanya berlangsung
dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung
asalnya, Thus. Di kampungnya Al-Ghazali
mendirikan sebuah sekolah para mutashawwifin
(ahli tasawuf). Ia membagi waktunya guna
membaca Al-Qur‟an, mengadakan pertemuan
dengan para fuqaha dan ahli tasawuf, memberikan
pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya
dan memperbanyak ibadah (shalat). Di kota
Thus inilah beliau akhirnya meninggal pada hari
Senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H / 1111 M.
Al-Ghazali memang hujjah al-Islam. Ia
membela Islam dalam menolak orang-orang
Nasrani, juga dalam serangannya terhadap
kaum Batiniah dan kaum filosof. al-Ghazali
menganut dan membentengi mazhab al-
Asy‟ariyah, walaupun ia mengeritik kajian
teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin
(teolog Islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan
dalam berdebat dan bermusuhan.
Jika perdebatan ini di abad-abad pertama
nampak mendesak, maka di abad-abad berikut-
nya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam
puas dengan taklid dan tidak mampu mengada-
kan perdebatan teologis (kalamiah). Untuk itu

216
Al-Ghazali menyerukan untuk Mengekang
Masyarakat Awam dari Ilmu Kalam, walaupun Al-
Asy‟ari telah mendahuluinya dengan mengarang
risalah Fi Istihsan fi „ilm al-Kalam. Nampak sekali
bahwa kondisinya berbeda. Dengan menilai
kondisi-kondisi yang terakhir, Ibnu Kaldun (808
H = 1406 M) mendukung pendapat yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali, dan berpendapat
bahwa studi-studi teologis harus dibatasi untuk
kalangan khusus. Di akhir kehidupannya,
(ketika ia didominasi oleh kecenderungan sufis
dan mulai mengeritik studi-studi rasional yang
sebelumnya sudah ia lakukan) Al-Ghazali
bertindak begitu keras terhadap ilmu kalam
(teologi Islam) mengalahkan sikap kerasnya
terhadap studi-studi lain. Ia menetapkan bahwa
tujuannya adalah membentengi aqidah Ahlus-
Sunnah Wal Jama‟ah dan menjaganya dari
gangguan ahli bid‟ah. Itu adalah ilmu yang
memadai dengan tujuannya walaupun tidak
memadai dengan maksud Al-Ghazali sendiri.
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para
penganut aliran Asy‟ariyah, menjelaskan akal
dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal harus
dipergunakan sebagai penopang, karena ia harus
mengetahui dirinya sendiri dan bisa mem-
persepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat
angan-angan dan khayalan maka ia harus
mempersepsi benda-benda secara hakiki.
Namun Al-Ghazali menghentikan akal
pada batas-batas tertentu, dan hanya naqlilah
yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai

217
problematka sifat-sifat (Allah), Al-Ghazali
memegang pendapat yang dinut oleh Asy‟ari,
sehingga ia tidak menerima pendapat yang
dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun
Mu‟tazilah, karena kedua aliran ini ekstrim.
Aliran Hasywiyah berpegang teguh pada arti
dari suatu teks (ayat Al-Qur‟an dan Al-Sunnah)
agar mereka tidak mengosongkan Allah dari
sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis.
Sebaliknya Mu‟tazilah berlebih-lebihan dalam
mensucikan Allah, sehingga mereka harus
menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik
adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali,
Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam.
Alam diciptakan dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah
sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat),
sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu
antara benda-benda.
Nampak jelas bahwa Al-Ghazali me-
ngagumi pemecahan masalah melihat Allah yang
dikemukakan oleh Asy‟ari. Pemecahan ini ia
tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat
Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.
Tentang karangan Al-Ghazali berjumlah
kurang lebih 100 buah meliputi berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi
Islam) fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlak, dan
autobiografi. Sebagian besar dari karangannya
adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi
berbahasa Parsi.

218
Ada beberapa kitab yang kurang men-
dapat perhatian di kalangan ulama Indonesia.
Namun sangat dikenal oleh negeri barat, yaitu
buku yang menyebabkan polimik di antara ahli
filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul Falasifah
(Tujuan para Ahli Filsafat) dan kitab Tahafut Al
Falasifah (Keberantakan para Filosuf).
Bukunya selain Ihya Ulumud Din yang
paling terkenal itu, juga ada yang bernama Al
Munqidz min A Dhalal (Penyelamat dari
kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam
pikiran dan mencerminkan sikapnya yang
terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta
jalan untuk mencapai Tuhan. Di antara penulis-
penulis modern banyak yang mengikuti jejak Al-
Ghazali dalam menuliskan autobiorafinya.
Karangan Al-Ghazali, di samping ada
teman-teman yang sepaham dengan pemikiran-
pemikirannya, ada pula yang menantang akan
pendiriannya. Adapun yang sepaham adalah
Renan Cassanova, Carro De Vaux, dan lain-lain.
Sedang yang menantang adalah Ibnu Rusyd, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari
kalangan fuqaha.
Adapun penyerangan dari kalangan
fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah di-
sebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para
filosuf Islam, bahkan ia sampai mengafirkan
dalam tiga hal yaitu:
a) Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
b) Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-
hal yang besar saja, dan

219
c) Ada kepercayaan tentang qadimnya alam dan
keasliannya.
Penyerangan termuat dalam kitabnya
yang terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al
Munqidz min Ad Dhalal, akan tetapi dalam
bukunya yang lain, yaitu Mizan Al Amal
dikatakan bahwa ketiga-tiganya persoalan
tersebut menjadi kepercayaan orang-orang
tasawuf juga. Juga dalam bukunya Al Madhnun
„ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya alam.
Kemudian dalam Al Munqidz min Ad Dhalal ia
menyatakan bahwa kepercayaan yang
dipeluknya ialah kepercayaan orang tasawuf.
Kemudian dalam bukunya yang lain lagi,
Mi‟raj As Salikin ia menaentang orang-orang
tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan
rohani saja. Jadi Al-Ghazali menentang ke-
percayaan dalam 3 soal tersebut dalam beberapa
bukunya, tetapi mempercayai juga dalam buku-
bukunya yang lain. Manakah yang benar? Dan
bagaimana pendirian yang sebenarnya?.
Tafsiran para pembahas disini berbeda-
beda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan ter-
seubut memang suatu kontradiksi benar-benar
dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu Salah,
karena Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka
pikiran-pikiran daribukunya yang berlawanan
dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-
Ghazali, seperti buku Al Madhnun „ala Ghairi
Ahlihi.
Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam
bukunya Al Akhlaqin Al-Ghazali, perbedaan

220
pendapat tersebut disebabkan karena per-
kembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari
seorang murid biasa, kemudian menjadi murid
yang cemerlang namanya, meningkat menjadi
guru yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang
kuat dan menguasai dan menyingkap macam-
macam pendapat, kemudian menjadi pengarang
besar yang membanjiri dunia dengan pem-
bahasan dan buku-bukunya.
Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia,
mempunyai penafsiran lain. Ia mengatakan
bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih
dipeganginya terus sampai akhir hayatnya.
Tetapi harus diingat, ada buku-buku yang
ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada
pula yang khusus ditujukan kepada orang-orang
tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang
tentu isinya tidak akan sama.
Buku Incoherence of the Philosophers
merupakan karyanya yang fenomenal dan
berimbas sangat besar dalam perkembangan
filsafat Islam. Buku ini berisi sangahan Al-
Ghazali terhadap teori keabadian alam yang di-
kemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al- Ghazali
menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.
1) Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada
begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian,
setiap perubahan yang terjadi harus ditentu-
kan oleh suatu sebab yang berada di luar
dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk
objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk

221
keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan me-
nginginkan suatu perubahan terjadi, maka
beberapa sebab yang datang dari luar diri-
nya harus ikut mengatur atau menuntunnya
kearah terwujudnya keputusan itu. Konse-
kuensinya, dunia harus kekal karena jika
dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo),
muncul pertanyaan mengapa Tuhan meng-
izinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia
dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk
membuat alam semesta. Menurut petunjuk
Al-Qur‟an, Tuhan menciptakan segala se-
suatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka
jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia
menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia
harus menunggu padahal Ia memiliki ke-
mahakuasaan untuk memenuhi apapun
yang ia mau.
Menurut Al-Farabi: Jika yang me-
nunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan
adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal
tersebut mengurangi ke-maha kuasaan
Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan
begitu, Tuhan tidak menunggu untuk mem-
buat alam semesta, yang berarti alam
semesta bersifat kekal.
Para filsuf yang disanggah oleh Al-
Ghazali menganut emanasi Plotinos dimana
model penciptaan melalui emanasi. Dunia
ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu.
Maka hal itu akan berarti bahwa keberadaan
sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih

222
akhir waktunya dari keberadaan Sang
Pelaku (Sang Satu).
Sanggahan Al-Ghazali: Menurut Al-
Ghazali, teori semacam ini tidak koheren. Al-
Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana
Tuhan sudah merancang sebab-akibat dari
segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan
menggunakan tata aturannya sendiri dan
mempunyai tujuan dari segala rancangannya
karena kemauannya (iradat) mutlak. Iradat
Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari
ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan
(dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh
akal manusia karena dunia terbatas dalam
ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden,
namun kemauan (iradat) Tuhan adalah
immanent dan merupakan sebab hakiki dari
segala kejadian.
2) Hakikat waktu adalah kekal.
Berangkat dari premis Aristoteles,
waktu mengandaikan atau sebagai ukuran
keberadaan gerakan atau adanya pergera-
kan. Dalam pengertiannya, “sekarang”
merupakan perkelanjutan dari masa lalu
yang masih terus bergerak. “Sekarang”
merupakan akhir dari masa lalu namun
merupakan awal dari masa depan. Maka,
tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama
tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu.
Juga tidak ada “sekarang” yang terakhir
dengan tidak ada waktu setelah “sekarang”
itu. Dengan demikian, tidak ada awal

223
maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu
kekal dan waktu merupakan pengandaian
dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan
dunia terus bergerak, maka kesimpulannya
adalah dunia itu kekal.
Sanggahan Al-Ghazali: Waktu juga di-
ciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu
sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum
adanya dunia dan waktu dan tanpa ke-
beradaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia
ada dan bersamanya ada dunia dan ada
waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan
waktu itu sendiri.
3) Tentang Potensialitas.
Alam semesta tidak diciptakan. Pada
saat sebelum adanya alam semesta, yang ada
hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta
itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan
mungkin karena sekarang alam semesta itu
nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan
bukannya terbatas.
Sanggahan Al Ghazali: Argumen ini
adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu
yang tidak rusak bersifat abadi karena yang
jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah
keluar atau masuk ke dalam wilayah ke-
beradaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak.
Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu
waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia
harus ada pada setiap waktu sehingga dia
tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan
tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi)

224
yang dalam argumen seperti itu dapat di-
terima
4) Prinsip kelimpahan.
Alam semesta sebagai totalitas yang
tidak akan punah karena bagian-bagiannya
terus berganti. Materi membutuhkan materi
lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya
bisa mungkin jika materi membutuhkan
bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan
demikian sesuatu yang baru pun timbul.
Sanggahan Al-Ghazali: Jika kemung-
kinan mengandaikan keberadaan suatu
materi, maka akan menjadi mustahillah
untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu,
katakanlah sebagai contoh, warna sebagai
suatu hal yang munkin ketika mereka tidak
dikaitkan dengan benda.

B. Filsafat Islam di Dunia Barat


Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV
SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan
hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah ke-
kuasaannya ke luar Masedonia, tapi juga menanam-
kan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang
dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya,
dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian
berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat
peradaban Yunani seperti lskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia

225
serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang
Balkh) di lran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad
menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah
tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam
dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria
serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran.
Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan
Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur‟an, bahwa tidak ada paksaan
dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam
han‟ya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa
Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk
Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka
semula terutama yang menganut agama Nasrani
dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul
satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan
Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam.
Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat
yang mereka peroleh dari Yunani.
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan
yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat di-
tangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen
filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang
tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai
sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur‟an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung
sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang di-

226
pelopori kaum Mu‟tazilah. Ciri-ciri dari teologi
rasional ini ialah : Kedudukan akal tinggi di
dalamnya, sehingga mereka tidak mau tu nduk
kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak
sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah.
Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti
majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti
tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta‟wil
dalam memahami wahyu. Akal menunjukkan
kekuatan manusia, maka akal yang kuat meng-
gambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak
kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebas-
an dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu
berfikir secara mendalam.
Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-
will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam
perbuatan maupun pemikiran. Pemikiran filosofis
mereka membawa kepada penekanan konsep
Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya
kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan
Tuhan, dalam al-Qur‟an disebut Sunnatullah, yang
mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini.
Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan
peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup
manusia di dunia ini.

227
Teologi rasional Mu‟tazilah inilah, dengan
keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi,
kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan
adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya
falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke
VIII dan ke XIII M. Filosof besar pertama yang
dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-satunya
filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas
mengatakan bahwa antara falsafat dan agama tak
ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai
pembahasan tentang yang benar (al-bahts ‟an al-
haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang
benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selajutnya falsafat dalam pembahasannya memakai
akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang
benar juga memakai argumen-argumen rasional.
Menurut pemikiran falsafat kalau ada yang benar
maka mesti ada”Yang Benar Pertama” (al-Haqq al-
Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan
Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian
membahas soal Tuhan dan agama. Falsafat yang
termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat
ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah
wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari falsafat,
dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang,
tetapi wajib. Dengan falsafat “al-Haqq al-Awwal”nya,
al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari
arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut
pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di
dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu

228
sesuainya konsep dalam akal dengan benda
bersangkutan yang berada di luar akal.
Benda-benda yang ada di luar akal merupa-
kan juz‟iat (kekhususan, particulars). Yang penting
bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz‟iat itu
sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari
juz‟iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalarn benda-
benda itu disebut kulliat (keumuman, universals ).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz‟i
(haqiqah juz‟iah) yang disebut aniah dan hakikat
sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut
mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam
bentuk jenis. Memurnikan tauhid memang masalah
penting dalam teologi dan falsafat Islam. Dalam hal
ini Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang
lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau
Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan
langsung dengan ciptaan nya yang tak dapat
dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya
terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang
Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan
dengan yang esa.
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas
filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang
dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang
terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang
diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AI-
Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian: Jiwa
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
tumbuh dan berkembang biak. Jiwa binatang yang
mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke

229
tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra,
yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran,
penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am
yang berada di otak dan terdiri dari: a. Indra
bersama yang menerima kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra. b. Indra penggambar yang
melepaskan gambar-gambar dari materi. c. Indra
pereka yang mengatur gambar-gambar ini. d. Indra
penganggap yang menangkap arti-arti yang
terlindung dalam gambar-gambar tersebut. e. Indra
pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu
daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi
dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indra pengingat yang
ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang
menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada
dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal
praktis memusatkan perhatian kepada alam materi,
sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam
diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas
bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa
berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis,
kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat
dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia
teruskan akal teoritis akan berkembang dengan
baik. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa
mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh
pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang

230
berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat
menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal
praktis mempunyai malaikat.
Akal inilah yang mengontrol badan manusia,
sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya
tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk
membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah
tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi
perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan
lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi
tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri,
yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap
untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan
manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas, yang pada mulanya menolong akal untuk
menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang
diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal
untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah
sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi
pada badan, bahkan badan bisa menjadi peng-
halang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap
dengan matinya tubuh karena keduanya hanya
mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan
sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah rnem-
peroleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan
kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan
kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan
dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat
abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau

231
jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal,
jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia
akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum
sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan
menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak
adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-
Ghazali.
Demikianlah beberapa aspek penting dari
falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa
al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai
hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta
diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu‟tazilah, al-
Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Inilah
sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-
Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para
filosof lslam. figa, diantara sepuluh itu, menurut al-
Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu:
1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
2. Pembangkitan jasmani tak ada
3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi
di alam. Konsep alam qadim membawa kepada
kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena
qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam
zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman
lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang
tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat
dalam teologi Islam adalah: la qadima illallah,

232
tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam
qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan
terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada
faham syirk atau politeisme, dosa besar yang
dalam al-Qur‟an disebut tak dapat diampuni
Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak
perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini mem-
bawa pula kepada ateisme. Politeisme dan
ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran
dasar Islam tauhid, yang sebagaimana dilihat di
atas para filosof mengusahakan Islam
memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang
mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir
filosof yang percaya bahwa alam ini qadim.
Mengenai masalah kedua, pembangkitan
jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam
al-Qur‟an menggambarkan adanya pembang-
kitan jasmani itu.
Umpamanya ayat 78/9 dari surat
Yasin”Siapa yang menghidupkan tulang-tulang
yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang
menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali”. Maka pengkafiran di sini berdasar
atas berlawanannya falsafat tidak adanya
pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur‟an, yang
adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang
masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian
yang ada di alam, juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-
Qur‟an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari
surat Al-An‟am: Tiada daun yang jatuh yang tidak
diketahui-Nya.

233
Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang
di dunia lslam bagian timur dengan Baghdad
sebagai pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi
di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluar-
kan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk
mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf.
Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah
muncul teologi baru yang menentang teologi
rasional Mu‟tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-
Asy‟ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah
satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang
belum begitu jelas ia meninggalkan faham
Mu‟tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan
dari teologi Mu‟tazilah, teologi baru yang kemudian
dikenal dengan nama teologi al-Asy‟ari.
Sebagai lawan dari teologi rasional
Mu‟tazilah, teologi Asy‟ari bercorak tradisional.
Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut : 1.
Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan
rendah, sehingga kaum Asy‟ari banyak terikat
kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak me-
ngambil arti tersurat dari wahyu untuk
menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan
falsafi. 2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi
ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai
anak yang belum dewasa, yang belum bisa berdiri
sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang
lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi
ini mengajarkan faham jabariah atau fatalisme, yaitu
percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di
sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy‟ari
bertitik tolak dari faham kehendak mutlak Tuhan.

234
Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut
kehendak mutlak-Nya dan bukan menurut
peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam
dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah
kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api
tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya
membakar, tetapi biasanya membakar sesuai
dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi
tradisional al-Asy‟ari ini tidak mendorong pada
berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis,
sebagaimana halnya dengan teologi rasional
Mu‟taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional
inilah yang berkembang di dunia Islam bagian
Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman
al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di
Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman
Mu‟tazilah dan filosof-filosof Islam.
Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di
Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran
filosofis masih berkembang sesudah serangan a1-
Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al- Wida‟ kelihatannya mencela al-
Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal
tetapi al-dzauq dan ma‟rifat sufilah yang membawa
orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Ibn
Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan
malahan menghidupkan pendapat Mu‟tazilah,
bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia
dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia
berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta

235
kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan
mejauhi perbuatan jahat.
Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk
memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat
mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup
menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang
terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn
Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198 M) yang
mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai
jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia
uraikan dalam Tahafut al-Falasijah. Mengenai
masalah pertama qidam al-alam, alam tidak
mempunyai permulaan dalam zaman, konsep AI-
Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai
permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan
alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan.
Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada
dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam
dari tiada atau nihil. Konsep serupa ini, kata Ibn
Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur‟an.
Didalam al-Qur‟an digambarkan bahwa sebelum
alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
samping-Nya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya
mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada
waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam
ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit
dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11
dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian la pun naik
ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini

236
yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air
serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat
al-Anbia‟ mengatakan pula, Apakah orang-orang
yang tak percaya tidak melihat „ bahwa langit dan
bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian
Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup
dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan
bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu
dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd
menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam
diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan
menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai
dengan kandungan al-Qur‟an. Yang sesuai dengan
kandungan al-Qur‟an sebenarnya adalah konsep al-
Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping
itu, kata khalaqa di dalam al-Qur‟an, kata Ibn
Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan
dari”tiada”, seperti yang dikatakan al-Ghazali,
tetapi dari”ada”, seperti yang dikatakan filosof-
filosof. Ayat 12 dari surat al-Mu‟minun,
menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari,
tanah. Manusia di dalam al-Qur‟an diciptakan
bukan dari”tiada” tetapi dari sesuatu yang”ada”,
yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas.
Falsafat memang tidak menerima konsep.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan
harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai
kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu
ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan
averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah
kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa

237
pendapat falsafat benar sungguhpun menurut
agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya
sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa. Tak lama
sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol
mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas
Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada
di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini
terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau
di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan
ilmiah dari dunia Islam bagian barat.
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di
ka1angan Syi‟ah, teologi tradisional al-Asy‟ari dan
pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk
mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari
pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah
pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia
Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat
Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam
bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana
disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh
metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme.
Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan
oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-
Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad
Khan,dan lain-lain. Filosuf-filosuf Islam di dunia
Barat yaitu:
1. Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid
Muhamad Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Rusyd,
di Barat di dalam Literatur Latin Abad Tengah

238
Akhir ia dikenal dengan nama Averroes. Ia
dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari
keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fiqih di
Spanyol-Islam. Kakeknya dari pihak ayah
pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia,
disamping kedudukannya sebagai seorang ahli
hukum terkemuka dalam mazhab Maliki, salah
satu Mazhab yang sangat dominan dalam
wilayah Maghribi dan Andalusia. Selain itu,
kakeknya juga aktif dalam kegiatan politik dan
sosial. Ibn Rusyd mempelajari Ilmu fiqih dari
ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih
muda Ibn Rusyd telah hafal Kitab Muwaththa‟
karangan Imam Malik. Disamping itu ia belajar
ilmu kedokteran kepada Abu Ja‟far Harun dan
Abu Marwan Ibn Jarbun Al-Balansi, sedangkan
logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibn
Thufail. Menurut Sarton, ia adalah orang
pertama yang menerangkan fungsi retina dan
orang pertama yang menjelaskan bahwa serang-
an cacar pertama akan membuat kekebalan
berikutnya pada orang yang bersangkutan. Ia
juga mempelajari sastra arab, matematika, fisika,
dan ilmu ekonomi. Ia dipandang sebagai filsuf
yang paling menonjol pada periode per-
kembangan filsafat Islam mencapai puncaknya
(700-1200 M). Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas
serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase
tertentu pemikiran latin dari tahun 1200-1650 M.
Sebutan Averroes untuk Ibn Rusyd,
menurut Sirajuddin Zar, sebenarnya lebih pantas

239
untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah
akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-
Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi
diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan
dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd.
Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi
Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf
konsonan dan penambahan sisipan sehingga
akhirnya menjadi Averroes. Dari Averroes ini
muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd
dalam bidang filsafat yang menamakan diri
Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd
memang membuktikan diri sangat ahli dan
terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang
filsafat dan komentarnya terhadap filsafat
Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak
ada tandingannya. Sebab itu ada yang
menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-
Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau
Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak me-
miliki pemikiran filsafat sendiri, dalam
penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan
pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan
pandangan dan pahamnya sendiri terdapat
dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan
uraian dan komentas terhadap filsafat
Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan tersebut
terkadang lebih panjang dari terjemahannya
terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Pada tahun 1153 M Ibn Rusyd pindah ke
Maroko memenuhi permuntaan khalifah Abd

240
Al-Mukmin, khalifah pertama dari Dinasti
Muwahhidin, khalifah ini banyak membangun
sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan,ia
meminta Ibn Rusyd untuk membantunya
mengelola lembaga-lembaga tersebut.
Pada tahun 1169 M risalah pokok tentang
medis, al-risalah, telah diselesaikannya, dan pada
tahun yang sama pula ia dipernalkan oleh Ibn
Thufail kepda Khalifah Abu Ya‟qub. Hasil dari
pertemuan ini Ibn Rusyd diangkat sebagai qadhi
di Saville. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut
dengan sebaik-baiknya. Diriwayatkan bahwa Ibn
Rusyd hanya dua malam melewatkan begitu saja
tanpa membaca dan menulis, yaitu malam
meninggal ayahnya dan malam perkawinannya.
Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Rusyd tidak gemar
menghadiri tempat-tempat hiburan dan me-
nyaksikan tari-tarian, sehingga ia lebih disegani
dan dihormati. Semenjak itu pula, ia mulai
menafsirkan karya-karya Aristoteles atas
permintaan khalifah tersebut. keberhasilannya
menafsirkan karya-karya Aristoteles ini menjadi-
kan ia terkenal dengan gelar “Komentator
Aristoteles”.
Dua tahun setelah menjadi qadhi di
Saville, ia kembali ke Cordova menduduki jabat-
an Hakim Agung (qadhi al-qudhat). Selanjutnya
pada tahun 1182 M ia bertugas sebagai dokter
khalifah di Istana A-Muwahhidin, Maroko
menggantikan Ibn Thufail.
Pada tahun 1195 M, keadaan berubah
akibat pengaruh politik. Sultan Abu Yusuf

241
memerlukan dukungan ulama dan Fuqaha
untuk menghadapi peperangan menghadapi
kaum kristen. Karena itu, Sultan menangkap dan
mengasingkan Ibn Rusyd ke tempat bernama
Lucena yang terletak sekitar 50 km di arah
tenggara Cordova, guna mendapatkan simpati
dan bantuan dari para ulama dan fuqaha dalam
peperangan tersebut. pengasingan itu sendiri
dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama
dan fuqaha bahwa Ibn Rusyd adalah seorang
zindik dan kafir. Semua bukunya dibakar
terutama buku-buku filsafat kecuali buku-buku
kedokteran, astronomi, dan matematika.
Atas jasa baik pemuka Kota Saville yang
menghadap khalifah untuk membujuknya
membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya ia dibebas-
kan. Kemudian ia kembalu ke Maraques,
Maroko, tetapi tidak lama setelah itu ia wafat di
kota ini pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198
M) dalam usia 72 tahun menurut perhitungan
Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan
Hijrah. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya
dipindahkan ke Cordova untuk dikuburkan di
pekuburan keluarganya. Ahli tasawuf terkenal,
Muhyi Al-Din Ibn Arabi (1165-1240 M)
mengahdiri pemakamannya kembali. Konon
waktu pemindahan jenazahnya diangkut 2 ekor
keledai, seekor keledai membaawa jenazah, dan
seekor lagi membawa tumpukan kitab-kitab dan
sejumlah karyanya.
Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia
mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai

242
problem ketuhanan dan alam semesta.
Pemikiran Ibnu Rusyd ini, nantinya akan mem-
berikan kontribusi besar terhadap perkembang-
an filsafat, terutama di dunia barat, yang ke-
mudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga
melahirkan renaisans dan zaman modern.
Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu
Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam
semesta.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami
Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup
yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif
terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan, membaca, menulis dan ber-
muzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada
ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya
sebagai seorang inklusif, toleran dan suka
memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-
Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim)
selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan
jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan
kepada para wakilnya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang,
ia juga ikut ke medan perang melawan
Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu meng-
hormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya
pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan
ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun
demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang
rendah hati, ia menampilkan diri secara arif
selayaknya seorang guru dalam memberi
petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan

243
dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah
Khalifah menyingkirkannya dari bahagian
kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya
pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnah-
kan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup
pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini
menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan
perhitungan politis, dimana suasana tidak
kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konser-
vatif dengan kebencian dan kecemburuan yang
terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd
yang tinggi.
a. Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd menulis dalam banyak
bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran,
ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya
karyanya yang paling besar berpengaruh di
Barat, yang dikenal dengan Averroesm adalah
komentarnya atas karya-karya Aristoteles,
bukan saja dalam bidang filsafat, juga dalam
bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak.
Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak
ada, namun masih terdapat terjemahan-
terjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani.
Karya-karyanya yang lain adalah:
1) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid
fi al-Fiqh.
2) Kitab al-Kulliyat fi al-Thib,
Telah diterjemahkan dalam bahasa Latin,
Coliget.
3) Tahafut al-Tahafut,

244
yang merupakan sanggahan terhadap Kitab
Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah di-
terjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
banyak mempengaruhi Thomas van
Aquinas.
4) Al-Kasyf „an Manahij al-Adillah fi „Aqaid al-
Millah.
5) Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-
Syari‟ah min al-Ittishal,
Mencoba mempertemukan agama dengan
filsafat.
6) Dhamimah li Masalah al-Qadim.
b. Filsafat Ibnu Rusyd dan Pemikiran Al-
Ghazali
Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar,
karena ia banyak menghabiskan waktunya
meneliti dan membuat komentar-komentar
terhadap karya Aristoteles dalam berbagai
bidang, sehingga ia digelar Syarih (Komen-
tator).
Aristoteles menurut pendapatnya adalah
manusia istimewa dan pemikir terbesar yang
telah mencapai kebenaran yang tidak
mungkin bercampur kesalahan. Kadang-
kadang manusia salah memahami buku-buku
Aristotelas, sebagaimana yang dikutip Ibn
Rusyd dari kitab-kitab Al-Farabi dan Ibn Sina.
Ibn Rusyd dalam beberapa hal tidak setuju
dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf
ini dalam memahami filsafat Aristoteles. Ibn
Rusyd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles

245
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti
tidak akan berlawanan dengan pengetahuan
tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia.
Bahkan perkembangan manusia telah men-
capai tingkat yang paling tinggi pada diri
Aristoteles. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap
Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai
seolah-olah ilham tuhan menghendaki agar
Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia
yang tertinggi dan adanya kesangggupan
untuk mendekati akal universal. Kekaguman
ini dapat dilihat dalam bukunya Al-Thabi‟ah
(fisika) dan pada beberapa tempat dari
kitabnya Tahafut al-Tahafut.
Ibn Rusyd sebagai filsuf besar juga
memikir, membahas, dan memecahkan
masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh
filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima
begitu saja pikiran-pikiran mereka tetapi me-
nerima yang setuju dan menolak yang
sebaliknya. Ia mengkritik Al- Farabi, Ibn Sina,
Al-Gazali, Ibn Bajjah, dsb. Hal ini tergantung
pada materi masalah yang dibahas.
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak
Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang
dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” ,
dan “Maqqul” . wujud Allah ialah Esa- Nya.
Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-
Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan
jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,

246
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping
keyakinan agama Islam yang dipeluknya.
Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan
ajaran Islam, tetapi menamakan tuhan sebagai
Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai
dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya
dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plonitus,
AL-Farabi, dan Ibn Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan,
golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu‟tazilah,
Asy‟ariah, dan Falasifah, masing-masing
golongan tersebut mempunyai keyakinan
yang berbeda satu sama lain, dan meng-
gunakan ta‟wil dalam mengartikan kata-kata
syar‟i sesuai dengan kepercayaan mereka.
Golongan Hasywiyah berpendapat bahwa
cara mengenal Tuhan adalah melalui sama‟
(pendengaran) saja, bukan melalui akal.
Mereka berpegang pada lahir kata-kata al-
Quran tanpa menggunakan ta‟wil. Ibn Rusyd
menolak jalan pikiran yang demikian.
Katanya: Islam mengajak kita untuk
memperhatikan alam maujud ini dengan akal
pikiran, seperti yang terdapat pada surat Al-
Hasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib
menggunaka qiyas syar‟i dan qiyas aqli
(syllogisme) dan sebagainya.
Cara menegal Tuhan menurut golongan
Tasawuf bukan bersifat pemikiran yang
tersusun dari premis-premis yang menghasil-
kan kesimpulan. Karean menurut mereka
mengenal Tuhan dan Maujud-maujud lainnya

247
adalah melalui jiwa ketika sudah terlepas dari
hambatan-hambatan kebendaaan dan meng-
hadapkan pikiran kepada apa yang dituju. Ibn
Rusyd mengatakan bahwa apabila kita terima
keterangan tersebut, maka tidak bisa juga di-
perlakukan untuk umum, sebagaimana
halayaknya manusia yang mempunyai pikir-
an, bahkan jalan tersebut berlawanan dengan
syariat yang menyuruh mempergunakan
pikiran.
Setelah mengemukakan kelemahan-
kelemahan bukti golongan-golongan tersebut
di atas, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil
yang meyakinkan:
1) Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).
Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya
sangat sesuai dengan kehibupan manusia.
Persesuaian ini tidak mungkin terjadi
secara kebetulan, tetapi menunjukkan
adanya pencipta yang sangat bijaksana.
Semua kejadian dalam alam sangat cocok
dengan fitrah manusia, seperti siang,
malam, matahari, bulan, tumbuhan, hewan,
dan anggota tubuh manusia. Tidak
mungkin terjadi dan terpelihara semuanya
itu tanpa pencipta yang bijaksana. Ayat
suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya QS. An-Naba‟;78:6-7:
“Bukankah kami telah menjadikan bumi itu
sebagia hamparan, dan gunung-gunung sebagai
pasak?”

248
2) Dalil ikhtira‟(dalil ciptaan) .termasuk dalam
dalil ini ialah wujud segala macam hewan,
tumbuh-tumbuhan, langit,dan bumi.segala
yang maujud di alam ini adalah diciptakan
.ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
antara lain QS. Hajj;22:73: “hai manusia,
telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. sesungguhnya segala
yang kamu sembah selain allah sama sekali tidak
dapat menciptakan seekor lalatpun, kendatipun
mereka bersatu untuk menciptakan-nya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka
dapat merembutnya kembali dari lalat itu. amat
lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pulalah) yang disembah.”
3) Dalil harkah (gerak). alam semesta ini
bergerak dengan suatu gerakan yag abadi.
Erakan tersebut menunjukan adanya
penggerak pertama yang tidak bergerak
dan bukan benda, yaitu tuhan.
Dalil pertama dan dalil kedua di
sepakati oleh seua pihaksesuai dengan semua
syari‟at, karena adanya ayat-ayat al-Qur‟an
yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut.
seperti surah an-Naba‟ ayat 6-16 yang me-
nunjukan tentang persesuaian bagian-bagian
alam dengan manusia. Demikian juga surat al-
A‟raf ayat 185 yang menunjukan ahwa alam
ini diciptakan. Dalil-dalil tersebut sesuai pula
dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah
dalil yang pertama kali dicetuskan oleh

249
Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh
Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn
Rusyd lebih dekat kepda paham Mu‟tazilah.
Dalam hal ini ia menggunakan prinsip tasybih
dan tanzih (penyamaan dan penyucian). Cara
pertama digunakan dalam menetapkan be-
berapa sifat positif (ijabiyyah) kepada Allah,
yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai
kesempurnaan bagi makhluk-makhluk Tuhan.
Sedangkan cara kedua ialah dengan mengakui
adanya perbedaan Allah dengan makhluk-
Nya dari sisi kekurangan yang terdapat dalam
diri makhluk. Seperti sifat „ilm, sebagai salah
satu sifat positif, diakui sebagai sifat Allah,
tetapi bukan sebagaiman sifat ilmu yang ada
pada manusia, sifat ini sebagai suatu ke-
sempurnaan, maka pada Allah yang wujud-
Nya Maha Sempurna, sifat itu merupakan
suatu keharusan bagi-Nya. Namun, sifat ilmu
yang ditetapkan pada Allah mestilah dalam
wujud yang lebih tinggi, lebih sempurna
secara mutlak dari sifat ilmu manusia yang
relatif. Ilmu Allah menyangkal segala sesuatu,
dan tidak suatupun terjadi tanpa diketahui-
Nya.
Mengenai hubungan zat dengan sifat
Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah
sebagai „itibarat dzihniyyah (pandangan akal)
terhadap zat Allah sebagi yang digariskan
dalam syara‟. Tidak perlu dijelaskan secara
filosofis seperti dipahami Mu‟tazillah atau

250
seperti yang dipahami oleh Asy‟ariyah bahwa
sifat berbeda dengan zat karena penafsiran
semacam Asy‟ariyah ini hanya dapat dibenar-
kan pada alam manusia atau benda.
c. Tanggapan Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali
Melalui buku Tahafut al-Falasifah (ke-
kacauan pemikiran para filsuf) al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf
dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut
menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan
kekafiran. Permasalahan yang dimaksud
adalah: Pertama, qadimnya alam. Kedua, Tuhan
tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Ketiga, adanya pembangkitan jasmani.
Pendapat Filsuf tentang Qadimnya Alam
Pendapat para filsuf bahwa alam kekal
dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima
kalangan teologi Islam. Menurut konsep
teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang
dimaksud pencipta ialah mengadakan
sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau
alam dikatakan tidak bermula berarti alam
bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan
bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini
membawa kekufuran. Demikian gugatan al-
Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibn Rusyd, begitu pula para filsuf
lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio
tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al-
„Adam) atau kekosongan tidak mungkin
berubah menjadi ada (al-Wujud). Yang

251
mungkin terjadi ialah “ada” berubah menjadi
“ada” dalam bentuk lain.
Pernyataan bahwa creatio ex nihilio
tidak didukung oleh dasar syariat yang kuat,
disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada yang
menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya
berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud
selain dari diri-Nya dan kemudian barulah
dijadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah
merupakan pendapat dan interpretasi kaum
teolog.
Pendapat Ibn Rusyd ini didukung oleh
beberapa ayat Al-Qur‟an yang mengandung
pengertian bahwa Tuhan menciptakan
sesuatu dari sesuatu yang sudah ada bukan
dari tiada, seperti dalam QS.Hud;11:7, yang
berarti:
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, dan adalah „Arsy-Nya
diatas air agar dia menguji siapakah diantara
kamu yang lebih baik amalnya.”
Ayat ini menurut Ibn Rusyd me-
ngandung arti bahwa sebelum adanya wujud
langit-langit dan bumi telah ada wujud yang
lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat
tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa
sebelum masa diciptakannya langit dan bumi.
Tegasnya sebelum langit dan bumi telah
diciptakan telah ada air.
Selanjutnya, Ibn Rusyd berpendapat
bahwa benar ada penciptaan dan alam ini
memerlukan motive power (tenaga penggerak),

252
namun penafsirannya berbeda dengan pe-
nafsiran kaum teolog, menurut Ibn Rusyd
penciptaan itu terus menerus setiap saat
dalam bentuk perubahan alam yang
berkelanjutan.
Semua bagian alam berubah dalam
bentuk baru menggantikan bentuk lama.
Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibn
Rusyd membedakan dua macam keabadian,
keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa
sebab. Penggerak atau perantara itulah yang
menjadi sebab terjadinya alam, seperti
abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan
yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam
menjadi abadi dengan adanya sebab atau
perantara.
Apabila dicermati, seorang filsuf yang
berpegang pada aliran rasional pasti ber-
pendapat bahwa segala sesuatu tidak
mungkin lepas dari sebab-musabab. Bahkan,
sebab-musabab adalah asas ilmu alam dan
asal filsafat rasional. Karean itu mengingkari
sebab-sebab yang terbukti dalam segala
realitas adalah kebohongan. Jadi orang yang
membenarkan sanggahan Al-Ghazali bahwa
sebab-akibat bukanlah sebagai kepastian,
tetapi sebagai kebiasaan (adat), menurut Ibn
Rusyd orang tersebut telah mengingkari
hatinya atau mengakui omong-kosong untuk
meragukan apa yang ada dihadapannya.
Untuk itu, Ibn Rusyd mengembalikan
persoalan sebab-musabab kepada 4 sebab

253
pokok („illah) sebagaimana yang dikatakan
oleh Aristoteles, yaitu:
1) „illah maddiyah (material cause, sebab-
musabab yang berkaitan dengan benda)
2) „illah shuwariyyah (formal cause, sebab-
musabab yang berkaitan bentuk atau form);
3) „illah fa‟illah (efficient cause, sebab-musabab
yang berkaitan dengan daya guna);
4) „illah gha‟iyyah (final cause, sebab-musabab
yang berkaitan dengan kejadian).
Pendapat Filsuf tentang Pengetahuan Tuhan
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penge-
tahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujud-
nya perincian) yang tidak berubah oleh
perubahan yang di alami juziyah. Tuhan juga
mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan
sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan
Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah
lampau, sekarang, dan akan datang.
Pengetahuan-Nya bersifat Qadim yaitu
semenjak azali Tuhan mengetahui segala hal-
hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya.
Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan
tidak dapat diberi sifat qulliyah atau juziyah.
Sebab kedua sifat itu merupakan kategori
Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan
tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan
sendiri.
Pendapat Filsuf tentang Kebangkitan Jasmani
Meskipun Ibn Rusyd berpendapat
bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam
wujud ruhani saja, ia tidak menafikan

254
kemungkinan jasmani bersama-sama ruhani.
Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut
dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan
menyatu kembali dengan jasad sebagaimana
keadaanya semula di dunia, tetapi jasad
tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu
sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah
hancur dan lenyap disebabkan kematian.
Sedangkan yang telah hancur mustahil dapat
kembali seperti semula.
d. Averroisme
Averroisme adalah ajaran yang di-
kemukakan oleh Ibn Rushd dan para
pengikutnya, sudah trend di abad Pertengah-
an. Ibn Rusyd adalah tokoh Islam yang
sangat diakui baik di negara Barat maupun
Timur. Sumbangan yang nyata adalah kritik
terhadap dominasi Katolik Roma dalam
peradaban Eropa.Bagi dia negara berada di
bawah dominasi gereja, sehingga cenderung
tidak merdeka.Para pendukung ajaran ini
mempertahankan bahwa dunia adalah kekal
dan jiwa mati, dan menegakkan teori
kebenaran ganda.
Pengaruh Averroisme dirasakan baik
oleh filsafat Yahudi maupun Skolastisime.
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani,
komentar-komentarnya menghasilkan peng-
ikut-pengikut Averroes hingga abad ke 15.
Pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin antara 1130 dan 1150, terjemahan-
terjemahan tetap muncul pada 1256.

255
Averroisme ditentang keras oleh gereja
dan para pemimpinnya, tampak dalam
konsili-konsili Kristen dengan sangat hebat
dikecam.Yang ditentang keras oleh gereja
adalah ajaran tentang kekekalan materi, tidak
adanya kekekalan pribadi, doktrin tentang
kebenaran ganda. Tokoh yang mendukung
pandangan ini adalah Albertus Magnus, yang
tetap mempertahankan komentar-komentar
Averroes mengenai Aristoteles, sambil mem-
perlihatkan kesulitan tertentu.
Pengaruhnya sangat besar di Prancis
pada abd ke 13 dan menjadi aliran filosofis
progresif yang bertentangan denan dgma
gereja yang berkuasa. Tokoh lain yang paling
masyur adalah Siger dari Brabant. Selanjutnya
dirasakan di Itali Utara, bahkan hingga abad
16.
2. Ibnu Bajjah
Nama aslinya adalah Abu Bakar
Muhammad Ibn Yahya al-Sha‟igh. Di dunia
Barat, ia terkenal dengan sebutan Avempace.
Julukannya adalah Ibnul-Sha‟igh (anak tukang
emas). ia dilahirkan di Saragosa (Spanyol) pada
akhir abad ke-5 H/abad ke-11 M. Tahun
kelahirannya tidak diketahui, akan tetapi
diketahui wafatnya, yakni pada tahun 533
H/1138 M. Sebutan namanya adalah Al-Bajah,
sedangkan Bajjah berasal dari keluarga At-Tujib,
karena itu ia juga dikenal sebagai At-Tujibi.
Menurut literatur sejarah, Ibnu Majah
adalah seorang filosof ansich, bahkan ia bukan

256
hanya seorang filosof, ia juga menguasai disiplin
ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran,
astronomi, fisika, matematika, dan juga musik.
Ini benar apa adanya karena dimasa filsafat
Yunani belum terjadi pemisahan antara sains
dan filsafat sehingga seorang yang mempelajari
salah satunya terpaksa bersentuhan dengan yang
lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga
Gubernur Saragosa Daulat Al-Mutrabith, Abu
Bakar Ibnu Ibrahim Al-Sahwari mengangkatnya
menjadi wazir. Tetapi di saat Saragosa jatuh
ketangan Raja Al-Fonso I di Arogan Pada tahun
512 H/1118 M. Ibnu Bajah terpaksa pindah ke
kota Sevillevia Valencia. Nah, di kota ini ia
bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian
setelah dari sini ia pindah ke Granada dan
selanjutnya berangkat ke Afrika Utara, sebuah
pusat kerajaan Dinasti Murabith Barbar.
Dalam hal ini, seperti penjelasan di atas;
ada sebuah kisah tentang Ibnu Bajjah sehingga
bisa demikian, diungkapkan oleh As-Syuyuti ”
suatu hari Ibnu Bajjah memasuki masjid
(jami‟ah) Granada. Dia melihat seorang ahli tata
bahasa sedang memberikan pelajaran tata
bahasa kepada para murid yang duduk
mengelilinginya. Melihat seorang asing begitu
dekat dengan mereka, para murid muda itu
menyapa Ibnu Bajjah dengan sedikit mengejek
apa yang diajarkan oleh ahli hukum itu? Ilmu
apa yang dia kuasai dan bagaimana pandangan-
nya?”coba lihat” sahut Ibu Bajjah, ”aku
membawa uang dua belas ribu dinar di bawah

257
ketiakku”. Sambil berkata begitu di mem-
perlihatkan dua belas butir mutiara yang sangat
indah yang masing masing berharga seribu
dinar. Di lanjut oleh Ibnu Bajjah, katanya; ”aku
telah mengumpulkan pengalaman dalam dua
belas ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu
‟Arabiyyah yang sedang kalian bahas ini. Aku
rasa kalian termasuk dalam kelompok ini‟. Dia
kemudian menyebutkan aliran mereka. Para
murid muda itu mengutarakan kebenaran
mereka dan memohon maaf kepadanya”.
Saat ia melakukan perjalanannya ke Jative
di Afrika Utara, ia ditahan oleh penguasa Al-
Murabithun yang bernama Ibrahim Ibnu Yusuf
Ibn Tasyfin, karena dugaan bid‟ah. Ia dibebaskan
berkat campur tangan qadhi setempat, ayah atau
kakek filsuf Ibnu Rusyd (Averroes), yang tahu
betul tentang apa yang dimaksud Ibnu Bajjah
dengan upayanya menarik garis demarkasi yang
jelas dan tegas antara klaim-klaim keimanan dan
tujuan-tujuan filsuf.
Apalagi disaat ada masa kesulitan dan
kekacauan dalam sejarah Spanyol dan Afrika
Barat-Laut. Para Gubernur kota dan daerah
menyatakan kemerdekaan mereka. Pelanggaran
hukum dan kekacauan melanda seluruh negeri.
Mereka yang bermusuhan saling menuduh
sebagai berbuat bid‟ah demi meraih keunggulan
dan simpati rakyat. Musuh-musuh Ibnu Bajjah
sudah mencapnya sebagai ahli bid‟ah dan
beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi
semua usaha mereka ternyata gagal. Akhirnya

258
Ibnu Zhur, seorang dokter termasyur di masa itu
berhasil membunuhnya dengan racun pada
bulan Ramadhan tahun 533 H/1138 M di Fez,
tempat ia di kubur di samping Ibnu al-Arabi
muda.
Ibnu Bajjah adalah seorang yang pintar
dan mempunyai analisa paling cemerlang,
senada yang di ucapkan oleh Ibnu Thufail
bahwa; Ibnu Bajjah adalah seorang filosof
Muslim yang paling cemerlang otaknya, paling
tepat analisisnya, dan paling benar pemikiran-
nya. Namun, amat disayangkan pembahasan
filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah
matang dan sempurna. Ini disebabkan karena
ambisi keduniaanya yang begitu besar dan
kematiannya yang begitu cepat.
Di antara karya-karya Ibnu Bajjah yang
terkenal dalam filsafatnya adalah sebagai
berikut: pertama, kitab Tadbir al-Mutawahhid,
ini adalah kitab yang paling populer dan penting
dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan
akhlak dan politik serta usaha-usaha individu
menjauhkan diri dari segala macam keburukan-
keburukan dalam masyarakat dan negara, yang
disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia
penyendiri), menurutnya, dengan cara begitu ia
dapat berhubungan dengan Al-‟Aglul-Fa‟al (Full
Force Mind). Memang benar bahwa hidup me-
mencilkan diri pada hakikatnya lebih baik.
Sebagaimana yang dikatankan olehnya, ”untuk
itu, orang yang hidup menyendiri, dalam
beberapa segi kehidupannya, sedapat mungkin

259
harus menjauhkan diri dari orang lain, tidak
mengadakan hubungan dengan orang lain
kecuali dalam keadaan mendesak atau terdapat
ilmu pengetahuan, kalau ada. Sikap demikian
tidak bertentangan dengan apa yang disebut
dengan ilmu peradaban, dan tidak bertentangan
pula dengan apa yang tampak jelas di dalam
ilmu alam. Telah jelas bahwa manusia adalah
berada menurut kodratnya.
Kedua, Risalat al-Wada‟, risalah ini mem-
bahas Penggerak Pertama (Tuhan), manusia,
alam, dan kedokteran. Ketiga, Risalat al-Ittisal,
risalah ini menguraikan tentang hubungan
manusia dengan Akal Fa‟al. Keempat, Kitab al-
Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.
Karya lainnya yang dibuat oleh Ibnu
Bajjah, baik dalam bentuk bahasa Arab atau
Bahasa Inggris, sekaligus menjadi bukti sebuah
pengakuan daru dunia luar atas karyanya,
antara lain:
a. Tardiyyah sebuah puisi yang ada di The Berlin
Library.
b. Karya-karya yang di sunting oleh Asin
Palacacios dengan terjemahan bahasa Spanyol
dan catatan-catatan yang diperlukan: (i) Kitab
An-Nabat, Al Andalus, jilid V, 1940; (ii) Risalah
Ittisal Al-‟Aql bi Al-Insan, Al Andalus, jilid. VII,
1942; (iii) Risalah Al-Wada‟ Al-Andalus, jilid
VIII, 1943; (iv) Tadbir Al-Mutawahhid berjudul
El Regimen Del Solitario, 1946.
c. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M.
Shaghir Hasan Al-Ma‟sumi; (i) Kitab An-Nafs

260
dengan catatan dan pendahuluan dalam
bahasa Arab, Majallah Al-Majma‟Al-‟Ilm Al-
‟Arabi, Damaskus, 1958; (ii) Risalah Al-Ghayah
Al-Insaniyyah berjudul Ibnu Bajjah on Human
End, dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal
of Asiatic Society of Pakistan, jilid II, 1957.
Ibnu bajjah adalah seorang filosof yang
ahli menyandarkan ilmunya pada teori dan
praktek ilmu-ilmu matematika, astronomi,
musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
spekulatif seperti logika, filsafat alam dan
metafisika, ibnu bajjah menyandarkan filsafat
dan logikanya pada karya-karya al-farabi.[8]
yakni mendasarkan pada realitas adalah wajar.
Ia menolak teori ilham al-Ghazali serta
menetapkan bahwasannya seseorang dapat
mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri
pada Akal Fa‟al. jika ia telah terlepas dari
keburukan-keburukan masyarakat, dan menyen-
diri serta dapat memakai kekuatan pikirannya
untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu se-
besar mungkin, juga dapat memenangkan segi
pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya. Ia
juga menyatakan masyarakat perseorangan
itulah yang mengalahkan perseorangan dan me-
lumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikir-
nya, serta menghalangi dari kesempurnaan,
melalui keburukannya yang membanjir dan ke-
inginannya yang deras. Jadi, seseorang dapat
mencapai tingkat kemulian setinggi-tingginya
melalui pemikiran dan menghasilkan makrifat
yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran

261
dapat menguasai perbuatan-perbuatan sese-
orang dan mengabdikan diri untuk mem-
perolehnya.
Keterangan Ibu Bajjah di atas berlawanan
sekali dengan pikiran al-Ghazali yang menetap-
kan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak
dapat dipercaya, serta semua pengetahuan
manusia sia-sia belaka karena tidak bisa me-
nyampaikan pada suatu kebenaran, maka cara
yang paling baik untuk mencapai makrifat yang
benar adalah mendekatkan pikiran kepada
tasawuf (beribadah untuk selalu menjauhkan
dunia dan mendekatkan diri pada Allah).
Dia telah menggunakan metode penelitian
filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti al-
farabi dia berurusan dengan masalah hanya
berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi
filsafat aristoteles, yang di atasnya dia
membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata
untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara
benar. Itulah sebabnya ibnu bajjah menulis
uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya
aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti
yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks
karya aristoteles dengan sangat teliti.
Akan tetapi, dengan kecerdasan Ibnu
Bajjah, walaupun ia sejalur dengan filsafat
aristoteles, ia tidak pernah lari dari ajaran Islam.
Ia berupaya mengIslamkan argumen metafisika
Aristoteles tersebut. Menurutnya Allah tidak
hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan
Pengatur alam. Argumen adanya Allah bahwa

262
dengan adanya gerakan di alam raya ini. Jadi,
Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak
terbatas. Agar pembahasan filsafat menurut Ibnu
Bajjah lebih jelas, lihat filsafatnya dalam uraian
di bawah ini:
a. Filsafat Metafisika
Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada
(al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan
yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah
jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas).
Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerak-
kan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini
di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang
akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh
penggerak yang tidak bergerak; dalam arti
penggerak yang tidak berubah yang berbeda
dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat
azali. Gerak jisim mustahil timbul dari
subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh
karena itu, gerakan ini mesti berasal dari
gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang
oleh ibnu bajjah disebut dengan „aql.
Perlu di ketahui bahwa para filosof
muslim pada umumnya menyebut Allah itu
adalah „aql. Argumen yang mereka majukan
adalah Allah pencipta dan pengatur alam
yang beredar menurut natur rancangan-Nya,
mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian
dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlak-
nya, para filosof muslim menyebut Allah
adalah zat yang mempunyai daya berpikir
(„aql), juga berpikir („aqil) dan objek

263
pemikiranya sendiri (ma‟qul). Keseluruhanya
adalah zat-Nya yang Esa.
Ibnu Bajjah percaya pada kemajemu-
kan akal, iapun mengacu pada akal pertama
dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia
paling jauh adalah akal pertama. Kemudian ia
menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan me-
ngatakan bahwa sebagian akal secara
langsung berasal dari akal pertama; sebagian
lain berasal dari akal-akal lain, hubungan
antara yang diperoleh dan tempat asal akal
yang diperoleh itu sama dengan hubungan
cahaya matahari yang ada di dalam rumah
dan cahaya matahari yang ada di halaman
rumah.
Menurutnya; akal manusia, berlahan-
lahan mendekati akal pertama dengan:
pertama, meraih pengetahuan yang didasar-
kan pada bukti, yang dalam hal itu, akal
paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk.
Kedua, memperoleh pengetahuan tanpa mem-
pelajarinya atau berusaha meraihnya. Metode
kedua ini adalah metode orang-orang Sufi,
khususnya metode al-Ghazali. Metode ini
memampukan orang memperoleh pengetahu-
an tentang Tuhan.
Salah satu bentuk filsafat metafisika
Ibnu Bajjah, sebagaimana dalam tulisan Abdul
Hadi yang diuraikan seperti di bawah ini;
“…Perbuatan manusia memiliki sejumlah
tujuan yang berbeda tingkatanya. Ada
perbuatan untuk tujuan jasmani, seperti makan

264
dan minum, memakai pakaian, atau membuat
rumah sebagai tempat tinggal. Ada pula
perbuatan dengan tujuan rohani, yang meliputi
sejumlah tingkatan yang juga berbeda seperti;
(1) perbuatan memakai pakaian yang indah dan
serasi, yang menimbulkan kenikmatan pada
indera batin, (2) perbuatan yang menimbulkan
kenikmatan pada daya khayl, seperti perbuatan
memperlengkapi diri dengan persenjataan, tetapi
bukan pada waktu perang, (3) perbuatan
berhimpun sesama orang-orang yang saling
bersimpati atau sesama pemain yang
menghasilkan kegembiraan rohani tertentu, (4)
perbuatan dengan tujuan untuk mengaktualkan
dengan sempurna daya akal pikiran seperti
upaya mempelajari suatu pengetahuan demi
pengetahuan itu, bukan demi mendapatkan
uang atau harta lainnya.”
b. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat ibnu bajjah, setiap
manusia mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani.
Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa di
gerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat
jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat
jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan
ada pula berupa alamiah, seperti kaki dan
tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari
alat buatan‟ yang di sebut juga oleh ibnu
bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-
gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada
setiap makhluk yang berdarah.
Panca indera merupakan lima unsur
dari suatu indera tunggal yaitu akal sehat, dan

265
akal sebagai realisasi penuh tubuh secara
keseluruhan, oleh karena itu disebut sebagai
jiwa (roh). Unsur ini juga mensupalai materi
untuk unsur imajinasi yang terorganisasi,
sebab itu unsur ini didahului oleh sensai yang
mensupalai materi kepadanya. Oleh karena-
nya lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap
sebagai dua jenis persepsi jiwa. Tetapi
perbedaan keduanya sangat jeals sepanjang
sensai bersifat khusus dan imajinasi bersifat
umum. Unsur imajinatif berpuncak pada
unsur penalaran yang melawatinya orang-
orang bisa mengungkapkan dirinya kepada
orang lain dan sekaligus mencapai srta
membagi pengetahuan.
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan
menjadi tiga bahagian, antara lain: pertama,
bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki
hubungan sirkular dengan materi sehingga
bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan
materi dan menjadi sempurna. Kedua,
kejelasan materi yang bereksistensi dalam
materi. Ketiga, bentuk-bentuk yang ber-
eksistensi dalam indera-indera jiwa akal sehat,
indera khayali, ingatan, dan sebagainya, dan
yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwa-
an dan kejelasan materi.
Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan
aktif oleh Ibnu Bajjah dinamakan bentuk-
bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-
bentuk yang berkaitan dengan akal sehat
dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus.

266
Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-
bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu
hubunganyang menerima. Sedangkan bentuk
kejiwaan khusus memiliki dua hubungan-
hubungan khusus dengan yang berakal sehat
dan hubungan umum dengan yang terasa.
Misalnya; seorang manusia ingat akan bentuk
Taj Mahal; bentuk ini tidak berbeda dari
bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu
berada di depan mata bentuk ini, selain me-
miliki hubungan khusus seperti yang tersebut
di atas, juga hubungan dengan wujud umum
yang terasa sebab banyak orang melihat Taj
Mahal.
c. Filsafat Etika
Ibnu Bajjah membagi perbuatan
manusia kepada dua bagian. Bagian pertama,
ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri
dan hal-hal lain yang berhubungan denganya,
baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah
perbuatan yang timbul dari pemikiran yang
lurus, kemauan yang bersih, tinggi dan bagian
ini disebutnya, perbuatan manusia.
Pangkal perbedaan antara kedua
bagian tersebut bagi ibnu bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya.
Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan
tersebut, ia mengemukakan seorang yang
terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka,
lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia
melemparnya karena telah melukainya maka
ia adalah perbuatan hewani yang didorong

267
oleh naluri kehewananya yang telah men-
diktekan kepadanya untuk memusnahkan
setiap perkara yang menganggunya.
Kalau melemparkanya agar batu itu
tidak mengganggu orang lain, bukan karena
kepentingan dirinya, atau marahnya tidak
bersangkut paut dengan pelemparan tersebut,
maka perbuatan itu adalah pekerjaan ke-
manusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja
yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak,
karena menurut ibnu bajjah hanya orang yang
bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadil-
an semata-mata, dan tidak ada hubunganya
dengan segi hewani padanya, itu saja yang
bisa dihargai perbuatanya dan bisa di sebut
orang langit.
Setiap orang yang hendak menunduk-
kan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak
lain hanya harus memulai dengan melaksana-
kan segi kemanusiaanya. Dalam keadaan
demikianlah, maka segi hewani pada dirinya
tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan,
dan seseorang menjadi manusia dengan tidak
ada kekuranganya, karena kekurangan ini
timbul disebabkan ketundukanya kepada
naluri.
3. Ibnu Tufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu
Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu
Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab: Wadi
Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506

268
H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail
populer dengan sebutan Abubacer.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf,
Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar
dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah
sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara
khusus adalah peminat filsafat serta memberi
kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan
pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran
filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikata-
kan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa”.
Kemudian ia mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai dokter pemerintah pada
tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya
yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan
oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu
Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan
penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia
meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di
Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana,
Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara
pemakamannya.
Namun bukan semua itu yang menjadi-
kan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah
Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece
Ibn Tofail berjudul Hayy ibnu Yagzan
(“kehidupan anak kesadaran”, di Barat dikenal
sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menoreh-
kan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai
salah satu karya paling berharga yang pernah
ada di bidang filsafat.

269
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail
banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikhran-
pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis
buku ini telah mencapai taraf yang paling
matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya
dalam bentuk novel alegori sembari menawar-
kan sebuah korelasi filsafat antara akal dan
agama dalam pencarian kebenaran hakiki.
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan
Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan
saling evaluasi seputar masalah-masalah
kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan
mereka yang khusus membicarakan tentang
kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail
dalam karyanya "‫( "مراجعات ومباحث‬Muraja'at wa
Mabahits; Revisi-revisi dan pembahasan -red).
Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu
karangannya: "‫( "الكليات‬al-Kulliyyat). Karya
kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa
dinikmati adalah "‫( "األرجوزة في الطب‬Arjuzah fi at-
Thib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih
tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin.
Selain mumpuni di bidang kedokteran,
Ibnu Tufail juga merupakan master bidang
astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh
Lyon Goteh (?) seorang orientalis Perancis:
"Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu
Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu
bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat
raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu

270
Tufail telah memiliki teori baru". Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa
Ibnu Tufail memiliki teori-teori sensasional
sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.
Miquel Casiri (1112 H/1710 M -1205
H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih
ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al-hikmah
Al-mashariqiyah, yang disebut terakhir ini
berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar
menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupa-
kan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan,
yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn
Yaqzan fi Asrar Al-hikamat Al-mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal
adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy
ibnu Yagzan (kehidupan anak kesadaran) karya
ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina
yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan
timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur
pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail
dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail,
pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai
tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan
filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus
rasional, menurut para filosof anti tasawuf
bertolak belakang dengan pengalaman mistis
yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra
rasional dan tak terperikan. Ajaran-ajaran Ibnu
Tufail diantaranya:

271
a. Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah
apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh
tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya?
Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan
dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pen-
dahulunya, dia tidak menganut salah satu
doktrin saingannya, dan tidak berusaha men-
damaikan mereka.
Di lain pihak, dia mengecam dengan
pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-
sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan
konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang
mustahilnya dibandingkan gagasan tentang
rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu
tidak lepas dari kejadian-kejadian yang
diciptakan dan karena itu tidak dapat men-
dahului mereka dalam hal waktu, dan yang
tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang
tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun.
Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak
dapat mempertahankan penelitiannya yang
seksama.
Sebagaimana Al-Ghazali, dia meng-
emukakan bahwa gagasan mengenai ke-
maujudan sebelum ketidakmaujudan tidak
dapat dipahami tanpa anggapan bahwa
waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi
waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian
tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu ke-
maujudan dunia di kesampingkan lagi, segala

272
yang tercipta pasti membutuhkan pencipta.
Kalau begitu mengapa sang pencipta men-
ciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang
terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada
sesuatupun sebelum dia untuk membuat
sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti
bersumber dari suatu perubahan yang terjadi
atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebab-
kan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu
Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan
mengenai kekekalan maupun penciptaan
sementara dunia ini.
b. Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung
lambat laun itu mensyaratkan adanya satu
pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat im-
material, sebab materi yang merupakan suatu
kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta.
Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat
material akan membawa suatu kemunduran
yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh
karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan
karena Dia bersifat immaterial, maka kita
tidak dapat mengenalNya lewat indera kita
ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi
hanya menggambarkan hal-hal yang dapat
ditangkap oleh indera.
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal,
bagaimana bisa yang pertama dianggap

273
sebagai penyebab adanya yang kedua?
Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu
Thufail membuat perbedaan antara kekekalan
dalam esensi dan kekekalan dalam waktu,
Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya
dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal
waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang
sebuah benda dengan tanganmu dan kau
gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak
lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan
itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak
tangan. Gerak tangan mendahului gerak
benda dalam esensinya, dan gerak benda
diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun
dalam soal waktu keduanya tak saling
mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan
Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail
mempertahankan pendapat mistisnya bahwa
dunia ini bukanlah suatu yang lain dari
Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang
ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensial-
nya merupakan penerangan dan pengeja-
wantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al-
Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini
sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan
sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri
yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak
akan hancur sebagaimana yang ada pada
kepercayaan akan Hari penentuan.
Kehancurannya berupa keberalihannya
menjadi bentuk lain dan bukannya merupa-

274
kan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia
mesti terus berlangsung dalam satu atau
bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai
dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu
bahwa sifat esensi Tuhan merupakan pene-
rangan dan pengejawantahan kekal.
Di dalam roman filsafatnya yang
menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan
kepada manusia bahwa kepercayaan kepada
Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia
yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal
yang sehat dengan memperhatikan dan
merenungkan alam sekitarnya tentu akan
sampai kepada Tuhan.
c. Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa
dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu
itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan
dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new
platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari
cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya,
sama dengan refleksi terus menerus cahaya
matahari kepada cermin. Cahaya matahari
yang jatuh pada cermin yang dari sana
menuju ke yang lain dan seterusnya,
menunjukkkan kemajemukan. semua itu
merupakan pantulan matahari dan bukan
matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu
sendiri, bukan pula suatu yang lain dari
matahari dan cermin itu. Kemajemukan
cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu

275
dengan matahari kalau kita pandang sumber
cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat
dicermin, yang disitu cahaya tersebut di-
pantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada
cahaya pertama serta perwujudannya di
dalam kosmos.
d. Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu
tabularasa atau papan tulis kosong, imaji
Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal,
tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita
perlu memulai dengan pikiran yang jernih
tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka
dan kecenderungan sosial sebagai kondisi
awal semua pengetahuan, merupakan
gagasan sesungguhnya di balik kelahiran tiba-
tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini
tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi
memainkan dengan bebas peranan mereka
secara berurutan dalam memberikan visi yang
jernih tentang kebenaran yang melekat pada
jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidi-
kan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian
antara pengalaman dan nalar, disatu pihak,
dan kesesuaian antara nalar dan intuisi,
dipihak lain membentuk esensi epistimologi
Ibnu Tufail.
Pengalaman akan menjadi suatu proses
mengenal lingkungan lewat indera. Organ-
organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan
yang ada di dalam hati, dari sana berbagai

276
data indera yang kacau mencapai otak
menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur
syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat
jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu
kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan
mengenai benda-benda yang oleh akal
induktif, dengan akat-alat pembanding dan
pembedaannya, dikelompokkan menjadi min-
eral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi
tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles)
sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu
berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti
tidaklah dapat dipertahankan atas dasar
induktif, sebab bentuk atau jiwa yang di-
maksud itu tidak dapat diamati secara
langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan
tampak muncul dari suatu tubuh tertentu;
tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan
bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu,
melainkan oleh sebab tertentu yang ada di
luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.
Mengikuti pendapat Al-Ghazali dan
mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail
tidak melihat adanya kekuatan pada sebab
yang bisa mendatangkan pengaruh sebagai-
mana biasanya. Empirisme Hume berakhir
dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu
Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan
sebab akibat merupakan suatu tindak per-

277
paduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh
Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk
apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus
berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia
telah mengemukakan terlebih dahulu metoda
induktif ilmu modern; melihat ketidak-
mampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-
teki mengenai kekekalan dan penciptaan
sementara dunia ini, juga ketidak mampuan
akal induktif untuk menetapkan suatu
hubungan yang tegas antara sebab dan akibat,
dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme
dengan membuat pernyataan bersama Al-
Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu
merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta
memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu
Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa
yang membawa kepada ekstasi, sumber
tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, ke-
benaran tidak lagi dicapai lewat proses
deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara
langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada
didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan
mengalami apa yang tak pernah dilihat mata
atau didengar telinga atau dirasa hati orang
manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas
pada apa yang dapat dilihat, didengar atau
dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya
suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam
esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu

278
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal
serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi
merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan
visinya adalah sama.
e. Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan
tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi,
dan demikian menggambarkan binatang,
benda angkasa dan Tuhan. Karena itu
pendakian jiwanya terletak pada pemuasan
ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru
tindakan-tindakan hewan, benda-benda
angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya
pertama, ia terikat untuk memenuhi
kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan pokok,
serta menjaganya dari cuaca buruk dan
binatang buas, dengan satu tujuan yaitu
mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang
kedua menuntut darinya kebersihan pakaian
dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek
hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi
Tuhan dan perputaran esensi orang dalam
ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa
benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani
dan tenggelam dalam perenungan yang tak
habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia
harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat
Tuhan baik yang positif maupun yang
negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan,
kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan
jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan

279
kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya
dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan
salah satu disiplin jiwa yang esensial.
Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir
diri, dua yang disebut sebelumnya membawa
kepada perwujudannya dalam visi akan
rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi
identik dengan esensi Tuhan.

280
BAB VIII
LATAR BELAKANG FILSAFAT MODERN

A. Renaissance
Masa renaissance berlangsung mulai abad ke
XV hingga sekitar tahun 1650. kemudian disusul
zaman rasionalisme dan zaman modern. Sebelum
renaissance, bangsa Eropa mengalami jaman
kegelapan (the dark age). Dalam jaman itu, gereja
berkuasa mutlak; ajaran gereja menjadi sesuatu
yang tidak boleh dibantah. Dalam perkembangan-
nya mulai muncul gerakan yang mencoba
melepaskan dari ikatan itu yang disebut gerakan
renaissance. dalam jaman itu pula, pemikiran-
pemikiran ilmiah tenggelam oleh dogma-dogma
gereja.
Renaissance berasal dari kata re (kembali)
dan naitre (lahir) dalam bahasa perancis yang berarti
"lahir kembali" jadi, dengan kata lain renaissance
sebenarnya adalah lahirnya kembali orang Eropa
untuk mempelajari ilmu pengetahuan yunani dan
romawi kuno yang ilmiah dan rasional. Renaisance
berasal dari bahasa Perancis renaissance yang secara
etimologi bermakna “Lahir Kembali”. Akan tetapi
renaisans yang dimaksud disini mempunyai arti
yang lebih luas. Karenanya, secara terminologi
renaisans adalah timbulnya revolusi pandangan
hidup orang-orang Eropa dari jaman pertengahan
ke jaman barunya, melalui proses jaman peralihan
yang sangat cepat.

281
The historical period that marks the transition between
the Middle Ages and the modern world took place
approximately between 1450 and 1600. It is called the
Renaissance, meaning the “rebirth,” which refers not
only to the recovery of classical Greek and Roman art,
ideas, styles, and forms but also to a renewed
enthusiasm for the more sensual aspects of life as the
ancient Greeks and Romans were imagined to have
lived it.1
Middle Age merupakan zaman di mana Eropa
sedang mengalami masa suram. Berbagai kreativitas
sangat diatur oleh gereja. Dominasai gereja sangat
kuat dalam berbagai aspek kehidupan. Agama
Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Seolah raja tidak
mempunyai kekuasaan, justru malah gereja lah
yang mengatur pemerintahan. Berbagai hal diber-
lakukan demi kepentingan gereja, tetapi hal-hal
yang merugikan gereka akan mendapat balasan
yang sangat kejam. Contohnya, pembunuhan
Copernicus mengenai teori tata surya yang
menyebutkan bahwa matahari pusat dari tata surya,
tetapi hal ini bertolak belakang dari gereja sehingga
Copernicus dibunuhnya.
Pemikiran manusia pada Abad Pertengahan
ini mendapat doktrinasi dari gereja. Hidup sese-
orang selalu dikaitkan dengan tujuan akhir
(ekstologi). Kehidupan manusia pada hakekatnya
sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka tujuan hidup
manusia adalah mencari keselamatan. Pemikiran

1Donald Palmer, Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness


Made Lighter (New York: McGraw-Hill, 2006), 146.

282
tentang ilmu pengetahuan banyak diarahkan
kepada theology. Pemikiran filsafat berkembang
sehingga lahir filsafat scholastik yaitu suatu
pemikiran filsafat yang dilandasi pada agama dan
untuk alat pembenaran agama. Oleh karena itu
disebut Dark Age atau Zaman Kegelapan. Dengan
adanya berbagai pembatasan yang dilakukan pihak
pemerintah atas saran dari gereja maka timbulah
sebuah gerakan kultural, pada awalnya merupakan
pembaharuan di bidang kejiwaan, kemasyarakatan,
dan kegerejaan di Italia pada pertengahan abad XIV.
Sebelum gereja mempunyai peran penting dalam
pemerintahan, golongan ksatria hidup dalam
kemewahan, kemegahan, keperkasaan dan ke-
masyuran. Namun, ketika dominasi gereja mulai
berpengaruh maka hal seperti itu tidak mereka
peroleh sehingga timbullah semangat renaissance.
Menurut Ernst Gombrich munculnya
renaissance sebagai suatu gerak kembali di dalam
seni, artinya bahwa renaissance tidak dipengaruhi
oleh ide-ide baru. Misalnya, gerakan Pra-Raphaelite
atau Fauvist merupakan gerakan kesederhanaan
primitif setelah kekayaan gaya Gotik Internasional
yang penuh hiasan.
Menurut Prancis Michel De Certeau
renaissance muncul karena bubarnya jaringan-
jaringan sosial lama dan pertumbuhan elite baru
yang terspesialisasi sehingga gereja berusaha untuk
kembali mendesak kendali dan manyatukan
kembali masyarakat lewat pemakaian berbagai
teknik visual-dengan cara-cara mengadakan
pameran untuk mengilhami kepercayaan, khotbah-

283
khotbah bertarget dengan menggunakan citra-citra
dan teladan-teladan dan sebagainya yang diambil
dari pemikiran budaya klasik sehingga dapat
mempersatukan kembali gereja yang terpecah-belah
akibat skisma (perang agama).
Renaissance muncul dari timbulnya kota-
kota dagang yang makmur akibat perdagangan
mengubah perasaan pesimistis (zaman Abad
Pertengahan) menjadi optimistis. Hal ini juga
menyebabkan dihapuskannya system stratifikasi
sosial masyarakat agraris yang feodalistik. Maka
kebebasan untuk melepaskan diri dari ikatan feodal
menjadi masyarakat yang bebas. Termasuk kebebas-
an untuk melepaskan diri dari ikatan agama
sehingga menemukan dirinya sendiri dan menjadi
fokus kemajuan. Antroposentrisme menjadi pan-
dangan hidup dengan humanisme menjadi pegang-
an sehari-hari. Selain itu adanya dukungan dari
keluarga saudagar kaya semakin menggelorakan
semangat Renaissance sehingga menyebar ke
seluruh Italia dan Eropa.
Renaissance lahir sekitar abad ke 15-16 M,
tatkala kaum intelektual, politik, dan seniman di
daratan Eropa serentak bertekad untuk meng-
adakan suatu gerakan pembaharuan yang meng-
inginkan kebebasan berpikir dan akan merubah
doktrin agama mereka yang dirasakan sangat
mengekang kemerdekaan batin.
Perkembangan pertama renaisans terjadi di
kota Firenze. Keluarga Medici yang memiliki
masalah dengan sistem pemerintahan kepausan
menjadi penyokong keuangan dengan usaha

284
perdagangan di wilayah Mediterania. Hal ini
membuat para intelektual dan seniman memiliki
kebebasan dan mendapatkan perlindungan dari
kutukan pihak gereja. Keleluasaan ini didukung
oleh tidak adanya kekuasaan dominan di Firenze.
Kota ini dipengaruhi oleh bangsawan dan
pedagang. Dari sini, kemudian renaisans menjalar
ke daratan Eropa lainnya.
Latar belakang munculnya Renaissance adalah
sebagai usaha pembaharuan kebudayaan Romawi
dan Yunani yang pada masa abad tengah/masa
kegelapan sempat dilupakan, yaitu tipe manusia
yang otonom dan mandiri. Pada abad 12 ada suatu
penemuan kembali literatur Yunani dan Romawi
yang terjadi di seluruh Eropa. Peristiwa tersebut
akhirnya menyebabkan perkembangan gerakan
humanis di abad ke-14. Orang-orang Humanist
meyakini bahwa setiap individu memiliki arti
penting dalam masyarakat. Pertumbuhan minat
dalam humanisme menyebabkan perubahan dalam
seni dan ilmu yang membentuk konsepsi umum
dari Renaissance.
Abad 14 hingga abad 16 merupakan periode
goncangan ekonomi atau perubahan ekonomi di
Eropa, dimana perubahan yang paling luas terjadi
di Italia. Setelah kematian Frederick II di 1250,
kaisar kehilangan kekuasaan di Italia dan di seluruh
Eropa, tidak satupun dari penerus Frederick yang
seperti dia. Kejatuhannya adalah saat Paus III me-
megang kekuasaan secara bersamaan, memegang
Negara sekaligus Gereja. Selama Renaissance,
Italia berkembang menjadi despotisme yaitu bahwa

285
penguasa Negara memerintah berdasarkan ke-
inginannya sendiri. Eropa sendiri perlahan-lahan
berkembang menjadi kelompok mandiri yang
kompartemen (terpisah). Pertumbuhan ekonomi
Italia yang terbaik dicontohkan dalam pengem-
bangan bank yang kuat, terutama bank Medici dari
Florence. Inggris, Perancis, dan Spanyol juga mulai
mengembangkan sistem ekonomi berkelas.
Adapun sebab utama lahirnya renaisans itu
karena keterkejutan orang-orang Eropa menyaksi-
kan ambruknya imperium Romawi Timur oleh
kaum Muslimin, terutama dengan peristiwa
jatuhnya Konstantinopel yang menyebabkan
penaklukan Kerajaan Turki atas Romawi Timur
(Byzantium) pada tahun 1453 M. Romawi Timur
(Byzantium) adalah Kerajaan Eropa yang besar,
perkasa dan termaju. Lambang supremasi Kaum
Nasrani Eropa. Kemegahan gereja Eropa untuk
sebagian besar diandalkan kepada Byzantium.
Jatuhnya kekaisaran Byzantium atau Romawi Timur
di Konstantinopel membangkitkan Eropa. Tadinya
mereka hampir putus asa setelah mengalami
serangan bangsa Mongol atas Konstantinopel,
menelan pahitnya kekalahan mereka dengan
dikuasainya Spanyol dan Portugal oleh Ummat
Islam, lalu menyusul penaklukan kaum Muslimin
atas negeri-negeri Bulgaria, Yugoslavia, Rumania
dan seluruh Balkan oleh Ummat Islam yang bersatu.
Renaissance merupakan titik awal dari
sebuah peradaban modern di Eropa. Essensi dari
semangat Renaissance salah satunya adalah
pandangan manusia bukan hanya memikirkan

286
nasib di akhirat seperti semangat Abad Tengah,
tetapi mereka harus memikirkan hidupnya di dunia
ini. Renaissance menjadikan manusia lahir ke dunia
untuk mengolah, menyempurnakan dan menikmati
dunia ini baru setelah itu menengadah ke surga.
Nasib manusia di tangan manusia, penderitaan,
kesengsaraan dan kenistaan di dunia bukanlah
takdir Allah melainkan suatu keadaan yang dapat
diperbaiki dan diatasi oleh kekuatan manusia
dengan akal budi, otonomi dan bakat-baktnya.
Manusia bukan budak melainkan majikan atas
dirinya. Inilah semangat humanis, semangat
manusia baru yang oleh Cicero dikatakan dapat
dipelajari melalui bidang sastra, filsafat, retorika,
sejarah dan hukum.
Florencia menjadi pelopor renaissance di
Italia, bukan justru kota Roma, Milano atau Venesia.
Menurut John Hele dan Plum Florensia menjadi
kota pelopor Renaissance di Italia karena berbagai
faktor antara lain adalah:
1. Kota Florencia pada zaman Romawi bernama
Florentia itu secara geografis merupakan kota
pedalaman Italia Utara yang sangar strategis,
subur karena dibelah oleh Sungai Arno dan
menjadi kota pertemuan dari berbagai kota di
Italia Utara antara lain Genoa, Lucca dan Pisa di
sebelah barat, Siena dan Arezzo di sebelah
selatan, Urbino, San Marino dan Romagna di
sebelah timur serta Bologna, Modena di bagian
Utara. Maka tidak mengherankan jika Florencia
menjadi kota pertemuan dagang yang kaya raya
dan besar pada abad ke-XIII.

287
2. Florencia sebagai kota industry khususnya wol
(terbaik di Italia) dan tekstil pada umumnya.
Menurut John Hele pada abad keXIV sudah ada
21 Gilda utama yang dimiliki oleh para hakim,
notaries, importir dan pengusaha dan 44 gilda
kecil sebagai pendukungnya yang dimiliki oleh
pengrajin, pedagang.
3. Florencia sebagai pusat keuangan Italia masa itu.
Kota ini mempunyai penduduk yang ber-
semboyan per non dormire (agar jangan tidur,
maksudnya tidur tidak mendatangkan rezeki)
dan Florentinis ingentis nihil arduit est (tidak ada
yang dapat dikerjakan oleh orang Florencia).
4. Florencia merupakan ibukota Republik Florentia
yang pada prinsipnya menganut sistem
pemerintahan demokrasi dan memperhatikan
kepentingan rakyat. Maka kreativitas seni dan
inteletual dapat bebas berkembang.
Didirikannya pendidikan formal di Accademia
Plato yang didirikan oleh keluarga Medici
sehingga melahirkan seniman-seniman besar,
para ilmuan terkenal, sastrawan jenius dan
arsitek besar. Maka tidak mengherankan apabila
dapat mempertahankan kemasyuran dan ber-
peran penting dalam modernisasi Italia selama
dua abad. Florencia telah menjadi awal
pembaharuan berbagai bidang kehidupan
manusia dari sumber-sumber daya manusia, ke-
uangan, perdangangan, sosial dan budaya,
Benih-benih humanism yang melahirkan
liberalism, individualism serta rasionalisme

288
mendapat tempat subur untuk berkembang ke
seluruh penjuru Eropa.
Keluarga Medici merupakan salah satu
keluarga yang terkenal di Italia pada zaman
renaissance. Keluarga ini mulai mempunyai nama
terhormat dalam masyarat pada abad keXIV ketika
Averardo de Medici yang terkenal dengan nama
Bicci berhasil dalam usahawan swasta ulat sutera,
kain lenen dan akhirnya menjadi bankir. Usaha ini
dilanjutkan anaknya yang bernama Giovanni di
Bicci meluas ke luar Italia. Keluaga Medici mulai
terlibat dalam berbagai bidang terutama politik,
ketika Giovani terpilih menjadi hakim agung di
Florancia pada 1421.
Giovani mempunyai dua anak yang bernama
Casimo dan Lorenzo. Casimo berhasil menjadikan
keluarga Medici mencapai puncak kejayaan pada
bidang politik, ekonomi bahkan agama. Ia juga
tokoh utama yang menjadi pelopor dan pelindung
bidang budaya, kesenian dan ilmu pengetahuan.
Casimo adalah pewaris etos kerja orang Florencia
yaitu per non dormire sehingga ia memadukan
usaha bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan
ilmu pengetahuan dengan semboyan tersebut.
Jasanya antara lain menjadi pendukung utama
untuk mendirikan Accademia Plato di Florencia
pada tahun 1642 sehingga ia ikut serta dalam
menentukan arah perkembangan dunia akedemisi.
Kemudian mendorong mendirikan Akademia Seni
pada 1460 yang dipimpin oleh Michelangelo. Ia juga
mendorong seniman untuk bersemboyan I’art pour
I’art bukan I’art pour d’argent (seni untuk uang).

289
Lorenzo merupakan penerus Casimo, ia
tampil sebagai diplomat ulung, seniman dan
akhirnya menjadi penguasa di Florencea. Keturuan
lain keluarga Medici ada yang menjadi pemimpin
gereja yang tertinggi seperti Paus Leo X (1513-1521),
Paus Clemens VII (1523-1534), Paus Pius IV (1559-
1565), Paus Leo IX tahun 1605. Sejak Paus Leo X
tampil banyak pula paus yang menjadi peminat dan
pelindung karya seni serta mengangkat keturunan
Keluarga Medici menjadi Duke of Urban. Sementara
itu pada masa Paus Clemens VII, keturunan Medici
yang bernama Alessandro diangkat menjadi pendiri
dinasti Tuscani yang berkuasa hingga abad XVIII.
Dengan semakin kuatnya Renaissance
sekularisasi berjalan makin kuat. Hal ini menyebab-
kan agama semakin diremehkan bahkan kadang
digunakan untuk kepentingan sekulerisasi itu
sendiri. Semboyan mereka “religion was not highest
expression of human values”. Bahkan salah seorang
yang dilukiskan sebagai manusia ideal renaissance
Leon Batista Alberti (1404-1472), secara tegas berani
mengatakan “Man can do all things if they will”.
Renaissance mengajarkan kepada manusia untuk
memanfaatkan kemampuan dan pengetahuannya
bagi pelayanan kepada sesama. Manusia hendaknya
menjalani kehidupan secara aktif memikirkan
kepentingan umum bukan hidup bersenang-senang
dalam belenggu moral dan ilmu pengetahuan di
menara gading. Manusia harus berperan aktif
dalam kehidupan, bukan sifat pasif seraya pasrah
pada takdir. Namun, manusia menjadi pusat segala
hal dalam kehidupan atau Antoposentrisme.

290
Manusia renaissance harus berani memuji
dirinya sendiri, mengutamakan kemampuannya
dalam berfikir dan bertindak secara bertanggung
jawab, menghasilkan karya seni dan mengarahkan
nasibnya kepada sesama. Keinginan manusia untuk
menonjolkan diri baik dari keindahan jasmani
maupun kemampuan intelektual-intelektualnya.
Keinginannya itu dituangkan dalam berbagai karya
seni sastra, seni lukis, seni pahat, seni music dan
lain-lain. Ekspresi daya kemampuan manusia terus
berkembang sampai saat ini sehingga di zaman
modern ini pun tidak ada lagi segi kehidupan
manusia yang tidak ditonjolkan. Berikut daftar
tokoh besar pada masa renaissance:
1. Bidang seni dan budaya
a. Albrecht Dührer (1471-1528)
b. Desiserius Eramus (1466-1536)
c. Donatello
d. Ghirlandaio
e. Hans Holbein (1465-1506)
f. Hans Memling (1430-1495)
g. Hieronymus Bosch (1450-1516)
h. Josquin de Pres (1445-1521)
i. Leonardo da Vinci (1452-1519)
j. Lucas Cranach (1472-1553)
k. Michaelangelo (1475-1564)
l. Perugino (1446-1526)
m. Raphael (1483-1520)
n. Sandro Botticelli (1444-1510)
o. Tiziano Vecelli (1477-1526)
2. Penjelajahan
a. Christopher Columbus (1451-1506)

291
b. Ferdinand Magellan (1480?-1521)
3. Ilmu pengetahuan
a. Johann Gutenberg (1400-1468)
b. Nicolaus Copernicus (1478-1543)
c. Andreas Vesalius (1514-1564)
d. William Gilbert (1540-1603)
e. Galileo Galilei (1546-1642)
f. Johannes Kepler (1571-1642)
Sumbangan Renaissance Kepada Eropa:
1) Kemunculan aliran pemikiran yang mementing-
kan kebebasan akal seperti alirn baru Eropa
hingga abad ke 18 seperti Humanisme, rasional-
isme, nasionalisme dan absolutisme berani
mempersoalkan kepercayaan dan cara pemikiran
lama yang diamalkan selama ini secara langsung
melemhkan kekuasaan golongan feudal.
2) Itali telah menjadi pusat ilmu yang terkenal di
Eropah pada abad ke 15. Hal ini terjadi apabila
Kota constntinople dikuasai oleh Islam telah
jatuh ke tangan orang Barat pada tahun 1453.
Keadaan ini telah menyebabkan ramai para
ilmuan Islam berhijrah ke pusat-pusat
perdagangan di Itali. Ini menyebabkan Itali
menjadi pusat intelektual terkenal di Eropah
pada masa itu.
3) Renaissance telah membentuk masyarakat
perdagangan yang berdaya maju.Keadaan ini
telah melemahkan kedudukan dn kekuasaan
golongan feudal yang sentiasa berusaha
menyekat perkembangan ilmu dan masyarakat
di Eropah.

292
4) Melahirkan tokoh-tokoh pemikir seperti
Leonardo de Vinci yang terkenal sebagi pelukis,
pemuzik dan ahli falsafah serta jurutera.
Michelangelo merupakan tokoh seni, arkitek,
jurutera, penyair dan ahli anotomi.
5) Melahirkan ahli-ahli sains terkenal seperti
Copernicus dan Galileo.
6) Melahirkan ahli matematik seperti Tartaglia dan
Cardan yang berusaha menguraikan persamaan
ganda tiga. Tartaglia orang pertama yang meng-
gunakan konsep matematik dalam ketenteraan
iaitu mengukur tembakan peluru mariam.
Cardan terlibat dalam penghasilan ilmu algebra.
7) Selain itu, Renaissance telah melahirkan tokoh-
tokoh perubatan di Eropah.Antara tokoh
perubatan terkenal iaitu William Harvey yang
telah memberi sumbangan dalam kajian
peredaran darah.
8) Renaissance telah melahirkan masyarakat yang
lebih progresif sehingga membawa kepada
aktiviti penjelajahan
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk
membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom,
dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah (
terbelenggu ajaran Gereja ; disalahgunakan ) diganti
dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDM
nya sehingga manusia bisa berkembang.
Setelah Renaissance, pemikiran orang-orang
Eropa mengalami perubahan di bidang:
1. Perubahan pada SDM

293
a) Perubahan pola pikir emosional menjadi
rasional. Pemikiran yang rasional menjadi
dasar utama/satu-satunya jalan untuk
mengungkap rahasia alam, bukan melalui
agama. Agama gereja mulai ditinggalkan.
b) Pada jaman abad tengah, kehidupan di
Eropa diatur oleh ”Theosentris’’ yaitu segala
sesuatu berpusat pada kepercayaan. Namun
setelah muncul Renaissance, kehidupan
mereka diatur oleh ’’Anthroposentris’’ yaitu
segala sesuatu yang dilakukan berpusat
pada manusia. Pada abad tengah mereka
percaya pada takdir, tapi pada renaissance
mereka percaya pada nasib.
c) Pada jaman abad tengah segala sesuatu
dilakukan secara kolektif. Sebaliknya pada
jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan
secara individual.
d) Pada jaman abad tengah segala sesuatu
dilakukan berdasarkan spiritual. Dan di
jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan
berdasarkan materi.
2. Perubahan pada Kebudayaannya
Pada perubahan kebudayaan ini yang
ditekankan adalah membentuk manusia yang
humanis. Humanisme adalah proses pembentu-
kan manusia yang otonom, rasional, bebas,
bertanggungjawab, sehat fisik dan spiritual.
Perubahan kebudayaan ini adalah pada bidang
seni. Yaitu seni bangunan/arsitektur dan seni
lukis. Seniman lukis yang sangat terkenal pada
saat itu adalah Leonardo da Vinci , lewat karya

294
"Monalisa". Dan seniman patung Michelangelo,
yang terkenal dengan patung PIETA, yaitu
patung Yesus dipangkuan Bunda Maria.

B. Aufklarung
Lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi
terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada
bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada
bagian yang ditolak. Di dunia Islampun muncul
pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi,
namun juga banyak yang melakukan kritik
terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelek-
tual.
Konsep Ide Plato trus dipelajari dan di-
kembangkan, begitu juga konsep Akal dan Logika
Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya
tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa
ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan
para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi
berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant, Filsuf
kelahiran Jerman yang abad ke-18.
Menurut Kant, Fiksafat adalah ilmu
(Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua
pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah
epistemologi yang menjawab persoalan apa yang
dapat kita ketahui. Tampak adanya perbedaan yang
menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad
ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan
tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan
rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia,
dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini

295
adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka
tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan
sebagainya.1 Akan tetapi abad ke-18 menganggap
dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik
(sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan
akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun
didalam masyarakat.
John Locke yang mendominasi filsafat pada
abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang
mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal
abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa
sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelum-
nya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan
tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama.
Menurut Harun Hadiwijono, dahulu filsafat
mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi
hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang
orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia
berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran
filsafat dan juga menjadi tugas filsafat.
Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman
Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris
dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman
baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas
mencoba menyelesaikan pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul
dimana manusia lahir dalam keadaan belum
dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun
setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan
dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula
manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari
luar manusia demi kemajuan peradaban manusia.

296
Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman
itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya.
Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan
mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan
bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig
yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya
manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia
itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang
ada padanya,yaitu rasio.3
Sebagai latar belakangnya,manusia melihat
adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,
biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil
yang menggembirakan. Disisi lain jalannya filsafat
tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar
filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu
pengetahuan alam. Isaac Newton (1642-1727) mem-
berikan dasar-dasar berpikir dengan induksi, yaitu
pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan
mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya
umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan
demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru
dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah
dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para
tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-
program khusus diantaranya adalah berjuang
menentang dogma gereja dan takhayul populer.
Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-
metode rasional. Masa Pencerahan terjadi di tiga
negara Eropa, diantaranya sebagai berikut:
a. Pencerahan di Jerman
Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak
begitu bermusuhan sikapnya terhadap agama

297
Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang
orang juga berusaha menyerang dasar-dasar
iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu,
serta menggantinya dengan agama yang ber-
dasarkan perasaan yang bersifat pantheistic,
akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa
“perang” terbuka.
Yang menjadi pusat perhatian di Jerman
adalah etika. Orang bercita-cita untuk mengubah
ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu
menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan
kebaikan umum, yang dengan jelas menampak-
kan perhatian kepada perasaan. Sejak semula
pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan
rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu meng-
akibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri
sendiri.
Para perintisnya di antaranya adalah Samuel
Pufendorff (1632-1694), Christian Thomasius
(1655-1728). Akan tetapi pemimpin yang
sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian
Wolff (1679- 1754). la mengusahakan agar filsafat
menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan
berguna, dengan mengusahakan adanya pe-
ngertian yang jelas dengan bukti-bukti yang
kuat. Penting sekali baginya adalah susunan
sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-
gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas.
Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengis-
tilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan
menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pe-

298
mikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat
menarik perhatian umum.
Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu
usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan
menerapkan pemikiran itu pada segala bidang
ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang
kecil memang terdapat dari Leibniz. Hingga
munculnya Kant yang filsafatnya merajai univer-
sitas di Jerman. Orang yang seolah-olah dengan
tiba-tiba menyempurnakan Pencerahan adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan
Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada
dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat
maupun di Timur, hampir secara universal
diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa
Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa
filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini
bagaikan catatan kaki terhadap tulisannya. Ada
juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi
dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia
skolastik.
Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,
Jerman. Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya
membawa revolusi yang jauh jangkauannya
dalam filsafat modern.ia hidup dizaman
Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia
pergunakan untuk mempelajari logical process of
thought (proses penalaran logis), the external world
(dunia eksternal) dan reality of things (realitas
segala yang wujud).
Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi
dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman

299
kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut
pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff
dan kawan-kawan. Tetapi karena terpengaruh
oleh David Hume (1711-1776), berangsur-angsur
Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri me-
ngatakan bahwa Hume itulah yang mem-
bangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada
zaman kriitsnya, Kant merubah wajah filsafatnya
secara radikal.
Dilingkungan masyarakatnya, Kant sering
menjadi subjek karikatur secara tidak wajar,
semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku
sampai-sampai para tetangganya menyetel arloji
mereka menurut kedatangan dan kepergiannya
setiap hari, namun cerita semacam ini mungkin
justru mencerminkan integritas kehidupannya
yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri jika
kita ingin menilainya secara positif. Ketika
meninggal, epitaf di batu nisannya hanya
bertuliskan “Sang Filsuf” sebuah sebutan yang
dianggap tepat, dengan mempertimbangkan
bahwa periode filsafat yang bermula dengan
tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam
banyak hal dengan hadirnya Kant.
Dengan munculnya Kant dimulailah zaman
baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu
gagasan baru yang memberi arah kepada segala
pemikiran filsafat la sendiri memang merasa,
bahwa is meneruskan Pencerahan. Karyanya
yang terkenal dengan menampakkan kritis-
ismenya adalah Critique of Pure Reason. (kritik
atas rasio murni) yang membicarakan tentang

300
reason dan knowing process yang ditulisnya
selama lima belas tahun. Bukunya yang kedua
adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas
rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya
dan bukunya yang ketiga adalah Critique of
Judgment atau kritik atas daya pertimbangan.
Kant yang juga dikenal sebagai raksasa
pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat
merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan
yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang
dapat kita ketahui ?, Apa yang boleh kita
lakukan?, Sampai dimanakah pengharapan kita?
Dan Apakah manusia itu?
b. Pencerahan di Inggris
Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan
oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam
keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang
seorang lepas daripada yang lain, kecuali
tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu
gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut
Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada
abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan
gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut
pemberi alas ajaran agama alamiah. Menurut
Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di
bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan
kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia
menentang segala kepercayaan yang berdasar-
kan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di
bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin
meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alami-
ah dari agama.

301
Dasar pengetahuan di bidang agama adalah
beberapa pengertian umum yang pasti bagi
semua orang dan secara langsung tampak jelas
karena naluri alamiah, yang mendahului segala
pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran
kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan
umum segala manusia, karena kesamaan akal-
nya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama
dan kesusilaan.
Inilah asas-asas pertama yang harus dijabar-
kan oleh akal manusia sehingga tersusunlah
agama alamiah, yang berisi: a) bahwa ada Tokoh
yang Tertinggi; b) bahwa manusia harus berbakti
kepada Tokoh yang Tertinggi itu; c) bahwa
bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan
kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya
benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap
pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa
kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala
dan hukuman kepada manusia di dalam hidup
ini dan di akhirat. Menurut Herbert, di dalam
segala agama yang positif terdapat kebenaran-
kebenaran pokok dari agama alamiah. Pada
akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandang-
an Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik
yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif
maupun unsur-unsurnya yang positif.
c. Pencerahan di Perancis
Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba
gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di
Perancis sendiri (Descartes, dan lain-lain) telah
dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang

302
yang menjadi guru mereka adalah Locke dan
Newton. Perbedaan antara filsafat Perancis dan
Inggris pada masa tersebut adalah:
Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk
menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh
umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru
ini sejak semula diberikan dalam bentuk
populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat
ditangkap oleh golongan yang lebih luas , yang
tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini
menjadikan keyakinan baru itu memasuki
pandaangan umum. Demikianlah di Perancis
filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup
politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu.
Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di
Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam.
Agama Kristen diserang secara keras sekali
dengan memakai senjata yang diberikan oleh
Deisme.
Sama halnya dengan di Inggris demikian
juga di Perancis terdapat bermacam-macam
aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang me-
nyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensik-
lopedi, dan ada golongan materialis, yang
meneruskan asas mekanisme menjadi material-
isme semata-mata.
Diantara tokoh yang menjadi sentral pem-
bicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada
tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia
berkenalan dengan teori-teori Locke dan
Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua
tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan

303
akal manusia, dan b) di mana letak batas-batas
akal manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia
membicarakan soal-soal agama alamiah dan
etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah
mengusahakan agar hidup kemasyarakatan
zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal.
Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak
mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh
Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala
psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada
adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri.
Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas
kepada beberapa perintah kesusilaan, maka ia
menentang segala dogma, dan menentang
agama.
Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada
Jean Jacques Rousseau(1712-1778), yang telah
memberikan penutupan yang sistematis bagi
cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia
menentang Pencerahan, yang menurut dia,
menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan
yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik,
dengan terlalu percaya kepada pembaharuan
umat manusia melalui pengetahuan dan keadab-
an. Sebenarnya Rousseau adalah seorang filsuf
yang bukan menekankan kepada akal, melain-
kan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan
tetapi di dalam menghambakan diri ke-pada
perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan.
Terkait kebudayaan menurut Rousseau,
kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab
kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud

304
ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa
terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang
tampak di Perancis pada abad ke-18 itu.
Mengenai agama Rousseau berpendapat,
bahwa agama adalah urusan pribad.. Agama
tidak boleh mengasingkan orang dari hidup
bermasyarakat. Kesalahan agama Kristen ialah
bahwa agama ini mematahkan kesatuan
masyarakat. Akan tetapi agama memang di-
perlukan oleh masyarakat. Akibat keadaan ini
ialah, bahwa masyarakat membebankan
kebenaran-kebenaran keagamaan, yang penga-
kuannva secara lahir perlu bagi hidup ke-
masyarakatan, kepada para anggotanya sebagai
suatu undang-undang, yaitu tentang adanya
Allah serta penyelenggaraannya terhadap dunia,
tentang penghukuman di akhirat, dan sebagai-
nya. Pengakuan secara lahiriah terhadap agama
memang perlu bagi masyarakat, tetapi peng-
akuan batiniah tidak boleh dituntut oleh negara.
Pandangan Rousseau mengenai pendidikan
berhubungan erat dengan ajarannya tentang
negara dan masyarakat. Menurut dia, pendidi-
kan bertugas untuk membebaskan anak dari
pengaruh kebudayaan dan untuk memberi
kesempatan kepada anak mengembangkan ke-
baikannya sendiri yang alamiah. Segala se-suatu
yang dapat merugikan perkembangan anak yang
alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam
pendidikan tidak boleh ada pengertian
“kekuasaan” yang memberi perintah dan yang
harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada

305
dirinya sendiri. Hanya dengan cara demikian
ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan.
Juga pendidikan agama yang secara positif tidak
boleh diadakan. Anak harus memilih Sendiri
keyakinan apa yang akan diikutinya. Bagi
seorang muslim,paham seperti ini tentu sangat
menyesatkan. Harun Hadiwijono berkesimpulan
bahwa Pencerahan di Perancis memberikan
senjata rohani kepada revolusi Perancis.

306
BAB IX
RASIONALISME, EMPIRISME DAN KRITISISME

A. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang
benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan me-
nangkap objek.1
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empir-
isme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat
dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme
tidak mengingkari kegunaan indera dalam memper-
oleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan
untuk merangsang akal dan memberikan bahan-
bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi
sampainya manusia kepada kebenaran adalah
semata-mata akal.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan
bukunya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenar-
an mengandung makna mempunyai ide yang sesuai
dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan,
kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan hanya
dapat diperoleh dengan akal budi saja. Akal, selain
berkerja karena ada bahan dari indera, juga akal

1
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens”
(Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat
diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas,
sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Mohammad Adib,
Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), 48.

307
dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak ber-
dasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal
dapat juga mengahasilkan pengetahuan tentang
objek yang betul-betul abstraks dan tetap (tidak
berubah).2
“Rationalisms identify the intellect, the mind, or the
rational part of the soul (or even the State) as of
primary importance in receiving and holding
knowledge. The corresponding objects of knowledge are
then no sensory, general, and unchanging or eternal.”3
Descartes, seorang pelopor rasionalisme ber-
usaha menemukan suatu kebenaran yang tidak
dapat diragukan lagi. Ia yakin kebenaran-kebenaran
semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal
dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai
hal-hal yang tidak dapat diragukan.4
Dengan demikian, akal budi dipahamkan
sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif yang
dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan
kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran
yang akhirnya tersusunlah pengetahuan.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai ke-
lemahan, seperti mengenai kriteria untuk menge-

2
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum. (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 22.
3
Alan Nelson, “The Rationalist Impulse”, dalam Alan Nelson, A
Companion to Rationalism (Oxford: Blackwell, 2005), 4.
4
Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir Rene Descartes (1596-1650),
filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Waktu mudanya
dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat
gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah
mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh
pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa
dipercaya tanpa matematik. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu.
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), 50.

308
tahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut
seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi
meniru orang lain tidak.
Dari penjabaran diatas yaitu Aliran Rasional-
isme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio
(akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui
akal lah yang mememnuhi syarat yang dituntut oleh
sifat umum dan yang perlu mutlak.5
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu
pasti,6 tokoh filsafat rasionalisme diantaranya:
1. Rene Descartes (1596-1650)
Yang memberi alas kepada aliran ini ada
RENE DESCARTES atau CARTESIUS (1596-
1650) yang juga disebut ”Bapa Filsafat Modern”.
Semula ia belajar pada sekolah Yesuit dan ke-
mudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran
dan ilmu alam.7 Baru pada tahun 1619 ia mem-
peroleh jurusan yang pasti dalam studinya.
Menurut pendapatnya pada waktu itu ia men-
dapat wahyu Ilahi, yang isinya memberitakan
kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah
satu, tanpa bandingnya, serta harus disusun oleh
satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum.
Adapun yang harus dipandang sebagai yang
benar adalah apa yang jels dan terpilah (clear and
distinctly), artinya, bahwa gagasan-gagasan/ide-

5
A. Susanto, Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 32.
6
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya,
2009), 45.
7
Ibid., 48.

309
ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis
dari gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain.
Bukanlah maksud Descartes untuk mendirikan
filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab
ia memperhatikan sekali kepada realitas yang
ada. Sedang asas yang pertama adalah suatu
dalil yang eksistensial.8
Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara
mengenal atau mengetahui yang maju. Sekali-
pun demikian ilmu pasti bukanlah metode yang
sebenarnya bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pasti
hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang
paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah
itu sndiri adalah lebih umum. Segala gagasan
yang kita kenal dari kebiasaan dan perwarisan
atau dari kecenderungan, baru bernilai. Jikalau
secara metodis diperkembangkan dari instuisi
yang murni.
Kebenaran memang ada, dan kebenaran
dapat dikenal, asal jiwa kita berusaha untuk
membebaskan diri dari isinya yang semula.
Meniadakan jalan dari luar ke dalam dan mulai
lagi dengan jalan dari dalam ke luar. Seperti
yang dikemukakan diatas yang harus dipandang
sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan
terpilah-pilah.9
Sebagai contoh: kalau kita melihat orang
berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dan
lain-lain. Apa yang kita duga, kita lihat dengan
8
Seperti ungkapannya yaitu cogito ergo sum. Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 34.
9
Ibid., 40.

310
mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-
mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapat
di dalam rasio atau akal. Descartes diharuskan
oleh ketidakpastian yang terdapat pada zaman
itu.10 Pemikiran skolastik,11 seperti yang telah ia
terima, ternyata tidak tahu bagaimana harus
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif
yang dihadapinya. Ternyata bahwa wibawa
Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu
menghambat ilmu pengetahuan. Juga bentuk
yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance,
yang sering saling bertentangan, tidak berhasil
memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu penge-
tahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang
masih terlalui dipengaruhi oleh khayalan-
khayalan.12 Seolah-olah Descartes merasa
terdorong untuk membebaskan diri dari segala
pemikiran tradisional dan segala gagasan
filsafati yang ada pada zamannya. Untuk dapat
mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki
suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal

10
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 53.
11
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang
berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang
lebih sama yaitu ajaran atau sekolahan. Yang demikian karena sekolah
yang diadakan oleh Karel Agung yang mengajarkan apa yang
diistilahkan sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi mata pelajaran
gramatika, geometria, arithmatika, astronomi, musika, dandialekt ika.
Dialektika ini sekarang disebut logika dan kemudian meliputi seluruh
filsafat. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan
sekolah. Ahmad Syadali dan Mudzakir, “Filsafat Umum”, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), 17.
12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 19.

311
pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah me-
lalui keragu-raguan.13
Hanya ada satu hal yang tidak dapat di-
ragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku
meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan
melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku
berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku
ada (cogito ergo sum).14
Inilah suatu pengetahuan langsung yang
disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum
philosophicum). Aku berada karena aku berpikir.
Jadi aku adalah suatu yang berpikir cogito (aku
berpikir) adalah pasti, sebab cogito “jelas dan
terpilah-pilah”.
Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan
terpilah-pilah adalah pengertian “Allah” sebagai
tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau
berada dimana-mana/di dalam roh kita ada
suatu pengertian tentang sesuatu yang tiada
batasnya. Oleh karena kita sendiri adalah
makhluk yang terbatas. Maka tidak mungkin
bahwa pengertian tentang sesuatu yang tiada
batasnya itu adalah hasil pemikiran kita sendiri.
Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang
tidak bersifat bendawi dan yang tidak dapat
mati. Jika memiliki pemikiran sebagai sifat

13
Ibid., 54.
14
Semboyan yang langsung akrab muncul (exist) ketika membahas
filsafat.

312
asasinya. Tubuh memiliki sifat asasiya: ke-
luasan.15
Yang disebut substansi adalah apa yang
berada sedemikian rupan, sehingga tidak me-
merlukan sesuatu yang lain untuk berada.
Substansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya
hanya ada satu saja, yaitu Allah.
Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah
segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu
dan yang dapat berubah.16
Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas
juga bahwa roh atau jiwa memiliki sebagai sifat
asasinya: pemikiran (cogitation), dan memiliki
sebagai modinya: pikiran-pikiran individual,
gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran
yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya
berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah
pemikiran, sedang sifat asasi benda adalah
keluasan. Manusia bukanlah tujuan penciptaan
dan juga bukan menjadi pusatnya. Umat
manusia mewujudkan suatu organisme yang
besar, sedang perorangan adalah bagian dari
keseluruhan.17 Oleh karena itu jika perlu, per-
orangan harus mau berkorban demi kebaikan
keseluruhan umat manusia.
Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia telah
memberi suatu arah yang pasti kepada pemikir-

15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2003), 38.
16
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari
Metodologi sampai Teofilosofi. . (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 35.
17
Ibid., 37.

313
an modern, yang menjadikan orang dapat me-
ngerti aliran filsafat yang timbul kemudian
daripada dia, yaitu idealisme18 dan positivisme.19
2. Gootfried Eihelm von Leibniz
Gootfried Eihelm von Leibniz lahir pada
tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716
M. Ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan,
dan sejarawan. Metafisikanya adalah idea
tentang substansi yang dikembangkan dalam
konsep monad.20
Metafisika Leibniz sama memusatkan per-
hatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam sesta
ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung
kepada sebab, sementara substansi pada Leibniz
ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara
sederahana dapat dirumuskan ”sesuatu harus
mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus
mempunyai alasan untuk setiap yang dicintai-
Nya. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu
banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu
monad.21 Setiap monad berbeda dengan yang lain,
dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-

18
idealisme yang diyakini sebagai the way of our life till the end of our
life.
19
K. Bertebs , Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius,
1975), 74.
20
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia: Suatu
Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 32.
21
setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat aku
menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaranku itu merupakan
sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad
lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa
sehingga dari sudut pandang kesadaranku yang kacau, daun itu kusadari
dalam keadaan “jatuh”. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 57.

314
satunya monad yang tidak dicipta) adalah
Pencipta monad-monad itu.
3. Blaise Pascal (1623-1662 M)
Orang ketiga yang kita bicarakan adalah
Blaise Pascal (1623-1662). Yang adalah seorang
ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam dan seorang filsuf.
Ia berusaha untuk membela agama kristen, yang
mendapat serangan-serangan hebat karena
pemikiran modern ini. Di satu pihak ia sama
halnya dengan Descartes, mencintai ilmu pasti
dan ilmu alam, akan tetapi di lain pihak ia
menampakan perbedaan dengan Descartes.
Perbedaannya terletak pada pengertian
tentang sifat ilmu alam jauh melebihi Descartes.
Ia menerima serta menerapkan metode induktif
seperti yang dipakai di dalam ilmu alah. Ilmu
pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus
ditiru oleh seorang filsuf. Sebab seorang filsuf
pertama-tama harus menyelami keadaan
manusia yang konkrit dihadapi, orang demi
orang, bahwa realitas itu pada hakekatnya
adalah suatu rahasia.22
Filsafat pascal mewujudkan suatu dialog
diantara manusia yang konkrit dengan Allah. Di
dalam relitas hidup manusia terdapat tiga
macam tertib, yaitu: tertib bendawi, tertib rohani,
dan tertib kasih. Pengetahuan didapatkan dari
pengamatan di dalam pengamatan inderawi
tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan

22
Ibid., 58.

315
apa yang obyektif. Segala pengetahuan dimulai
dengan gambaran-gamabaran inderawi.
Kemudian ditingkatkan hingga sampai
kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi,
yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan
intuitif.23
4. Spinoza (1632-1677 M)
Didalam etikanya Spinoza mulai dengan
menguraikn hal afek-afek atau perasaan-
perasaan. Segala perasaan atau afek lainnya
diturunkan dari ketiga perasaan. Pertama-tama
yang diturunkan dari rasa gilang adalah kasih
(amor), sedang yang dirutunkan dari rasa sedih
adalah kebencian (odium). Lebih kemudian
diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari pada
kasih dan penghinaan (conteniptus) dari pada
kebencian.24
Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah
pengertian aktivitas. Aktivitaslah yang dapat
membawanya kepada kesempurnaan. Tujuan
pengenalan segala perasaan tadi adalah untuk
menguasainya. Barang siapa mengenal akan
segala perasannya, ia akan melihat gejala-gejala,
perasaan-perasaan itu dalam hubungannya
sehingga ia juga akan menguasainya. Di dalam
perealisasian diri dalam kasih yang akali inilah

23
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka
Setia, 1997, 25
24
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta :
Kanisius, 1980. 28

316
manusia berusaha menuju kepada Allah (amor
Dei intellectualis).25
Ajaran Spinoza di bidang metafisika
menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis yang
logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai
keseluruhan, mewujudkan suatu substansi tung-
gal. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa
tiap hal memiliki suatu subyek tunggal dan
suatu predikat tunggal, sehingga harus
disimpulkan, bahwa segala hubungan dan
kejamakan adalah semu.

B. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirisko,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya.
Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya,
pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
inderawi. Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu
disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera
yang satu dengan yang lainnya, berhubungan
dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek
yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-
masing indera menangkap aspek yang berbeda
mengenai barang atau makhluk yang menjadi
objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada
menurut perbedaan indera dan terbatas pada sen-
sibilitas organ-organ tertentu.26

25
Ibid., 29
26
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka
Setia, 1997, hal 116

317
John Locke (1632-1704), bapak empiris
Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis
buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa
manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahu-
an, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang
kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-
mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana,
lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah
pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks
pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujung-
nya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak
dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahu-
an yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah
sumber pengetahuan yang benar.27
“Empiricism is a theory that all knowledge is derived
from experience. The general principles of empiricism
are opposed primarily to those of rationalism.
Empiricists argue that allegedly a priori concepts can
be broken down into a combination of simpler
concepts derived from experience, or sometimes, and

27
John Locke lahir 29 Agustus 1632 meninggal 28 Oktober 1704. Ia
seorang filsuf abad ke-17 ternama dalam bidang kemasyarakatan dan
epistemologi. Gagasan terkenal John Locke adalah mengenai bentuk
pemerintahan. Ia menjelaskan "Pemerintah adalah manifestasi dari yang
diperintah". Idenya Menjadi pondasi bagi konsep hukum dan
pemerintahan Amerika. Dalam bidang epistemologi dan filsafat,
pemikiran John Locke juga memiliki banyak pengaruh signifikan di
Amerika. Locke diposisikan dalam kelompok yang disebut empiris
nggris,bersama David Hume dan George Berkeley. Karya-karya besar
John Locke antara lain (1) Essay Tentang Memahami Manusia (1689) ,
(2) A Letter Concerning Toleration (1690), (3) Essay tentang
Pemerintahan Sipil (1690). Ibid., 120.

318
more radically, that they are not genuine concepts at
all.”28
David Hume, salah satu tokoh empirisme
mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber
pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan
memberikan dua hal, yaitu:29
1. Kesan-kesan (impression)
adalah pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar.
2. Ide-ide (ideas)
adalah gambaran tentang pengamatan yang
samar-samar yang dihasilkan dengan merenung-
kan kembali atau terefleksikan dalam kesan-
kesan yang diterima dari pengalaman.
Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan
kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat
dinyatakan lewat pancaindera.
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola
konsep gagasan inderawi. Kaum empiris juga me-
nganggap akal sebagai sejenis tempat penam-

28
Errol Bedford, “Empiricism”, dalam Jonathan Rée dan J. O. Urmson,
The Concise Encyclopedia of Western Philosophy (London: Routledge,
2004), 107.
29
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada April 26, 1711 anak bungsu
dalam keluarga yang baik tetapi tidak kaya. Ayahnya meninggal ketika
Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya di perkebunan
keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang
sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi
terhadap sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa
filsafat Hume adalah skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia
masuk Universitas Edinburgh, studi pada hukum sesuai keinginan
ibunya (Lavine, 1984: 137). Selama tiga tahun studi hukum dia
membangun pandangan filsafatnya. Ibid., 121.

319
pungan yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk
memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa
tersebut, padahal hubungan yang demikian itu
bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita
tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya
berasal dari pengalaman.
Diantara tokoh dan pengikut aliran Empir-
isme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Lock dan lainnya.30
1. Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon31 bahwa pengetahu-
an yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuah inderawi
dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan
sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan
haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon
selanjutnya: Kita sudah terlalu lama dipengaruhi
oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma di-
ambil kesimpulan. Itu tidak benar, haruslah kita
sekarang memperhatikan yang konkrit me-
ngelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.

30
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 62.
31
Francis Bacon, lahir di London, Inggris dan belajar di Cambridge. Dia
terkenal sebagai penemu praktek metode ilmiah. Dia bermaksud
meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama dan mengusahakannya yang
baru. Francis Bacon adalah peletak dasar bagi metode induksi modern
dan menjadi pelopor yang mensistimatisasi secara logis produser ilmiah.
Seluruh filsafatnya bersifat praktis, yaitu untuk menjadikan manusia
menguasai kekuatan – kekuatan alam dengan perantaraan penemuan –
penemuan ilmiah.

320
2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Thomas Hobbes32 berpendapat
bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan
segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat
disentuh dengan inderalah yang merupakan
kebenaran. Pengetahuan interlektual (rasio) tidak
lain hanyalah merupakan penggabungan data-
data inderawi belaka.
3. John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah filosuf Inggris yang banyak
mempelajarai agama Kristen. Filsafat Locke
dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima
keraguan sementara yang diajarkan oleh
Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang diguna-
kan oleh Descaretes. Ia juga menolak metoda
deduktif Descartes dan menggantinya dengan
generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi,
induksi.
Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia
hanya menerima pemikiran matematis yang
pasti dan cara penarikan dengan metode
induksi.

32
dilahirkan pada 5 April 1588 di Malmesbury, Wiltshire, Inggris.
Hobbes merupakan tokoh penting dalam perkembangan filsafat, ilmu
pengetahuan, dan ilmu politik modern. Salah satu karya Hobbes adalah
Leviathan (1651). Karya ini mengungkap tentang hubungan kekuasaan
antara indvidu dengan negara. Dalam karyanya itu, Hobbes mengatakan
manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak
milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua lawan semua
(Bahasa Latinnya homo homini lupus yang berarti manusia adalah
serigala bagi sesamanya).

321
Buku Locke, Essay Concerming Human
Understanding (1689 M), ditulis berdasarkan satu
premis, yaitu semua pengetahuan datang dari
pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat
dijadikan idea untuk konsep tentang sesuatu
yang berada di belakang pengalaman, tidak ada
idea yang diturunkan seperti yang diajarkan
oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak
adanya innate ide; termasuk apa yang diajarkan
oleh Descartes, Clear and Distinict Idea. Adequate
idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz,
semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu
tidak ada. Inilah argumennya.33
a. Dari jalan masuknya pengetahuan kita
mengetahui bahwa innate itu tidak ada.
Memang agak umum orang beranggapan
bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempel-
kan pada jiwa manusia, dan jiwa membawa-
nya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan
telah cukup menjelaskan kepada kita
bagaimana pengetahuan itu datang, yakni
melalui daya-daya yang alamiah tanpa
bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita
sampai pada keyakinan tanpa suatu
pengertian asli
b. Persetujuan uum adalah argumen yang
terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang adanya innate
idea justru saya jaidkan alasan untuk me-
ngatakan ia tidak ada

33
Ibid., 65.

322
c. Persetujuan umum membuktinkan adanya
innate idea
d. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah
meungkin diakui dan sekaligus juga tidak
diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan
ada innate idea justru saya jadikan alasan
untuk mengatakan ia tidak ada
e. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada
jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate itu
tidak ada padahal anak normal dan anak
idiot sama-sama berpikir.
Ia mengatakan bahwa apa yang dianggap-
nya substansi ialah pengertian tentang obyek
sebagai idea tentang obyek itu yang dibentuk
oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.
Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan
bahwa idea itu adalah substansi obyek, substansi
kita tidak tahu.
Persoalan substansi agaknya adalah per-
soalan metafisika sepanjang masa; Berkeley dan
Hume masih juga membicarakannya.
4. David Hume (1711-1776 M)
Solomon menyebut Hume sebagai ultimate
skeptic, skeptic tingkat tertinggi. Ia dibicarakan di
sini sebagai seorang skeptis, dan terutama
sebagai seorang empiris. Menurut Bertrans
Russel, yang tidak dapat diragukan lagi pada
Hume ialah seorang skeptis.
Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739
M), ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu
tatakala ia berumur dua puluh tahunan bagian
awal. Buku itu tidak banyak menarik perhatian

323
orang, karenanya. Hume pindah ke subyek lain,
lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai
sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia
menulis buku yang memang terkenal. An
Enquiry Concerning Human Understanding. Baik
buku Treatise maupun buku Enquiry kedua-
duanya menggunakan metoda Empirisme, sama
dengan John Locke. Sementara Locke hanya
sampai pada idea yang kabur yang tidak jelas
berbasi pada sensasi (khususnya tentang subs-
tansi dan Tuhan), Hume lebih kejam.34
5. Herbert Spencer (1820-1903 M)
Filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori
evolusi.sembilan tahun sebelum terbitnya karya
Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859
M), Spencer sudah menerbitkan bukunya
tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas
dalam filsafatnya tentang the great unknowable.
Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali
fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Secara
prinsip pengenalan kita hanya menyangkit
relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang
gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer di-
sebut yang tidak diketahui (the great unknowable).35
Akhirnya Spencer mengatakan : idea-idea
keilmuan pada akhirnya adalah penyajian realistis
yang tidak dapat dipahami”. Inilah yang dimaksud
dengan the great unknowable, teka-teki besar.36

34
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, 122.
35
Harun Hadiwijino. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 36
36
Ibid.

324
Jadi, dalam empirisme, sumber utama
untuk memperoleh pengetahuan adalah data
empiris yang diperoleh dari pancaindera.Akal
tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu se-
batas ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak
kelemahan, antara lain:37
1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan
kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata
tidak. Keterbatasan inderalah yang meng-
gambarkan seperti itu. Dari sini akan ter-
bentuk pengetahuan yang salah.
2. Indera menipu, pada orang yang sakit
malaria ,gula rasanya pahit, udara akan
terasa dingin. Ini akan menimbulkan penge-
tahuan empiris yang salah juga.
3. Objek yang menipu, contohnya fatamorgana
dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia
membohongi indera.
4. Berasal dari indera dan objek sekaligus.
Dalam hal ini, indera(mata) tidak mampu
melihat seekor kerbau secara keseluruhan,
dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihat-
kan badannya secara keseluruhan.
Kesimpulannya ialah empirisme lemah
karena keterbatasan indera manusia.

37
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, 128.

325
C. Kritisisme
Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian
Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,
terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme terus berlanjut.
Masing-masing berebut otonomi. Kemudian
timbul masalah, siapah sebenarnya dikatakan
sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang
benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba
menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant
mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian ter-
pengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun
demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya,
karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme ter-
kandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui
kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan
dapat mencapai kebenaran.empirsme. 12 Aliran
Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah
filsafat yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant.
Kant sebagai tokoh terpenting masa
Aufklarung menghendaki adanya emansipasi
pemikiran dan politik. Masa Aufklarung adalah
seperti yang dirumuskan dalam sebuah esai untuk
mendefinisikan keadaan “kemunculan manusia dari
ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri”. Semboyan
utamanya adalah „Sapere Aude‟ (Beranilah Berpikir
Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant
menulis:
“our age is, in special degree, the age of criticism, and
to criticism everything must submit. Religion through
its sanctity, and law-giving through its majesty, may
seek to exempt themselves from it. But they then

326
awaken just suspicion, and cannot claim the sincere
respect which reason accords only to that which has
been able to sustain the test of free and open
examination.”38
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan
menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesai-
kan oleh Kant dengan kritisismenya. Adapun ciri-
ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
1) Menganggap bahwa objek pengenalan itu ber-
pusat pada subjek dan bukan pada objek.
2) Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio
manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau
gejalanya atau fenomenya saja.
Pendirian aliran rasionalisme dan Empirisme
sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendiri-
an bahwa rasiolah sumber pengalan/pengetahuan,
sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa
pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.39
Immanuel Kant (1724-1804 M)40 berusaha meng-

38
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (New York:
Routlegde.1999), 2.
39
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 84.
40
Immanuel Kant (Königsberg, 22 April 1724 – Königsberg, 12 Februari
1804) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah
Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi
pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui
manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: Apa-
apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan
panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi
sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif

327
adakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan
filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang
krisis). Untuk itulah ia menulis 3 buku yang
berjudul :41
1) Kritik der Rainen Vernuft (kritik atas rasio murni)
2) Kritik der Urteilskraft (kritik atas dasar per-
timbangan)
3) Kritik rasio praktis
Menurut Kant dalam pengenalan inderawi
selalu sudah ada 2 bentuk apriori, yaitu ruang dan
waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur
subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas
dari subyek yang mengindera, tetapi realitas (das
ding an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah
dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang
merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari
luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu
(apriori).42
Melalui filsafatnya, Kant bermaksud me-
mugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan.
Agar maksud itu terlaksana, orang harus meng-
hindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan
sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah
menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada
diri subjeknya, lepas dari pengalaman.

kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal


ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang
mencuri, masyarakat tidak akan jalan. Yang bisa diharapkan manusia
ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan
manusia.
41
Ibid., 85.
42
Harun Hadiwijino. Sari Sejarah Filsafat., 41.

328
Adapun empirisme mengira telah memper-
oleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata
empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang
murni tentang pengalaman, tetap melalui idealisme
subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang
radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan
penelitian yang kritis terhadap rasio murni.
Menurutnya, syarat dasar bagi segala ilmu penge-
tahuan adalah: bersifat umum dan mutlak dan yang
kedua adalah memberi pengetahuan baru.
Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang
lebar antara kebenaran–kebenaran rasio murni
dengan realitas dalam dirinya sendiri. Salah satu
tujuan filsafat Kant yang disebut sebagai filsafat
kritis, dengan metodenya yang dikenal dengan
sebutan metode transendental, dimana pengetahuan
mencerminkan struktur kategoris pikiran, ialah
memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis
terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep
yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika
Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman
aktual manusia. Dan berikut kami paparkan kritik
terhadap rasionalisme, empirisme dan kombinasi
antara keduanya:
1. Kritik terhadap Rasionalisme
Dalam hal ini ada tiga macam kritik yang
dilontarkan Kant yaitu:
1) Critique of Pure Reason (kritik atas rasio murni)
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai
suatu usaha besar untuk mendamaikan
rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme
mementingkan unsur apriori dalam pengenal-

329
an, berarti unsur –uunsur yang terlepas dari
segalah pengalaman.Sedangkan Empirisme
menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti
unsur-unsur yang berasal dari pengalaman(
seperti Locke yang menganggap rasio sebagai
Lembaran putih (as a white paper). Menuru
Kant ,baik rasionalisme maupun empirisme
kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha
menjelaskan bahwa pengalaman manusia
merupakan perpadun antara sintesa unsur-
unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Walaupun Kant sangat mengagumi
empirisme Hume, empirisme yang bersifat
radikal dan konsekuen, ia tidak dapat
menyetujui skeptisime yang dianut Hume
dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu
pengetahuan kita tidak mampu mencapai
kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah
menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam
yang dirumuskan Newton memperoleh
sukses besar. Kant mengadakan suatu
revolusi filsafat.Ia berkata bahwa ia ingin
mengusahakan suatu “revolusi kopernikan”
yang berarti suatu revolusi yang dapat
dibandingkan dengan perubahan revolusioner
yang dijadikan Copernicus dalam bidang
astronomi.
Dahulu para filsuf telah mencoba
memahami pengenalan dengan mengandai-
kan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada
objek. Kant mengerti pengenalan dengan
berpangkal dari anggapan bahwa objek meng-

330
arahkan diri pada subjeek. Sbagaimna
Copernicus menetapkan bahwa bumi ber-
putar sekitar matahari dan bukan sebaliknya,
demikkian juga Kant memperlihatkan bahwa
pengenalan berpusat pada subjek bukan pada
objek.
2) Critique of Practical Reason (kritik atas rasio
praktis)
Rasio dapat menjalankan ilmu penge-
tahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis
atau menurut istilah Kant sendiri adalah rasio
murni. Akan tetapi,di samping rasio murni
terdapat apa yang disebut rasio praktis yaitu
rasio yang mengatakan apa yang harus kita
lakukan,atau dengan kata lain,rasio yang
memberi perintah kepada kehendak kita. Kant
memperlihatkan bahwa rasio praktis mem-
berikan perintah yang mutlak yang disebut-
nya sebagai imperatif kategori.16
Kant kemudian bertanya, Bagaimana
keharusan itu mungkin? Apakah yang me-
mungkinkan keharusan itu? Prinsip pokok
untuk menjawab pertanyaan ini adalah, kalau
kita harus,maka kita bisa juga. Seluruh
tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika
kita wajib membuat apa yang tidak bisa
dilakukan.Kant beranggapan bahwa ada tiga
hal yang harus disadari sebaik-baiknya
bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya
dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya
ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiganya
yang dimaksud adalah: Kebebasan kehendak,

331
immoralitas jiwa dan yang ketiga adalah
adanya Allah.
3) Critique of judgment atau kritik atas daya
pertimbangan
Critique of judgment atau kritik atas daya
pertimbangan sebagai konsekuensi dari”kritik
atas rasio murni daan “kritik atas rasio praktis
adalah munculnya dua lapangan tersendiri
yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang
alam dan lapangan kebebasan di bidang
tingkah laku manusia. Maksud dari kritik of
judgment ialah mengerti kedua persesuaian
kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan
menggunakan konsep finalitas (tujuan).
Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif.
Kalau filsafat bisa bersifat subjektif,manusia
mengarahkan objek pada diri manusia itu
sendiri. Inilah yang terjadi didalam peng-
alaman estetis (seni). Pengaalaman estetis itu
diseleidiki dalam bagian pertama bukunya,
berjudul Kritik der Astheischen Urteiilskraft.
Dengan finalitas yang bersifat objektif
dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari
benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu
diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu Kritik der
Theoligischen Unteilskraft.17 Kant terdorong
untuk menggagas metode filosofisnya karena
alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia
bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain
maju pesat tetapi metafisika tidak demikian.
Bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme
adalah sebagai berikut :

332
1) Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea
yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
Eksistensi tentang idea yang sudah pasti
maupun yang bersifat bawaan itu sendiri
belum dapat dilakukan oleh semua
manusia dengan kekuatan dan keyakinan
yang sama. Lebih jauh terdapat perbedaan
pendapat yang nyata di antara kaum
rasionalis itu sendir mengenai kebenaran
dasar yang menjadi landasan dalam me-
nalar. Plato,St. Augustine dan Descratws
masing-masing mengembangkan teori-teori
rasional sendiri yang masing-masing ber-
beda.
2) Banyak diantara manusia yang berpikiran
jauh,merasa bahwa mereka menemukan
kesukaran yang besar dalam menerapkan
konsep rasional kepada masalah kehidupan
yang praktis. Kecendrungan terhadap
abstraksi dan kecendrungan dalam me-
ragukan serta menyangkal syahnya pe-
ngalaman keinderaan telah dikritik habis-
habisan.
Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh
bahwa kaum rasionalis memperlakukan
idea atau konsep seakan-akan mereka
adalah benda yang obyektif. Menghilang-
kan nilai dari pengalaman keinderaan,
menghilangkan pentingnya benda-benda
fisik sebagai tumpuan ,lalu menggantinya
dengan serangkaian abstraksi yang samar-
samar,dinilai mereka sebagai suatu metode

333
yang sangat meragukan dalam mem-
peroleh pengetahuan yang dapat diandal-
kan.
3) Teori rasional gagal dalam menjelaskan
perubahan dan pertambahan pengetahuan
manusia selama ini. Banyak dari idea yang
sudah pasti pada suatu waktu kemudian
berubah pada waktu yang lain. Pada suatu
saat dalam sejarah, idea bahwa bumi
adalah pusat dari sistem matahari hampir
diterima secara umum sebagai suatu per-
nyataan yang pasti.
2. Kritik terhadap Empirisme
Empirisme didasarkan pada pengalaman.
Tetapi apakah yang disebut pengalaman?
a. Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan
panca indera. Lain kali dia muncul sebagai
sebuah sensasi ditambah dengan
penilaian.Sebagai sebuah konsep,ternyata
pengalaman tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan obyektif yang sangat
ditinggikan oleh kaum empiris. Kritukus
kaum empiris menunjukkan bahwa fakta
tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti.
Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan
di antara mereka terhadap pengamat yang
netral. Jika dianalisis secara kritis maka
”pengalaman” merupakan pengertian yang
terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi
sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
b. Sebuah teori yang sangat menitiberatkan pada
persepsi pancaidera kiranya melupakan

334
kenyataan bahwa pancaindera manusia
adalah terbatas dan tidak sempurna.
Pancaindera kita sering menyesatkan di mana
hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri.
Empirisme tidak mempunyai perlengakapan
untuk membedakan antara khayalan dan
fakta.
c. Empirisme tidak memberikan kita kepastian.
Apa yang disebut pengetahuan yang
mungkin, sebenarnya merupakan pengetahu-
an yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus
berjaga-jaga dan mempunyai urutan penga-
laman indera yang tak terputus-putus.20
3. Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa
ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-
empiris dalam memperoleh pengetahuan.
Memang terdapat beberapa alasan untuk
mendukung penilaian ini karena ilmuwan
mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu,
melakukan pengamatan dan mempergunakan
data inderawi, Walau demikian, analisis yang
mendalam terhadap metode keilmuan akan
menyingkapkan kenyataan, bahwa apa yang
dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya
mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan
sebagai suatu kombinasi antara prosedur
empiris dan rasional.

335
BAB X
POSITIVISME, IDEALISME

A. Positivisme
Positivisme berasal dari kata positif.1 Kata
positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa
yang berdasarkan fakta-fakta. Secara istilah,
positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal
dari fakta yang positif positif yang diluar fakta atau
kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Abad ke-19 dapat di-
katakan sebagai abad positivisme dengan tokohnya
Auguste Comte (1798-1857),2 karena pengaruh
aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern.
Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia
sehingga tidak lagi memandang penting berfikir
yang bersifat abstrak.3

1
Positivisme adalah suatu aliran filasafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisika, tidak mengenal adanya
spekulasi, semua di dasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat,
sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai
sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme merupakan
empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan
empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang
dapat menjadi pengaruh.
2
Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di
Montpellier, Perancis, 17 Januari1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5
September1857 pada umur 59 tahun adalah seorang filsufPerancis yang
dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran
positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang
digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah
dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.
3
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 87.

336
Kata kunci Positivisme terletak pada kata
positif itu sendiri yaitu lawan dari khayal, merupa-
kan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya
didasarkan pada kemampuan.Kata positif juga
lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan
disinilah terjadi progress (kemajuan).Positif juga
berarti jelas dan tepat.4Disinilah diperlukan filsafat
yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena
dengan tepat dan jelas.Positif juga lawan dari kata
negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah
yang menuju kepada penataan atau penertiban.
“Positivism is an empiricist movement according to
which a proposition is meaningful if and only if it
concerns the relation of ideas (definitions) or if the
truth or falsehood of the proposition is evident (in
principle) empirically.”5
Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte
didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang
menunjuk adanya gejala yang umum yang mem-
punyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang
kompleks dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang
dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan se-
cara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi,
dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi.6
4
Positivism. Doctrin associated with COMTE who adopted the term
„positive‟ to convey six features of things; being real, useful, certain,
precise organic, relative. He used it of his , which insisted on applying
the scientific attitude not only to the sciences but also to human affairs.
(A ditionary of philosophy: 261, A.R Lacey. 1996. New York penerbit:
Routledge)
5
Charles Taliaferro dan Elsa J. Marty (ed.), A Dictionary of Philosophy
of Religion (New York: Continuum, 2010), 140.
6
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat
Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 56.

337
Penggolongan tersebut mensyaratkan adanya
perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang
paling cepat perkembangannya adalah yang seder-
hana dan umum objeknya. Selain itu ada juga yang
paling lambat perkembangannya adalah yang
paling kompleks objek permasalahannya, misalnya
fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga
tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik
atau abstrak, dan tahap positif atau riil. Tahap
teologi atau fiktif merupakan tahap dimana
manusia menggambarkan fenomena alam sebagai
produk dari tindakan langsung, hal yang berifat
supranatural.Pada tahap ini manusia mencari dan
menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir
segala sesuatu yang ada dengan selalu meng-
kontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya
mutlak.7
Tahap metafisik merupakan tahap dimana
kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh
kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya
mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang
dapat diamati. Dogma-dogma telah ditinggalkan
dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan
secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat
magis digantikan dengan analisis berfikir untuk
membedakan yang natural dan supranatural, yang
fisik dan metafisik sehingga manusia berperan
sebagai subjek yang berjarak dengan objek.Comte

7
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. (Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin,
2001), 44.

338
menggambarkan sebagai tahap perkembangan
manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat
mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa
peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap
yang menentukan menuju tahap positivisme.
Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang
mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari
kejadian alam, kemudian berubah kepada penemu-
an hukum-hukum yang menyelimuti dengan
menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap
ini merupakan tahap science dengan tugas pokok
memprediksi fenomena alam dalam rangka me-
manfaatkannya.Manusia telah sampai pada penge-
tahuan yang positif yang dapat dicapai melalui
observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-
hukum umum. Pengetahuan yang demikian
menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas
dan bermanfaat.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya,
yang pada tahap akhir perkembangan akal budi
manusia menjadi pedoman hidup dan landasan
kultural, institusional dan kenegaraan untuk
menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka
dan sejahtera.Bangunan ilmu pengetahuan positif
itu adalah sebagai berikut:8
Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus
bersifat objektif (bebas nilai dan netral).Objektivitas
pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak
subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang
ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya di-

8
Ibid., 50.

339
pengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian
etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, keper-
cayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa
mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang
diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan
dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam
observasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat
ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori
ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-
kejadian yang dapat diobservasi saja.
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya
berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi.
Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan
kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi,
maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita
untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang
akan terjadi. Padahal ramalan atau prediksi me-
rupakan suatu tujuan terpenting ilmu penge-
tahuan.
Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti
setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ke-
tergantungan antar hubungannya dengan fenomena
lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu
sama lain dan membentuk suatu sistem yang
bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarah-
kan kepada hakekat dari gejala-gejala melainkan
pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat,
antara benda-benda, gejala atau kejadian-kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu
pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah,
dan universal pada akhirnya membawa dirinya

340
pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam
tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan
bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran
yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian
subjektif dan berlaku universal.9 Oleh sebab itu
suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai
dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan
statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu
pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi
metafisika.
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah
mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan
dasar yang mereka gunakan dalam mengung-
kapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan
bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi
pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya
manusia, namun secara sistematis dimulai sejak
abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para
penerusnya mengembangkan cara pandang
positiveisme, yang memperoleh sukses besar
sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengem-
bangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia,
yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga per-
tanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi
beberapa dimensi.
1. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus
dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa
sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat

9
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 90.

341
diketahui (knowable), atau apa sebenarnya
hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan
demikian dimensi yang dipertanyakan adalah
hal yang nyata (what is nature of reality?).
2. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus
dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa
sebenarnya hakikat hubungan antara pencari
ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know
atau knowable)?
3. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan
adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan
penelitian.
4. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah
bahasa yang digunakan dalam penelitian.
5. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus
menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau
metodologi yang dipakai seseorang dalam
menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahu-
an?
Jawaban terhadap kelima dimensi pertanya-
an ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu
untuk menentukan paradigma apa yang akan
dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia
ilmu pengetahuan.Keyakinan dasar aliran ini ber-
akar dari paham ontologi realisme yang menyata-
kan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang
berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).
Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.

342
Positivisme merupakan empirisme, yang
dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau
lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat
menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama
diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatian-
nya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika
yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme
(empirio-positivisme) berawal pada tahun 1870-
1890-an dan berpautan dengan Mach dan
Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahu-
an formal tentang obyek-obyek nyata obyektif,
yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan
ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir
berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-
tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank,
dan lain-lain. Serta kelompok yang turut
berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga
ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah
aliran seperti atomisme logis, positivisme logis,
serta semantika. Pokok bahasan positivisme

343
tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa,
logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah
dan lain-lain.
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek
studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta
sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem
hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lain.
Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme,
informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian
kepada individu yang dijadikan responden peneliti-
an. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang
pencari kebenaran (penelitian) harus me-nanyakan
langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada
penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemo-
logi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang
layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa
adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena
itu secara metodologis, seorang penelitian meng-
gunakan metodologi eksperimen-empirik untuk
menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul
objektif dalam menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.Mereka mencari ketepatan yang tinggi,
pengukuran yang akurat dan penelitian objektif,
juga mereka menguji hipotesis dengan jalan
melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan
yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, di-
tetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat sebagai

344
berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat
di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur
(measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pe-
gangan para ilmuwan untuk mengungkapkan
kebenaran realitas.Kebenaran yang dianut positive-
isme dalam mencari kebenaran adalah teori kores-
pondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa
suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-
fakta empiris yang mendukung pernyataan
tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan
dianggap benar apabila materi yang terkandung
dalam pernyataan tersebut bersesuaian (kores-
podensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut. Setelah positivisme ini berjasa
dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun),
kemudian berkembang sejumlah „aliran‟ paradigma
baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu
dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam perkembangannya, positivisme
mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga
munculah aliran pemikiran yang bernama
Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh
tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam
filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal
yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau
pada analisis definisi dan relasi antara istilah-
istilah.Fungsi analisis ini mengurangi metafisika
dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi

345
konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah
yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan
pada positivisme logis ini adalah untuk meng-
organisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam
suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu”
yang juga akan menghilangkan perbedaan-
perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika
dan matematika dianggap sebagai ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan penge-
tahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen
yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya.Tekanan positivistik menggaris bawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional
yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak
mempunyai arti faktual sampai pernyataan-
pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah korespondensi.

B. Idealisme
Ide adalah rancangan yang tersusun dalam
pikiran; gagasan; cita. Idealisme adalah aliran
filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan
nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang
ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari
dunia itu sendiri. Idealisme memandang ide itu
primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder.
Ide itu timbul atau ada lebih dahulu, baru
kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini
timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau

346
pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih
dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada. Ada juga
yang mengatakan bahwa idealisme adalah pema-
haman yang berpendapat bahwa pengetahuan itu
tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia,
sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu
terletak di luarnya. Idealisme merupakan kebalikan
dari materialisme yang berpendapat bahwa materi-
lah yang lebih utama dan lebih dulu ada dibanding-
kan dengan ide.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai
idealisme dan materialisme, terlebih dahulu kita
harus mengetahuai dan memahami bahwa ideal-
isme dan materialisme dalam filsafat memiliki
perbedaan makna dengan idealisme dan material-
isme dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita
merujuk seseorang sebagai "idealis", kita biasanya
berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-
ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat.
Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai
seorang yang tidak punya prinsip, seorang
pengeruk uang, seorang individualis yang hanya
memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah
untuk makanan dan benda-benda duniawi lain,
pendeknya, seorang yang sama sekali tidak
menyenangkan dan mengutamakan materi di atas
segalanya. Dalam filsafat, idealisme memiliki akar
dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan
dari ide, pikiran, roh atau lebih tepatnya ide, yang
hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda
material kasar yang kita kenal melalui indera kita

347
menurut aliran ini hanyalah salinan yang kurang
sempurna dari ide yang sempurna itu.
Aliran idealisme merupakan aliran yang
sangat penting dalam perkembangan sejarah
pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat
kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari
Plato. Yang menyatakan bahwa alam cita itu adalah
yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun
alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah
berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles
memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya
yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu
tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda
dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.
Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak
pernah faham idealisme hilang sama sekali.
Di masa abad pertengahan malahan satu-
satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli
pikir adalah dasar idealisme ini. Selain itu, segenap
kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada
penganut Idealisme yang paling setia sepanjang
masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil
filsafat yang mendalam. Puncak zaman Idealiasme
pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode
Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya
di Eropa. Realitas muncul dari apa yang ada dalam
cara berfikir, yang berkaitan dengan isi dan struktur
pikiran. Istilah ini berasal dari ide daripada yang
ideal dan lebih terkait dengan metafisika dari etika,
kontras dengan realisme dan juga dengan material-
isme.

348
Aliran idealisme merupakan suatu aliran
ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut
Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata
bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran
asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide.
Aliran ini memandang serta menganggap bahwa
yang nyata hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap
atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran,
yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide.
“Idealism is the philosophical doctrine that reality is
somehow mind-correlative or mind-coordinated; that the real
objects constituting the “external world” are not
independent of cognizing minds, but exist only as in some
way correlative to mental operations.”10
Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud
lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat
dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan
idealisme adalah gambaran dari dunia ide, sebab
posisinya tidak menetap. Sedangkan yang di-
maksud dengan ide adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaan-
nya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh
material. Pada kenyataannya, ide digambarkan
dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa
bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh
yang dikatakan dunia idea.

10
Nicholas Rescher , “Idealism”, dalam Robert Audi, The Cambridge
Dictionary of Philosophy (New York: Cambridge University Press,
1999), 412.

349
Plato yang memiliki filsafat beraliran ideal-
isme yang realistis mengemukakan bahwa jalan
untuk membentuk masyarakat menjadi stabil
adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi
setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas
masing-masing dalam masyarakat secara keseluruh-
an. Mereka yang memiliki kebajikan dan ke-
bijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi
yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misal-
nya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof,
perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak.
Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka
yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan
dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superi-
oritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta
dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran
tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan
doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato me-
ngemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya
satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan.
Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam
menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang
pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat
untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai
segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia ide adalah pekerjaan
rohani yang berupa angan-angan untuk mewujud-
kan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan
metafisis di luar alam yang nyata. Menurut
Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk me-

350
wujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya,
yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan
sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang
tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup
yang kreatif. Aliran idealisme kenyataannya sangat
identik dengan alam dan lingkungan sehingga
melahirkan dua macam realita. Pertama, yang
tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku
makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada
yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada
yang mati demikian seterusnya.
Kedua, adalah realitas sejati, yang merupa-
kan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan
dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-
nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan
dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang
tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari
semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea,
dunia idea merupakan lapangan rohani dan
bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti
yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangan-
nya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang
paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan
tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia
idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit
pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah
manusia menganggap roh atau sukma lebih ber-
harga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi
bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya
dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga

351
benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari
roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha
menerangkan secara alami pikiran yang keadaan-
nya secara metafisis yang baru berupa gerakan-
gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut
untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni
pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil
adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh
karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya
membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka
apabila kita menganalisa berbagai macam pendapat
tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang
berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita,
di mana manusia berpikir bahwa sumber penge-
tahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga
kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan
memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam
idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai siste-
matika berpikir mereka dengan pandangan yang
fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah
alam pikiran. Sehingga, rohani dan sukma merupa-
kan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini.
Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran
idealisme. Namun pada porsinya, para filosof ideal-
isme mengetengahkan berbagai macam pandangan
tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea.
Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda
yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik
nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasar-
nya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun

352
katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari
aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang
kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah
oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan,
dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan
alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah
jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun
terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak
nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia
yang tidak kelihatan (cosmos neotos).
Plato dalam mencari jalan melalui teori
aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa
diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di
hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam
nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik
alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran
idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan
aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak
membahas tentang hakikat sesuatu daripada me-
nampilkannya dan mencari dalil dan keterangan
hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita
katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis
dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun
adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah
filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi
sebagian pendapat dan buah pikirannya yang
pokok dan utama.

353
Konsep filsafat menurut aliran idealisme
adalah sebagai berikut:
1. Metafisika-idealisme.
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya
adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara
kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik
dan rohaniah, tetapi kenyata-an rohaniah yang
lebih dapat berperan.
2. Humanologi-idealisme.
Jiwa dikarunai kemam-puan berpikir yang dapat
menyebabkan adanya kemampuan memilih.
3. Epistemologi-idealisme.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui
intuisi dan pengingatan kembali melalui ber-
pikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai
oleh beberapa orang yang mempunyai akal
pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia
hanya sampai pada tingkat berpendapat.
4. Aksiologi-idealisme.
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban moral
yang diturunkan dari pendapat tentang kenyata-
an atau metafisika.
a. Jenis Aliran Idealisme
Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu
idealisme subjektif dan idealism objektif.
1. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat yang
berpandangan idealis dan bertitik tolak pada
ide manusia atau ide sendiri. Alam dan
masyarakat ini tercipta dari ide manusia.
Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di
alam atau di masyarakat adalah hasil atau

354
karena ciptaan ide manusia atau idenya
sendiri, atau dengan kata lain alam dan
masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari
dirinya sendiri atau ide manusia. Seorang
idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal,
jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-
idenya merupakan segala yang ada. Objek
pengalaman bukanlah benda material; objek
pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu
benda seperti bangunan dan pepohonan itu
ada, tetapi hanya ada dalam akal yang
mempersepsikannya.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini
adalah seorang uskup inggris yang bernama
George Berkeley (1684-1753 M), menurut
Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh
sensasi/perasaan kita itu bukanlah materiil
yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu
yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya
hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan
perasaan/konsepsi tertentu yaitu perasaan/
konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk
dan sebagainya. Dengan demikian Berkeley
dan Hume menyangkal adanya materi yang
ada secara obyektif, dan hanya mengakui
adanya materi atau dunia yang riil didalam
fikirannya atau idenya sendiri saja.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
filsafat ini adalah, kecenderungan untuk
bersifat egoistis “Aku-isme” yang hanya
mengakui yang riil adalah dirinya sendiri
yang ada hanya “Aku”, segala sesuatu yang

355
ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau
konsepsi-konsepsi dari “Aku”. Untuk berkelit
dari tuduhan egoistis dan mengedepankan
“Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan
hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung
pada sensasi.
Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah
filsafat besar Inggris pada abad ke-18, yang
merupakan kekuatan reaksioner menentang
materialisme klasik Perancis, sebagai manifes-
tasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris
pada waktu itu. Pada abad ke-19, Idealisme
subyektif mengambil bentuknya yang baru
yang terkenal dengan nama “Positivisme”,
yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste
Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya
“pengalaman”-lah yang merupakan kenyata-
an yang sesungguhnya , selain dari pada itu
tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil
ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya
bertugas untuk menguraikan pengalaman itu.
Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang
lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja
William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey
(1859-1952), keduanya berasal dari Amerika
Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”,
menurut mereka Pragmatisme adalah suatu
filsafat yang menggunakan akibat-akibat
praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan
sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai
dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat
menekankan pada pandangan individualistic,

356
yang mengedepankan sesuatu yang mem-
punyai keuntungan atau “cash-value” (nilai
kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si
“Aku” ttersebut.
Pragmatisme berkembang di Amerika dan
adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi
besar di negeri yang katanya “the biggest of
all”. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini
Imperialisme, tindakan eksploitasi dan pe-
nindasan dapat dibenarkan selama dapat
mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
Pandangan idealisme subyektif dapat kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
tidak jarang kita temui perkataan-perkataan
seperti ini:
1) Baik buruknya keadaan masyarakat
sekarang tergantung pada orang yang me-
nerimanya, ialah baik bagi mereka yang
menganggapnya baik dan buruk bagi
mereka yang menganggapnya buruk.
2) Kekacauan sekarang timbul karena orang
yang duduk dipemerintahan tidak jujur,
kalau mereka diganti dengan orang-orang
yang jujur maka keadaan akan menjadi
baik.
3) aku bisa, kau harus bisa juga.
2. Idealisme Objektif
Idealisme objektif adalah idealisme yang
bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal
menemukan apa yang sudah terdapat dalam
susunan alam.

357
Menurut idealisme objektif segala sesuatu
baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil
dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat
seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu
yang bukan materi, yang ada secara abadi di
luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu
ada sebelum dunia alam semesta ini ada,
termasuk manusia dan segala pikiran dan
perasaannya.
Filsuf idealis yang pertama kali dikenal
adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua
bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia yang
konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan
dunia yang sesungguhnya, melainkan
bayangan alias penampakan saja. Kedua,
terdapat alam di atas alam benda, yakni alam
konsep, idea, universal atau esensi yang
abadi. Pandangan dunia Plato ini mewakili
kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu
itu di Eropa yaitu kelas pemilik budak. Dan
ini jelas nampak dalam ajarannya tentang
masyarakat “ideal”. Pada jaman feodal,
filsafat idealisme obyektif ini mengambil
bentuk yang dikenal dengan nama Skolastis-
isme, system filsafat ini memadukan unsur
idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu
bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan
hirarki dari seluruh system hirarki dunia
semesta, begitupun yang hirarki yang berada
dalam masyarakat feodal merupakan
kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala
sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini

358
maupun dalam alam semesta merupakan
“penjelmaan” dari titah Tuhan atau
perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini
membela para bangsawan atau kaum feodal
yang pada waktu itu merupakan tuan tanah
besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai
“wakil” Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang
terkenal dari aliran filsafat ini adalah:
Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas
(1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M),
dan sebagainya.
Kemudian pada jaman modern sekitar
abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat
idealisme obyektif yang baru, yaitu system
yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel
(1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari
dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada
secara absolut dan “obyektif” didalam segala
sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan
waktu. “Ide absolut” ini, dalam prosesnya
menampakkan dirinya dalam wujud gejala
alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran.
Filsafat Hegel ini mewakili kelas borjuis
Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan
masih lemah, kepentingan kelasnya
menghendaki suatu perubahan social, meng-
hendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum
bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam
pandangan dialektisnya yang beranggapan
bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan
berubah, tidak ada yang abadi atau mutlak,
termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan

359
tetapi karena kedudukan dan kekuatannya
masih lemah itu membuat mereka tidak
berani terang-terangan melawan filsafat
Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa
ketika itu.
Pikiran filsafat idealisme obyektif ini
dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-
hari dengan berbagai macam bentuk. Per-
wujudan paling umum antara lain adalah
formalisme dan doktriner-isme. Kaum dok-
triner dan formalis secara membuta mem-
percayai dalil-dalil atau teori sebagai ke-
kuatan yang maha kuasa, sebagai obat manjur
buat segala macam penyakit, sehingga dalam
melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa
berfikir atau bertindak secara hidup ber-
dasarkan situasi dan syarat yang kongkrit.
b. Tokoh-tokoh Aliran Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof
Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun
1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah
dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah
mencukupi untuk memenuhi tuntutan
pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan
manusia. Prinsip yang dimaksud ada di
dalam etika. Bukan teori, melainkan praktek-
lah yang menjadi pusat yang disekitarnya
kehidupan diatur. Unsur esensial dalam
pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.

360
Johann Gottlieb Fichte lahir pada tanggal
19 Mei 1762 di Rammenau. Ayahnya adalah
seorang penyamak kulit di sebuah desa kecil
dan ibunya adalah seorang penenun pita.
Fichte mewarisi sifat ibunya, yaitu mem-
punyai sifat yang tidak sabar yang ditampil-
kan sepanjang hidupnya. Fichte muda me-
nerima dasar-dasar pendidikan dari ayahnya
dan mampu menunjukkan kemampuan luar
biasa. Hal itu membuat Fichte mendapatkan
kesempatan untuk bersekolah dan meng-
enyam pendidikan yang lebih baik dari anak
di sekitarnya.
Pada tahun 1780, Fichte belajar teologi di
Universitas Jena dan Leipzig. Freiherr von
Militz (seorang pemilik tanah negara) terus
mendukungnya, tetapi ketika beliau
meninggal pada tahun 1784, Fichte harus
mengakhiri studinya tanpa menyelesaikan
gelar itu. Karena tidak memiliki uang, Fichte
berhenti dari studinya dan berusaha bekerja
sebagai guru pada beberapa keluarga kaya.
Selama tahun 1784-1788, ia bekerja sebagai
seorang tutor di berbagai keluarga Saxon.
Selanjutnya Fichte bekerja sebagai tutor
pribadi di Zürich selama dua tahun, yang
merupakan waktu kepuasan terbesar bagi
baginya. Di sini dia bertemu Johanna Rahn.
Pada 1790, beliau bertunangan dengan
Johanna Rahn, yang kebetulan menjadi
keponakan dari FG penyair terkenal
Klopstock.

361
Ketika menjadi seorang guru, Fichte ber-
temu dan berkenalan dengan filsafat Kant
yang amat mempengaruhinya. Karena beliau
menakjubi Kant pindahlah beliau ke
Koningsbergen. Dalam waktu empat minggu
beliau telah berhasil menulis bukunya:
Versuch einer Kritik aller Offenbarung, atau
“usaha suatu kritik atas segala wahyu”(1792).
Buku ini bernafaskan Kant, sehingga orang
mengira bahwa Kantlah penulisnya. Ketika
diketahui bahwa Kant, melainkan Fichtelah
penulisnya, mendadak namanya menjadi
terkenal. Pada tahun 1794, Fichte diangkat
sebagai filsuf di Universitas Jena, dan di sana-
lah ia mulai mengungkapkan ide-ide transen-
dentalnya.
Pada tahun 1798, Fichte menerbitkan
artikel berjudul “The Basis of Our Belief in a
Divine Government of the World”, yang kemudi-
an membuatnya dituduh sebagai atheis
karena telah mengkarakterisasikan Tuhan
sebagai aturan moral di dunia. Pada tahun
1799, karena terlibat dalam perang ateisme
beliau mengundurkan diri dari Universitas
Jena dan pindah ke Berlin. Pada tahun 1810,
Fichte diangkat sebagai profesor di University
of Berlin yang waktu itu baru didirikan, dan
empat tahun kemudian, yaitu pada tanggal 27
Januari 1814 beliau meninggal dunia karena
serangan penyakit tipus yang di deritanya.
Beliau meninggal pada usia 51 tahun.

362
Keahlian Fichte dalam bidang filsafat dapat
dilihat dari tiga jenis hasil karyanya, yaitu:
1) Ucber die Bestimmung des Menschen (Tentang
Tujuan Hidup), terbit tahun 1780
2) Grunlage der Gaseniten Winssenchafslehre
(Dasar Seluruh Epistemologi), terbit tahun
1796.
3) Das System der Sitterile, hre nach den
Prinzipien der Wissenschaftslehre
(Sistem Etika menurut Prinsip-prinsip
Epistemologi), yang terbit pada tahun
1798.
Aliran/tradisi yang dianut oleh Fichte
adalah Idealisme Jerman, Neo-Kantianism,
dan Post-Kantianism. Minat utama beliau
adalah self-conciousness, self-awareness, filosofi
moral dan filosofi politik. Fichte juga ber-
pengaruh besar terhadap tokoh filsafat
sesudahnya seperti: Hegel, Schelling, Novalis,
Dieter Henrich, Rudolf Steiner, Thomas
Carlyle.
Johann Gottlieb Fichte merupakan filosof
yang mengembangkan beberapa pemikiran
dari Immanuel Kant. Menurut Fichte, fakta
dasar dari alam semesta adalah ego yang
bebas atau roh yang bebas. Dengan demikian
dunia merupakan ciptaan roh yang bebas.
Filsafatnya disebut Wissenschaftslehre atau
“ajaran Ilmu Pengetahuan”. Dengan melalui
metode deduktif Fichte mencoba mene-
rangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya
benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir,

363
mengiakan diri maka terlahirlah non-Ego
(benda-benda).
Dengan secara dialektif (berpikir dengan
metoda: tese, anti tese, sintese) Fichte
mencoba menjelaskan adanya benda-benda.
Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat
diterangkan sebagai berikut: manusia me-
mandang obyek benda-benda dengan indera-
nya. Dalam mengindera obyek tersebut,
manusia berusaha mengetahui apa yang di-
hadapinya. Maka berjalanlah proses intelek-
tualnya untuk membentuk dan meng-
abstraksikan obyek itu menjadi pengertian
seperti yang dipikirannya.
Fichte menganjurkan supaya kita me-
menuhi tugas, dan hanya demi tugas maka
tugaslah yang menjadi pendorong moral. Isi
hukum moral ialah berbuatlah menurut kata
hatimu. Bagi seorang idealis, hukum moral
ialah setiap tindakan harus berupa langkah
menuju kesempurnaan spiritual. Filsafat se-
bagai ajaran tentang ilmu pengetahuan
dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang
teoritis
Ajaran ini membicarakan tentang hal
metafisika dan ajaran tentang pengenalan.
Disini, Fichte menentang pendapat Kant
yang mengatakan bahwa hanya berpikir
secara ilmu pasti alamlah yang memberi
kepastian di bidang pengenalan. Fichte
tidak mau memisahkan rasio teoritis

364
dengan rasio praktis. Menurut Fichte,
sumber yang satu itu terdapat pada
aktivitas Ego atau “Aku”. Apa sebab Ego
menciptakan dunia, dijelaskan demikian:
Menurut Fichte, keadaan Ego tidaklah
terbatas. Agaknya yang dimaksud dengan
Ego ini adalah Ego mutlak (Ego Absolut)
yang dibedakan dengan “Aku” perorang-
an. (ada orang yang berpendapat, bahwa
yang dimaksud dengan Ego adalah Tuhan,
akan tetapi ada juga yang mengata-kan,
bahwa yang dimaksud dengan Ego bukan
Tuhan, melainkan “tertib moral dari alam
semesta”, suatu kuasa yang bekerja di
dalam dan melalui pribadi perorangan
yang kita kenal).
2) Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang
praktis.
Ajaran ini membicarakan tentang hal
etika. Di dalam ajarannya tentang ilmu
pengetahuan yang praktis Fichte me-
nentang Kant, yang mengajarkan bahwa
setiap orang harus mentaati kewajiban.
Menurut Fichte, yang penting bukan Ego
atau “Aku” manusia dalam arti yang
seideal mungkin. Sebab “Aku” itulah yang
mengajarkan tata tertib serta keselarasan di
tengah-tengah benda yang banyak sekali
itu. Makin mendalam orang yang me-
nyelami alam semesta, makin luas
cakrawala tata tertib itu. Jadi manusia pada
dasarnya adalah makhluk yang bersifat

365
moral. Hidup yang memegang moral me-
ngandung suatu usaha di dalamnya. Tugas
manusia bukan hanya untuk mengetahui,
tetapi juga untuk berbuat sesuai dengan
pengetahuannya.
Moralitas terdiri dari aktivitas diri
yang mutlak, yang bebas sama sekali, yang
tidak dibatasi oleh sesuatu apapun diluar-
nya. Inilah asas otonomi. Di dalam hal ini
ada kesamaan antara Kant dan Fichte. Isi
tugas moral manusia diturunkan dari dua
dasar pikiran, yaitu: bahwa manusia ber-
kewajiban menghargai dirinya sendiri
sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa ia
senantiasa berkewajiban berbuat dengan
tidak mengambil kebebasan orang lain.
Menurut Fichte, dasar kepribadian
adalah kemauan; bukan kemauan irasional
seperti pada Schopenhauer, melainkan
kemauan yang dikontrol oleh kesadaran
bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan
melalui kepatuhan pada peraturan.
Kehidupan moral adalah kehidupan
usaha. Manusia dihadapkan kepada rin-
tangan, dan manusia digerakkan oleh rasa
wajib bahwa ia berutang pada aturan moral
umum yang memungkinkannya mampu
memilih yang baik. Idealisme etis Fichte di-
ringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia
aktual hanya dapat dipahami sebagai
bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena
itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup

366
yang terletak pada pemilihan antara moral
idealisme dan moral materialisme.
Substansi materialisme bagi Fichte
ialah naluri, kenikmatan tak ber-tanggung
jawab, bergantung pada keadaan, sedang-
kan idealisme ialah kehidupan yang ber-
gantung pada diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek “men-
ciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah
“saya yang sedang berpikir”, subjek
menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi
subjek memerlukan objek, seperti tangan
kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini
merupakan antitesis. Subjek dan objek yang
dilihat dalam kesatuan disebut sintesis.
Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak
perbuatan sang Aku.
2. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)
Schelling adalah orang yang terlalu cepat
dewasa. Ia dilahirkan di kota Leonberg,
Wurtemberg pada tanggal 27 Januari 1775,
tepatnya lima tahun setelah kelahiran Hegel.
Dia lahir dan hidup di lingkungan yang saleh.
Dalam usianya yang masih relatif belia, lima
belas tahun, dia sudah mengambil kuliah di
Universitas Tubingen. Di sini dia bertemu
dengan Hegel dan Holderin (seorang pe-
nyair). Pertemuan itu terjadi bertpatan pada
saat gerakan romantisisme mengalami per-
kembangannya yang pesat. Schelling dan
Hoelderin adalah dua orang yang menaruh
simpati besar pada Revolusi Prancis. Saat

367
muda, ia menjadi murid didik Fichte,
pengawal Idealisme setelah Kritisisme Kant.
Meski kemudian ia menempuh jalan filsafat-
nya sendiri, ia masih membawa pengaruh
Fichte dalam pemikirannya.
Pada umur 23 tahun, dia sudah menjadi
guru besar di Universitas Jena sekaligus
menjadi murid dan pembantu Fichte. Saat itu,
dia banyak menjalin kontak dengan kalangan
Romantisisme. Selanjutnya ia menikah dan
berpindah mengajar ke kota Wurzburg. Pada
saat inilah Schelling bergumul dengan pe-
mikiran sang mistikus Jacob Boehme. Dalam
idealisme, kita bisa melihat bagaimana mistik,
teologi dan filsafat berpadu menjadi satu. Hal
tersebut tidak lepas dari pengaruh Boehme
dan Isak Luria, seorang mistikus Yahudi di
Jerman..
Selanjutnya Schelling bermigrasi ke
Muenchen pada tahun 1806. Pada saat ini, dia
banyak menjalin kontak dengan Hegel dalam
mengurus penyuntingan sebuah jurnal
filsafat. Hegel adalah saingan berat dari
Schelling yang lebih muda dari dia. Namun
setelah Hegel meninggal, Schelling adalah
kritikus ulung atas Hegelianisme di Berlin.
Pada tahun 1854, Schelling meninggal di Bad
Ragaz dalam kesepian dan dilupakan.
Seperti Fichte, Scelling mula-mula ber-
usaha menggambarkan jalan dilalui intelek
dalam proses mengetahui, semacam epistemo-
logy. Fichte memandang alam semesta sebagai

368
lapangan tugas manusia dan sebagai basis
kebebasan moral. Schelling membahas realitas
lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi
idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan
Schelling, realitas adalah proses rasional
evolusi dunia menuju realisasinya berupa
suatu ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat
mengetahui dunia secara sempurna dengan
cara melacak proses logis perubahan sifat dan
sejarah masa lalu. Tujuan proses itu adalah
suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
Schelling menyebut proses ini identitas
absolute, Hegel menyebutnya ideal.
Idealisme Schelling agak lebih objektif,
karena menurut dia bukan-aku (objek) ini
sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya
pertentangan belaka, melainkan mempunyai
nilai yang positif. Bagi Schelling, yang
menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu
ialah aku. Dunia ini muncul daripada aku:
dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak
lain daripada produksi dan reproduksi dari
ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan alam,
malahan dinyatakan bahwa subjek yang
berpikir (aku) itu muncul daripada alam.
Tetapi ini jangan dianggap sama sekali ber-
tentangan dengan pendapatnya semula, sebab
aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang
telah sadar. Alam itu merupakan proses
evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar

369
serta lambat laun sadar akan dirinya (aku)
dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam
pandangannya terhadap alam: budi dan dunia
sama derajatnya hanya berhadapan sebagai
subjek dan objek. Sebetulnya samalah
keduanya, bertemu pada asal semula ialah
Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya
indiferensi yang mutlak. Ia tidak cenderung
ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah
alam dalam bentuknya yang makin tinggi
derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-
dunia, manusia. Dalam pada itu budipun
sadar akan dirinya menjelmakan ilmu,moral,
seni, sejarah, dan Negara.
Ketidakpuasaan terhadap ajaran Kant
yang mengatakan bahwa akal manusia tidak
akan sampai pada pengetahuan tentang
fenomena/gejala-gejala saja muncul dilaku-
kan oleh murid-muridnya, bahkan berbalik
menyerang Kant dan mereka bermetafisika
untuk mencari suatu dasar bagi renungan
mereka. Dasar itu di bagi menjadi system
metafisika. Mereka sangat memperhatikan
kesadaran dan pengalaman yang di cari dan
di dapat dari dasar tindakan. Dasar tindakan
itu adalah “Aku” yang merupakan subjek
yang sekonkret-konkretnya, sehingga lahirlah
kesimpulan dan member keterangan tentang
keseluruhan yang ada, yang ada itulah di
sebut idealism.

370
Pemikiran Schelling terbagi menjadi tiga
tahap, yaitu tahap filsafat alam, filsafat
identitas dan kemudian filsafat wahyu atau
filsafat positif. Sebelum melangkah pada pe-
mikiran Schelling lebih dalam, ada baiknya
kita merunut dari pemikiran gurunya, Fichte.
Sang Guru menjelaskan bahwa pengetahuan
harus bertolak dari pengalaman (erfahrung).
Hanya saja pengalaman yang dimaksudkan
oleh Fichte itu berbeda dengan yang di-
maksudkan oleh Kant. Fichte menyatakan
bahwa pengalaman tersebut adalah presen-
tasi. Ada dua macam presentasi:
1) Presentasi dengan Rasa Bebas. Misalnya
saat kita membayangkan dalam imajinasi
kita bahwa kita sedang jalan-jalan di kota
Makassar dengan segala gemerlap kotanya
di malam hari.
2) Presentasi dengan Keniscayaan.Misalnya
ketika kita sedang ada di kelas Falsafah dan
Agama Universitas Paramadina men-
dengarkan keterangan Abdul Hadi dalam
keadaan duduk bersama teman-teman
sekelas.
Perbedaan antara dua presentasi tersebut
dalam segi kemandiriannya adalah bahwa
presentasi pertama tidak membutuhkan
obyek dan karena itulah ia disebut bebas,
sedangkan presentasi kedua tergantung pada
obyek.
Dalam pengalaman (erfahrung) terdapat
dua unsur yang saling terjalin dan terkait,

371
yaitu subjek dan objek. Lantas kemudian
muncullah pertanyaan: Di antara keduanya,
manakah yang menghasilkan pengalaman
aktual? Maka jawabannya adalah Subjek.
Fichte mengunggulkan subjek atas objek
karena Subjek menghasilkan pengalaman
aktual.
Dari titik inilah kita akan melangkah pada
pemikiran Schelling. Filsafat alam Schelling
bertolak dari ketidak-sepakatannya pada
konsep pembedaan atau bahkan pengunggul-
an subjek atas objek sebagaimana diungkap-
kan oleh Fichte. Kata Schelling, pembedaan
macam itu muncul dari refleksi yang bermula
dari perasaan dan bukannya filsafat.
Perbedaan antara subjek dan objek ber-
awal dari refleksi. Refleksi menjadikan jarak
antara sesuatu yang ada di luar kita (alam)
dan konsep yang kita tangkap yang terdapat
dalam Idea kita (Roh). Kemudian refleksi
memperlakukan konsep atau gambaran alam
tersebut sebagai objek. Refleksi membangun
pangkal pembedaan antara yang Riil dan
yang Ideal. Jika pangkal ini dihapus, maka
yang terjadi adalah kesatuan. Lebih tepatnya
kesatuan antara Subjek dan Objek, antara
yang Riil dan yang Ideal, antara yang Roh dan
Alam. Jika kita memberikan jarak antara
subjek dan objek, maka kita akan tertipu
karena hal tersebut berdasarkan perasaan
belaka. Yang harus kita lakukan adalah pen-
dasaran pada filsafat hingga kemudian kita

372
memahami bahwa yang dipikirkan dan yang
memikirkan sebenarnya adalah satu.
Manusia mempunyai kemampuan untuk
berpikir tentang segala yang ada di Alam. Dia,
dengan Roh-nya, akan bertanya sesuatu hal
dan memaksa Alam untuk menjawabnya.
Proses ini disebut sebagai proses dialog. Alam
kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang dijawab oleh Roh tersebut. Hal ini
sebenarnya berimplikasi pada kenyataan
bahwa Alam sesuai dengan tuntutan Akal
(Roh). Keduanya sebenarnya satu, atau bisa
dikatakan bahwa Alam adalah Roh yang
tampak dan Roh adalah Alam yang Tidak
Tampak dan bahwa Materi adalah kecerdasan
yang tidur.
Dari situ kemudian dapat dipahami
bahwa Alam bukanlah sesuatu yang sersifat
mekanis yang berjalan secara otomatis begitu
saja melainkan sebuah proses yang dinamis
dan terpadu mengarah pada suatu tujuan
tertentu atau biasa disebut sistem teleologis.
Sistem ini bisa digambarkan dengan pen-
jelasan bahwa Alam merupakan sebuah
sistem dinamis atau organisme yang hidup
yang bergerak dan menuju finalitas tertentu.
Kemudian dia akan kembali kepada dirinya
sendiri dalam Roh Manusia dan melalui Roh
manusia itu.
Filsafat Identitas bermula dari penolakan
atas teori „refleksi‟ Fichte, Alam mengenal
cerminannya. Melalui Refleksi ala Schelling

373
(yang berdasarkan pendasaran filsafati dan
bukannya perasaan), kini Alam telah me-
ngenali dirinya kembali melalui Refleksi itu.
Inilah yang disebut dengan identitas dan
itulah „identitas absolut‟. Kemudian lengkaplah
sudah sistem ilmu pengetahuan. Kemudian
Schelling beranjak pada eksplanasi mengenai
Aku-Absolut. Aku-Absolut, baginya, adalah
sesuatu yang netral; bukan materi dan juga
bukan spirit, bukan subjektif juga bukan
objektif.
Dalam filsafat transcendental, Schelling
menjelaskan tentang bagaimana Aku atau
sang Ideal merealisasikan dirinya sebagai
kehendak. Aku atau Ideal menyadari akan
dirinya sebagai kehendak karena suatu ke-
harusan (sollen) yang mendahului kehendak.
Oleh karena kehendak itu diarahkan pada
objek yang ada di luar, maka hasil kehendak
tersebutlah yang menimbulkan kemunculan
dunia luar. Jika ada sesuatu yang berubah di
dunia luar tersebut, karena kesatuan, maka
ada perubahan juga yang terjadi dalam sang
Aku.
Hukum Alam dan Hukum Moral adalah
identik di dalam tertib kosmik. Selanjutnya,
pernyataan inilah yang mendasari pemikiran
Schelling dalam negara, hukum dan sejarah.
Baginya, sejarah merupakan pernyataan ber-
kesinambungan dari Yang Absolut yang
selalu memanifestasikan diri-Nya.

374
Dalam pengembangan filsafat transen-
dental ini, selanjutnya ia merambah ke dalam
ranah filsafat seni yang dianggap sebagai
wahyu (art as a revelation). Seni merupakan
sebuah hasil pengungkapan dari upaya yang
dilakukan berdasarkan identitas antara yang
nyata dan yang ideal dalam sebuah wujud
kongkrit yang bertempat dalam intuisi yang
estetis. Pengungkapan tersebut berangkat dari
kesadaran diri sebagaimana yang telah diurai-
kan dalam penjelasan mengenai filsafat tran-
sendental di atas. Bedanya, jika di dalam
filsafat transendental Sang Absolut dianggap
sebagai “mengalami dunia”, maka di dalam
filsafat seni Ia dianggap sebagai “menciptakan
dunia”. Seni merupakan sintesa antara Alam
dan kesadaran; sebuah kesadaran dalam diri
seniman yang menyatakan diri sebagai
intelegensi yang mencipta dunia.
Karena itu, Schelling menolak sebagian
kalangan yang menyatakan bahwa metodo-
logi Ilmu Pengetahuan dan Matematika me-
rupakan satu-satunya cara yang dapat di-
gunakan untuk mencapai pengetahuan yang
sebenarnya. Schelling menyatakan bahwa
Sang Absolut dan Alam merupakan kesatuan
yang tidak lain adalah sumber dari penge-
tahuan yang benar. Dengan kata lain, sumber
ilmu pengetahuan adalah seni dan bukan
penelitian ilmiah.
Pemikiran Schelling mengenai filsafat
alam, pada gilirannya mengarah pada filsafat

375
agama. Dia menulis sebuah buku berjudul
Philosophie und Religion pada tahun 1804.
Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa
agar ada hal yang obyektif, Sang Absolut
harus memberi kuasa pada yang nyata agar
yang nyata itu dapat memanifestasikan diri-
nya dalam bentuk-bentuk yang lebih khusus
atau agar yang nyata itu menjadi Absolut
dengan caranya sendiri. Karena itulah
manusia memiliki kehendak bebas yang tidak
lain adalah sifat dasarnya. Dengan kehendak
bebas itu dia bisa menjadi dan naik Absolut
dan juga sebaliknya; menjadi dan turun
daripada yang Absolut. Yang kedua itulah
penyebab kejahatan (problem of evil). Jatuhnya
manusia pada yang relatif tersebut merupa-
kan pilihan manusia dan kekhasannya; lebih
tepatnya saat ia lebih menyukai yang relatif
daripada yang Absolut.
3. G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada
tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah
seorang pegawai rendah bernama George
Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal
itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7
tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian
gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak
telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia
memasuki Universitas Tubingen. Setelah me-
nyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor,
selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia
menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya

376
selain menjadi direktur sekolah menengah,
juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia
diangkat menjadi guru besar di Heidelberg
dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia
menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Hegel memang bukan seorang politikus
namun dialektikanya mampu menjadi inspi-
rasi para politikus dalam melakukan kajian
politik dan sosial. Sehingga terkadang
menjadi pisau analisis yang cukup akurat
dalam memandang realitas. Dia mengakui
dirinya cenderung befikir bebas selayaknya
filsuf dalam memaknai kehidupan dan
pemikiran/rasio.
Namun dia memandang justru kebebasan
merupakan wujud pengakuan dan penerima-
an sadar manusia atas suatu sistem nilai
dalam hidup,seperti nilai yang terkandung
dalam ajaran agama (Kristen).
Pemikiran Hegel yang senantiasa
berdialektika terhadap realitas dan
memandang adanya ‟realitas mutlak‟ atau ruh
mutlak atau idealisme mutlak dalam ke-
hidupan sangat mempengaruhi dalam me-
mandang sejarah secara global. Ini terbukti
saat dialektikanya mampu memasukkan per-
tentangan didalam sejarah sehingga dapat
mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis.
Hingga muncul pembuktian–pembuktian
ilmiah yang dihasilkan, dari sanalah filsafat
sejarah layak ditempatkan, sebagai bagian
yang utuh dari dunia kefilsafatan. Dia juga

377
memandang bahwa sejarah merupakan suatu
kondisi perubahan atas realitas yang terjadi,
dia pula yang menyatakan sejarah menjadi
sebuah hasil dari dialektika, menuju suatu
kondisi yang sepenuhnya rasional.
Menurutnya dialektika merupakan proses
restorasi yang perkembangannya berasal dari
kesadaran diri yang akhirnya akan mencapai
kesatuan dan kebebasan yang berasal dari
pengetahuan diri yang sempurna,dia pula
merupakan suatu aktvitas peningkatan
kesadaran diri atas pikiran yang menempat-
kan objek-objek yang nampak independen
kearah rasional.
Dialektika Hegel menjadikan akhir
sesuatu menjadi awal kembali. Seperti sebuah
siklus, 3 prinsip utamanya; thesis-antithesis
(terjadi 2 tahap perubahan yakni kualitatif
dan kuantitatif)-sinthesis. Thesis merupakan
perwujudan atas pandangan tertentu, anti-
thesis menempatkan dirinya sebagai opisisi,
serta sinthesis merupakan hasil rekonsiliasi
atas pertentangan sebelumnya yang
kemudian akan menjadi sebuah thesis baru.
Dan begitu seterusnya, sehingga ketiganya
merupakan pertentangan yang kelak menjadi
kesatuan utuh dalam realitas. Akan tetapi,
perlu diterangkan disini pula jika ketiga terma
tersebut tidak pernah digunakan oleh Hegel
dalam karya-karyanya melainkan oleh para
pembacanya, Moritz Chalybäus.

378
Hegelian dialectic, usually presented in a
threefold manner, was stated by Heinrich
Moritz Chalybäus as comprising three
dialectical stages of development: a thesis,
giving rise to its reaction, an antithesis,
which contradicts or negates the thesis, and
the tension between the two being resolved by
means of a synthesis. Although this model is
often named after Hegel, he himself never
used that specific formulation….. Hegel did
use a three-valued logical model that is very
similar to the antithesis model, but Hegel's
most usual terms were: Abstract-Negative-
Concrete.11
Sebagai sebuah analogi sederhana ada
‟telur‟ sebagai thesis, yang kemudian muncul
‟ayam‟ sebagai sebuah sinthesis, yang
antithesisnya ‟bukan-telur‟. Dalam dilektika
ini, bukan berarti ‟ayam‟ telah menghancur-
kan ‟telur‟ namun, dalam hal ini sebenarnya
‟telur‟ telah melampaui dirinya sehingga
menjadi ‟ayam‟, dengan sebuah proses. Yang
kemudian itu akan kembali menjadi telur, dan
terus seperti itu. Sehingga dialektika merupa-
kan proses pergerakan yang dinamis menuju
perubahan.
Pemikirannya tentang Roh Mutlak atau
absolut dapat dilalui dengan pendekatan
filsafat agama dan seni, sehingga dia
senantiasa mengkaji dan menguasai ketiga
komponen yang juga mempengaruhi pemikir-
an Hegel selama ini. Pengkajiannya yang
11
Michael Inwood, A Hegel Doctionary (Oxford: Blackwell, 1999), 81.

379
begitu ketat, yang kemudian memutuskan
bahwa filsafat-lah yang memiliki tingkat
pemahaman yang lebih yang mampu menuju
kepemahaman mengenai hakekat Roh Mutlak,
dikarenakan sifatnya yang konseptual dan
rasional.
Di samping pemikirannya yang men-
junjung kebebasan sebagai unsur pada
keberadaan Roh Mutlak. Dia meyakini adanya
essensi Roh Mutlak adalah ketidakterikatan
atau kebebasan. Komponen yang kemudian
melahirkan konsepsi sosial-politik dalam
negara. Roh Mutlak merupakan sesuatu yang
bersifat ‟Idea‟ yang melekat pada dirinya
sebagai sesuatu yang riil.
Sehingga menurutnya kondisi realitas
merupakan riil ada,dan sesuatu yang riil
merupakan realitas tersebut. Bukan berarti
sesuatu yang tidak riil itu bukan realitas,
namun disanalah ruang telaah yang men-
dalam perlu mendapat tempat.
Masih menurutnya, yang menganggap
bahwa negara sebagai sebuah institusi
kemasyarakatan,merupakan sebuah bentuk
kemajuan pikiran/idea kearah kesatuan
bentuk dengan nalar.
Cukup banyak para pemikir atau filsuf
yang menganggap Hegel merupakan filsuf
abstraksi, padahal secara kasat mata
sesungguhnya dia sedang menampilkan suatu
bentuk konkretisasi dalam mengolah pikiran-
nya sendiri. Bahkan dirinya sempat meng-

380
kritik gaya abstraksi dari rasionalisme abad-
18. Gaya bahasa yang terlalu luas dan
mendalam kadang malah mempersulit dalam
mencari sebuah hakekat pikiran itu sendiri.
Sehingga konkretisasi pikiran Hegel nampak
dalam beberapa artikel dan buku karyanya
yang mencoba menampilkan aktualisasi
pikirannya yang mampu menjawab realitas.
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak.
Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak
terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari
sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik
awal dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh
karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat
idealis, suatu filsafat yang menetapkan wujud
yang pertama adalah ide (jiwa).
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu
saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud
olehnya bukan saja rasio pada manusia
perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut
karena Hegel juga menerima prinsip idealistik
bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan
dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang
kemudian terkenal berbunyi: “Semua yang
real bersifat rasional dan semua yang rasional
bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama
dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya
adalah proses pemikiran (idea, menurut
istilah Hegel) yang memikirkan dirinya
sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas
seluruhnya adalah Roh yang lambat laun
menjadi sadar akan dirinya.

381
Dengan mementingkan rasio, Hegel
sengaja beraksi terhadap kecenderungan
intelektual ketika itu yang mencurigai rasio
sambil mengutamakan perasaan.
Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist
(roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh
dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang
real, kongkret, kekuatan yang objektif,
menjelma dalam berbagai bentuk sebagai
world of spirit (dunia roh), yang menempatkan
ke dalam objek-objek khusus. Di dalam
kesadaran diri, roh itu merupakan esensi
manusia dan juga esensi sejarah manusia.
Demi alam kembalilah idea atau roh
kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula
roh itu merupakan roh subjektif, kemudian
roh objektif, dan akhirnya roh mutlak.
Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal
dirinya dan merupakan tiga tingkatan:
antropologi, fenomologi, dan psikologi.
Dalam antropologi, kenallah roh itu akan
dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam
fenomenologi, kenallah ia akan dirinya dalam
perbedaannya dengan alam. Adapun pada
psikologi, roh mengenal dirinya dalam
kemerdekaan terhadap alam, mula-mula
teoritis, kemudian praktis dan akhirnya
merdekalah roh itu.
Maka meningkatlah kepada roh objektif.
Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma
pada bentuk kemasyarakatan manusia, hak

382
dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam
hak dan hukum terdapat penjelmaan roh
merdeka itu pada hukum-hukum umum. Di
samping itu adalah kesusilaan yang merupa-
kan kebatinan. Pada sintesis keduanya itu
terlahirlah kebajikan.
Sampailah sekarang kepada roh mutlak.
Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal
dirinya dengan sempurna itu merupakan
sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada
lagi, pertentangan antara subjek dan objek
antara berpikir dan ada. Oleh karena roh
mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka ia
menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis),
agama (antitesis) dan kemudian filsafat
(sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam
pandangan indera terhadap dunia, objeknya
masih di luar subjek. Adapun agama tidak
lagi mempunyai subjek di luar objek, melain-
kan di dalamnya. Tetapi segala pengertian
dan gambaran agama itu dianggap ada.
Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni
dan agama,merupakan paduan yang lebih
tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya
dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat
ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis,
antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya:
Parmenides (tesis), Heraklitos (antitesis), dan
Plato (sintesis).
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel
menggunakan dialektika sebagai metode.
Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika

383
adalah mendamaikan, mengompromikan hal-
hal yang berlawanan. Proses dialektika selalu
terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis)
dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya
timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis
itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga
tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah
diangkat pada tingkat yang lebih tinggi.
Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera
menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis
baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan
seterusnya.
Tesis adalah pernyataan atau teori yang
didukung oleh argumen yang dikemukakan,
lalu antitesis adalah pengungkapan gagasan
yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah
paduan (campuran) berbagai pengertian atau
hal sehingga merupakan kesatuan yang
selaras. Berikut ini contoh tesis, antitesis, dan
sintesis.
1) Yang “ada” (being) merupakan tesis
kemudian berkontraksi dengan “tak ada”
(not being) sebagai antitesis, kemudian
menghasilkan menjadi (becoming) sebagai
sintesis.
2) Dalam keluarga,suami-istri adalah dua
makhluk berlainan yang dapat berupa tesis
dan antitesis. Anak dapat merupakan
sintesis yang mendamaikan tesis dan
antitesis.
3) Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara
diktator. Di Negara ini hidup kemasyaraka-

384
tan diatur dengan baik, tetapi para warga-
nya tidak mempunyai kebebasan apapun
juga. Antitesis: Negara anarki.
Dalam Negara anarki para warganya mem-
punyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup
ke-masyarakatan menjadi kacau.
Sintesis: Negara konstitusional. Sintesis ini
mendamaikan antara pemerintahan dikta-
tor dengan anarki menjadi demokrasi.

385
BAB XI
FENOMENOLOGI

A. Fenomenologi
Merupakan studi tentang Phenomenon. Kata
ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti
menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon
berarti yang muncul dalam kesadaran manusia.
Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gam-
baran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjuk-
kan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional
(berdasarkan niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomena-
lisme adalah aliran atau faham yang menganggap
bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu
metode pemikiran. Fenomenologi merupakan se-
buah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang
kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai
melalui pengamatan terhadap fenomena atau per-
temuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang
terdapat dalam diri kita akan merangsang alat
inderawi yang kemudian diterima oleh akal dalam
bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat
membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang
bagaimana manusia sebagai subyek memaknai
obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang
makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka
hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya,
bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan

386
bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini
merupakan pengetahuan yang kita ketahui
sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat,
rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi
merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran
murni yang dialami manusia.
Phenomonology take primary task to construct the
description of the structures of experience as they present
themselves to consciousness. This description wasmeant
to be carried out on the basis of what the “things
themselves” demanded, without assuming or adopting
the theoretical frameworks, assumptions, or voca-
bulariesdeveloped in the study of other domains (such as
nature).1
Fenomenologi dikenalkan oleh Edmund
Husserl. Edmund Gustav Albrecht Husserl lahir di
Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April
1859 meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di
Prostějov (Proßnitz) Moravia, Ceko (pada saat itu
merupakan bagian dari Kekaisaran Austria).
Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl
Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain,
Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen
Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul
Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann
Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden.
Teori fenomenologi yang Husserl gunakan
biasa disebut fenomenologi transendental, yaitu
1
Mark A. Wrathall dan Hubert L. Dreyfus, “A Brief Introduction to
Phenomenologyand Existentialism”, dalam Mark A. Wrathall dan
Hubert L. Dreyfus (ed.), A Companion to Phenomenology and
Existentialism (Oxford: Blackwell, 2006), 2.

387
yang menggunakan prinsip dasar bahwa subjek
harus melepaskan pengetahuan subjek (menurut
Husserl menaruh tanda kurung kepada pengetahuan
yang dimiliki subjek) untuk menaruh simpati
kepada objek untuk mengungkapkan dirinya
sendiri. Langkah ini disebut ephoce, lewat proses ini
objek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur
sementaranya yang tidak hakiki. Sehingga tinggal
eidos (hakikat objek) yang menampakkan diri atau
mengkontitusikan diri dalam kesadaran.2
Fenomenologi yang dipahami di sini
merupakan sebuah pendekatan filosofis yang men-
dasarkan diri pada penyelidikan asumsi-asumsi
untuk sampai kepada esensi dari suatu fenomena
yang tampak, sebagai manifestasinya dari sudut
pandang orang pertama (ego). Penyelidikan tersebut
bertujuan untuk mengungkapkan inti yang paling
dasar dari suatu fenomena (idea atau pengalaman),
agar fenomena tampak benar-benar dalam realitas-
nya yang riil tanpa prasangka objetif maupun
subjektif (legitimasi suatu komunitas).
Untuk memahami filsafat Husserl ada bebe-
rapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:
1. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam
fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang
berada di balik fenomena)
2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.

2
Rahmad K. Dwi Susilo, Integrasi Ilmu Sosial: Upaya Integrasi Ilmu
Sosial Tiga Peradaban (Yogyakarta; Arruz Media, 2005), 124; David
Kaplan dan Albert A. Manners, Teori Budaya, Terj. Landung
Simatupang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), 256.

388
3. Kesadaran adalah sesuatu yang intensional
(terbuka da terarah pada subjek
4. Substansi adalah kongkret yang menggambarkan
isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa
terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu
harus melalui reduksi atau penyaringan yang
terdiri dari :
1. Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring
pengalaman-pengalaman dengan maksud men-
dapat fenomena dalam wujud semurni-murninya.
Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan
benda-benda itu dari pandangan agama, adat
istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2. Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau
penempatan dalam tanda kurung sebagai hal
yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala
atau fenomena.
3. Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapan-
nya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya
dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomeno-
logi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati
dengan indera.Sebab, fenomena dapat juga dilihat
atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera,
fenomena tidak perlu suatu peristiwa.
Tujuan dari feneomenologi adalah tercapai-
nya kesadaran murni tentang suatu hal kepada
subjek yang mengamati dan mendekatinya atau

389
Husserl menyebutnya (being in it self).3 Dengan kata
lain yang dicari peneliti adalah “kesengajaan” yang
dimiliki oleh objek yang merupakan inti dari
pencarian fenomenologi. Maka semakin subjektif
objek dalam mengungkapkan tentang dirinya
(dalam kajian fenomenologi) akan semakin objektif
data yang didapatkan (tetapi hanya pengalaman-
pengalaman yang memiliki konsistensi yang dapat
dijadikan acuan).
Beragam dimensi fenomenologi dapat di-
paparkan secara deduksi. Tetapi ada beberapa
prinsip penting yang menjadi karakteristik dari
pendekatan fenomenologi ini, sebagaimana yang
terdapat dalam buku Muhammad Al-Fayyadl yang
berjudul Teologi Negative Ibnu Arabi, sebagai berikut4:
Pertama, fenomenologi merupakan sebuah
refleksi transendental atas suatu fenomena, yaitu
refleksi filosofis yang mendasarkan diri kepada
asumsi-asumsi konseptual tentang suatu fenomena,
dan untuk melepaskannya serta masuk ke dalam
inti fenomena itu sendiri. Gerak transendental ini
akan terlihat ketika peneliti menganalisis logika
transendental yang ada pada di balik fenomena-
fenomena yang ada dalam gerak sejarah integrasi
agama, filsafat dan seni sebelumnya.
Kedua, fenomenologi menekankan inten-
sionalitas dalam pembahasan kajian subjek terhadap
objek yang diteliti. Intensionalitas secara esensial

3
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negative Ibnu Arabi; Kritik Metafisika
Ketuhanan (Yogyakarta; LKiS, 2012), 14-15.
4
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta; LKiS,
2002), 119-130.

390
adalah keterarahan subjek kepada fenomena, karena
fenomena tersebut menuntut penghayatan yang
sungguh-sungguh dari subjek untuk dapat dikenali
secara menyeluruh eksistensi, realitas dan nature-
nya. Karena itu menuntut keterlibatan subjek dalam
fenomena yang dikajinya. Dengan demikian ia dapat
mengatasi pemisahan subjek-objek dalam tindak
mengetahui. Intensionalitas membentuk sikap
subjektif “ego” terhadap fenomena yang sedang
dihadapinya. Sehingga dengan intensionalitas
tersebut akan memunculkan rasa atau keinginan ego
(subjek) untuk menyelami fenomena lebih dalam
lagi, dari keinginan tersebut subjek (ego) dapat me-
ngatasi hambatan-hambatan yang tampak di-
permukaan untuk sampai kepada pengalaman yang
paling murni dari relasi ego (subjek) dengan objek
yang dikaji.
Ketiga, fenomenologi menekankan kejernihan
sebagai keutamaan filosofis, kejernihan ini sangat
penting, karena fenomena tidak mungkin me-
nampakkan dirinya “apa adanya” selama di-
selubungi asumsi-asumsi yang telah ada sebelum-
nya. Dengan begitu, fenomenologi menginginkan
penampakan fenomena sebagai fenomena itu
sendiri. Penampakan tersebut adalah saat yang akan
mendekatkan subjek kepada kebenaran.
Kajian fenomenologi ini bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang murni sebagaimana
disebutkan di atas, yaitu suatu pemahaman yang
didukung oleh fakta-fakta yang menyebutkan bahwa
begitu banyak asumsi-asumsi yang hadir sebelum
memahami suatu hal yang ingin dikaji, bahkan

391
asumsi-asumsi tersebut muncul bukan dari
pemahaman yang mendalam ataupun sungguh-
sungguh tetapi hanya merupakan pengulangan atas
pemahaman yang telah ada sebelumnya. Dengan
kata lain, artian asumsi yang telah ada merupakan
asumsi yang muncul dari yang dikatakan oleh orang
lain dan bukan yang dikatakan oleh sesuatu itu
sendiri. Dan dari hal semacam inilah yang ingin
dicari kemurniannya oleh peneliti, dengan
memahami cara objek menafsirkan pengalaman
objek untuk memahami pemahamannya sendiri.
Kajian fenomenologi memiliki tujuan
memberi panduan yang runtut untuk memahami
sesuatu secara radikal untuk sampai kepada esensi
dari fenomena yang muncul. Maka untuk itu
dibutuhkan mengajukan pertanyaan tentang perihal
yang ingin disadarinya. Untuk menentukan kualitas
pertanyaan yang diajukan untuk menyingkap
hakikat sesuatu, maka dari segi ini ada dua jenis
pertanyaan menurut Martin Heidegger yang me-
nandai kesadaran seseorang atas sesuatu, yaitu
pertanyaan ontis, dan pertanyaan ontologis.5
Pertanyaan ontis adalah pertanyaan yang
didasari oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu
apa adanya. Dalam mendekati suatu objek, subjek
hanya ingin sekedar mengetahui kondisi faktual
sesuatu tanpa ada keinginan lebih lanjut untuk
merefleksikannya secara mendalam, dan tidak mem-
butuhkan jawaban yang kompleks untuk menjawab-

5
Heidegger, Dilektika Kesadaran Perspektif Hegel , Terj. Rudy Harisyah
Alam (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2002). 23.

392
nya. Pertanyaan semacam ini biasanya ada pada
kegiatan seseorang pada kehidupan sehari-harinya.6
Sedangkan pertanyaan ontologis adalah
bukan pertanyaan yang sifatnya sederhana, tetapi
pertanyaan yang diajukan atas dasar keinginan
untuk mengetahui hakikat sesuatu dengan jernih
dan radikal. Tetapi pertanyaan semacam ini bukan
hanya sekedar mengajukan pertanyaan tetapi lebih
kepada memperkaya pertanyaan, Sehingga untuk
memahami hakikat integrasi agama, filsafat dan seni
dalam suatu bentuk tari tradisional penting diajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan radikal
(hal ini yang mendasari peneliti memilih kajian
fenomenologis).7
Untuk tipe pendekatan fenomenologis adalah
“hermeneutic phenomenology” yang dikenalkan oleh
Martin Heidegger, yang memiliki kecenderungan
memahami objek dalam menafsirkan pengalaman-
pengalamannya yang membentuk sebuah pemaham-
an objek terhadap sesuatu (di dalam pandangan
Martin Heidegger disebut Das Sein). Hal ini dampak
dari pandangan Heidegger yang menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang selalu berproses
(becoming), bukanlah sesuatu yang telah pasti
wujudnya (Das Sein ).8
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka
bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan se-
seorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada
di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti
6
Al-Fayyadl, Teologi Negative, 63
7
Ibid, 64.
8
Kaelan, Filsafat Bahasa ( Yogyakarta; Paradigma, 2009), 186.

393
kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau
pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia
utuh maka manusia harus merealisasikan segala
potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu
tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat
tenaga tidak pantang menyerah dan selalu
bertanggungjawab atas potensi yang belum ter-
aktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok
Heidegger menjadi salah satu filsafat yang
fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang
konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui
bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia
kita, bukan dalam pendirian pengetahuan obser-
vasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita
yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka
kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguh-
nya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur
untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya
pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri
siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan
apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki,
bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang
menguatkan pendapat banyak orang mengenai
sesosok orang yang mampu melihat noumena dan
phenoumena.
Heidegger memiliki pandangan tentang
ontologis-teologis-logis (onto-teo-logis). Dalam pan-
dangan Heidegger ontologis merupakan titik tekan
yang utama, yaitu tentang permasalahan “ada”. Ada

394
bagi Heidegger bukanlah sesuatu yang dapat
didefinisikan dengan mudah, karena ia adalah
sesuatu yang selalu berproses (Das Sein ), namun
“ada” sendiri berada melampaui pemisahan subyek-
obyek, aku-dunia, rasio teoritis-rasio praktis,
pemahaman konsep fisik-konsep etik, maka “ada”
juga tidak terhampiri lewat berpikir dengan
dikotomi subyek-obyek (karena “ada” melampaui
itu).9
Pandangan ontologis Heidegger tersebut
sangat berkaitan dengan pandangan antropologis-
nya, yang menyatakan manusia adalah tempat “ada”
berada. Pandangan ontologisnya tersebut ber-
dampak pada pemikiran logisnya yang menyatakan
bahwa “ada” hanya bisa ditemukan dengan logika
fenomenologi. Bukan manusia yang memberikan
makna “ada”, tetapi “ada” menunjukkan maknanya
sendiri kepada manusia, dan manusia hanyalah
ruang/tempat “ada” mengambil tempat untuk
berada. Dengan kata lain manusia adalah partisipan
bukan penonton “ada”, oleh karena itu, hakikat
”ada” sangat berkaitan dengan erat dengan hakikat
manusia. Hal ini karena “ada” tidak dapat dengan
sendirinya menampakkan dirinya (karena ia sesuatu
yang belum terkatakan), tetapi ia membutuhkan
manusia untuk memberitakannnya.10
Dari pemikiran Heidegger di atas, dapat
ditemukan sebuah konsekuensi bahwa pemahaman

9
Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung; Pustaka Setia, 2004), 73.
10
Ricard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2003), 146.

395
adalah unsur terpenting dalam “ada” memanifestasi-
kan dirinya. Hal ini karena pemahaman adalah
modus berada di dunia bagi manusia dalam
melakukan penafsiran tentang “ada”. Dan pema-
haman sebagai modus berada di dunia dimungkin-
kan terjadinya pemahaman di tingkat pengalaman
(empirik). Oleh karena itu pemahaman merupakan
dasar bagi penafsiran, dan senantiasa hadir dalam
kegiatan penafsiran.11 Dengan kata lain pemahaman
bukan sekedar peristiwa kejiwaan, tetapi merupakan
proses ontologis, medium penyingkapan ontologis,
yakni sebagai penguakan segalanya yang riil bagi
manusia. Dengan demikian, dasar pemahaman
terletak dalam kenyataan yang lebih dahulu dari
suatu ungkapan tematis.12
Scheller berpendapat bahwa metode feno-
menologi sama dengan cara tertentu untuk me-
mandang realitas. Dalam hubungan ini kita meng-
adakan hubungan langsung dengan realitas ber-
dasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan
penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya:
1. Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman
inderawi yang menyangkut benda-benda yang
nampak dalam pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari
penerapan inderawi yang langsung dan semakin
abstrak.

11
Poespoprodjo, Hermeneutika, 76.
12
Palmer, Hermeneutika, 148.

396
3. Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang
merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
Sebagaimana halnya Husserl, Marleau-
Pontyyakin seorang filosof benar-benar harus
memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman.
Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan
begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu:
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian
tentang apa yang telah dikatakan orang tentang
realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi
luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut
realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan
Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui
dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui
benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran
manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual
membawa syarat yang essensial tentang sesuatu
alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi
fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak
hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja,
akan tetapi menurutnya, kita melakukan
perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty
menegaskan sangat perlunya persepsi untuk
mencapai yang real.
Fenomenologi berkembang sebagai metode
untuk mendekati fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu
yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil
rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang

397
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting
ialah pengembangan suatu metode yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat men-
deskripsikannya seperti penampilannya tanpa
prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan
segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar
dapat memahami fenomena sebagaimana adanya:
“Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya
sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut
Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas.Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau
menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga
seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuh-
kan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk men-
capai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan
diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”.Untuk itu, Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh
untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode
epoche dan eidetichvision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan
diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti
tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih

398
dahulu.Fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh
presupposisi pengamat.
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa
ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep
Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting
artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu
pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru
bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan
subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis
of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan”
(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi
dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang
tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik
dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang
semesta sebagai sesuatu yang teratur–mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah
terjadinya „matematisasi alam‟, alam dipahami
sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini
telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman
manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl
bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai
basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia
kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia
sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia men-
teorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

399
Konsep dunia kehidupan ini dapat mem-
berikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu
sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu
dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini
tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi
seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melain-
kan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa
yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah
makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah
observasinya adalah memahami makna. Seorang
ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari
pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh
karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke
dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin
ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus
dapat berpartisipasi ke dalam proses yang meng-
hasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam
hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt
(dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan
„endapan makna‟ yang merekonstruksi kenyataan
sehari-hari.Maka meskipun pemahanan terhadap
makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun „akurasi‟ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti,
sejauh mana „endapan makna‟ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan
sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan
menghayati.

400
Demikianlah, dalam dunia kehidupan sosial
merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang me-
nempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol
yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-
kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur
subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari
proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.

401
BAB XII
MATERIALISME

A. Pengertian materialisme
Materialisme adalah adalah paham dalam
filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat
dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada
dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua
fenomena adalah hasil interaksi material. Materi
adalah satu-satunya substansi.
Sebagai teori, materialisme termasuk paham
ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme ber-
beda dengan teori ontologis yang didasarkan pada
dualisme atau pluralitas. Dalam memberikan pen-
jelasan tunggal tentang realitas, materialisme ber-
seberangan dengan idealisme.
Kata materialisme terdiri dari kata "materi"
dan "isme". “materi” dapat dipahami sebagai
"bahan; benda; segala sesuatu yang tampak".
Materialisme adalah pandangan hidup yang
mencari dasar segala sesuatu yang termasuk ke-
hidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-
mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu
yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-
orang yang hidupnya berorientasi kepada materi
disebut sebagai "materialis". Orang-orang ini adalah
para pengusung paham (ajaran) materialisme atau
juga orang yang mementingkan kebendaan semata
(harta,uang,dsb).
Materialisme adalah paham yang hanya
bersandar pada materi (Mad’ah) yang tidak
meyakini apa yang ada di balik alam ghaib. Tidak

402
meyakini alam ghaib berarti tidak meyakini adanya
kekuatan yang menguasai alam semesta ini dan hal
itu secara otomatis menafikan adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta, karena menurut
paham ini alam beserta isinya berasal dari satu
sumber yaitu materi. Pemikiran ini sama halnya
dengan Atheisme dalam bentuk dan subtansinya
yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak.
Para penganut paham ini menolak agama sebagai
hukum kehidupan manusia, mereka lebih meng-
edepankan akal sebagai sumber segala hukum.
Pada akhirnya prinsip ini melahirkan suatu ideologi
bahwa hokum hanyalah apa yang bisa diterima oleh
akal, padahal kita tahu bahwa hasil pemikiran
manusia bersifat relatif, dalam artian bisa salah dan
juga bisa benar. Materialisme dan Atheisme me-
miliki ikatan yag sangat erat yang tidak bisa
dipisahkan antara keduanya, yaitu tidak mengakui
adanya Tuhan karena mereka mengingkari alam
ghaib.
“Philosophical materialism is the view that all that
exists is material or is wholly dependent upon matter
for its existence. This view comprises: (a) the general
metaphysical thesis that there is only one fundamental
kind of reality and that this is material, and (b) the
more specific thesis that human beings and mode other
living creatures are not dual beings composed of a
material body and an immaterial soul, but are
fundamentally bodily in nature.”1

1
H. B. Acton, “Materialism”, dalam dalam Jonathan Rée dan J. O.
Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy (London:
Routledge, 2004), 232.

403
Ciri-ciri Faham Materialisme. Setidaknya ada
5 dasar idiologi yang dijadikan dasar keyakinan
paham ini:
1) Segala yang ada (wujud) berasal dari satu
sumber yaitu materi (ma’dah).
2) Tidak meyakini adanya alam ghaib.
3) Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya
alat mencapai ilmu.
4) Memposisikan ilmu sebagai pengganti
agama dalam peletakan hukum.
5) Menjadikan kecondongan dan tabiat
manusia sebagai akhlak.
Adalah sebuah paham garis pemikiran,
dimana manusia sebagai nara sumber dan juga
sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada
dengan jalan dialetis.

B. Pendapat-pendapat yang Ada Pada Paham


Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam
filsafat yang pandangannya bertitik tolak pada
materi (benda). Materialisme memandang bahwa
benda itu primer sedangkan ide itu ditempatkan di
sekundernya, sebab materi itu ada terlebih dahulu
baru kemudian ada ide. Pandangan ini berdasarkan
atas kenytaan menurut proses waktu dan zat.
Misalnya menurut proses waktu, lama sebelum
manusia yang mempunyai ide itu ada di dunia,
alam raya ini sudah ada. Dan menurut zat, manusia
tidak bisa berfikir atau mempunyai ide apabila
tidak mempunyai otak sedangkan otak adalah

404
sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca
indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada
lalu baru muncul ide dari padanya.
Para filsuf materialisme menganggap bahwa
materi berada di atas segala-galanya. Beberapa
pendapat mereka yang lain adalah:
1. Tidak ada Sesuatu yang bersifat non material
seperti roh, hantu, syetan, malaikat. Pelaku-
pelaku immaterial tidak ada.
2. Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati (supra-
natural). Realitas satu-satunya adalah materi dan
segala sesuatu merupakan manifestasi aktifitas
materi.
3. Setiap peristiwa mempunyai sebab material dan
penjelasan material tentang semua itu merupa-
kan satu-satunya penjelasan yang paling tepat.
4. Materi dan aktifitasnya bersifat abadi. Tidak ada
sebab pertama dan penggerak pertama.
5. Bentuk material dari barang-barang dapat di-
ubah tapi materi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan.
6. Tidak ada kehidupan yang kekal, semua gejala
berubah akhirnya melampaui eksistensi yang
kembali lagi ke dasar material primordial, abadi
dalam sutu peralihan wujud kembali yang abadi
dari materi.

C. Aliran-aliran dalam Materialisme


1. Aliran Materialisme Mekanik
Materialisme mekanik adalah aliran filsafat
yang pandangannya materialis sedangkan
metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan

405
bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak
dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang
mekanis artinya, gerak yang tetap selamanya
atau gerak yang berulang-ulang (endless loop)
seperti mesin yang tanpa perkembangan atau
peningkatan secara kualitatif.
Materialisme mekanik tersistematis ketika
ilmu tentang meknika mulai berkembang
dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai
pengusung materialisme pada waktu itu ialah
Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500
SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat
bahwa aktivitas psikik hanya merupakan
gerakan atom-atom yang sangat lembut dan
mudah bergerak.
Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandang-
an materialisme primitif ini mulai menurun
pengaruhnya digantikan dengan pandangan
idealisme yang diusung oleh Plato dan
Aristoteles. Sejak itu, ± 1700 tahun lamanya
dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme.
Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad
ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru
dengan cara produksinya yang baru, material-
isme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih
modern karena ilmu pengetahuan telah maju
sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu
materialisme ini menjadi senjata moril/idiologis
bagi perjuangan klas borjuis melawan klas feodal
yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan
materialisme ini meluas dengan adanya revolusi
industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil

406
dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah
Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus
Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat
materialisme mekanik mencapai titik puncaknya
ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-18
yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789
M), Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga
materialisme Perancis.
Materialisme Perancis dengan tegas me-
ngatakan materi adalah primer dan ide adalah
sekunder, Holbach mengatakan: “materi adalah
sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu
menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat
yang kita kenal dari bermacam hal-ichwal itu
adalah hasil dari bermacam impresi atau
berbagai macam perubahan yang terjadi di alam
pikiran kita terhadap hal-ichwal itu”.
Materialisme Perancis menyangkal pan-
dangan religus tentang penciptann dunia
(Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam
pikiran manusia. Bahkan secara terang-terangan
Holbach mengatakan “nampaknya agama itu
diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan
supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan raja
lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam
dunia ini sangat celaka, maka ada orang yang
datang mengancam mereka dengan kemarahan
Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarah-
kan pandangan mereka kelangit, dengan demiki-
an mereka tidak lagi dapat melihat sebab
sesungguhnya daripada kemalangannnya itu”.

407
Materialisme Perancis adalah pandangan
yang menganggap segala macam gerak atau
gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai
oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat
dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan
segala aktivitetnya pun dipandang seperti mesin
yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas
sekali dalam karya Lamettrie yang berjudul
“Manusia adalah mesin”. Mereka tidak melihat
adanya peranan aktif dari ide atau pikiran
terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan
sekaligus kelemahan materialisme Perancis.
2. Aliran Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik mengajarkan bahwa
materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau
statis selamanya seandainya materi itu berubah
maka perubahan tersebut terjadi karena faktor
luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu
disebut gerak ekstern atau gerak luar.
selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-
pisah atau tidak mempunyai hubungan antara
satu dengan yang lainnya.
Materialisme metafisik diwakili oleh
Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini
mengakui bahwa adanya “ide absolut” pra-
dunia dari Hegel, adanya terlebih dahulu
“kategori-kategori logis” sebelum dunia ada,
adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari
kepercayaan tentang adanya pencipta diluar
dunia; bahwa dunia materiil yang dapat
dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-
satunya realitet. Tetapi materialisme metafisik

408
melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhan-
nya, tidak dari saling hubungannya, atau segala
sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu
yang real itu tidak bergerak, diam.
Pandangan ini mengidamkan seorang
manusia suci atau seorang resi suci yang penuh
cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan
agama lama yang menekankan hubungan
manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama
baru yaitu hubungan cinta kelamin antara
manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach:
“Tuhan adalah bayangan manusia dalam
cermin”, Feurbach menentang teologi, dalam
filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach
mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia,
pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach tidak
melihat peran aktif dari ide dalam per-
kembangan materi, yang materi bagi Feurbach
adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen)
sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal
tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet
yang dilakukan manusia/materi tersebut.
Materialisme metafisik menganggap kont-
radiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai
hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme
Feurbach. Pandangannya bertolak daripada
materialisme tetapi metode penyelidi-kan yang
dipakai ialah metafisis. Metode metafisis inilah
yang menjadi kelemahan ter-besar bagi material-
isme Feurbach.

409
3. Aliran Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis adalah aliran filsafat
yang bersandar pada materi (benda) dan
metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan
bahwa materi itu mempunyai keterhubungan
satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan
saling bergantung satu dengan lainnya. Gerak
materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu
pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang
lebih tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokoh-
tokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx
(1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).
Gerakan materi itu adalah gerak intern,
yaitu bergerak atau berubah karena dorongan
dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang
disebut “diam” itu hanya tampaknya atau
bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang
tampaknya atau bentuknya “diam” itu isinya
tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk
gerak.
Metode yang dipakai adalah dialektika
Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah
yang pertama kali menemukan metode
dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensis-
tematiskan metode tersebut. Tetapi oleh Marx
dijungkir balikkan dengan bersandarkan ma-
terialisme.
Marx dan temannya Engels mengambil
materialisme Feurbach dan membuang metode-
nya yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya.
Dan memakai dialektika sebagai metode dan
membuang pandangan idealis Hegel.

410
Dialektika Hegel menentang dan meng-
gulingkan metode metafisis yang selama beabad-
abad menguasai lapangan filsafat. Hegel me-
ngatakan yang penting dalam filsafat adalah
metode bukan kesimpulan-kesimpulan meng-
enai ini dan itu. Ia menunjukkan kelemahan-
kelemahan metafisika:
a. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan
dari keseluruhannya, tidak dari saling
hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel
memandang dunia sebagai badan kesatuan,
segala sesuatu didalamnya terdapat saling
hubungan organic.
b. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak
dari geraknya, melainkan sebagai yang diam,
mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel
melihat segala sesuatu dari perkembangan-
nya, dan perkembangannya itu disebabkan
kontradiksi internal, kaum metafisik ber-
pendapat bahwa: segala yang bertentangan
adalah irasionil. Mereka tidak tahu bahwa
akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan.

D. Tokoh-tokoh Aliran Materialisme


1. Ludwig Feuerbach
Ludwig Feuerbach (1804-1872) adalah filosuf
materialisme yang cukup berpengaruh padan
abad pertengahan. Feuerbach adalah seorang
yang dilahirkan ditengah keluarga yang terpelajar
di jerman. Ibunya seorang Protestan yang shaleh
dan ayahnya adalah seorang ahli hukum yang

411
disegani. Namun begitu Feuerbach lebih tertarik
kedalam bidang keagamaan di banding persoalan
yang lain. Hal ini dibuktikannya keinginan
Feuerbach masuk di Universitas Haeidelberg
pada tahun 1823 untuk mendalami teologi
protestan.2
Pada tahun 1824 Feuerbach pergi ke berlin
untuk berguru pada Hegel seorang filosuf ideal-
ism yang terkemuka. Feuerbach sangat meng-
angguminya sampai ia menjuluki Hegel sebagai
“ayah kedua”.3 Dari belajar filsafat bersama
Hegel ini, Feuerbach berubah pikiran untuk men-
dalami filsafat lebih serius hingga pada akhirnya
pada tahun 1828 ia mendapatkan gelar dokternya
dan pada tahun 1829-1832, ia menjadi dosen
filsafat. pada tahun 1830 ia menulis sebuah karya
yang dianggap membahayakan iman Kristen
dengan judul “Gedanken Uber Tod Unterblichkeit”
(beberapa pemikiran tentang kematian dan ke-
abadian) hingga akhirnya ia sulit untuk mendapat
gelar profesornya. Bahkan bukan hanya itu
Feuerbach melepaskan kedudukannya sebagai
seorang dosen demi keyakinannya dan menjadi
seorang penentang agama yang tajam.4
Pada tahun 1841 Feuerbach menulis sebuah
buku perlawanannya terhadap agama Kristen
yang berjudul Das Wesen Des Christentums
(hakekat agama Kristen). Dari sini Feuerbach

2
Simon Petrus L. Tjahjadi,” Tuhan Para Filsuf Dan Ilmuwan Dari
Descrates Sampai Whitehead” (Yogyakarta; Kanisius, 2007), 92.
3
Harun Hadi Wijono, ibid, 117.
4
Simon Petrus L. Tjahjadi, ibid, 92.

412
terlihat sangat berbeda dari cita-citanya ingin
menjadi teolog berbalik menjadi anti-teolog.5 Pada
tahun 1868 Feuerbach menggabungkan diri
dengan partai social-demokrat jerman setelah
membaca pemikiran-pemikiran Karl Marx lewat
bukunya “Das Capital” hingga pada tahun 1872
Feuerbach meninggal dunia karena serangan
jantung.6
Filsafat Feuerbach sebenarnya adalah per-
tentangan dengan filsafat Hegel yang di idolakan-
nya. Hegel berpendapat bahwa dalam kesadaran
manusia, Allah mengungkapkan diri jadi menurut
Hegel bahwa “Roh Semesta” adalah pelaku utama
dalam sejarah kehidupan ini walau-pun “Roh
Semesta” tersebut seolah-olah tampak dibelakang
layar.7 Pernyataan Hegel tersebut yang menjadi
Feuerbach berpikir ulang dan mem-bantahnya
dengan kritikan yang tajam.
Menurut Feuerbach Hegel hanyalah me-
mutar balikan fakta. Hegel memberi kesan
seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak
kelihatan), sedangkan manusia (yang terlihat)
hanyalah bayangan yang digerakan oleh Allah.
Jadi menurut Feuerbach yang nyata adalah Allah
ada dalam pikiran manusia bukan manusia dalam
pikiran Allah. Jadi Feuerbach membantah Hegel
yang menyatakan bahwa dirinya merasionalkan
agama melalui filsafat, yang ada sebenarnya
kepercayaan agama yang Hegel bungkus dengan
5
Harun Hadiwijono, ibid, 117-118.
6
Simon Petrus L. Tjahyadi, ibid, 93.
7
Ibid, 94.

413
filsafat.8 menurut Feuerbach hal ini berarti bahwa
sebenarnya rasionalitas masih dibawah ketiak
agama dan tidak pernah ada pengangkatan agama
ke dalam rasionalitas filsafat.
Dari kritik Feuerbach terhadap filsafat Hegel
tersebut maka terciptalah gagasan tentang homo
homini dues (manusia adalah Allah bagi dirinya
sendiri), yang artinya bahwa Allah adalah ciptaan
angan-angan manusia, bukanlah yang mencipta-
kan manusia dan alam semesta ini.9 Pandangan
Feuerbach ini sendiri sebenarnya berdasarkan dari
ide Hegel tentang bagimana manusia bisa menjadi
dirinya sendri. Untuk itu maka manusia harus
menjadi objek dirinya sendiri, jadi ia harus keluar
untuk memproyeksikan dirinya sendiri agar ia
mengetahui hakekat dirinya sendiri lewat
proyeksi yang telah ia ciptakan, dan proyeksi ter-
sebut adalah Tuhan dan agama.10 Contohnya
seorang pelukis, ia akan mengetahui bahwa
dirinya seorang pelukis setelah ia melukiskan
sesuatu yang ingin dia lukiskan. Proyeksi seperti
ini manusia akan dapat mengenal dirinya sendiri
dan mengetahui identitasnya.
Lebih lanjut Feuerbach berpendapat bahwa
manusia adalah bukan hanya makhluk individual
saja, namun ia juga merupakan makhluk generic.
Maksudnya, manusia didalam dirinya terdapat
gambaran bahwa ia juga merupakan proyeksi dari

8
Franz Magnis Suseno,” Menalar Tuhan” (Yogyakarta; Kanisius, 2006),
65.
9
Amsal Bahtiar, ibid, 122.
10
Franz Magnis Suseno, Ibid, 66.

414
manusia di seluruh dunia11. Namun dalam hal ini
manusia merupakan hanya kemanusiaan secara
virtual karena ia mengasingkan dirinya atas nama
Tuhan yang imajiner, maka hakekat kemanusian-
nya yang sesungguhnya menjadi buram dan
kabur. Agama atau Tuhan faktor utama dalam
mengaburkan hakikat manusia yang sesungguh-
nya maka sudah menjadi tugas filsafat untuk me-
ngembalikan bagian terbesar dari diri manusia
yang telah diasingkan oleh agama dan Tuhan
yang imjiner, serta membuktikan bahwa per-
bedaan hal-hal yang manusiawi dan yang kudus
adalah khayalan.12
Walaupun agama dan Tuhan mengaburkan
hakikat diri manusia namun agama masing
memiliki nilai positif bagi Feuerbach, yaitu agama
dan Tuhan telah menjadi proyeksi hakikat
manusia. Dari agama manusia menjadi menge-
tahui bahwa dirinya kuasa, dirinya kreatif, baik
hati, memiliki belas kasihan dan lain sebagainya.
Namun celakanya menurut Feuerbach manusia
lupa bahwa proyeksinya yang ia agung-agungkan
tersebut sebenarnya adalah dirinya sendiri bukan-
lah entitas yang lain.13
Maka untuk menjadi manusia sempurna
yang tahu akan hakikatnya, Feuerbach ber-
pendapat manusia harus mengakhiri keterasing-
annya dari agama dan menjadi diri sendiri serta
melepaskan keterikatannya dengan agama dan
11
Harun Wijono, Ibid.,118.
12
Simon Petrus L. Tjahjadi, Ibid, 94-95.
13
Amsal Bahtiar, Ibid, 122.

415
Tuhan yang merupakan proyeksi dirinya.
Manusia harus” menarik agama dan Tuhan
kedalam dirinya sendiri”, yang artinya manusia
harus menolak kepercayaannya kepada Tuhan
yang maha tinggi, mahasuci, mahakuat, mahaadil,
maha bijaksana, mahatahu agar ia sendiri menjadi
tinggi. Suci, kuat, adil, bijaksana, tahu seperti
yang mereka inginkan.
Manusia harus membongkar agama yang
ada dalam dirinya agar ia dapat merealisasikan
potensi-potensi yang dimilikinya secara terang.14
Serta mengubah teologi menjadi antropologi
untuk mengetahui dan menemukan bahwa ke-
kuasaan Tuhan itu sebenarnya milik manusia itu
sendiri.15
2. Karl Marx
Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filosuf
yang sangat populer dan paling controversial
sepanjang sejarah pemikiran manusia. Marx
adalah penggagas sosialisme ilmiah yang cukup
mumpuni sepanjang pergolakan politik dan
ekonomi Eropa pada abad pencerahan. Bukan
karena gerakan-gerakan yang Marx dirikan faktor
utama yang menjadikannya besar, akan tetapi
karena pemikirannya yang mempengaruhi filosuf-
filosuf besar yang lain di masanya maupun
setelahnya.16
Marx dilahirkan dari keluarga Yahudi
miskin yang kurang loyal terhadap keyakinan
14
Franz Magniz Suseno, Ibid,68.
15
Simon Petrus L. Tjahyadi, Ibid,102.
16
Betrand Russel, Ibid, 1018.

416
mereka yang disebabkan gerakan anti-semit dan
kemiskinan yang mereka alami di Jerman pada
abad pertengahan Eropa. Moyang Marx adalah
seorang Rabi Yahudi, namun orang tuanya
mengganti keyakinan mereka menjadi Kristen
demi kehidupan yang layak dan sejahtera.17 Dan
pergolakan kehidupan keluarganya inilah yang
mempengaruhi pemikiran tentang agama Marx di
kemudian hari.
Pemikiran Marx selain di pengaruhi filsafat
Hegelianisme, dia juga sangat di pengaruhi oleh
sosialisme Perancis. Hal ini dibuktikan dengan
Marx banyak berkunjung kekota-kota di Perancis
pada tahun 1848 untuk mendalami sosialisme
Perancis. Di Perancis Marx bertemu dengan
Engels, yang menjadi manager di sebuah pabrik
sepatu di Manchester. Melalui Engels inilah Marx
menadapatkan pengetahuan tentang kondisi
tenaga kerja dan perekonomian Inggris.18
Marx turut andil dalam revolusi Perancis
dan juga revolusi Jerman pada tahun 1848, karena
keterlibatannya tersebut maka hal ini memaksa-
nya untuk mencari suaka perlindungan ke Inggris
pada tahun 1849. Di Inggris Marx menjalani
kehidupan yang penuh derita karena kemiskinan,
yang menyebabkan kematian anak-anaknya.
Tetapi Marx tidak pernah putus asa dalam
membangun keilmuannya dengan penuh sema-
ngat dan kerja keras, dengan menghabiskan sisa

17
George Ritzer, dkk., Ibid, 32.
18
Harun Hadiwijono, Ibid, 118.

417
hidupnya di perpustakaan London dan meng-
hasilkan sebuah karya agungnya “Das Capital”.19
Marx menyebut dirinya adalah materialis,
tetapi bukan jenis materialis pada abad 18. Tipe
materialis Marx masih dibawah pengaruh
dialektika Hegel, maka sering disebut material-
isme–dialektika, berbeda dengan materialisme
tradisional dalam beberapa sudut pandang Marx,
materialism Marx lebih dekat kepada instru-
mentalisme John Dewey pada abad 20.20
Materialisme tradisional menurut Marx
adalah keliru karena menganggap penginderaan
bersifat pasif terhadap aktvitas objek. Menurut
Marx semua penginderaan dan pencerapan
merupakan interaksi antara subjek dan objek,
apabila objek lepas dari aktivitas penginderaan
atau pencerapan hal itu absurd, karena masih
mentah untuk di jadikan bahan mentah proses
pengetahuan. Marx berpendapat bahwa kebenar-
an pikiran adalah realitas dan kekuasaan yang
harus di peragakan atau di praktekan dalam suatu
tindakan. Pertentangan antara realitas pikiran dan
non-realitas pikiran yang terpisah dari praktek
merupakan pertanyaan skolastik murni dan tak
perlu dijawab, karena bukan tugas filosuf untuk
menafsirkan dunia dengan berbagai cara yang
dimilikinya, namun tugas mereka sebenarnya
adalah mengubah dunia dengan segenap ke-
kuatan yang dimilikinya.21
19
George Ritzer, Ibid, 33.
20
Betrand Russel, Ibid, 1020-1025.
21
Ibid.

418
Filsafat Marx sendiri tentang agama bisa
dikatakan sangat dikenal dikalangan sosiolog dan
filosuf di kemudian hari. Menurut Marx “agama
adalah candu bagi masyarakat”, maksud Marx
adalah agama sebagai keluhan masyarakat yang
tertindas dan terdesak, agama hanya realisasi
hakekat manusia dalam angan-angan karena
hakekat manusia tidak mempunyai realitas yang
sungguh-sungguh oleh sebab itu penderitaan
relegius hanyalah sebagi tameng untuk meng-
ekspresikan penderitaan yang nyata sekaligus
sebagai protes terhadap penderitaan nyata
tersebut.22 hasil pemikiran Marx ini sendiri
meneruskan pemikiran Feuerbach yang dianggap-
nya masih belum selesai pada tahap ateisme yang
radikal. Marx berpendapat, Feuerbach masih
belum berpikir secara konkrit sebab Feuerbach
menganggap remeh manusia dengan menyama-
kan manusia sama derajat berpikirnya dengan
makhluk atau benda-benda lain. Menurut Marx,
manusia haruslah di bedakan dengan binatang,
karena manusia makhluk yang bermasyarakat,
makhluk yang terlibat dalam proses produksi,
hubungan kerja dan kepemilikan pada sesuatu.
Jika berbicara tentang manusia maka tidak bisa
lewat pendekatan abstraksi namun harus melaku-
kan pendekatan konkrit, hal inilah yang disebut
dengan Negara dan masyarakat yang bersatu
padu dalam proses menghasilkan suatu agama.23

22
Franz Magnis Suseno, Ibid, 72.
23
Amsal Bahtiar, Ibid, 123.

419
Marx sependapat dengan Feuerbach yang
menyatakan bahwa agama adalah proyeksi
pikiran dan keinginan manusia.24 Namun beda-
nya bila Feuerbach keinginan tersebut muncul
karena manusia ingin mengetahui hakekat dirinya
sebagai manusia, namun Marx berpendapat
bahwa keinginan manusia tersebut ada ketika
manusia berinteraksi dengan manusia lain di
dalam masyarakat yang bersama-sama meng-
gagas untuk menciptakan suatu agama tertentu di
kalangan mereka. Feuerbach menurut Marx
belum sampai pada kesimpulan bahwa peng-
asingan relegius adalah sebagai suatu kenyataan
sosiologis, hanya sebatas kenyataan individual.25
Marx berpendapat bahwa agama memiliki
fungsi yang berbeda berdasarkan pada setiap
struktur masyarakat yang berbeda. Agama bagi
kaum elit sebagai alat legitimasi atas tindakan
yang mereka lakukan,baik ketidak adilan maupun
moralitas yang disesuaikan oleh kepentingan-
kepentingan yang menguntungkan mereka. Bagi
kaum proleta agama sebagai pelarian dari pe-
nindasan yang mereka alami, hal ini karena
mereka tidak mampu melawan struktur kelas
yang amat kuat, sehingga mereka lari kepada
kekuatan-kekuatan spiritual yang sebenarnya itu
semua adalah khayalan mereka sendiri.26 Dari
keadaan yang begitu terdesak maka kaum proleta
menciptakan Tuhannya sendiri sesuai dengan
24
Ibid 122.
25
Franz Magnis Suseno, Ibid, 72.
26
Amsal Bahtiar, Ibid, 123-124.

420
kebutuhan mereka. Orang miskin menuhankan
yang kaya, orang lemah menuhankan yang kuat,
yang berkonflik menuhankan yang damai. Marx
sendiri menolak segala bentuk ketuhanan yang
ada, yang ia percayai sebagai satu-satunya Tuhan
adalah pikiran.27
Maka dari itu dibutuhkan kehadiran sosial-
isme yang penuh dengan rasionalitas ditengah-
tengah mereka demi kesejahteraan yang di
dambakan, dengan demikian agama akan mati
secara perlahan-lahan di kemudian hari layaknya
kematian Negara.28
Kritikan Marx sebenarnya ingin melepaskan
agama yang dianggapnya hanya sebuah ilusi
belaka dari pikiran-pikiran kaum proleta agar
tidak mau untuk diperalat oleh kaum-kaum elit.29
Kritik agama Marx menurut harus dilanjutkan
kepada kritik sosio-politik yang membuat
manusia terjerumus kedalam lembah hitam yang
memabukkan yang bernama agama. Marx me-
nyimpulkan bahwa kritik surga menjadi kritik
dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik
teologi menjadi kritik politik, sehingga manusia
akan dapat menemukan dan mengembangkan
hakikatnya yang nyata dan positif.30
Menurut Marx sejarah umat manusia sejak
zaman primitif dibentuk oleh faktor-faktor
kebendaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan

27
Ibid, 124.
28
Franz Magnis Suseno, Ibid, 73.
29
Amsal Bahtiar, Ibid, 124-125.
30
Franz Magnis Suseno, Ibid, 73.

421
adanya pemilikan pribadi yang kemudian me-
nimbulkan pertarungan memperebutkan materi
atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah
yang menjadi faktor konstitutif proses sosial
politik historis kemanusiaan. Marx menyangkal
argumen Hegel maupun Weber yang melihat
faktor non-bendawi, roh, dan gagasan ber-
pengaruh dan menentukan sejarah. Inilah paham
materialisme sejarah Marx.
Untuk memahami materialisme sejarah, kita
juga perlu memahami bagaimana paham
materialisme Marx. Materialisme adalah faham
serba benda. Bertitik tolak dari asumsi itu, Marx
meyakini bahwa tahap-tahap perkembangan
sejarah ditentukan oleh keberadaan material.
Bentuk dan kekuatan produksi meterial tidak saja
menentukan proses perkembangan dan hubungan
-hubungan sosial manusia, serta formasi politik,
tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial. Marx
berpendapat bahwa hubungan-hubungan sosial
sangat erat kaitannya dengan kekuatan-kekuatan
produksi baru manusia akan mengubah bentuk-
bentuk atau cara produksi mereka.
Jadi, materi baik dalam bentuk modal
kekuatan-kekuatan maupun alat-alat produksi
merupakan basis sedangkan kehidupan sosial,
politik, filsafat, agama, seni, dan negara merupa-
kan suprastruktur. Kata materialisme yang diguna-
kan Marx bukanlah dalam arti filosofis sebagai
kepercayaan bahwa hakekat seluruh realitas
adalah materi, melainkan ia ingin menunjukan
pada faktor-fakor yang menentukan sejarah yang

422
terdapat dalam produksi kebutuhan manusia.
Seperti dalam penjelasan sebelumnnya faktor-
faktor ini mengacu pada keadaan manusia.
Istilah sejarah mengacu pada Hegel sebagai
proses dialektis diterima Marx. Akan tetapi
terdapat perbedaan pengertian. Sejarah dalam
pengertian Marx adalah perjuangan kelas-kelas
untuk mewujudkan kebebasan, bukan perihal
perwujudan diri Roh, bukan pula tesis (anti tesis
Roh Subjektif) Roh Objektif melainkan me-
nyangkut kontradiksi-kontradiksi hidup dalam
masyarakat terutama dalam kegiatan ekonomi
dan produksi. Jadi untuk memahami manusia dan
perubahannya tidak perlu memperhatikan apa
yang dipikirkan oleh manusia melainkan melihat
segala hal yang berkaitan dengan produksi.
Begitu pula dengan kesadaran dan cita-cita
manusia ditentukan oleh keadaannya dalam
masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam
kelas sosial. Sebagai contoh kaum buruh (kelas
proletar). Ketiadaan atas kepemilikan alat-alat
produksi membuat buruh secara historis terpaksa
tidak punya banyak pilihan bertindak. Tujuan dan
kegiatan historisnya telah digariskan dalam
keadaan hidupnya yang “bergantung” dari
kemauan kelas pemilik alat-alat-produksi. Karena
keadaan ini, cara produksi menentukan cara
manusia berpikir. Dalam hal ini, cara berpikir
buruh karena bergantung pada kelas atas adalah
bagaimana untuk dapat bertahan hidup (survive).
Sedangkan pada kelas atasnya adalah untuk
menguasai sebanyak-banyak alat produksi. Dari

423
hal tersebut dapat ditarik beberapa hal. Pertama,
cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas
sosial. Kedua, keanggotaan dalam kelas sosial
menentukan kepentingan orang. Ketiga, kepen-
tingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa
yang dianggap baik-buruk.
Jika keadaan menentukan cita-cita dan
kesadaran, maka bagi Marx, hidup rohani, agama,
moralitas, nilai-nilai budaya, dan lain-lain. bersifat
sekunder . Hal-hal tersebut bersifat primer karena
hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur
kelas masyrakat dan pola produksi. Jika kita
mengharapkan perubahan dalam masyarakat
maka yang diperlukan adalah perubahan dalam
cara produksi. Perihal hubungan lingkup ke-
hidupan manusia ini dapat dibayangkan sebuah
bangunan yang terdiri dari basis dan bangunan
atas.
Materialisme historis dipahami sebagai
perluasan prinsip-prinsip materialisme dialektik
pada anahsis mengenai kehidupan masyarakat,
atau pengeterapan prinsip-prinsip materialisme
dialektik pada gejala kehidupan masyarakat.
Bertolak dari proposisi bahwa yang terpenting
dari filsafat adalah bukan hanya bongkar pasang
makna tentang dunia namun bagaimana merubah
kenyataan dunia, Karl Marx meneruskan konsis-
tensi pemikirannya pada kasus hukum dialektika
sejarah dalam masyarakat manusia.
Dalam materialisme historis, Marx men-
jabarkan secara ilmiah mata rantai kelahiran,
perkembang-an dan kehancuran sistem mas-

424
yarakat beserta kelas-kelas sosial dalam suatu
kurun sejarah.

425
BAB XIII
PRAGMATISME

A. Kemunculan dan Perkembangan Pragmatisme


Wacana filsafat yang menjadi topik utama
pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah
persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam
bidang epistemologi adalah bagaimana manusia
memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang
paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang
benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran
itu sendiri.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang bercorak epistemologis ini, maka dalam
filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang
memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling
bertentangan. Aliran filsafat tersebut adalah
rasionalisme dan empirisme. Empirisme itu sendiri
pada abad ke-19 dan 20 berkembang lebih jauh
menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu
Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia
menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa
akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi,
kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa
akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan

426
demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat
bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan
orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya
dalam pengertian praktis. Jika orang berkata,
Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya
ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian
seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum meng-
gambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi
relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan
bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna
bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu
dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami
perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga
patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1)
menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme,
serta (3) meremehkan logika formal.1
Pragmatisme adalah aliran yang tersebar luas
dalam filsafat modern. Pragmatisme merupakan inti
filsafat pragmatik dan menentukan nilai penge-

1
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius,
1980), 131.

427
tahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Keguna-
an praktis bukan pengakuan kebenaran objektif
dengan kriterium praktik, tetapi apa yang me-
menuhi kepentingan subjektif individu.
Aliran pragmatisme pertama kali dimuncul-
kan oleh William james di amerika saat ia menulis
bukunya yang berjudul pragmatisme (1907) dan the
meaning of truth (1909). James sangat berjasa besar
dalam membesarkan aliran ini walaupun ia sendiri
yang mendaulat bahwa peirce. James dengan
meliorisme nya mencoba menengahi antara tough
minded dan tender minded. Dimana dua corak filsafat
tersebut sangat mempengaruhi eropa dan seluruh
dunia pada waktu itu.
Bila Peirce mengembangkan pragmatisme
dengan metode logis empiris maka James me-
ngembangkan pragmatismenya dengan keilmuan
psikologi dan kebutuhan vital manusia sendiri, dan
karena hal ini sangatlah mempengaruhi pemikiran
james maka pragmatisme james lebih bertendensi
kepada hal-hal yang praktis dari pada murni
teoritis. Jika tujuan filsafat pragmatisme pierce di-
pahami secara logis dan ilmiah, serta filsafat
dibatasi dengan pengayaan intelektual. maka james
tujuan pragmatisme dan hasil praktisnya dipahami
secara moral, spiritual dan secara individual dalam
arti pengembangan kemanusiaan.
Kendati pragmatisme merupakan filsafat
Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru, socrates sebenarnya ahli dalam hal ini,
dan Aristoteles telah menggunakannya, secara
metodis John Locke (1632-1704), George Berkeley

428
(1685-1753), dan David Hume (1711-1776) mem-
punyai sumbangan yang sangat berarti dalam
pemikitan pragmatis ini.
Dari segi historis, abad ke-19 di tandai
dengan skeptisme yang di tiupkan oleh teori evolusi
Darwin. Nilai relijius dan spiritual menjadi di-
pertanyakan. Filsafat Unitarinia, suatu aliran
pemikiran yang hanya menerima ke Esaan Tuhan
yang bergantung pada argumen-argumen tentang
teologi kodrati dan oerwahyuan, lemah dalam
membela diri terhadap evolusi onisme. Karena
kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin,
filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Terlebih
lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai
proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan
atheisme dan bahwa manusia hanya bisa mem-
benarkan eksistensinya dengan agama, mereka
tidak dapat mengintegrasikan hipotesis ke dalam
keyakinan mereka.
Pada saat yang sama, suatu kelompok
pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan
untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa me-
ngorbankan agama yang essensial. Kelompok ini
melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis
tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama
dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang
fatalistis. Mereka khawatir bahwa inpretasi ini
dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis,
bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka
menganjurkan agar teori evolusi Darwin dipahami
secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri
hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan

429
“Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-
prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun
secara individual dalam menghadapi evolusi
Darwin.
Istilah Pragmatisme sebenarnya diambil oleh
C. S Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri
memberi nama “keyakinan hipotesa tertentu yang
mencakup penggunaan suatu sarana yang merupa-
kan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan
tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan
yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan
belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter
yang memberi resep untuk menyembuhkan
penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa
keyakinan-keyakinan pragmatis akan dapat diterap-
kan misalnya dalam penggunaan obat dan se-
macamnya. Ia belum menyadari bahwa keyakinan
seperti itu cocok untuk filsafat.
Karena Peirce sangat tertarik untuk membuat
filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperimen, ia
mengambil alih istilah pragmatisme untuk me-
rancang suatu filsafat yang mau berpaling kepada
konsekwensi praktis atau hasil eksperimental
sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya. Filsafat
tradisional, meurut Peierce, sangat lemah dalam
metode yang akan memberi arti kepada ide-ide
filosofis dalam rangka eksperimental serta metode
yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan
kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-
fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya
mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni
tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.

430
Pendeknya, filsafat tradisional tidak me-
nambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang
tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat
tradisional lebih menutup jalan untuk diadakannya
penyelidikan dan bukan membawa kemajuan bagi
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis
suatu pemikiran filosofis yang baru yang agak
lain dari pemikiran filosofis tradisional. Pemikiran
baru inilah yang diberi nama Pragmatisme.
Pragmatis lalu dikenal pada permulaannya sebagai
usaha Piece untuk merintis suatu metode bagi
pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki
diatas dan wujud perkembangan filsafat asli
Amerika.
“Pragmatism obviously begins with Peirce’s genuinely
innovative voice, just at the time the end of the Civil
War transforms the United States into a notably
vigorous sui generisforce (politically, economically,
intellectually) within the Eurocentric world. Peirce’s
inventive spark was caught up by a pop figure like
James, keeping pragmatism vibrant and influential in a
way Peirce couldn’t possibly have sustained, in America
and abroad. Dewey then made his appearance,
approaching pragmatic philosophy from the well-
regarded vantage of “neo-Kantian idealism,” as he
himself freely admits in his 1925 account of “The
Development of American Pragmatism”2
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari
usaha filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi

2
Joseph Margolis, “Introduction: Pragmatism, Retrospective, and
Prospective”, dalam John R. Shook and Joseph Margolis, A Companion
to Pragmatism (Oxford: Blackwell, 2006), 1.

431
untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisi-
onal bukan suatu hal yang mudah. Untuk merubah-
nya diperluukan revisi logika dan metafisika yang
merupakan dasar filsafat. Dengan demikian,
pragmatism muncul sebagai usaha refleksi analitis
dan filosofis mengenai kehidupan Amerika sendiri
yang dibuat oleh orang Amerika di amerika sebagai
suatu bentuk pengalaman mendasar, dan mening-
galkan jejaknya pada setiap kehidupan Amerika.
Oleh karena itu, ada satu alasan yang kuat untuk
meyakini bahwa pragmatisme mewakili suatu
pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia.
Atau barangkali lebih tepat kalu dikatakan bahwa
pragmatism mengkristalisasikan keyakinan dan
sikap-sikap yang telah menentukan perkembangan
Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai
asfek kehidupannya, misalnya dalam penerapan
tekhnologi, kebijakan-kebijakanpolitim pemerintah
dan sebagainya. Beberapa pandangan pragmatisme
tentang filsafatnya.
1. Pengetahuan berasal dari pengalaman, metode-
metode eksperimental dan usaha-usaha praktis.
Pragmatisme kritis terhadap spekulasi metafisik
dalam meraih kebenaran.
2. Pengetahuan harus digunakan untuk memecah-
kan masalah-masalah setiap hari, masalah
praktis membantu untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Pemikiran harus berhubungan
dengan praktek dan aksi.
3. Kebenaran dan arti gagasan-gagasan harus
dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensinya
(hasil, penggunaan). Gagasan-gagasan merupa-

432
kan pedoman bagi aksi positif dan bagi rekon-
struksikreatif atas pengalaman dalam ber-
hadapan dan penyesuaian dengan pengalaman-
pengalaman baru.
4. Kebenaran adalah apa yang bernilai praktis
dalam pengalaman hidup kita. Ia bertindak
sebagai instrumen, sasaran dalam pencapaian
tujuan-tujuan kita dan dalam kemampan kita
untuk meramalkan dan menyusun masa depan
bagi penggunaan kita.
5. Kebenaran itu berubah, bersifat tentatif dan
asimtotis.
6. Arti gagasan (teori, konsep,keyakinan) sama
dengan kegunaan praktis yang dapat diberikan
oleh gagasan itu dan konsekuensi yang berasal
dari gagasan itu.
7. Dalam menjelaskan realitas, pragmatisme meng-
ambil pendirian “ empirisme radikal” yang ber-
kaitan erat dengan emperio kritisisme.
Emperisme radikal yang dimaksud james adalah
yang berisi postulat, pernyataan tentang fakta
dan konklusi umum. Dalam pragmatisme,
realitas objektif diidentikkan dengan” pengalam-
an”. Dan pembagian pengetahuan ke dalam
subjek dan objek hanya dilakukan di dalam
pengalaman. Dalam logika, pragmatisme sama
pada irrasionalisme, hal ini nampak jelas dalam
karya james, dan secara tersirat dalam karya-
karya Dewey. Pragmatisme menganggap
Hukum-hukum dan bentuk logika sebagi fiksi-
fiksi yang berguna. Dalam etika, pragmatisme
menganut meliorisme. Yaitu, pandangan tentang

433
peningkatan secara bertingkat dari tatanan yang
ada. Sementara dalam sosiologi, ia melebar dari
kultus individu (james) dan pembelaan terhadap
demokrasi (dewey) sampai kegiatan meningkat-
kan pertahanan terhadap rasisme dan fasisme.
Pragmatisme yang James ajarkan kepada
Dewey telah memunculkan Amerika pada saat ini,
dan pengaruhnya sampai terasa saat ini, jadi
generasi Amerika pada zaman sekarang dan
seterusnya adalah tanggung jawab dari James dan
Dewey yang telah membesarkannya. Seperti di-
ketahui saat ini bahwa filsafat pragmatisme
sangatlah berbahaya bagi kemanusiaan dan
manusia itu sendiri karena kepraktisan dan
landasan berpikir dari aliran pragmatisme.
Pertanyaannya adalah apa yang paling
merusak dari filsafat itu? Jawabannya adalah di
pragmatisme tidak ada hukum moral umum, tidak
ada kebenaran umum, semua kebenaran belum
final. Ini berakibat subjektivisme dan individualism,
hal ini juga menyebabkan krisis pemikiran dan
kepercayaan hidup manusia itu sendri. Karena
pemikiran pragmatisme memunculkan perang
ideologi yang makin kencang dan terus menerus,
serta tidak adanya kepastian kebenaran.
Seperti yang kita lihat dalam uraian
sebelumnya, secara umum orang memakai istilah
pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan
bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu
dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu
dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi
masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan

434
bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori
mengenai arti daripada teori tentang kebenaran.
Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-
macam. Ia sendiri membedakan kenajemukan
kebenaran itu sebagai berikut :
Pertama, trancendental truth yang diartikan
sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim
pada kedudukan benda itu sebagai benda itu
sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal
adalah pada “things as things”. Kedua, complex truth
yang berarti kebanaran dari pernyataan-pernyataan.
Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu
kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran logis
dipihak lain. Kebenaran etis adalah seluruh
pernaytaan dengan siapa yang diimami oleh si
pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah
selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang
didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan
itu dilandaskan pada pengalaman. Menurut Peirc,
ada beberapa proporsi yang tidak dapat dikatakan
salah, yaitu proporsi dari matematika murni.
Di sini, kriteria kebenaran matematika murni
letknya dalm hal “ketidak mungkinannya lagi”
untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam
matematika murni, semua kasus dan proporsi serba
kuat. proporsinya sama sekali juga tidak me-
ngatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada
atau fakta aktual karena matematika murni tidak
pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta
yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak.
Karena itulah Peirnc mengatakan bahwa proporsi

435
matematika murni tidak dapat diklasifikasikan
secara pasti kebenarannya. Masalah penentuan hal
“benar” memang bisa dilihat dari bermacam-macam
segi yaitu disatu pihak bisa diartikan sebagai “the
universe of all truth”, dipihak lain, dari sudut
epistemologi, kebenaran di definisikan sebagai
kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan
empiris.
Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih
menekankan teori tetntang arti daripada teori
tentang kebenara. Pandangan Peirce tentang
kebenaran dalam uraian diatas, lebih merupakan
pandangan seorang idealis daripada pandangan
seorang pragmatis. Menurut Peirce, pragmatis
adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide
manjadi jelas atau terang menjadi berarti. Kelihatan
sekali teori arti Peirce pada pragmatisismennya,
baginya pragmatisme adalah metode untuk men-
diterminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yang
hendak di diterminasikan atau artinya melalui
pragmatime.
Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu
bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik,
ciri khas pragmatisme merupakan metode untuk
memastikam arti ide-ide di atas.

B. Tokoh Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat
pragmatisme adalah William James dan John
Dewey. Penjelasannya sebagai berikut:

436
1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa,
sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang
memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan
yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmat-
isme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan
metafisika, dan bukan teori kebenaran, melain-
kan suatu teknik untuk membantu manusia
dalam memecahkan masalah.
Dari kedua pernyataan itu tampaknya
Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme
tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan
dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari
kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena
tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realit-
as, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung
pada tataran ilmu praktis untuk membantu me-
nyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada
tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya
adalah orang yang terkenal, berkebudayaan
tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan ke-
mampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya
juga menerapkan humanisme dalam kehidupan
serta mengembangkannya. Ayah James rajin
mempelajari manusia dan agama. Pokoknya,
kehidupan James penuh dengan masa belajar
yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk
menjawab berbagai masalah yang berkenaan
dengan kehidupan.

437
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles
of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897),
The Varietes of Religious Experience (1902) dan
Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The
Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan
terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengembangan itu senantiasa berubah, karena di
dalam prakteknya apa yang kita anggap benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak,
yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya,
dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar
dalam pengalaman-pengalaman khusus yang
setiap kali dapat diubah oleh poengalaman
berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme
tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya
artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan
yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Per-
timbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi
pelakunya, jika memperkaya hidup serta ke-
mungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of
Religious Experience atau keanekaragaman penga-
laman keagamaan, James mengemukakan bahwa
gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-
kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang
mengungkapkan diri dalam kesadaran dengan

438
cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah
sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis
yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemung-
kinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat
meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang
perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas
cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai
subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani,
penguatan keberanian hidup, perasaan damai,
keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-
lain. Mereka yang merasakan kebahagiaan
karena pengalaman keagamaannya, disebut
James sebagai the healthy minded.
Disisi lain, ada “the sick-soul” yaitu
mereka yang tidak mengalami kebahagiaan
yang diperoleh dari agama.
“We must admit that any persistent enjoyment
may produce the sort of religion which consists
in a grateful admiration of the gift of so
happy an existence; and we must also acknowledge
that the more complex ways of experiencing
religion are new manners of producing happin-
ess, wonderful inner paths to a supernatural kind
of happiness.”3
James membawakan pragmatisme. Isme
ini diturunkan kepada Dewey yang memprak-
tekkannya dalam pendidikan. Pendidikan meng-
hasilkan orang Amerika sekarang.

3
William James, Varieties of Religious Experience: A Study in Human
Nature (London: Routledge, 2002), 66.

439
3. John Dewey (1859-1952 M)
John Dewey adalah seorang filsuf dari
Amerika, teoretikus, reformator pendidikan dan
kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont
dalam tahun 1859, tepatnya pada tanggal 20
Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang
gemar membaca namun tidak menjadi seorang
siswa yang brilian di antara teman-temannya
ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont
dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A.
Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Univer-
sitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia
meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di
universitas tersebut. Di universitas terakhir ini,
Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari
Pierce, orang yang menggagas munculnya
pragmatisme. Di sinilah dia bersentuhan dengan
filsafat pragmatism.
Walaupun demikian, pengaruh terbesar
datang dari guru dan sahabatnya George
Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat
bersemangat mengajarkan filsafat Hegel sehing-
ga Dewey pun menjadi pengikut filsafat ideal-
isme tersebut. Setelah menyelesaikan doktornya,
pada tahun 1884 hingga 1886, dia mengajar
filsafat dan psikologi di Universitas Michigan
atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai
1888, Dewey mengajar pada Universitas
Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia
pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi
pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke
Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang

440
filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894,
dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang
membawa banyak pengaruh pada pandangan-
pandangannya tentang pendidikan sekolah di
kemudian hari.
Salah satu keberatan Dewey terhadap
program dan metode pendidikan saat itu adalah
bahwa mereka gagal memperhitungkan pe-
nemuan psikologi tentang aktivitas belajar. Di
Universitas Chicago dia menjabat sebagai kepala
departemen filsafat, psikologi dan pedagogi. Ia
berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang
meyakini bahwa pengalaman sehari-hari dan
pengalaman ilmiah menyiapkan landasan
penting bagi realitas maupun pemikiran.
William James kemudian memproklamirkan
Chicago University yang berada di bawah
pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang
baru.
Masa di Chicago mungkin adalah masa
keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi
terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian
kuat ketertarikannya pada bidang ini sampai-
sampai ia menegaskan bahwa semua filsafat
adalah filsafat pendidikan. Ia kemudian mendiri-
kan Laboratory School yang kelak dikenal
dengan nama The Dewey School. Di pusat
penelitian ini ia pun memulai penelitiannya
mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan
mencoba menerapkan teori pendidikannya
dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia me-
ninggalkan pola dan proses pendidikan tradi-

441
sional yang mengandalkan kemampuan men-
dengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia me-
nekankan pentingnya kreativitas dan keter-
libatan murid dalam diskusi dan pemecahan
masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-
lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme
yang telah mempengaruhi sejak pertemuan
dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidi-
kan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi
dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti
sampai di Universitas Chicago. Karena berten-
tangan dengan rektor mengenai manajemen
pembiayaan departemen pendidikan, Dewey
meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas
Columbia di New York. Terakhir ia berkarya
sebagai dosen di Universitas Colombia dalam
tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya
sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pen-
siun pada tahun 1929. Setelah pindah ke New
York, Dewey kerapkali menulis di berbagai
media massa antara lain the New Republic. Dia
juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti
the American Civil Liberties Union di mana dia
adalah pendiri dan ketuanya; dan Asosiasi
Professor Universitas Amerika sebagai pendiri
dan presiden pertamanya.
Dalam periode ini, Dewey banyak me-
ngadakan perjalanan antara lain ke negara-
negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan
Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan
kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang

442
kemudian akan menjadi dasar pengembangan
filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia
juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan
rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang
dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilaku-
kan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia
dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari Universitas
Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat
dan melanjutkan karya dokrinnya. Dengan pel-
bagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama
masih bekerja di universitas maupun setelah itu,
ia kemudi-an dikenal sebagai seorang yang
mengem-bangkan filsafat secara baru di
Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi
perkembangan filsafat, politik, pendidikan,
religiusitas dan kesenian di Amerika.
Pada November 1951 tulang pinggulnya
patah dan gagal disambung kembali dengan
baik. Pada 1 Juni 1952 Dewey wafat akibat
pneumonia meninggalkan 6 orang anak
kandung dan 2 orang anak angkat. Dia adalah
tokoh yang sangat dihormati semasa hidupnya
dilihat dari banyaknya undangan ceramah yang
datang dari bebagai negara dan bangsa.
Sudah sedikit disinggung di atas bahwa
karya-karya Dewey banyak mempengaruhi
corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga
banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya
yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama
yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun
1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a

443
Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun
kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A
Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas
Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My
Pedagogic Creed (1897), The School and Society
(1903), dan Logical Conditions of a Scientific
Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak
menghasilkan uku-buku ketika berada di
Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How
We Think (1910), The Influence of Darwin and Other
Essays in Contemporary Thought (1910), School of
Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916),
Essays in Experimental Logic (1916), Recunstruction
in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct
(1922), Experience and Nature (1925), The Quest for
Certainty (1929), Art as Experience (1934), A
Common Faith (1934), Experience and Education
(1938), Logic: The Theory of Inquiry (1938), Theory
of Valuation (1939), Education Today (1940),
Problem of Men (1946), dan Knowing and The
Known (1949).
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey
bahwa ia menaruh minat besar pada bidang
logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi
perhatian Dewey di bidang pragmatisme ter-
utama dicurahkan pada realitas sosial daripada
kehidupan individual. Hal ini nampak dalam
tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi,
etika, agama, dan seni.
Konsep kunci dalam filsafat Dewey
adalah pengalaman. Pengalaman (Experience)
adalah salah satu kata kunci dalam filsafat

444
instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah
“mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalam-
an sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan
drama manusia dan mencakup segala proses “
saling memengaruhi” (take and give) antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial
dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba
menganggap rendah pengalaman manusia atau
menolak untuk percaya bahwa seseorang telah
berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa
pengalaman bukannya suatu tabir yang
menutupi menusia sehingga tidak melihat alam.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi
manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu
yang bersifat personal dan dinamis adalah satu
kesatuan yang mengultimatumkan suatu intere-
lasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara
terpisah dan semua pengalaman itu memainkan
suatu kompleksitas sistem yang organik.
Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari
pengalaman dan menuju pengalaman. Gerak itu
dibangkitkan segera dan kita dihadapkan deng-
an suatu keadaan yang menimbulkan persoalan
pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir
dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar
atau dalam dunia kita. Pengalaman yang lang-
sung bukanlah soal pengetahuan, yang ter-
kandung di dalamnya pemisahan subyek dan
obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya.
Di dalam pengalaman itu keduanya bukan
dipisahkan, tetapi dipersatukan.

445
Apa yang dialami tidak dipisahkan dari
yang mengalaminya sebagai satu hal yang
penting atau yang berarti. Jikalau terdapat
pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu
bukan pengalaman, melainkan pemikiran kem-
bali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah
yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas
dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan
filsafat sebagai memberikan garis-garis pe-
ngarahan bagi perbuatan dalam kenyataan
hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh
tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini,
filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi
sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai
kritiknya atas pokok dari filsafat jaman
sebelumnya yang mengemukakan pandangan
tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang
membingungkannya. Menurutnya, kaum emp-
iris telah beranggapan bahwa pikiran selalu me-
nunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa
setiap ide selalu berhubungan dengan suatu
realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-
akan dibentuk setelah subyek berhadapan
dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya.
Inilah yang disebut “a spectator theory of
knowledge”. Menurut teori ini, subyek penge-
tahuan bertindak bagaikan seorang penonton
yang hanya dengan memandang sudah men-
dapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandang-
an kaum rasionalis. Menurut pandangan ini,

446
rasio merupakan suatu instrumen untuk mem-
perhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam.
Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah
dan berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang
dikembangkan oleh kaum empiris maupun
kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan
terlampau mekanistik di lain pihak. Atas
pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa
antara manusia dan lingkungan alamiahnya
terdapat dialektika yang konfliknya “tersele-
saikan” dalam pengalaman.
Hal ini disebabkan karena setiap penga-
laman adalah kekuatan yang berdaya guna.
Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan
antara manusia dengan lingkungan alam yang
mengitarinya dan itu membawa manusia pada
pemahaman yang baru. Pengalaman juga ber-
sifat dinamis karena lingkungan juga bercorak
dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan
kekuatan yang dimiliki manusia untuk meng-
hadapi lingkungan hidup yang terserap dalam
pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir
adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir
karena adanya pengalaman manusia dan bukan
suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran
semata.
Berdasarkan pendangannya tentang
hubungan pengalaman dan corak berpikir di
atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam
dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu
berada dalam a) situasi yang membingkungkan

447
dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana
masalah-masalah terpecahkan.
Menurutnya, aktivitas berpikir selalu
merupakan sarana untuk memecahkan masalah-
masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas
inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas
kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan
yang muncul dalam diri subyek ketika
berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang
disebut Dewey teori instrumentalia tentang
pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori
instrumentalisme adalah suatu usaha untuk
menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam ben-
tuknya yang bermacam-macam, dengan cara
pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran
berfungsi dalam penentuan-penentuan yang ber-
dasarkan pengalaman, yang mengenai konse-
kuensi di masa depan. Teori ini juga yang
mendorongnya untuk menyebut sistemnya
dengan istilah instrumentalisme daripada di-
sebut sebagai pragmatisme.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia
pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia
tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk
pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah
dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha
memakainya dan kemudian berusaha mem-
bentuk suatu masyarakat diamana setiap orang
dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecer-
dasan. Dalam perjalanan pengalaman seseorang,
pikiran selalu muncul untuk memberikan arti

448
dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh
pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing
kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata
Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya
merupakan cara jalan untuk melayani kehidup-
an. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut
untuk menggunakan metode ilmu alam
(Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran,
terutama dalam menilai persoalan akhlak (etika),
estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian,
cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan
dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan
Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh
seseorang sehingga bisa melampaui segi
pemikiran semata-mata pada segi amalan.
Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan
sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve
problematic situation), dan kalau berhasil maka
pikiran itu benar.
Dengan demikian, pengalaman merupa-
kan salah satu kata kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa
terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan
alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak
bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa
menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke
depan dengan lebih baik.
Pandangan John Dewey dalam pemikiran
dan pengalaman ada istilah yang disebut
instrumental. Dewey merumuskan esensi instru-
mentalisme pragmatis sebagai “to conceive of both

449
knowledge and practice as means of making good
excellencies of all kind secure in experienced
existence”. Demikianlah, Dewey memberikan
istilah pragmatisme dengan instrumentalism,
operationalism, functionalism, dan experimental-
ism.
Yang dimaksudkan dengan teori ins-
trumentalisme adalah suatu usaha untuk me-
nyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam ben-
tuknya yang bermacam-macam, dengan cara
pertama menyelidiki bagaimana pikiran ber-
fungsi dalam penentuan-penentuan yang ber-
dasarkan pengalaman, yang mengenai konse-
kuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini
juga yang mendorongnya untuk menyebut
sistemnya dengan istilah instrumentalisme
daripada disebut sebagai pragmatisme.
Pandangan Dewey tentang manusia
bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidup-
an manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk
sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik
atau buruk, akan diberi penilaian oleh masya-
rakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia me-
nurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi
dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di
sekitar manusia dengan segala lembaganya,
harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan perkembangan
semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pri-
badi yang hendak berkembang selain ber-
kembang atas kemungkinan alamiahnya, per-

450
kembangannya juga turut didukung oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya. Dewey juga
berpandangan bahwa setiap pribadi manusia
memiliki struktur-struktur kodrati tertentu.
Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap
manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat
statis atau sudah memiliki bentuk baku, melain-
kan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak
ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran.
Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya
ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis
manusia atau kodrat manusia mengandung
kemampuan-kemampuan tertentu.
Kemampuan-kemampuan itu diaktual-
isasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran
manusia. Bila seseorang berlaku yang sama
terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan
karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap
terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan
ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan
kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan
(evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang
tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan me-
rupakan hasil dari cara tertentu manusia yang
dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh
karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi
kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan
masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir
dan bereaksi terhadap kesekitaran.
Dewey memandang bahwa tipe dari prag-
matismenya diasumsikan sebagai sesuatu yang

451
mempunyai jangkauan aplikasi dalam masya-
rakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana
yang strategis dan sentral dalam upaya kelang-
sungan hidup dimasa depan. Pendidikan
nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya
mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang
(out of date) dan hanya mengulang-ngulang
sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya
tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik.
Pendidikan yang demikian hanya mengebiri
intelektualitas anak didik. Dalam bukunya
Democracy and Education (1961), Dewey
menawarkan suatu konsep pendidikan yang
adaptif and progresif bagi perkembangan masa
depan.
“Dewey elaborated upon his teory that school
reflect the community and be patterned after it
so that when children graduate from school they
will be properly adjusted to asumse their place in
sociaty.”
Kutipan di atas dapat dipahami secara
bebas bahwa pendidikan harus mampu membe-
kali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang
ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apa-
bila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah,
ia bisa beradaptasi dengan masyarakat. Untuk
merealisasikan konsep tersebut, Dewey me-
nawarkan dua metode pendekatan dalam
pengajaran. Pertama, problem solving method.
Dengan metode ini anak dihadapkan pada
berbagai situasi dan masalah-masalah yang
menantang, dan anak didik diberi kebebasam

452
sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-
masalah tersebut sesuai dengan perkembangan
kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar
model ini guru bukan hanya satu-satunya
sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya
membantu siswa dalam memecahkan kesulitan
yang dihadainya. Dengan metode semacam ini,
dengan sendirinya pola lama yang hanya
mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat
informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudu-
kan oleh metode andragogy yang lebih meng-
hargai perbedaan individu anak didik. Kedua,
learning by doing, konsep ini diperlukan untuk
menjembatani kesenjangan antara dunia pen-
didikan dengan kebutuhan dalam masya-rakat.
Supaya anak didik bisa eksis dalam
masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pen-
didikannya. Maka, mereka dibekali keteram-
pilan-keterampilan praktis sesuai dengan ke-
butuhan masyarakat sosialnya.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan
bahwa pendidikan progresif menurut John
Dewey dalah pendidikan yang mampu membe-
kali peserta didik agar bisa menyesuaikan,
berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat.
John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan
dalam pengajaran dengan cara problem solving
method dan learning by doing. Metode problem
solving method lebih menekankan tantangan
dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru
bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode
learning by doing peserta didik dituntut agar

453
dapat berpartisipasi dalam kehidupan masya-
rakat. Selain dituntut, peserta didik juga dibekali
beberapa materi atau keterampilan agar mereka
ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya maupun
masyarakatnya.
Dewey sangat menganggap penting
pendidikan dalam rangka mengubah dan
membaharui suatu masyarakat. Ia begitu
percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi
sebagai sarana untuk peningkatan keberanian
dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran
akan pentingnya pengormatan pada hak dan
kewajiban yang paling fundamental dari setiap
orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasan-
nya tentang perkembangan seperti yang sudah
di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik
tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan
tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan
sikap hidup yang demokratis dan untuk meng-
embangkannya. Pendidikan merupakan kekuat-
an yang dapat diandalkan untuk menghancur-
kan kebiasaan yang lama, dan membangun
kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting
melatih pikiran manusia untuk memecahkan
masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya
secara sarat dengan formulasi-formulasi secara
sarat teoretis yang tertib.
Pendidikan harus pula mengenal
hubungan yang erat antara tindakan dan pe-
mikiran, antara eksperimen dan refleksi.

454
Pendidikan yang bertolak dan merupakan
kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga
akan mengembangkan moralitas dari anak didik.
Dengan demikian, belajar dalam arti mencari
pengetahuan, merupakan suatu proses yang
berkesinambungan. Dalam proses ini, ada per-
juangan terus-menerus untuk membentuk teori
dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang
berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila
dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih
menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia me-
nyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah
pandangan hidup yang dicerminkan dengan
perlunya partisipasi dari setiap warga yang
sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai
yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekan-
kan bahwa demokrasi merupakan suatu
keyakinan, suatu prinsip utama yang harus
dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis
dalam bentuk aturan sosial politik. Dari
pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan
sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan
bersama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti
setiap orang mengalami kebebasannya untuk
berkreasi dan mengungkapkan pengalaman
humanitasnya dalam partisipasi bersama.
Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi
medium yang mengungkapkan bagaimana
hidup dalam suatu komunitas yang demokratis.
Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah

455
merupakan suatu kelompok sosial yang kecil
(minoritas); yang menggambarkan atau menjadi
cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar
(mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi
nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh
sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan
antara lain dengan menekankan pentingnya
kebebasan akademik dalam lingkungan pendidi-
kan. Ia dengan secara tidak langsung menyata-
kan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah
yang bertumpu pada interaksi dan kerja-sama,
berdasarkan pada sikap saling meng-hormati
dan memperhatikan satu sama lain; berpikir
kreatif menemukan solusi atas problem yang
dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk
merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara
implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis
harus mendorong dan memberikan kesempatan
kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan, merencanakan
kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Pendekatan Dewey pada seni berbeda
dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan
segala usaha untuk menemukan suatu yang
lebih dahulu sebagai standar yang indah dalam
analisa para genius. Maksud utama dari seni ini
adalah memberikan suatu ilmu sosiologi dan
penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak
berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu
dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu
kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika

456
yang klasik adalah pembagian antara seni dan
ilmu, antara seni dan moral. Dalam pendidikan
seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya.
Dia membiarkan partisipasi ilmu lain pada seni
untuk dipelajari oleh para pelajar.
Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang
bertentangan dengan semangat yang ada dalam
seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap
konsep seni pada abad pertengahan dan zaman
renessance. Paham industrialis memunculkan
kembali apa yang terjadi pada zaman klasik
dimana moral dan seni disatukan. Dewey lebih
percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam
sekolah-sekolah dan museum tetapi berada juga
di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini
hal pokok dari seni adalah berkehendak me-
nemukan apa yang menjadi bagian dari harian
hidup manusia.

C. Kritik atas Praggmatisme


Di dalam aliran pragmatisme terdapat ke-
kuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan
kelemahannya sebagai berikut:
1. Kekuatan Pragmatisme.
Kemunculan pragmatisme sebagai aliran
filsafat dalam kehidupan kontemporer, khusus-
nya di Amerika Serikat, telah membawa ke-
majuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam
pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme
telah berhasil “membumikan” dari corak yang
bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir
metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cen-

457
derung berfikir hal-hal yang memikirkan atas
kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas
kebutuhan-kebutuhan disini (dunia), bukan
nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat prag-
matisme mengarahkan aktivitas manusia untuk
hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal
yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya
bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam
kehidupan sehari-hari.
Pragmatisme telah berhasil mendorong
berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyang-
sikan segala yang ada. Berangkat dari sifat
skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu
mendorong dan memberi semangat pada sese-
orang untuk berlomba-lomba membuktikan
suatu konsep melalui penelitian-penelitian,
pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eks-
perimen sejingga muncullah temuan baru dalam
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mampu mendorong secara dahsyat terhadap
kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”,
pragmatisme tidak mudah percaya pada
“kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan
dapat diterima apabila terbukti kebenaranya
lewat pembuktian yang praktis sehingga prag-
matisme tidak mengakui adanya sesuatu yang
sakral dan mitos. Dengan coraknya yang
terbuka, kebanyakan kelompok pragmatism me-
rupakan pendukung terciptanya demokratisasi,
kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif
dalam masyarakat modern.

458
2. Kelemahan Pragmatisme
Karena pragmatisme tidak mau mengakui
sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui
kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan
percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin”
manusia sendiri, secra tidak langsung pragmat-
isme sudah mengingkari sesuatu yang tren-
sendental. Kemudian pada perkembangan
lanjut, pragmatisme sangat mendewakan ke-
mampuan akal dalam upaya mencapai kebutuh-
an kehidupan, maka sikap-sikap se-macam ini
menjurus kepada sikap Ateisme.
Karena yang menjadi kebutuhan utama
dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya
oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan
pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia
berusaha secra keras untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah,
maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah
dihinggapi oleh penyakit materealisme.
Untuk mencapai tujuan materealisme,
manusia mengejarnya dengan berbagai cara,
tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya
merupakan anggota dari masyarakat sosialnya.
Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar
memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam
struktur masyarakatnya manusia hidup semakin
egois individualis. Dari sini, masyarakat prag-
matisme menderita penyakit humanisme.

459
Dengan demikian, bahwa di Negara
Amerika serikat atau seluruh dunia yang
menganut paham filsafat John Dewey dan
William James kebanyakan mengarah kearah
materealis, ateis, dan dehumanis. Paham prag-
matisme mendewakan akal. Padahal akal itu
terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari
oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang
dilakuakn manusia pasti ada campur tangan
tuhan.
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibukti-
kan dalam tiga tataran pemikiran:
Pertama kritik dari segi landasan ideologi
Pragmatisme. Pragmatisme dilandaskan pada
pe-mikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari
perkembangan historis kemunculan pragmat-
isme, yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam
konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak
agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi,
pemikiran pemisahan agama dari kehidupan
merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah,
sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua
pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai
asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu
tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran
yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada
dua kemungkinan. Yang pertama, ialah
mengakui keberadaan Al-Khaliq yang mencipta-
kan manusia, alam semesta, dan kehidupan.

460
Dan dari sinilah dibahas, apakah Al
Khaliq telah menentukan suatu peraturan
tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melak-
sanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al-
Khaliq akan menghisab manusia setelah mati
mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al-
Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah
mengingkari keberadaan Al-Khaliq. Dan dari
sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa
agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidup-
an, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Selanjutnya, Kritik dari segi metode
pemikiran. Pragmatisme yang tercabang dari
Empirisme nampak jelas menggunakan Metode
Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas berpikir
untuk segala bidang pemikiran, baik yang
berkenaan dengan sains dan teknologi maupun
ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah
suatu kekeliruan.
Yang ketiga Kritik terhadap Pragmatisme
itu sendiri. Pragmatisme adalah aliran yang
mengukur kebenaran suatu ide dengan keguna-
an praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan
kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktis-
nya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal,
sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain.
Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian
ide itu dengan realitas, atau dengan standar-
standar yang dibangun di atas ide dasar yang
sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.

461
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk
memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari
keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi
dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka,
kegunaan praktis ide tidak mengandung impli-
kasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan
fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal
manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan mengguna-
kan standar-standar tertentu. Sedang penetapan
kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutu-
hannya adalah sebuah identifikasi instinktif.
Memang identifikasi instinktif dapat menjadi
ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan
hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran
kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme
berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan
menggantinya dengan identifikasi instinktif.
Atau dengan kata lain, pragmatisme telah me-
nundukkan keputusan akal kepada kesimpulan
yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan rela-
tivitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide (baik individu,
kelompok, dan masyarakat) dan perubahan
konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain,
kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan (menurut Pragmatisme itu sendiri)
setelah melalui pengujian kepada seluruh
manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan
ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka,

462
pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsis-
tensi internal yang dikandungnya dan menafi-
kan dirinya sendiri.

463
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M. Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar


Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Intan
Pariwara, 1997.

Abdullah, Amin. Pendekatan Integratif-Interkonektif.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

Abidin Bagir, Zainal dkk,. Integrasi Ilmu dan Agama,


Interpretasi Ilmu dan aksi. Bandung: Mizan, 2005.

Agus, Busnanuddin. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi


Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam.
Jakarta: GIP, 1999.

Ahmad, Saiyad Fareed,dkk., 5 Tantangan Abadi Terhadap


Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya. Bandung:
Mizan, 2008.

Alfan, Muhammad. Filsafat Etika Islam. Bandung:


Pustaka Setia, 2011.

Al-Fayyadl, Muhammad. Teologi Negatif Ibnu Arabi:


Kritik Metafisika Ketuhanan. Yogyakarta: LKIS,
2012.

Alwasilah, A. Chaedar. Linguistik: Suatu Pengantar.


Bandung: Angkasa, 1993.

463
Archie Bahm, J. What Is Science: Reprinted from my
Axiology; The Science Of Values Albuquerqe. New
Mexico: World Books, 1984.

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran.


Jakarta: GIP, 2008.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Pendekatan


Praktek. Jakarta: Rienika Cipta, 1988.

Asy’arie, Musa. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir.


Yogyakarta: LESFI 2010.

Ayer, A.J. Logical Positivisme. Newyork: tp, 1959.

Azra, Azyumardi. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan


Refleksi. Ulumul Qur”an, 1993 no. 4, vol. IV.

Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2004.

Bachri,Ghozali dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja


Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama. 2005.

---------. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.

Bahtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana


Ilmu, 1999.

464
---------. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo, 2010.

Bakker, Anton. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1984.

---------. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta: Pustaka


Kanisius, 1992.

Baqir Sadr, M. Filsafatuna. Bandung: Mizan, 1993.

Baradat, L.P. Political Ideologies: Their Origins and Impact.


New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 2006.

Barbour, Ian. Religion And Science: Historical And


Contemporary Issues. San Fransisco: Harper
Collins, 1989.

Barret, William. Mencari Jiwa dari Descrates Sampai


Komputer, terj. Tim Dinamika Interlingua.
Yogyakarta: Putra Langit, 2001.

Basman. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Yogyakarta:


Gusepa, 2009.

Bedford, Errol. “Empiricism”, dalam Jonathan Rée dan J.


O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western
Philosophy. London: Routledge, 2004.

Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen. PengantarFilsafat


Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

465
Berlin, Isaiah. Karl Marx: Riwayat Sang Pemikir
Revolusioner. Yogyakarta, Panji Pustaka, 2000.

Bertens, K. Pengantar Bisnis Etika. Yogyakarta: Kanisius,


2000.

Burhanuddin, Salam. Logika Materil: Filsapat Ilmu


Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta, 1997.

Caporaso, James. A, dan Lavine, David P. Teori-teori


Ekonomi Politik, .Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.

Cassam, Quassim. “What is Knowledge”, dalam


Anthony O’hear (ed.), Epistemology. Cambridge:
Cambridge University Press, 2009.

Cece, Rakhmat. Membidik Filsafat Ilmu. Bandung: Mizan,


2010.

Cecep, Achmad. Filsafat Administrasi dan Manajemen.


Bandung: Yayasan Bina Administra, 1989.

Chaedar Alwasilah, A. Linguistik: Suatu Pengantar.


Bandung: Angkasa, 1993.

Charleshworth, Philoshophy and Linguistic Analysis.


Pittsburgh: Duquesne University, 1959.

Cowie, A.P. ed. Oxford Advanced Learner’s Dictonary.


Oxford: Oxford University Press, 1994.

466
D. Held, et al,. Global Transformations Politics, Ekonomi
and Cultural. Standford California: Stanford
University Press, 1999.

D. Runes, Dagobert. Dictionary of Philosophy. New


Jersey: Adams and Co, 1971.

Danya Munsyi, Alif. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta:


Kepustakaan Gramedia Populer, 2005.

Deliarnov. Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang


Komprehensif. Jakarta: Erlangga, 2006.

Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.


Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Donald Walters, J. Crises In Modern Thought. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Douglas. Dowd. Capitalism and Its Economics: A Critical


History. London: Pluto Press, 2000.

Elster, John. Karl Marx, Marxisme-Analisis Kritis.


Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. 2000.

Epistemologi Bagian I Teori Pengetahuan. Diktat.


Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. 1980.

F. Kneller, George. Introduction to the Philosophy of


Education. New York: John Wiley, 1964.

467
Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001.

Fuad Ihsan, HA. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta,


2010.

Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer.


Bandung: Jalasutra, 2005.

Gie, Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.


2004.

Groff, Peter S. Islamic Philosophy. Edinburgh: Edinburgh


University Press, 2007.

H. Titus, Harold. Persoalan-persoalan Filsafat. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1984.

H. Smith. Democracy and International Relations: Critical


Theories/Problematic Practice. Great Britain:
Macmillan Press, ltd. 2000.

Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest.


Boston: Beacon Press, 1972.

Hadi, Aslam. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta:


Rajawali, 1986.

Hadi, Hadono. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan.


Yogyakarta: Kanisius, 1994.

468
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi
Offset, 1997.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat.


Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaya Hasan, Bahasa Konteks dan


Teks, terjemahan oleh Asruddin Barori Tou.
Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1994.

Halwani, Hendra. Ekonomi Internasional dan Globalisasi


Ekonomi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Hamami M., Abbas. Filsafat. Suatu Pengantar Logika


Formal-Filsafat Pengatahuan. Yogyakarta: Yayasan
Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, 1976.

Hamlyn. D.W. History of Epistemology. in Pauld


Edwards, .ed. in chief, The Encyclopedia of
Philosophy. New York and London: Macmillan
Publishing Co., 1972. vol. 3.

Hanafi, Hasan. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi


Barat, terj. M. Najib Buchori. Jakarta:
Paramadina, 2000.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern; Dari Machiavelli


Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004.

Hardono Hadi, P. Epistemologi; Filsafat Pengetahuan.


Yogyakarta: Kanisius, 1994.

469
Hawton, Hector. Filsafat Yang Menghibur, terj.
Supriyanto Abdullah. Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2003.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah


Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.

Hospers, John. An Introduction to Philosophical Analisys.


UK: Routledge.

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni


Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: GIP
2005 : 28

Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Iman Santoso, Slamet. “Fungsi Bahasa, Matematika dan


Logika untuk Ketahanan Indonesia dalam Abad
20 di Jalan Raya Bangsa-bangsa” dalam Jujun S.
Suriasumantri. ed., IlmuDalamPerspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Jacquette, Dale. Ontology: Central Problem of Philosophy.


Chesham: Acumen, 2002.

William James, Varieties of Religious Experience: A Study


in Human Nature. London: Routledge, 2002.

James, Caporaso dan Lavine, David P., Teori-Teori


Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.

470
John Mill, Stuart. On Liberty/Perihal Kebebasan.
Penerjemah Alex Lanur. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.

Jujun S., Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar


Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

---------. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,


2005.

Kaelan, Filsafat Bahasa dan Semiotika. Yogyakarta:


Paradigma, 2009.

Kartanegara, Mulyadhi. Mengislamkan Nalar. Jakarta;


Erlangga, 2007.

Kasiram, Mohammad. Metodologi Penelitian. Malang:


UIN-Malang Press. 2008.

Kenny, Anthony. An Ilutrated Brief History of Western


Philosophy. Oxford: Blackwell-Wiley, 2006.

Keraf, A.S dan M. Dua. Ilmu Pengetahuan Sebuah


Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan:


Sebuah Tinjauan Epistemologis. Jakarta: Kanisius,
2002.

Koento, Wibisono. Arti Perkembangan Menurut Filsafat


Positivisme Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983.

471
Kusumandaru, Ken Budha. Karl Marx: Revolusi dan
Sosialisme: Sanggahan Terhadap Franz Magnis –
Suseno. Yogyakarta: Resist Book, 2003.

Kutha Ratna, Nyoman. Metodologi Penelitian: Kajian


Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

L. Wallace, Walter. Metode Logika Sosial. Jakarta: Bumi


Aksara, 1990.

Laird, Charlton. The Miracle of Language. New York:


Fawcett, 1953.

Latif, Yudidan Idi Subandy Ibrahim ed. Bahasa dan


Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.
Bandung: Mizan, 1996.

Leaman, Oliver. Eastern Philosophy: Key Readings. New


York: Routledge, 2000.

Lohr, Charles H. “The Ancient Philosophical Legacy


and its Transmission to the Middle Ages”, dalam
Jorge J. E. Gracia dan Timothy B. Noone, A
Companion to Philosophy in The Middle Ages.
Oxford: Blackwell, 2002.

Losco, Joseph dan Leonard Williams, Political Theory


kajian Klasik dan Kontemporary. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.

472
M. Honer, Stanley dan Thomas C. Hunt, Metode dalam
Mencari Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia,
1987.

Made Wiratha, I. Pedoman Penulisan: Usulan Penelitian,


Skripsi dan Tesis. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
CV. Andi Offset, 2005.

Magnes Suseno, Franz. Etika Jawa. Yogyakarta:


Cakrawala, 2001.

---------. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Maritain, Jacques. The Degrees of Knowledge. New York:


Scribner, 1959.

Medya, Ratri dan Wisnu Chandra Kristiaji Ed. Ekonomi


politik Deliarnov. Jakarta: Erlangga, 2006.

Mendelson, Kurt. Science and Western Domination.


London: Readers Union, 1977.

Moreland, J.P & William Lane Craig, Philosophical


Foundations For A Christian Worldview. Illinois:
Intervarsity Press, 2003.

Muawiyyah Ramly, Andi. Peta Pemikiran Karl Marx


Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis.
Yogyakarta: LKIS, 2000.

Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Barat Pustaka Pelajar.


Yogyakarta: tp, 2001.

473
Mufid, Muhamad. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta:
Kencana, 2009.

Muhajir, Noeng. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi,


Axiologi First Order, Second Order & Third Order of
Logics dan Mixing Paradigms Implementasi
Methodologik. Edisi IV. Yogyakarta: Penerbit Rake
Sarasin, 2011.

---------. Ilmu Pendidikan Islam. Filsafat dan Paradigma,


dalam Epistemologi
untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati Bandung,
1995.

Muhammad Naquib Al Attas, Syed. Islam dan Filsafat


Sains. Bandung: Mizan, 1995.

Muladi. “Etika Keilmuwan, HAM, dan Demokrasi.”


Makalah kuliah perdana Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Tanggal 22 Juni 2012.

Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.


Bandung: Alfabeta, 2004.

Muslih, Mohamad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar,


2010.

Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

474
---------. “Refleksi Filosofis Atas Perkembangan Ilmu–
Ilmu Humaniora”, Jurnal Filsafat, Desember
2003, Jilid 35, Nomor 3, di unduh 30 Desember
2012.

---------. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan


Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.

Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Muthahari, Murthadha. Pengantar Epistimologi. Jakarta:


Sadra Press, 2010.

Nanga, Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang,


1987.

Nelson, Alan. “The Rationalist Impulse”, dalam Alan


Nelson (ed.), A Companion to Rationalism. Oxford:
Blackwell, 2005.

O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Tiara


Wacana, 2004.

Ohmae, Kenichi. Hancurnya Negara-Bangsa. Terj. Ruslani.


Jogjakarta: Qalam, 2002.

475
Palmer, Donald. Looking at Philosophy: The Unbearable
Heaviness of Philososphy Made Lighter. New York:
McGraw-Hill, 2006.

Petrus, Simon. Petualangan Intelektual. Yogyakarta:


Kanisius, 2004.

Pitcher, George. The Philoshopy of Witgenstein. New


Jersey: Engleswood Cliffs, 1964.

Purwadi, Filsafat Jawa Dan Kearifan Lokal. Yogyakarta:


Panji Pustaka, 2007.

Purwadi dan Djoko Dwinyanto. Filsafat Jawa; Ajaran


Hidup Yang Berdasarkan Nilai Tradisiomal.
Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009.

Q-Anees, Bambang, dkk. Filsafat untuk Umum. Jakarta:


Prenada Media, 2003.

Qardawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan


Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani, 1998.

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta:


Erlangga, 2005.

R. Senn, Peter. Social Science and its Methods. tp:


Holbrook, 1971.

Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial. Bandung: Remaja


Rosda Karya, 1999.

476
Rescher, Nicholas.“Idealism”, dalam Robert Audi, The
Cambridge Dictionary of Philosophy. New York:
Cambridge University Press, 1999.

Rickman, Wilhelm Dilthey, Pioneer of The Human Studies.


London: Paul Elek, 1979.

Rusidi. Dasar-dasar Penelitian dalam Rangka


Pengembangan Ilmu. Bandung: PPS Unpad, 1992.

Russel, Bertarnd. Sejarah Filsafat Barat.Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2007.

---------. The Problems of Philoshopy, terj. Ahmad


Asnawi.Yogyakarta: Ikon teralitera, 2002.

S. Praja, Juhaya. Aliran-Aliran Filsfat Dan Etika. Jakarta:


Prenada Media, 2008.

Sahakian, W.S dan Mabel Lewis Sahakian. Realms of


Philosophy. tp: Schenkman Pub Co. 1965.

Saleh, Fauzan. Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan


dan Pluralisme Agama. Kediri: STAIN Press, 2011.

Santoso, Listiyono. et. al. EpistemologiKiri. Yogyakarta:


Ar-Ruz Media, 2010.
Sastraprateja, Filsafat Sebagai Paradigma Ilmu-Ilmu
Humaniora, Makalah disajikan dalam Internship
Dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-
Indonesia, 26 Juli sampai dengan 7 Agustus 1998,
Kerjasama Ditjen Dikti Depdikbud dengan

477
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. 1998.

Semiawan, C. dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan


Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta:
Mizan Publika. 2005.

Setiawan Djuharie, O. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,


Disertasi. Bandung: Yrama Widya, 2001.

Sinclair, John. et. al. .ed.. Collins Cobuild: English Learner’s


Dictonary. Fulham: Harper Collins Publisers,
1994.

Smart, Ninian.“Hinduism”, dalam Philip L. Quinn,


ACompanion to the Philosophy of Religion. London:
Blackwell, 1999.

Socrates, “On Being Condemned to Death”, dalam


William Jennings Bryan (ed.), The World’s Famous
Orations. New York: Funk and Wagnalls, 1906.

Sonny Keraf, A. & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan


Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Tiara
Wacana 2001.

Sudarminta, Epistemologi Pengantar Dasar Filsafat


Pengetahuan.Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Sudarsono, Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

478
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja
Grafindo, 2002.

Suharto, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta:


Ar-Ruzz, 2005.

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan.


Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005.

Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai.


Bandung: Divisi Buku Umum, 2006.

Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat.


Yogyakarta: Kanisius. 1997.

Sunato, Dkk., Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia.


Yogyakarta: Andi Offset, 1983.

Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung:


Pustaka Setia. 2009.

Surajiwo. Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia.


Jakarta, PT. Bumi Aksara. 2007.

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia.


Jakarta: PT. Bumi Askara, 2009.

---------. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan


Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara, 2007.

479
Suryabrata, S. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.

Susano, A. FilsafatIlmu Suatu Kajian dalam Dimensi


Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:
PT. Bumiaksara. 2011.

Sutrisno dan SRDM Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan


Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi, 2007.

Syarif, M.M. Para Filosuf Muslim. Bandung: Mizan. 1991.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu, Mengurai ontology,


epistemology, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

---------. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosda


Karya, 2009.

Takwin, Bagus. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke


Pemikiran-Pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra,
2003.

Thaha, Muhammad. Kedudukan Ilmu dalam Islam.


Surabaya: Al-Iklhas, 1984.

Thaliaferro, Charles dan Elsa J. Marty (ed.). A Dictionary


of Philosophy of Religion. New York: Continuum,
2010.

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu.


Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996.

480
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] Edisi


Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Tritarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Pengantar


Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Ulum, Miftahul. dkk. Pengantar Filsafat Pendidikan.


Ponorogo: STAIN Po Press, 2010.

Usmaran Husaini, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:


Bumi Aksa, 2009.

Van Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Ilmu.


Yogyakarta: Tiara Wacana. 1986.

Verhaak, C. dan R Haryono Imam, Filsafat Ilmu


Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1989.

---------. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja


Ilmu-Ilmu. Jakarta: Gramedia, 1991.

Wahyudi, Imam. Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam


Jurnal Filsafat, Desember, 2004.

Watholy, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan.


Yogyakarta: Kanisius, 2001.

481
Wrathall, Mark A. dan Hubert L. Dreyfus. “A Brief
Introduction to Phenomenology and
Existentialism”, dalam Mark A. Wrathall dan
Hubert L. Dreyfus (ed.), A Companion to
Phenomenology and Existentialism. Oxford:
Blackwell, 2006.

Yusuf Lubis, Akhyar. Epistimologi Fundasionalis. Bogor:


tp, 2009.

Zubaedi, dkk., Filsafat Barat. Yogyakarta: Arruz Media,


2007.

482

Anda mungkin juga menyukai