Anda di halaman 1dari 55

DAFTAR ISI

halaman
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
BAB 1 ILMU FILSAFAT 1
1.1 Sejarah Ilmu Filsafat 1
1.2 Pengertian Ilmu Filsafat 3
1.3 Ilmu Filsafat Dunia Barat dan Dunia Timur 6
1.4 Cabang-Cabang Ilmu Filsafat 6
BAB 2 FILSAFAT ILMU 8
2.1 Mengapa Belajar Filsafat Ilmu 9
2.2 Ilmu sebagai Objek Kajian Filsafat Ilmu 10
2.3 Perkembangan Ilmu di Zaman Modern 11
2.4 Perkembangan Ilmu di Zaman Postmodern 11
BAB 3 ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI KEILMUAN 13
3.1 Ontologi 13
3.2 Epistemologi 14
3.3 Aksiologi 17
3.4 Ukuran Kebenaran 19
3.5 Etika Keilmuan 23
BAB 4 FILSAFAT ILMU KEDOKTERAN GIGI 26
4.1 Perkembangan Ilmu Kesehatan 31
4.2 Keterkaitan Ilmu Logika dengan Ilmu Kedokteran Gigi 34
4.3 Makna Dan Konsep Sehat Menurut Filsafat 35
4.4 Manfaat Filsafat Ilmu bagi Calon Dokter Gigi 42
BAB 5 TANTANGAN KEILMUAN DI MASA DEPAN 46
5.1 Menuju Sinergi dan Integrasi Ilmu (Pendekatan Transdisiplin) 46
5.2 Agama, Ilmu, dan Masa Depan Manusia 46

DAFTAR PUSTAKA 48

i
KATA PENGANTAR

Om Swasti Astu

Puji Astungkara kehadapan Ide Hyang Widhi Wasa atas ware nugrahaNya, penulis dapat
menyelesaikan penerbitan buku ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan tinggi penulis
haturkan kepada berbagai pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini : pertama penulis
haturkan kepada keluarga yang telah memberikan dukungan penuh untuk menulis, kedua penulis
haturkan kepada Civitas Akademika Universitas Mahasaraswati Denpasar, ketiga penulis
haturkan kepada Penerbit Unmas Press yang telah menerbitkan buku ini.
Penulisan buku Filsafat Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Gigi bertujuan untuk menunjang
Mata Kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi Unmas Denpasar khususnya. Akhir kata
penulis sampaikan semoga buku ini bisa membantu mahasiswa dalam proses perkuliahan.
Adapun bagi pembaca selain kalangan kampus, buku ini berguna terutama untuk menyelami dan
memperluas wawasan tentang hakikat dan makna Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Gigi secara
filosofis.

Denpasar, 13 Oktober 2018


Penulis

ii
BAB 1
ILMU FILSAFAT

1.1 Sejarah Ilmu Filsafat


Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan
jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam
kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris;
“philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Ilmu Filsafat telah mulai berkembang dari kebiasaan bangsawan Yunani berdebat
tentang berbagai topik secara bebas tentang Tuhan, alam sekitar, arti dan tujuan hidup,
makna keberadaan alam, dan lain lain. Para ilmuwan pada saat itu, khususnya yang terkenal
saat ini, seperti Plato, Aristoteles, Galileo, Phytagoras, Archimedes, dan lain lain,
mengembangkan pola pikir yang dilandasi logika untuk menemukan satu persatu rahasia
alam. Para pemikir Yunani berhasil mengembangkan Ilmu Filsafat dengan cara mengamati
secara teratur benda-benda langit di malam hari, memperhatikan keteraturan saat terbit dan
tenggelamnya benda-benda langit tersebut. Sehingga berkembanglah Ilmu Filsafat oleh Plato,
Socrates dan Aristoteles. Ilmu Filsafat berkembang tahap demi tahap, berawal dari kajian
Ontologis, pendekatan dengan sudut pandang keberadaannya sesuatu, tidak mempersoalkan
darimana asal usulnya atau mengapa dia ada. Kajian Ontologis mengembangkan olah pikir
dengan “kesadaran substansial” sebagai berikut : (1) Secara sadar harus mengambil jarak
dari benda yang diamati, (2) Membuat definisi atau batasan tentang benda itu, (3)
Memetakan posisi benda itu dalam peta kognitif dengan memberi nama, (4)
Mengkomunikasikan pemahamannya kepada orang lain. Ilmu Filsafat mendapat momentum
di jaman Renaissance (Abad 13-16 M) dengan pendekatan modern disebut pendekatan
Epistemologis dan Aksiologis (Tantera Keramas, 2008).

1.2 Pengertian Ilmu Filsafat


Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari
bahasa Yunani yaitu philosophia, philien: cinta dan sophia: kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami

1
bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan, dan yang dimaksud seorang filsuf adalah pencari
kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Berfilsafat dapat diartikan
melakukan kegiatan berpikir secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif (Yuyun, 2005).
Beberapa filsuf menyebutkan pengertian filsafat sebagai berikut (Rahmat et al., 2013) :

1. Socrates menyebutkan filsafat sebagai suatu proses yang mempertanyakan tentang


arche atau dasar atau awal mula atau asal usul alam, dan berusaha menjawabnya
dengan menggunakan logos atau ratio, dan tidak mempercayai lagi hal-hal yang
berkaitan dengan mitos atau legenda. Dengan demikian, filsafat adalah
penyelidikan yang dilakukan dalam rangka memahami hakikat alam dan realitasnya
dengan mengandalkan akal budi.
2. Plato menyebutkan filsafat sebagai penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas
yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
3. Aristoteles menyebutkan fisafat sebagai suatu upaya mencari prinsip-prinsip dan
penyebab-penyebab berbagai realitas yang ada.
4. Rene Descrates menyebutkan filsafat sebagai himpunan dari segala pengetahuan
yang pangkal penyelidikannya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia.
5. Titus menyebutkan fisafat sebagai suatu proses pemikiran terhadap yang benar
bersifat kritis, terbuka, toleran, bersedia meninjau masalah dari berbagai sudut tanpa
prasangka. Filsafat adalah usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan
dalam arti memadukan hasil berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu
pandangan dunia yang selaras.
6. Johann Gotlich Fickte menyebutkan filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari
ilmu-ilmu) yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan
sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat menjelaskan seluruh bidang dan
seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
7. Paul Nartorp menyebutkan filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar untuk
menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang
sama).
8. Notonegoro menyebutkan filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari
sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
9. Driyakarya menyebutkan filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya
tentang sebab-sebab, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai
habis.
2
10. Sidi Gazalba menyebutkan berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran, tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, dengan berfikir radikal,
sistematik dan universal.
11. Prof. Mr.Mumahamd Yamin menyebutkan filsafat ialah pemusatan pikiran,
sehingga manusia menemui kepribadiannya serta di dalam kepribadiannya itu
sungguh dialaminya.
12. Prof. Ismaun menyebutkan filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia
dengan akal dan kalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis,
fundamentalis.

Bertitik tolak dari berbagai pengertian filsafat tersebut di atas maka filsafat dapat
didefinisikan sebagai berikut : “ Filsafat adalah suatu proses mencari kebenaran yang hakiki
tentang Tuhan, alam, dan manusia. Kebenaran tersebut diperoleh dengan jalan melakukan
perenungan dan penyelidikan, yang dilaksanakan melalui pengamatan, penyelidikan, dan
penelitian. Pengamatan, penyelidikan, dan penelitian dilakukan dengan pendekatan dan
penalaran deduktif, induktif atau gabungan keduanya yang dilakukan secara kritis, terbuka,
toleran, ditinjau dari berbagai sudut pandang tanpa prasangka, bebas dari mitos, dan
legenda”.
Ciri-ciri pikiran kefilsafatan yaitu:
1. Suatu bagan konsepsional. Perenungan kefilsafatan berusaha untuk menyusun suatu
bagan konsepsional. Konsepsi (rencana kerja) merupakan hasil generalisasi serta
abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses satu demi satu. Karena
itu, filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan
yang umum.
2. Saling hubungan antar jawaban-jawaban kefilsafatan. Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan yang satu harus menyangkut dengan pertanyaan-pertanyaan lain.
3. Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren. Kefilsafatan harus berusaha menyusun
suatu bagan yang koheren (runtut), yang konsepsional. Bagan konsepsial yang
merupakan hasil perenungan kefilsafatan harus bersifat runtut.
4. Filsafat merupakan pemikiran secara rasional. Bagan yang telah disusun harus logis
pada setiap bagian-bagiannya. Secara logis yaitu harus saling berhubungan satu dengan
yang lain.

3
5. Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh (komprehensif). Suatu sistem filsafat harus
bersifat komprehensif tidak ada sesuatupun yang berada di luar jangkauannya.
6. Suatu pandangan dunia. Perenungan kefilsafatan berusaha memahami segenap
kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia. Di dalam filsafat tidak boleh
ada misteri, harus sepenuhnya mejelaskan tentang prinsip penjelasan yang dipakainya.
7. Suatu definisi pendahuluan. Dalam perenungan kefilsafatan kita berusaha mencari
dasar-dasar bagi kepercayaan kita. Sebuah definisi yang memadai untuk menjelaskan
sesuatu menjadi bermakna seringkali tidak ditemukan pada permulaan, melainkan hanya
pada akhir suatu penyelidikan.

Filsafat menurut para filsuf disebut sebagai induk ilmu. Karena dari filsafatlah ilmu-
ilmu modern dan kontemporer berkembang. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama
adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak akan merasa puas jika hanya mengenal ilmu
dari sudut pandang ilmu itu sendiri. Jika ingin mengetahui hakikat ilmu, maka akan dikaitkan
dengan ilmu lainnya. Misalnya, ingin mengetahui kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan
agamanya, dan ingin merasa yakin bahwa ilmu itu akan membawa kebahagiaan terhadap
kehidupan dirinya.
Karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni sifat mendasar. Orang yang berpikir
filsafati tidak percaya begitu saja bahwa ilmu yang disampaikan itu benar. Mereka akan
berpikir bahwa mengapa ilmu itu dapat disebut benar ? Bagaimana proses penilaian yang
berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria yang digunakan untuk menilai itu
benar ? Lalu benar itu apa? Dan seterusnya.
Karakteristik atau ciri berpikir filsafati yang ketiga adalah spekulatif. Artinya, hasil
pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikiran selalu
dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru (Surajiyo,
2005).
Dalam pemikiran ini, mereka tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar
pemikiran yang mendasar, kemudian mereka akan berspekulasi. Tugas utama filsafat adalah
menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis ?, apakah yang
disebut benar ?. Dengan ini kita akan mengetahui bahwa semua pengatahuan yang sekarang
ada dimulai dari spekulasi. Kemudian dari serangkaian spekulasi ini, akan muncul buah
pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan ilmu
pengetahuan.

4
Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai
pemikir, dan menjadi kritisnya manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir di dalam dunia
yang dipikirnya. Sebagai konskuensinya, filsuf tidak hanya membicarakan dunia yang ada di
sekitarnya serta dunia yang ada dalam dirinya, namun seorang filsuf juga harus
membicarakan perbuatan berpikir itu sendiri.
Menurut Yuyun (2005) dan Rahmat et al. (2013) menyebutkan bahwa telaah filsafat
menyangkut proses berpikir filsafat yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Berpikir radikal. Berfilsafat adalah berpikir atau melakukan penelaahan secara
radikal yang berarti tidak pernah terpaku pada fenomena tertentu atau wujud
realitas tertentu. Seorang filsuf senantiasa mengibarkan hasrat ingin tahunya
untuk menemukan suatu akar dari suatu kenyataan yang menyeluruh. Apabila
akar dari suatu kenyataan ditemukan maka akar permasalahan dapat ditemukan
dan dipahami sebagaimana mestinya.
b. Mencari asas. Filsafat bukan hanya proses mencari kebenaran yang hanya
mengacu kepada bagian tertentu dari realitas melainkan secara keseluruhan.
Dalam memahami realitas secara keseluruhan, filsafat selalu berusaha mencari
asas yang paling hakiki dari realitas itu. Para filsuf Yunani yang mencari hakikat
kebenaran tentang alam semesta berusaha mengamati keanekaragaman realitas di
alam semesta, dan selanjutnya berpikir dan merenung “Kekuatan apakah yang ada
di balik alam ?” Selanjutnya mereka mendapatkan asas bahwa ada suatu kekuatan
di balik pergerakan alam. Pada zaman Socrates dan Plato asas kebenaran adalah
ide yang dilakukan dengan dialektika-kritis melalui penalaran deduktif. Namun
kemudian, Aristoteles mengemukakan asas kebenaran melalui pengamatan yang
dilakukan melalui penalaran induktif.
c. Memburu kebenaran. Filsafat adalah proses memburu kebenaran dari hakikat
seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipermasalahkan. Kegiatan memburu
kebenaran itu harus dilakukan secara kritis, terbuka, toleran, ditinjau dari berbagai
sudut pandang tanpa prasangka, bebas dari mitos dan legenda.
d. Mencari kejelasan. Keraguan merupakan penyebab lahirnya filsafat. Untuk
menghilangkan keraguan perlu dicari berbagai penjelasan mengenai seluruh
realitas. Kejelasan berarti dapat dijelaskan secara tuntas, tidak bersifat mistik,
serba rahasia atau kabur, dan gelap. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan
realitas secara menyeluruh dapat dipahami dengan tuntas.

5
e. Berpikir rasional. Berpikir rasional berarti berpikir logis, kritis, dan sistematis.
Oleh karena itu dengan berpikir rasional akan tidak mudah menerima suatu
kebenaran sebelum kebenaran yang dipersoalkan tersebut diuji terlebih dahulu.

1.3 Ilmu Filsafat Dunia Barat dan Dunia Timur


Ada dua pandangan yang berbeda dalam perkembangan dunia Ilmu Filsafat, yakni
perkembangan Ilmu Filsafat Dunia Barat dan Dunia Timur. Perkembangan Ilmu Filsafat
Dunia Barat banyak menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, melalui
pencerahannya di jaman Renaisance ketika Eropa keluar dari abad mitos. Sedangkan
perkembangan Ilmu Filsafat Dunia Timur (Asia), yang kejayaannya pada saat diturunkannya
pengetahuan Weda tahun 1500 SM (Tantera Keramas, 2008).
Kedua aliran filsafat ini mempunyai perbedaan sebagai berikut :
a. Filsafat Dunia Timur lebih banyak memakai logika silogisme, alur pikir intuisi-
reflektif-pencerahan, dimana manusia merupakan bagian dari alam, yang harus
menjaga keseimbangan (harmoni) dengan alam, yang tertata ke dalam tiga alam
yakni Bhurloka-Bwahloka-Swahloka (alam bawah, tengah dan atas)
b. Filsafat Dunia Barat lebih banyak memakai logika, rasional, dimana manusia
berposisi di pusat alam (anthroposentris). Posisi demikian membuat manusia
sebagai penguasa yang ingin menaklukan alam. Alam di dalam teologi Barat
hanya ada dua yakni alam nyata (dunia) dan alam sorgawi (akhirat).

1.4 Cabang-Cabang Ilmu Filsafat


Proses berfilsafat mencakup lima dimensi yaitu mana yang disebut salah dan mana
yang disebut benar (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika), apa yang termasuk indah dan apa yang tidak indah (estetika), tentang hakikat
keberadaan zat, tentang hakikat keberadaan pikiran dan kaitannya antara zat dan pikiran yang
terangkum dalam metafisika, dan tentang politik yaitu kajian mengenai organisasi sosial dan
pemerintahan yang ideal. Berdasarkan hal-hal tersebut maka Yuyun (2005) menyebutkan
bahwa cabang-cabang Ilmu Filsafat adalah sebagai berikut :
a. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
b. Filsafat Moral
c. Filsafat Seni
d. Filsafat Metafisika
e. Filsafat Pemerintahan
6
f. Filsafat Agama
g. Filsafat Ilmu
h. Filsafat Pendidikan
i. Filsafat Hukum
j. Filsafat Sejarah
k. Filsafat Matematika

7
BAB 2
FILSAFAT ILMU

Cabang Ilmu Filsafat yang membahas masalah ilmu adalah Filsafat Ilmu. Tujuan dari
Filsafat Ilmu adalah menganalisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara-cara bagaimana ilmu
pengetahuan diperoleh. The Liang Gie (2012) mendefinisikan filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran yang reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat
yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: obyek apa?
Bagaimana hubungannya? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana
prosesnya? Bagaimana prosedurnya? Hal apa saja yang perlu diperhatikan agar pengetahuan
tersebut benar? Apakah kriteriannya? Bagaimana teknik/caranya? Untuk apa pengetahuan
tersebut? Bagaimana kaitan dengan ilmu lain?.
Ilmu atau pengetahuan ilmiah, dalam bahasa Inggris disebut science, dalam bahasa
Yunani disebut episteme. Filsafat ilmu adalah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat
asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Sasaran filsafat ilmu
adalah mengadakan penataan dan pengetahuan atas dasar asas-asas yang dapat menerangkan
terjadinya ilmu pengetahuan (Rahmat et al., 2013).
The Liang Gie (2012) mengutip dari Paul Freedman dari buku The Principles Of
Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut: “ ilmu adalah suatu bentuk aktiva
manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan
senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan
kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada
dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri “. The Liang Gie (2012)
mendefinisikan ilmu sebagai berikut: Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional
dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman,
kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,
memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.

8
2.1 Mengapa Belajar Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu dipelajari untuk mengetahui sejak kapan munculnya ilmu pengetahuan,
serta untuk mampu berpikir sistematis dan kritis guna memperoleh kebenaran (Yunus, 2014).
Kemudian Tantera Keramas (2007) menegaskan bahwa Filsafat Ilmu dipelajari karena
kebenaran yang dikembangkan di setiap cabang Ilmu adalah disesuaikan dengan tujuan
mensejahterakan manusia, yang berbeda dengan kajian Ilmu Filsafat yang bertujuan untuk
mendapatkan kebenaran Mutlak (Absolut).
Kajian Filsafat Ilmu (tidak masalah jenis ilmunya) bertujuan memegang etika
keilmuan, mancari kegunaan yang terbaik dari ilmu itu, untuk mensejahterakan umat
manusia. Kajian Filsafat ilmu adalah vital sifatnya demi untuk mencegah agar ilmu itu tidak
menghancurkan manusia tetapi mensejahterakan (Tantera Keramas, 2008). Kajian yang
bermuara kepada “Cinta Kebenaran” (bahasa Inggris = philosophy) amat dimuliakan di
kampus-kampus Perguruan Tinggi di seluruh dunia.
Filsafat Ilmu dipelajari karena kebenaran yang dikembangkan di setiap cabang ilmu
adalah disesuaikan dengan tujuan mensejahterakan manusia. Kajian demikian jelas akan
berbeda hasilnya dari kajian Ilmu Filsafat yang ditujukan untuk mendapatkan kebenaran
Mutlak (Absolut). Pada kajian Filsafat Ilmu, kebenaran yang dicari adalah kajian-kajian
kebenaran yang mendekati kebenaran mutlak (Tantera Keramas, 2008). Kajian Filsafat Ilmu
bertujuan memegang etika keilmuan, mencari kegunaan yang terbaik dari ilmu itu untuk
kesejahteraan manusia. Beberapa kesimpulan tentang kepentingan kajian Filsafat Ilmu
adalah :
a. Agar memahami pemaknaan semua ilmu bagi kehidupan sekarang dan nanti
b. Kajian yang paling penting adalah Epistemologi, agar sebelum memberi arti
memahami betul kebenaran dari proses dan fungsinya. Kajian lanjutannya adalah
Aksiologi
c. Memastikan terbangunnya Ilmu yang mensejahterakan manusia
d. Ilmu IPA saling melengkapi dengan Ilmu Poleksosbud

Filsafat Ilmu pertama-tama melakukan penataan dan pengorganisasian ilmu, dengan


berusaha menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam penelitian ilmiah yaitu : prosedur-
prosedur pengamatan, pola-pola argumentasi, metode penyajian dan penghitungan, asumsi-
asumsi metafisika dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya
berdasarkan sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis (Rachmat et al., 2013).
Rachmat et al. (2013) menyebutkan tujuan Filsafat Ilmu adalah :
9
a. Memperdalam unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh dapat dipahami
sumber, hakikat, dan tujuan ilmu.
b. Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan serta kemajuan ilmu di
berbagai bidang sehingga dapat diperoleh gambaran proses penemuan ilmu sejak
zaman Yunani kuno sampai pada zaman postmodern.
c. Mempertegas bahwa antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.

2.2 Ilmu sebagai Objek Kajian Filsafat

Secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat, pada awalnya filsafatlah yang
melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis,
termasuk hal yang empiris. Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal
yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan
menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara
berkesinambungan (Yuyun, 1984). Dipertegas Oleh Bakhtiar (2013) bahwa filsafat menurut
para filosof disebut sebagai induknya ilmu, oleh karena dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern
dan teknologi berkembang. Awalnya, filsafat terbagi menjadi teoritis dan praktis. Filsafat
teoritis mencakup fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi,
politik, hukum, dan etika.
Filsafat juga diharuskan dapat membimbing ilmu. Di sisi lain perkembangan ilmu
yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga
mendorong munculnya arogansi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain.
Sehingga tugas filsafat diantaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak
terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan.
Menurut Bakhtiar (2013) bahwa ilmu sebagai kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur
filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan
rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian
dari ilmu karenanya ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang
untuk berspekulasi demi perkembangan ilmu.

10
2.3 Perkembangan Ilmu pada Zaman Modern
Konsep atau teori Pengetahuan modern berkembang berabad-abad, sejak manusia
mempelajari alam semesta. Thales sebagai Bapak ilmu pengetahuan, Aristoteles, Scorattes
sampai ke generasi Newton. Tokoh Nicolas Kopernicus, berkebangsaan Polandia yang
mencetuskan revolusi dunia ilmu. Teorinya menyatakan bahwa matahari merupakan pusat
tata surya yang diedari oleh bumi serta planet lainnya.
Perkembangan ilmu pada zaman modern merupakan perluasan dari perkembangan
ilmu pada zaman-zaman sebelumnya, misalnya temuan Brahe dan Kepler sampai saat ini
masih digunakan di bidang astronomi. Pemikiran maju di zaman modern membawa
kemajuan dengan langkah-langkah besar, seperti penemuan mesin uap, penemuan listrik,
penemuan atom, elektron, televisi, roket, dan penjelajahan ruang angkasa. Karya besar Isaac
Newton (1643-1727) seperti kalkulus dan optika, teori gravitasi (merupakan penjelasan dasar
dari lintasan planet, pengaruh pasang surut air laut dan peristiwa-peristiwa astronomi
lainnya). Tokoh Sir Issac Newton berkebangsaan Inggris yang mencetuskan hukum
gravitasi bumi, pencipta teleskop cermin. Teorinya sangat mempengaruhi alam pikiran
abad ke-18.
Penemuan gas CO2 oleh J. Black (1728-1799), kemudian penemuan O2 oleh Y.
Prestley (1733-1804), Perkembangan ilmu pengetahuan abad 18, 19 melahirkan ilmu ilmu
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Thomas Alpha Edison, dengan lampu
listriknya. Albert Enstein dengan teori atomnya. A. Einstein (1879-1917) memenangkan
hadiah Nobel pada tahun 1921, dengan teori Relativitas : memahami dunia bukan
berdasarkan peristiwa-peristiwanya, akan tetapi berdasarkan hubungan-hubungan yang
terjadi, memberikan sumbangan yang besar dalam eksplorasi terhadap angkasa luar,
khususnya melalui penerapan temuannya dalam pembuatan pesawat untuk menjelajah
angkasa luar (Rakhmat et al., 2013; Tantera Keramas, 2008).

2.4 Perkembangan Ilmu pada Zaman Postmodern


Istilah postmodernisme mula-mula dikenalkan oleh Lyotard, lewat bukunya yang
berjudul “The Postmodern Condition A Report and Knowledge, yang mengulas penolakan ide
dasar filsafat modern yang dilegitimasi oleh prinsip kesatuan ontologisme. Menurutnya
prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Lyotard
menawarkan ide parologi atau prulalitas. Manusia harus membuka kesadarannya dalam
menerima realitas prulal (Rahmat et al., 2013). Aliran postmodernisme berkembang pesat
pada 1970-an dengan beberapa tokoh yang dikenal gigih menolak aliran modernisme dan
11
menawarkan solusi terbaik dalam upaya mengikuti perkembangan zaman yang serba
menuntut tersebut.
Menurut Rahmat et al. ( 2013) asas-asas pemikiran postmodernisme adalah :
a. Keuniversalan suatu pemikiran (totalism)
b. Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara
terus menerus, sebagai ganti dari yang permanen yang amat mereka tentang.
c. Tidak terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran filsafat tertentu.
d. Tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen).

Postmodernisme menerima bentuk tradisional tetapi dengan cara yang berbeda.


Postmodernisme membangkitkan kembali ketetarikan dalam sejarah. Postmodernisme tidak
meniru segala sesuatu yang ada pada periode sebelumnya, tetapi menggunakan berbagai
macam gaya yang ada pada masa lalu dan menggabungkannya.

12
BAB 3
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI KEILMUAN

3.1 Ontologi Keilmuan


Ontologi berasal dari perkataan Yunani : On = being dan Logos = logic. Jadi
Ontologi adalah The Theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan) (Feibleman, 1996). Ontologi merupakan kefilsafatan yang paling kuno, dan
berasal dari Yunani, yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat Ontologis adalah Thales, Plato, dan
Aristoteles (Rahmat et al., 2013). Persoalan Ontologi adalah persoalan bagaimanakah
menerangkan hakikat dari segala sesuatu yang ada ini ?. Ontologi merupakan dasar ilmu yang
berusaha menjawab “apa”, yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy, dan
merupakan ilmu mengenai esensi benda. Filsuf tertua Yunani Thales menunjukkan awal mula
munculnya perenungan di bidang Ontologi, dengan perenungannya terhadap air yang
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu (Bakhtiar,
2013).
Tantera Keramas (2008) menyebutkan bahwa sudut pandang Ontologi memakai
pendekatan “ada”. Sesuatu yang “ada” pasti ada wujudnya. Biasanya dimulai dengan
mempermasalahkan : definisi apa ? Lalu diteruskan kajian itu dengan memberikan jawaban
terhadap pertanyaan : apa ? dimana ? siapa ? dan memberikan definisi tentang “keberadaan”
masalah itu. Persyaratannya adalah pengkaji mesti “mengambil jarak” dari subyek yang
dibicarakan, agar obyektivitas kajian terkawal dengan ketat. Dipertegas oleh Yuyun (2005)
bahwa Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain, suatu kajian teori tentang “ada”.
Rahmat et al. (2013) menyebutkan ada beberapa pertanyaan sekitar persoalan-
persoalan Ontologis diantaranya :
a. Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan, atau eksistensi itu ?
b. Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan, atau eksistensi ?
c. Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan ?
d. Jenis keteraturan apa yang ada di alam ?

13
e. Keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin (mekanisme) ataukah keteraturan
yang bertujuan (teologi) ?
f. Apa hakikat hubungan sebab akibat ?
g. Apakah ruang dan waktu itu ?
h. Bagaimanakah terjadi hubungan antara fisik ragawi dan jiwa ?
i. Apa yang dimaksud dengan kesadaran ?
j. Manusia sebagai makhluk bebas atau tidak bebas ?

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan
manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indra manusia. Wilayah
Ontologi Ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia, yang sering kali secara
popular banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran
rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi
ilmu tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu. . Ilmu yang banyak dikatakan orang
dengan sebutan pengetahuan ilmiah, hanya merupakan salah satu pengetahuan dari kian
banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya (Rahmat et al., 2013). Kalau memang
itu tujuannya maka kita tidak dapat melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di
dalamnya, makin jauh penjelajahan ilmiah, masalah-masalah tersebut mau tidak mau akan
timbul, seperti apakah dalam batu-batuan yang dipelajari di laboratorium terpendam proses
kimia-fisika?. Apakah manusia manusia yang begitu hidup, tertawa, menangis, dan jatuh
cinta semua itu proses kimia-fisika juga? Apakah pengetahuan yang didapatkan bersumber
pada kesadaran mental ataukah hanya rangsang pengindraan belaka ? (Yuyun, 2005).

3.2 Epistemologi Keilmuan


Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti “pengetahuan”,
“pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah, dan logos = teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode, sahnya (validitas) pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang
dimiliki (Edwards, 1967). Ditegaskan oleh Rahmat et al. (2013) bahwa Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan

14
manusia. Pertanyaan-pertanyaan dalam Ontologi adalah “apakah ada itu ?”, sedangkan
pertanyaan pokok dalam Epistemologi adalah”apa yang dapat saya ketahui ?”.
Tantera Keramas (2008) menyebutkan bahwa Epistemologi adalah cara berpikir
dengan mengkaji bagaimana benda itu mampu berasosiasi dengan benda lain di sekitarnya,
membuat hubungan sebab akibat, atau asosiasi sinergisme, dan lain-lain hal yang mungkin
terjadi. Contohnya dalam Ilmu Alam mengkaji bahan kimia satu sama lain membuat reaksi
“rekontruksi , dekonstruksi” sehingga melalui keterkaitan itu, bisa dianalisa fungsi dari
masing-masing bahan tersebut. Selanjutnya bisa dimengerti lebih rinci tentang “prosedur
terjadinya sesuatu itu”, tentang “proses” dalam rangkaian proses sebab akibat. Selanjutnya
digambarkan operasional benda itu relatif terhadap benda-benda lain di dalam satu sistem
sebab-akibat tentang masalah konkret (perbendaan) atau masalah dalam proses analisa kita
(tentang masalah sosial). Rangkaian sebab-akibat relatif terhadap benda-benda sekitarnya
ada hubungan logika sebab-akibat didasari pengalaman hidup, atau teori-teori ilmu seperti
yang telah dirintis dengan penemuan-penemuan sarjana terdahulu. Maka “Ilmu” apapun itu,
menjadi mendapatkan kajian tentang Kebenaran dari “Filsafat Ilmu”.
Rahmat et al. (2013) menyebutkan bahwa persoalan-persoalan dalam Epistemologi
adalah :
a. Apakah pengetahuan itu ?
b. Bagaimanakan manusia dapat mengetahui sesuatu ?
c. Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
d. Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?

Epistemologi Ilmu yang sering disebut dengan metode ilmiah, merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan Ilmu. Jadi Ilmu adalah pengetahuan
yang didapat dengan metode ilmiah. Metode merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai lengkah-langkah yang sistematis (Yuyun, 2005).

Bakhtiar (2013) menyebutkan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia melalui


akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,
diantaranya adalah :
a. Metode Induktif . Metode induktif adalah suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi, dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
Ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut
induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal.
15
b. Metode Deduktif. Metode deduktif adalah suatu metode yang menyimpulkan
bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.

Langkah dalam Epistemologi Ilmu antara lain berpikir deduktif dan induktif. Berpikir
deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan penyusunan argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Penjelasan yang bersifat rasional
ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final,
sebab sesuai dengan hakikat rasioanalisme yang bersifat pluralistis, maka dimungkinkan
disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Alur berpikir
metode ilmiah pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (Rahmat et al.,
2013) :
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan membentuk kontelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan.
c. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta
yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
d. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat
fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya,
dalam pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka
hipotesis itu ditolak

16
Konteks peradaban dunia yang melampaui batas-batas nasional juga ditandai oleh
ciri-ciri reseptualisasi masyarakat. Apabila peradaban global mengalami era Agraris
(gelombang ke-1), era Industri (gelombang ke-2), era Informatika (gelombang ke-3), maka
era keempat juga diiringi oleh suatu peradaban baru yang ditandai oleh respiritualisasi
masyarakat (gelombang ke-4). Kecenderungan global yang mengakibatkan suasana sekuler
telah juga menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Wawasan dunia yang berubah,
dengan dilandasi pada disertai kesadaran bahwa bukan rasio dan logika saja yang menjadi
landasan intelektual, melainkan juga inspirasi, kreativitas, moral, dan intuisi (Semiawan,
2007).
Dengan metode ilmiah sebagai paradigma, maka ilmu dibandingkan dengan berbagai
pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor
yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana
penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan
lainnya (Yuyun, 2005).

3.3 Aksiologis dalam Keilmuan


Aksiologis berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Dengan demikian, aksiologis adalah “teori tentang nilai” (Bakhtiar,
2013). Aksiologis diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Yuyun, 2005). Aksiologis adalah kajian dengan pendekatan
“makna” atau “arti” atau “nilai”. Pendekatan aksiologis mencoba memberi nilai plus atau
minus, berguna atau tidak berguna, menguntungkan atau merugikan dari setiap topik yang
yang disoroti. Kajian Aksiologis teramat penting bagi masyarakat, organisasi, institusi dan
individu yang terlibat.
Menurut Bramel dalam Bakhtiar (2013), aksiologi terbagi dalam tiga bagian yakni :
moral conduct (tindakan moral yang melahirkan etika); esthetic expression (ekspresi
keindahan); dan sosiopolitical life (kehidupan sosial politik). Sedangkan Yuyun (2005)
mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.
Yuyun (2005) menyebutkan bahwa secara ontologi dan aksiologi ilmuwan harus
mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap. Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu yang besar. Seorang
ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Pada dasarnya ilmu harus digunakan

17
dan dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup, dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian/keseimbangan alam.
Edwards (1967) mengartikan aksiologi sebagai Value dan Valuation, ada dalam tiga
bentuk yakni :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit
berarti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas adalah
segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas,
merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra.
Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika, sebagai alat untuk mencapai
beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi
menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni,
sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai
kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai, sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika berkata sebuah nilai atau nilai-
nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya, sistem nilainya.
c. Nilai, juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan.

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan
“saya pernah belajar etika”. Makna kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang
yang jujur”.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa obyek
formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu
kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan
estetika berkaitan dengan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh
manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya (Bakhtiar, 2013).
Sedangkan nilai dalam ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen.
18
Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika
seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan dengan tujuan
agar penelitiannya berhasil dengan baik. Bagi ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan
kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting. Nampaknya netralitas ilmu terletak pada
epistemologisnya, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang
nyata.

3.4 Ukuran Kebenaran


Kecerdasan manusia dalam menemukan fakta-fakta, dan melalui itu ia memperoleh
kebenaran. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran. Telaah epistemologi terhadap “kebenaran” dapat dibedakan
adanya tiga jenis kebenaran yakni kebenaran epistemologis, kebenaran ontologism dan
kebenaran semantis (Aholiab Wathloly, 2001).
Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun
abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposal yang benar.
Proposal maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Kebenaran pengetahuan adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Yang
terpenting untuk diketahui adalah bahwa kesesuaian yang dimaksud sebagai kebenaran
adalah merupakan pengertian kebenaran yang tetap tinggal di dalam jiwa. Maka pengertian
kebenaran yang melampaui batas-batas jiwa dinamakan pengertian kebenaran yang
transenden artinya batas-batas kemampuan rasio dan jiwa manusia. Rene Descartes, seorang
filosof Perancis berpendapat bahwa ilmu dalam jalan pikirannya mencapai kebenaran amat
banyak berdasarkan axioma dan kebesaran yang sudah tak dapat diganggu gugat lagi.
Kebenaran itu kerapkali berasal dari agama. Dalam agama kebenaran yang demikian itu
disebut "dogma". Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan
Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagai suatu gedung besar perpustakaan
kebenaran (Endang, 1987). Di dalam pembicaraan mengenai "kepercayaan" dapat kita
simpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan. Kita tidak dapat hidup dengan benar
hanya dengan kebenaran-kebnaran pengetahuan, ilmu dan filsafat, tanpa kebenaran agama.
Sebagaimana kita juga tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran
agama yang mutlak itu, kebenaran-kebenaran lainnya yang relatif yang walaupun tidak
mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan: kita dapat hidup dengan benar dan
19
wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi
kebenaran-kebenaran yang lainnya, yang bersesuaian atau tidak betentangan dengan agama.
Adapun kebenaran pengetahuan terbagi menjadi beberapa kategori yaitu: Kebenaran yang
pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang
dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah,
pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama. Kebenaran pengetahuan yang kedua berkaitan
dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang
membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan penginderaan atau akal
pikirnya, atau rasio, intuisi, atau keyakinan. Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai
kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.
Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek. Jika subjek yang berperan
maka jenis pengetahuan itu mengandung kebenaran yang sifatnya subjektif, sedangkan jika
objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam.
Menurut Bakhtiar (2013) terdapat 4 teori kebenaran, yaitu:
a. Kebenaran Koherensi. Sesuatu yang koheren dengan sesuatu yang lain berarti
ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih
tinggi, hal ini dapat berupa skema, sistem, atau nilai. Koheren tersebut mungkin
saja tetap pada dataran sesuai rasional, tetapi mungkin pula menjangkau dataran
transenden. Dipertegas oleh Yuyun (2005) kebenaran koherensi ditegakkan atas
hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah
kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu. Jadi menurut teori ini,
putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling
menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan : Truth is a systematic
coherence, kebenaran adalah saling berhubungan yang sistematis; Truth is
consistency, kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.
b. Kebenaran Korespondensi. Berfikir benar korespondensi adalah berfikir tentang
terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan
dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta
yang diharapkan (positifisme), antara fakta dengan belief yang diyakini, yang
sifatnya spesifik.
c. Kebenaran Pragmatik. Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce. Yang benar
adalah yang konkret, yang individual, dan yang spesifik, demikian James Dewey

20
lebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara idé
dengna fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis.
d. Kebenaran Proposisi. Sesuatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-
proposisinya benar dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai
dengan persyaratan formal suatu proposisi. Proposisi adalah suatu pernyataan
yang berisi banyak konsep kompleks.

Descartes merumuskan pedoman penyelidikan supaya orang jangan tersesat dalam


usahanya mencapai kebenaran sebagai berikut: Pertama, janganlah sekali-kali menerima
sebagai kebenaran, jika tidak ternyata kebenarannya terang benderang, haruslah membuang
segala prasangka dan janganlah campurkan apapun juga yang tak nampak sejelas-jelasnya
kepada kita, hingga tak ada dasar sedikitpun juga untuk sanksi. Kedua, rincilah tiap kesulitan
sesempurna-sempurnanya dan carilah jawaban secukupnya. Ketiga, aturlah pikiran dan
pengetahuan sedemikian rupa, sehingga mulai dari yang paling rendah dan sederhana,
kemudian meningkat dari sedikit, setapak demi setapak untuk mencapai pengetahauan yang
lebih sukar dan lebih ruwet. Keempat, buatlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya dan
selengkap-lengkapnya dan seumum-umumnya hingga menyeluruh, sampai tidak khawatir
kalau-kalau ada yang kelewatan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan itu adalah untuk mencapai
kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, problem kebenaran inilah yang
memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi (teori tentang hakikat dan ruang lingkup
pengetahuan). Telaah epistemologi terhadap kebenaran, membawa orang kepada suatu
kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran
epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantik. Kebenaran epistemologis
adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti
ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang
ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantik adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat dalam tutur kata dan bahasa.

21
Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat
tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Disamping
teori-teori kebenaran di atas ada lagi teori kebenaran yang paralel dengan teori pengetahuan
yang dibangunnya, yaitu:
1. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
2. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi
arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang
jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga
memiliki arti yang bersifat definitif.
3. Teori Kebenaran Non- Deskripsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini
suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung)
peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan
sehari-hari).
4. Teori Kebenaran Logik
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema
kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan
suatu pemborosan, karena pada dasarnya apapun pernyataan yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya.
5. Agama sebagai teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang Tuhan. Kalau teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan kondisi manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Penalaran dalam mencapai ilmu
pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan penyelidikan dan
pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam
agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban tentang masalah asasi dari
22
atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

3.5 Etika Keilmuan

Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-
masalah moral. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya etika telah
menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates. Disitu dipersoalkan mengenai masalah
kebaikan, keutamaan, dan keadilan (Wibowo, 2009).
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan.
Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral,
antara yang baik dan menghindari yang buruk dari perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat
menjadi ilmuwan yang mampu mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya (Kattsoff,
1987). Bagi seorang ilmuwan apabila ada kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat
terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil
penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat (Bakhtiar,
2013).
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi
namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik,
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani
mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan maka
seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan
yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang
sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan
memberikan contoh yang baik (Yuyun, 2005).
Solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah ilmu tersebut harus terbuka
pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu
pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami
eksistensi Tuhan, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak

23
mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada kemudahan-kemudahan material duniawi
(Bakhtiar, 2013).
Etika termasuk kelompok praktis dan dibagi menjadi dua kelompok : yaitu etika
umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran praktis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai
masalah-masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakam masalah-masalah predikat
nilai "susila dan asusila", "baik dan buruk". Kualitas ini dinamakan kebajikan yang
dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak asusila. Sesungguhnya etika lebih banyak
bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah
laku manusia. Masalah dasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak
dalam bidang atau masalah tertentu, dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang
pencapaian kebaikan hidup manusia sebagai manusia.
Menurut Magnis Suseno (1987) etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika
individual dan etika sosial, yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai
warga masyarakat. Etika Individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri
dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial
membahas tentang kewajiban manusia sebagai warga masyarakat atau umat manusia. Dalam
masalah ini etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial, karena kewajiban
terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan, etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik
secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan. Etika khusus dan etika umum
mempunyai tanggung jawab kepada ilmu dan profesi yang disandangnya, dalam hal ini para
ilmuwan berorientasi pada rasa dasar akan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab
sebagai ilmuwan yang melatar belakangi corak pemikiran ilmiah dan sikap ilmiahnya,
dewasa ini dalam penerapan ilmu dan teknologi orang yang beranggapan atau dipengaruhi
dalam keadaan tidak sadar. Dalam kehidupan manusia terdapat dua sikap yaitu: pertama,
sikap manusia mengembangankan ilmu dan teknologi untuk menguasai alam dan
menundukkan alam. Kedua, sikap manusia yang mendewakan alam. Dalam hal ini manusia
menyerah kepada struktur dan norma yang ada pada alam. Disamping etika keilmuan yang
berupa sikap ilmiah berlaku secara umum, pada kenyataanya masih ada etika keilmuan yang
secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika
kedokteran, etika rekayasa, etika bisnis, etika politik dan sebagainya. Para pihak ilmuwan dan

24
teknologi harus mengerti implikasi-implikasi etika dan sosial yang melekat pada cara
pemanfaatan ilmu dan teknologi.

25
BAB 4
FILSAFAT ILMU KESEHATAN
DAN KEDOKTERAN GIGI
Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah cabang Ilmu Kesehatan yang mempelajari
kondisi-kondisi dan kejadian-kejadian sehat dan sakit pada masyarakat (Subur Prayitno,
1997). Definisi Ilmu Kesehatan Masyarakat menurut Winslow adalah ilmu dan seni daripada
:
- Mencegah penyakit
- Memperpanjang masa hidup
- Meningkatkan kesehatan fisik dan mental dan efisiensi, melalui usaha masyarakat
yang terorganisir, untuk :
- Sanitasi lingkungan
- Mengendalikan penyakit menular
- Mendidik masyarakat dalam prinsip-prinsip kesehatan perorangan
- Pengorganisasian usaha pelayanan medis dan perawatan, dengan tujuan :
- Diagnosa awal penyakit
- Pengobatan pencegahan suatu penyakit
- Mengembangkan usaha-usaha masyarakat, guna mencapai tingkatan hidup
setinggi-tingginya agar masyarakat dapat memperbaiki dan memelihara
kesehatannya.

Menurut Winslow, Ilmu Kesehatan Masyarakat yaitu ilmu dan seni mencegah
penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi
melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol
infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian
pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan
pengembangan aspek sosial yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat
mempunyai standar kehidupan yang kuat untuk menjaga kesehatannya (Subur Prayitno,
1997).

26
Falsafah keyakinan terhadap nilai-nilai yang menjadi pedoman untuk mencapai tujuan
dan dipakai sebagai pandangan hidup. Falsafah kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut
(Subekti, 2005 dalam Annur, 2012) :
1. Pelayanan kesehatan terjangkau dan dapat diperoleh oleh semua orang dan merupakan
bagian integral dari upaya kesehatan.
2. Upaya promotif dan preventif adalah upaya tanpa mengabaikan upaya kuratif dan
rehabilitatif.
3. Pelayanan kesehatan yang diberikan pada klien yang berlangsung secara
berkelanjutan.
4. Perawat sebagai provider dan klien sebagai pelayanan kesehatan menjadi suatu
hubungan yang saling mendukung dan mempengaruhi perubahan pelayanan
kesehatan.
5. Pengembangan tenaga kesehatan masyarakat direncanakan dalam pelayanan
kesehatan secara berkesinambungan.
6. Individu dalam suatu masyarakat ikut bertanggung jawab atas kesehatannya.
Masyarakat juga harus ikut mendorong, mendidik dan berpartisipasi secara aktif
dalam pelayanan kesehatan mereka sendiri.

Menurut Anonimus (2012) pandangan (keyakinan) mengenai kesehatan masyarakat adalah :


1. Pelayanan kesehatan sebaiknya tersedia, dapat dijangkau, dapat diterima oleh
semua orang.
2. Penyusunan kebijaksanaan kesehatan seharusnya melibatkan penerima
pelayanan kesehatan.
3. Perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan klien sebagai penerima
pelayanan kesehatan.
4. Lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan penduduk, kelompok, keluarga
dan individu.
5. Pencegahan penyakit sangat diperlukan untuk peningkatan kesehatan.
6. Kesehatan merupakan tanggung jawab individu.
7. Klien merupakan anggota tetap team kesehatan.

27
Menurut Anonimus (2012) ruang lingkup kesehatan masyarakat adalah :
1. Promotif, upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat
2. Preventif, upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan
kesehatan terhadap individu, keluarga kelompok dan masyarakat
3. Kuratif, upaya kuratif bertujuan untuk mengobati anggota keluarga yang sakit
atau masalah kesehatan
4. Rehabilitatif, upaya pemulihan terhadap pasien yang dirawat di rumah atau
kelompok-kelompok yang menderita penyakit tertentu seperti TBC, kusta dan
cacat fisik lainnya
5. Resosialitatif, adalah upaya untuk mengembalikan penderita ke masyarakat
yang karena penyakitnya dikucilkan oleh masyarakat seperti penderita AIDS,
kusta dan wanita tuna susila.

Filsafat ilmu pengetahuan kesehatan dapat dijelaskan dari :


1. Aspek Ontologi (being, what, who), mendefinisikan filsafat ilmu pengetahuan
kesehatan adalah sekumpulan proposisi sistematis yang terkandung dalam pernyataan-
pernyataan kesehatan yang benar dengan ciri pokok yang bersifat general, rasional, objektif,
mampu diuji kebenarannya dan mampu menjadi milik umum (The Liang Gie, 2012).
2. Aspek Epistemologi (why, how). Why: misalnya ilmu kesehatan, masih banyak yang
tidak sehat hingga ada keinginan mencari kebenaran ilmiah, apa penyebabnya tidak
sehat. How : misalnya pemikiran dan pengkajian ilmiah/ hasil ilmiah yang disusun
secara sistematik, berkembang, universal, terbuka dengan metode ilmiah untuk
mendapatkan kebenaran tentang kesehatan (Tantera Keramas, 2008).
3. Aspek Aksiologi/Etis (objektif, for what, value), dengan tujuan umum : misalnya ilmu
kesehatan mempelajari semua aspek yang berkaitan dengan kesehatan untuk tetap
sehat dan lebih sehat. Tujuan khusus adalah untuk mencari/mendapatkan : Kebenaran
(Truth), Pengetahuan (Knowledge), Pemahaman (Understanding), Penjelasan
(Explanation), Klasifikasi (Classification), Peramalan (Prediction), Pengendalian
(Control), Penerapan (Application), Penemuan (Indention), Produksi (Production).
Mempelajari nilai etis: kebenaran, misalnya : kesehatan yang lebih baik,
bernilai etis dan estetis (Tantera Keramas, 2008).
Secara ontologis keraguan timbul karena keterbatasan manusia. Filsafat ilmu
pengetahuan berusaha mengubah "yang ada" dari "common sense" atau anggapan umum

28
menjadi "yang ada" secara logis" atau "rasional". Dulu mitos adalah anggapan umum yang
dianggap benar berdasar kepercayaan tanpa pembuktian. Misalnya jaman dulu ada mitos
kejadian penyakit lepra, disebut sebagai kutukan Tuhan. Sekarang kepastian ini dapat dilihat
dengan mikroskop atau dengan metode lain dan berlaku universal. Misal : Lepra adalah
penyakit yang disebabkan M. Leprae (Ilmu Pengetahuan Ilmiah). Jadi penyakit lepra yang
dulu dianggap kutukan Tuhan, kini dapat dijelaskan sebagai berikut: Aspek ontologi lepra
adalah penyakit yang disebabkan oleh M. Leprae. Aspek epistemologi lepra adalah
penyakit yang disebabkan oleh M. Lepra (Why) dan menular dalam jangka lama (How).
Aspek aksiologi, lepra adalah penyakit yang perlu diobati dan untuk menjaga martabatnya
ditempatkan di leproseri (etis).
Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920 dalam Rudianzyah, 2012), Kesehatan
Masyarakat (Public Health) adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup
dan meningkatkan kesehatan melalui “Usaha-usaha Pengorganisasian Masyarakat” untuk :
Perbaikan sanitasi lingkungan, Pemberantasan penyakit-penyakit menular, Pendidikan untuk
kebersihan perorangan, Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk
diagnosis dini dan pengobatan, Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang
terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Disiplin ilmu yang mendasari ilmu kesehatan masyarakat antara lain, mencakup; Ilmu
biologi, Ilmu kedokteran, Ilmu kimia, Fisika, Ilmu Lingkungan, Sosiologi, Antropologi (ilmu
yang mempelajari budaya pada masyarakat), Psikologi, Ilmu pendidikan. Oleh karena itu
ilmu kesehatan masyarakat merupakan ilmu yang multidisiplin. Menurut Ikatan Dokter
Amerika (1948), kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat.
Rudianzyah (2012) menyebutkan tujuan umum kesehatan masyarakat adalah
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan
yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupan sesuai dengan kapasitas yang mereka
miliki. Sedangkan tujuan khusus kesehatan masyarakat adalah :
1. Terpelihara dan meningkatnya status kesehatan keluarga;
2. Terpelihara dan meningkatnya status kesehatan komunitas.
3. Terpelihara dan meningkatnya status gizi masyarakat.
4. Terpelihara dan meningkatnya status kesehatan jiwa masyarakat.
5. Meningkatnya jumlah dan cakupan pemeliharaan kesehatan dengan pembiayaan pra
upaya.

29
Sesuai international standard yang dibuat oleh Leavel dan Clark (Rudianzyah, 2012)
ada lima tahap pencegahan penyakit dalam mewujudkan kesehatan masyarakat :
Pertama disebut Health Promotion atau promosi kesehatan. Promosi kesehatan ini
berisi ajakan untuk hidup sehat. Contohnya menyanyikan lagu “bangun tidur ku terus mandi”,
mengajak orang-orang desa agar mandi memakai sabun, mengajak anak-anak untuk gosok
gigi sebelum tidur, mengajak orang untuk tidak merokok, mengajak orang untuk membuang
sampah sembarangan, mengajak orang untuk memakai helm atau masker saat berkendaraan,
dan lain lain.
Kedua Health Prevention and Health protection atau pencegahan kesehatan dan
perlindungan kesehatan. Tahap ini merupakan penerapan dari praktek hidup sehat. Contohnya
penyemprotan got untuk membunuh nyamuk malaria, mandi pakai sabun, pakai masker dan
helm saat berkendaraan, tidak merokok.
Ketiga yaitu Medical Curration (early diagnose and prompt treathment) atau
Pengobatan (deteksi dini dan pengobatan cepat tepat). Tahap ini adalah penanganan jika telah
ditemukan penyakit atau indikasi penyakit. Contohnya adalah check up ke rumah sakit, pergi
ke dokter, pergi ke puskesmas.
Keempat adalah Disability Limitation atau pembatasan kecacatan. Tahap ini untuk
membatasi cacat atau penyakit yang sudah terlanjur menyerang atau menjangkiti seseorang.
Contohnya kontrol ke rumah sakit, dokter mengunjungi pasien untuk menanyakan atau
memeriksa keadaan pasien pasca pengobatan.
Terakhir yaitu Health Rehabilitation atau pemulihan kembali. Tujuan dari rehabilitasi
ini adalah untuk mengajari pasien kembali ke masyarakat. Contohnya Rehabilitasi pecandu
narkoba, rehabilitasi penderita kusta, rehabilitasi penderita PEKAT (penyakit masyarakat).
Menurut Hendrick L. Blumm (Rudianzyah, 2012), terdapat 4 faktor yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, yaitu faktor :
1. Perilaku/ Gaya hidup, Gaya hidup individu/masyarakat sangat mempengaruhi derajat
kesehatan. Contohnya : dalam masyarakat yang mengalami transisi dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern, akan terjadi perubahan gaya hidup pada
masyarakat tersebut yang akan mempengaruhi derajat kesehatan
2. Lingkungan, meliputi lingkungan fisik (baik natural atau buatan manusia), dan
sosiokultur (ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lain lain). Pada lingkungan fisik,
kesehatan akan dipengaruhi oleh kualitas sanitasi lingkungan dimana manusia itu
berada.
3. Keturunan
30
4. Pelayanan Kesehatan.

4.1 Perkembangan Ilmu Kesehatan


Berbicara kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi Yunani yaitu
Asclepius dan Higeia. Berdasarkan cerita Mitos Yunani tersebut Asclepius disebutkan
sebagai seorang dokter pertama yang tampan dan pandai meskipun tidak disebutkan sekolah
atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya, tetapi diceritakan bahwa ia telah dapat
mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur tertentu
dengan baik (Rudianzyah, 2012).
Hegeia, seorang asistennya yang juga istrinya juga telah melakukan upaya kesehatan.
Bedanya antara Asclepius dengan Higeia dalam pendekatan/penanganan masalah kesehatan
adalah ;
1) Asclepius melakukan pendekatan (pengobatan penyakit), setelah penyakit tersebut terjadi
pada seseorang.
2) Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah kesehatan melalui
“hidup seimbang”, seperti menghindari makanan/minuman yang beracun, makan makanan
yang bergizi (baik) cukup istirahat dan melakukan olahraga. Apabila orang sudah jatuh sakit
Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara alamiah untuk menyembuhkan
penyakitnya tersebut, antara lain lebih baik dengan memperkuat tubuhnya dengan makanan
yang baik, daripada dengan pengobatan/pembedahan.
Menurut Mubarak (2012) perkembangan Ilmu Kesehatan dikelompokkan dalam 2
periode:
1) Periode sebelum ilmu pengetahuan
Pada periode ini masyarakat belum terlalu memahami arti pentingnya kesehatan
dalam kehidupannya dalam sehari-hari, ini ditandai dengan adanya peraturan tertulis yang
mengatur pembuangan limbah kotoran yang tujuan awalnya tidak untuk kesehatan tetapi
karena limbah menimbulkan bau tidak sedap. Namun lama kelamaan mereka makin
menyadari pentingnya kesehatan masyarakat setelah timbulnya berbagai macam penyakit
menular menyerang sebagian penduduk dan menjadi epidemi bahkan telah menjadi endemi.
Contohnya kolera namun upaya pemecahan masalah secara menyeluruh belum dilakukan.
2) Periode ilmu pengetahuan
Periode ini masalah penyakit merupakan masalah yang komplek, sehingga jika pada
periode sebelum ilmu pengetahuan belum ditemukan pemecahan masalah, pada periode ini
mulai ditemukann penyebab-penyebab penyakit dan vaksin sebagai pencegahan, ini
31
dibuktikan Louis Pasteur menemukan vaksin pencegah cacar. Josep Lister menemukan asam
karbol untuk sterilisasi ruang operasi dan William Marton menemukan ether sebagai anestesi
pada waktu operasi. Penyelidikan dan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah pun
mulai digalakkan. Ini dibuktikan dengan telah dikembangkannya pendidikan tenaga
kesehatan profesional oleh seorang pedagang wiski dari Baltimor Amerika dengan berdirinya
universitas serta pemerintah Amerika membentuk departemen kesehatan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk, juga perbaikan dan pengawasan
sanitasi lingkungan.
Notoatmodjo (2003) dan Mubarak (2012) menyebutkan perkembangan Kesehatan
Masyarakat di Indonesia adalah sebagai berikut :
1). Abad Ke-16 : Pemerintahan Belanda mengadakan upaya pemberantasan cacar dan kolera,
dengan melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
2). Tahun 1807 : Pemerintahan Jendral Daendels, melakukan pelatihan dukun bayi dalam
praktek persalinan dalam rangka upaya penurunan angka kematian bayi, tetapi tidak
berlangsung lama karena langkanya tenaga pelatih.
3). Tahun 1888 : Berdiri pusat laboratorium kedokteran di Bandung, kemudian berkembang
pada tahun-tahun berikutnya di Medan, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Laboratorium ini menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar, gizi
dan sanitasi.
4). Tahun 1925 : Hydrich, seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda mengembangkan
daerah percontohan dengan melakukan propaganda (pendidikan) penyuluhan kesehatan di
Purwokerto, Banyumas, karena tingginya angka kematian dan kesakitan.
5). Tahun 1927 : STOVIA (sekolah untuk pendidikan dokter pribumi) berubah menjadi
sekolah kedokteran dan akhirnya sejak berdirinya UI tahun 1947 berubah menjadi FKUI.
Sekolah dokter tersebut punya andil besar dalam menghasilkan tenaga tenaga dokter yang
mengembangkan kesehatan masyarakat Indonesia.
6). Tahun 1930 : Pendaftaran dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan.
7). Tahun 1935 : Dilakukan program pemberantasan pes, karena terjadi epidemi, dengan
penyemprotan DDT dan vaksinasi massal.
8). Tahun 1951: Diperkenalkannya konsep Bandung (Bandung Plan) oleh Dr.Y. Leimena dan
dr Patah (yang kemudian dikenal dengan Patah-Leimena), yang intinya bahwa dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan.
konsep ini kemudian diadopsi oleh WHO. Diyakini bahwa gagasan inilah yang kemudian
dirumuskan sebagai konsep pengembangan sistem pelayanan kesehatan tingkat primer
32
dengan membentuk unit-unit organisasi fungsional dari Dinas Kesehatan Kabupaten di
tiap kecamatan yang mulai dikembangkan sejak tahun 1969/1970 dan kemudian disebut
Puskesmas.
9). Tahun 1952 : Pelatihan intensif dukun bayi.
10). Tahun 1956 : Dr.Y.Sulianti mendirikan “Proyek Bekasi” sebagai proyek
percontohan/model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat dan pusat
pelatihan, sebuah model keterpaduan antara pelayanan kesehatan pedesaan dan
pelayanan medis.
11). Tahun 1967 : Seminar membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat
terpadu sesuai dengan masyarakat Indonesia. Kesimpulan seminar ini adalah
disepakatinya sistem Puskesmas yang terdiri dari Puskesmas tipe A, tipe B, dan C.
12). Tahun 1968 :Rapat Kerja Kesehatan Nasional, dicetuskan bahwa Puskesmas adalah
merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu, yang kemudian dikembangkan oleh
pemerintah (Depkes) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau, dalam
wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di kotamadya/kabupaten.
13). Tahun 1969 : Sistem Puskesmas disepakati dua saja, yaitu tipe A (dikepalai dokter) dan
tipe B (dikelola paramedis). Pada tahun 1969-1974 yang dikenal dengan masa Pelita I,
dimulai program kesehatan Puskesmas di sejumlah kecamatan dari sejumlah Kabupaten
di tiap Propinsi.
14). Tahun 1979 : Tidak dibedakan antara Puskesmas A atau B, hanya ada satu tipe
Puskesmas saja, yang dikepalai seorang dokter dengan stratifikasi puskesmas ada 3
(sangat baik, rata-rata dan standard). Selanjutnya Puskesmas dilengkapi dengan piranti
manajerial yang lain, yaitu Micro Planning untuk perencanaan, dan Lokakarya Mini
(LokMin) untuk pengorganisasian kegiatan dan pengembangan kerjasama tim.
15). Tahun 1984 : Dikembangkan program paket terpadu kesehatan dan keluarga berencana
di Puskesmas (KIA, KB, Gizi, Penaggulangan Diare, Immunisasi). Awal tahun 1990-an
Puskesmas menjelma menjadi kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga memberdayakan peran serta
masyarakat, selain memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.

33
4.2 Keterkaitan Ilmu Logika dengan Ilmu Kesehatan
Masuku (2011) menyebutkan bahwa ada dua cara pokok mendapatkan pengetahuan
dengan benar. Pertama, mendasarkan diri dengan rasio (logika). Kedua, mendasarkan diri
dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman
mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam
menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh
sebelum manusia memikirkannya (idealisme). Sedangkan, kaum empiris menyatakan
sebaliknya, bahwa pengalaman diperoleh dari pengalaman yang konkret, bukan hasil
pemikiran yang abstrak.
Dengan adanya filsafat yang menjadi landasan dan cara berpikir logis yang digunakan
untuk menemukan kebenaran ilmiah tersebut, maka dapat dihasilkan sebuah ilmu
pengetahuan. Salah satunya adalah yang dikenal dengan ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu
kesehatan masyarakat merupakan pengetahuan ilmiah yang juga cabang dari filsafat teoritis.
Ilmu kesehatan masyarakat diantaranya adalah upaya-upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan kata lain, kesehatan masyarakat
adalah sama dengan sanitasi. Upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan sanitasi
lingkungan adalah merupakan kegiatan kesehatan masyarakat. Pada awal abad ke-19,
kesehatan masyarakat sudah berkembang dengan baik dan diartikan sebagai suatu upaya
integrasi antara ilmu sanitasi dengan ilmu kedokteran. Sedangkan ilmu kedokteran itu sendiri
merupakan integrasi antara ilmu biologi dan ilmu sosial.
Dalam perkembangan selanjutnya, kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi
dan kegiatan terpadu antara sanitasi dan pengobatan (kedokteran) dalam mencegah penyakit
yang melanda penduduk atau masyarakat. Oleh karena masyarakat sebagai objek penerapan
ilmu kedokteran dan sanitasi mempunyai aspek sosial ekonomi dan budaya yang sangat
kompleks, akhirnya kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi keterpaduan antara ilmu
kedokteran, sanitasi, dan ilmu sosial dalam mencegah penyakit yang terjadi di masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman praktek kesehatan masyarakat yang telah berjalan
sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan
masyarakat yang sampai sekarang masih relevan. Kesehatan masyarakat (public health)
adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan
melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk : perbaikan sanitasi lingkungan;
pemberantasan penyakit-penyakit menular; pendidikan untuk kebersihan perorangan;
pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan
34
pengobatan; pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi
kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Dari batasan tersebut tersirat bahwa kesehatan masyarakat adalah kombinasi antara
teori (ilmu) dan praktek (seni) yang bertujuan untuk mencegah penyakit, memperpanjang
hidup dan meningkatkan kesehatan penduduk (masyarakat). Ketiga tujuan tersebut sudah
barang tentu saling berkaitan dan mempunyai pengertian yang luas.
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Filsafat menjadi sebuah proses berpikir kritis,
yang meliputi usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip logika untuk
mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu
diterima atau ditolak. Untuk dapat diterima, maka informasi tersebut harus memiliki nilai-
nilai kebenaran. Suatu informasi yang telah sesuai dengan teori kebenaran tersebut barulah
dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan. Salah satunya adalah Ilmu Kesehatan
Masyarakat yang merupakan perpaduan antara teori dan praktek yang bertujuan untuk
mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Ilmu logika digunakan dalam riset epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, untuk
merumuskan hipotesis, membangun teori, maupun mengembangkan pengetahuan umumnya.
Sains baik epidemiologi, kedokteran, dan kesehatan, adalah ilmu terapan. Sains tidak
dimaksudkan sebagai “menara gading” yang tidak berguna untuk perbaikan status kesehatan
masyarakat. Jadi sains tidak hanya membutuhkan cara berpikir logis dan runtut, tetapi juga
seni dan kreativitas dalam penarikan kesimpulan (Fadhillah, 2005).

4.3 Makna dan Konsep Tentang Sehat Menurut Filsafat


Dalam bidang Ilmu Kedokteran, pandangan terhadap manusia yang terlalu
mekanistik, dan dikhotomik yang memisahkan antara fisik dan psikhis, telah bergeser
menjadi lebih bersifat spiritual dan memandang manusia secara holistik dan seimbang, akan
mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran, khususnya bioetika. Kecenderungan bioetika
sebelumnya yang lebih bersifat sekuler, otonom dan pluralistik akan lebih disesuaikan dengan
prinsip etika yang lebih memperhatikan perspektif spiritualitas dan holistik. Dengan adanya
penemuan berbagai jenis kecerdasan pada manusia, seperti kecerdasan emosional dan
spiritual disamping kecerdasan intelektual mendorong pendekatan pandangan tentang
eksistensi manusia.
Pada zaman klasik Ilmu Kedokteran berdasarkan pada filsafat alam yang berkembang
pada waktu itu. Contohnya Ilmu Kedokteran Cina yang mendasarkan fenomena sehat dan
35
sakit pada filsafat pergerakan lima unsur di alam. Namun demikian cukup banyak pula
penemuan berdasarkan pengalaman dan percobaan yang banyak manfaatnya dalam ilmu
pengobatan. Menurut ajaran filsafat dari Cina/Taoisme, sehat adalah gejala
ketidakseimbangan antara unsur Yin dan Yang, baik antara manusia (mikrokosmos) dengan
alam semesta (makrokosmos), maupun unsur-unsur yang ada pada kehidupan di dalam tubuh
manusia sendiri. Dalam ajaran Taoisme, ditegaskan bahwa semua isi alam raya dan sifat-
sifatnya bisa digolongkan ke dalam dua kelompok yang disebut kelompok Yin (sifatnya
mendekati air) dan kelompok Yang (sifatnya mendekati api). Sifat Yin dan Yang saling
berlawanan, saling menghidupi, saling mengendalikan, saling mempengaruhi tetapi
membentuk sebuah kesatuan yang dinamis (harmonisasi). Contohnya, lelaki-perempuan,
panas-dingin, terang-gelap, aktif-pasif, dan seterusnya. Seseorang akan dikatakan sakit jika
tejadi ketidak seimbangan antara yin dan yang. Sebenarnya, dalam filsafat-filsafat kuno, atau
perenialisme modern, roh, pikiran dan raga tak pernah dilihat sebagai dua hal yang terpisah.
Istilahnya, yang sekarang kembali lagi populer, penyembuhan holistik sebagai alternatif
terhadap kedokteran modern yang bersifat mekanistik-ragawi, orang mulai memperkenalkan
kembali istilah kedokteran, atau penyembuhan (healing) holistik (holistic medicine).
India memiliki warisan pengetahuan kesehatan yang dikenal dengan Ayurveda.
Ayurveda berasal dari kata Sansekerta, yang diartikan sebagai pengetahuan panjang umur
(Maswinara, 2007). Menurut Nala (1993) Ayurveda terdiri atas kata ayur atau ayus yang
berarti hidup, vitalitas, kesehatan atau usia lanjut, sedangkan Veda artinya ilmu
pengetahuan. Sehingga Ayurveda dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang upaya
manusia agar dapat hidup sehat sampai usia lanjut. Kemudian dipertegas oleh Jendra dan
Arsa Dana (2007) bahwa Ayurveda tidak bisa menerima perawatan kesehatan tanpa
melibatkan spiritual. Dikatakan bahwa perawatan kesehatan yang terbaik adalah disiplin
spiritual, beristirahat dan diam, mengatur pola makanan, melakukan olah raga yang sederhana
(yoga asanas) adalah obat.
Ayurveda adalah kitab suci Hindu yang memuat tentang berbagai macam pengetahuan
yang erat kaitannya dengan masalah pengobatan. Kitab ini telah ditulis lebih dari 5000 tahun
yang lalu di India dan ajarannya menyebar sampai ke Indonesia, khususnya ke Bali, dimana
sebagian besar penduduknya beragama Hindu (Nala, 1993 dan Anonimus, 2009). Bila kita
membaca Lontar Usada yang ada di Bali isinya kebanyakan bersumber dari Kitab Ayurveda.
Kitab Ayurveda yang paling utama saat ini adalah Kitab Charaka dan Susruta Sambita.
Charaka diperkirakan sebagai tabib hidup pada tahun 30-110 Masehi. Beliau banyak menulis
tentang ilmu pengobatan berdasarkan Kitab Ayurveda, kemudian banyak diperbaharui oleh
36
penulis Dridhabala. Sedangkan kitab yang kedua, yakni kitab Susruta Samhita ditulis oleh
Susruta. Menurut Susruta, Dewa Indra menyerahkan Ayurveda kepada Dhavantari. Dan
kemudian diperbaharui oleh Nagarjuna. Tetapi menurut Charaka, Ayurveda diturunkan oleh
Dewa Indra kepada Bharadvaja. Dan Bharadvaja mengajarkan isi kitab ini kepada Atreya
Purnavasu, selanjutnya diturunkan kepada Agnivesa untuk diberikan kepada Charaka.
Karena itu Kitab Ayurveda Charaka sering disebut kitab Agnivesatantra (Nala, 1993).
Dalam Veda ada doa yang sangat populer , sebagaimana yang dimuat dalam
Brhadaranyaka Upanisad b. III.28 (Swami Maheshwarananda, 2001) sebagai berikut :
Om asato ma sad gamaya
Tamaso ma jyotir gamaya
Mrtyor mamrtan gamaya
Doa di atas berarti sebagai berikut : Oh Tuhan, bimbinglah aku dari kegelapan menuju
terang, bimbinglah aku dari ketidakbenaran menuju kebenaran, dan bimbinglah aku dari
kematian menuju keabadian. Inilah tujuan dari Ayurveda, untuk mencapai usia panjang , dan
mencapai keabadian. Veda telah menganjurkan pada umat manusia untuk menempuh pola-
pola hidup sederhana dalam berbagai kehidupan, termasuk aspek kesehatan.
Kehidupan ini memiliki kesatuan raga, pikiran dan jiwa. Bila salah satu dari tiga unsur
ini tidak ada, maka kehidupan itu tidak dapat diwujudkan. Pengobatan ini biasanya
menyangkut salah satu aspek dari ketiganya, dan kadang penyakit itu hanya tercermin dari
salah satu aspek saja. Ayurveda adalah bagian dari seni penyembuhan yang lebih condong
dan mengkhusus untuk penyembuhan seseorang dengan mengamati pikiran dan rohani
seseorang dari sudut keadaan lahiriah, fisik atau raganya. Sedangkan yoga lebih condong
pada jiwa sebagai pusat penyembuhan penyakit, dan aghora lebih condong menggunakan
pikiran sebagai terapi penyembuhan. Dalam prakteknya pengetahuan itu sebetulnya satu, dan
tidak berdiri sendiri. Untuk membantu masyarakat luas dalam memelihara kesehatannya, para
Rsi membuat kumpulan pengetahuan yang sistematis, yang salah satu dasarnya utamanya
adalah hubungan antara makrokosmos, alam semesta dengan mikrokosmos, tubuh atau raga
ini. Bahwasanya apapun yang ada pada alam semesta, jagad raya (makrokosmos) ini, akan
ada juga pada tubuh , raga (mikrokosmos) ini. Karena itu semua kekuatan alam dan
obyek-obyeknya, seperti matahari, bulan , bintang, planet- planet, hujan, angin, api, bumi dan
angkasa sebetulnya juga hadir dalam badan kita. Dasar kedua, para rsi menggunakan
pengetahuan tiga azas yang dikenal dengan tri dosa, yaitu angin, api dan air yang selanjutnya
dikenal sebagai vata, pitta, dan kapha. Tiga azas inilah yang dikembangkan untuk
penyembuhan sesuai hukum alam, dan hubungan antara manusia dan alam (kosmos). Konsep
37
ini adalah bentuk kesucian dari warisan pengetahuan Ayurveda, dimana kesadaran akan
saling berhubungan dengan azas-azas universal (Maswinara, 2007).
Alam semesta memiliki kecendrungan yang disebut triguna, yaitu keseimbangan (sattva
), energik cenderung bergerak (rajas), dan malas (tamas) atau inertia. Bila seseorang selalu
energik, dan punya kecendrungan aktif terus menerus dalam tingkatan fisik, dan ini
dipengaruhi oleh unsur vata. Bila terjadi keseimbangan pada diri ini, maka faktor yang paling
berpengaruh adalah pitta. Demikian juga, bila seseorang dipengaruhi oleh kapha, maka
seseorang akan cenderung malas. Kecendrungan tiga azas inilah yang mengendalikan
kesehatan pikiran seseorang, yaitu analog dengan vata, pitta, dan kaphanya badan.
Pikiran seseorang disebut sehat, bila dipenuhi oleh unsur sattva, sehingga terjadi
keseimbangan mental. Sebaliknya pikiran dikatakan sakit, bila dipenuhi oleh unsur rajas atau
tamas. Pada tubuh, vata inilah yang mewakili semua kekuatan yang menyebabkan badan
bergerak . Vata ini secara umum terkumpul pada paru-paru, jantung, usus, tulang persendian,
alat kelamin dan sistem syaraf. Azas badan pitta, berkaitan dengan panas terpusat pada cairan
pencernaan, mata, hati, empedu, kulit halus, dan otak. Sedangkan azas dingin, kapha
mencerminkan cairan-cairan pada sistem syaraf, otak, tulang belakang, lendir, usus, air liur
dan pelumas yang lain. Tiga azas ini, pada pada alam, maupun pada tubuh tidaklah tetap
sehingga kondisinya mudah berubah-ubah sesuai kondisi yang dialaminya. Karena itu tridosa
( vata, pitta, dan kapha ) akan bergerak terus menerus sehingga akan dapat dirasakan pada
denyut nadi. Bila unsur-unsur tersebut tidak seimbang, maka keadaan itu bisa dideteksi
melalui denyut nadi. Keadaan organisme tubuh bisa diketahui dari iramanya, kepenuhannya,
intensitasnya, dan Ayurveda bisa membedakan hingga 108 pola denyut yang berbeda, yang
dibentuk oleh permutasi dari irama tridosa (Maswinara, 2007).
Dalam bidang ilmu kedokteran, pandangan terhadap manusia yang terlalu mekanistik,
dan dikhotomik yang memisahkan antara fisik dan psikhis, telah bergeser menjadi lebih
bersifat spiritual dan memandang manusia secara holistik dan seimbang, akan mempengaruhi
perkembangan ilmu kedokteran, khususnya bioetika. Kecenderungan bioetika sebelumnya
yang lebih bersifat sekuler, otonom dan pluralistik akan lebih disesuaikan dengan prinsip
etika yang lebih memperhatikan perspektif spiritualitas dan holistik. Dengan adanya
penemuan berbagai jenis kecerdasan pada manusia, seperti kecerdasan emosional dan
spiritual disamping kecerdasan intelektual mendorong pendekatan pandangan tentang
eksistensi manusia.
Dimulai pada zaman keemasan Yunani bahwa sehat itu sebagai sesuatu yang
dibanggakan sedang sakit sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Filosofi yang berkembang
38
pada saat ini adalah filosofi yang berorientasi pada kesehatan fisik semata-mata yang
menyatakan bahwa seseorang disebut sehat bila tidak ditemukan disfungsi alat tubuh. Mental
dan roh bukan urusan dokter melainkan urusan agama. Setelah ditemukan kuman penyebab
penyakit batasan sehat juga berubah. Seseorang disebut sehat apabila setelah diadakan
pemeriksaan secara seksama tidak ditemukan penyebab penyakit.
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan
guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Tetapi datangnya penyakit
merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari.
Pada masa lalu, sebagian besar individu dan masyarakat memandang sehat dan sakit sebagai
sesuatu Hitam atau Putih. Dimana kesehatan merupakan kondisi kebalikan dari penyakit atau
kondisi yang terbebas dari penyakit. Pendekatan yang digunakan pada abad ke-21, sehat
dipandang dengan perspektif yang lebih luas. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak
terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi
dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak
ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu
pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau
dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan
dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik
secara biologis, psikologis maupun sosiobudaya.
UU No.23, Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa : Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara
sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan
yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakan bagian integral kesehatan. Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan
suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektualitas, spiritual dan penyakit) dan
eksternal (lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.
Definisi sehat WHO mengalami perubahan seperti yang tertera dalam UU kesehatan RI
No.23 tahun 1992 telah dimasukkan unsur hidup produktif sosial dan ekonomi.

Sistem Upaya Pelayanan Kesehatan Dasar menurut Deklarasi Alma Ata (1978) :

39
1. Kesehatan adalah keadaan sempurna dalam aspek fisik, mental dan sosial serta bebas dari
penyakit atau kecacatan merupakan hak azasi manusia yang fundamental
2. Ketidakseimbangan status kesehatan antara negara dan antar daerah dalam suatu negara
diakui dan disadari oleh semua negara
3. Pemerintah bertanggungjawab atas kesehatan masyarakatnya dan masyarakat berhak dan
terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaanya
4. Agar dalam tahun 2000 status kesehatan masyarakat di setiap negara memungkinkan
setiap penduduk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Menurut Anonimus (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan dan tindakan


kesehatan adalah :
1. Faktor Internal
a. Tahap Perkembangan, artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal
ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-
lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-
beda.
b. Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan, keyakinan seseorang terhadap kesehatan terbentuk
oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan tentang berbagai fungsi tubuh dan
penyakit , latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif
akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memehami faktor-
faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang
kesehatan untuk menjaga kesehatan sendirinya.
c. Persepsi tentang fungsi, cara seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat pada
keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya. Contoh, seseorang dengan
kondisi jantung yang kronik merasa bahwa tingkat kesehatan mereka berbeda dengan
orang yang tidak pernah mempunyai masalah kesehatan yang berarti. Akibatnya,
keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakan kesehatan pada masing-masing
orang cenderung berbeda-beda. Selain itu, individu yang sudah berhasil sembuh dari
penyakit akut yang parah mungkin akan mengubah keyakinan mereka terhadap kesehatan
dan cara mereka melaksanakannya.
d. Faktor Emosi, faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap kesehatan dan
cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respons stres dalam setiap perubahan
hidupnya cenderung berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan
cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya.
40
Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respons
emosional yang kecil selama sakit.
e. Spiritual, aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,
mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman,
dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup. Spiritual bertindak sebagai suatu
tema yang terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Spiritual seseorang akan
mempengaruhi cara pandangnya terhadap kesehatan dilihat dari perspektif yang luas.

2. Faktor Eksternal
a. Praktek di keluarga, cara bagaimana keluarga menggunakan pelayanan kesehatan biasanya
mempengaruhi cara individu dalam melaksanakan kesehatannya
b. Faktor sosioekonomi, faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap
penyakitnya.
c. Latar belakang budaya, mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, termasuk
sistem pelayanan kesehatan dan cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

4.4 Manfaat Filsafat Ilmu bagi Kesehatan dan Kedokteran Gigi


Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat
dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan
pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran pokok pembangunan kesehatan 2015-2019 adalah:
(1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak; (2) meningkatnya pengendalian
penyakit; (3) meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama
di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan; (4) meningkatnya cakupan pelayanan
kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga
kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan
(Kementerian Kesehatan, 2015).
Menurut Winslow, Ilmu Kesehatan Masyarakat yaitu ilmu dan seni mencegah
penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi
melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol
infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian
pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan

41
pengembangan aspek sosial yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat
mempunyai standar kehidupan yang kuat untuk menjaga kesehatannya (Anonimus, 2007).
Sesuai pendapat The Liang Gie (2012) tentang definisi Filsafat Ilmu, maka dapat
didefinisikan bahwa Filsafat Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah segenap pemikiran yang
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan Ilmu
Kesehatan Masyarakat maupun hubungan Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan segala segi
dari kehidupan manusia. Kemudian ditegaskan oleh Sidi Gazalba (dalam Bakhtiar, 2013)
bahwa berfilsafat adalah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tetang segala
sesuatu yang dimasalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal. Filsafat Ilmu
Pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran,
kepastian, dan tahap-tahapannya, objektivitas, abstraksi, instuisi, dan juga pertanyaan
mengenai “darimana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu ? (Syahriartato, 2013).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kegunaan
Filsafat dalam Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Gigi adalah sebagai suatu tindakan yang
dilakukan untuk mencari, meninjau, mengamati dan menyelidiki setiap masalah ataupun
kejadian yang terjadi di masyarakat yang termasuk dalam ruang lingkup kesehatan dan
kedokteran gigi. Masalah tersebut diselidiki secara sistematis dengan lebih dalam untuk
mendapatkan kebenaran, solusi ataupun pencegahannya. Selain itu, dengan berfilsafat juga
dapat berpikir dengan lebih logis dan radikal sehingga setiap ide dan tindakan yang diperbuat
dapat lebih terarah dan bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Contohnya
dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat yaitu kesehatan lingkungan. Jika suatu daerah
memiliki lingkungan yang udaranya tercemar maka kita akan menyelidiki apa penyebab
udara di daerah tersebut tercemar, akibat yang ditimbulkannya, dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung serta solusi atau tindakan yang dilakukan untuk meminimalisir
pencemaran udara dan bahkan menghilangkannya. Semua hal tersebut dapat dilakukan
dengan berfilsafat.
Menurut Anonimus (2012) manfaat Filsafat Ilmu bagi calon ahli kesehatan
masyarakat secara umum adalah :
a) Dapat melihat kebenaran di antara kebenaran yang lain
b) Dapat memadukan antara ilmu, pengetahuan, logika, rasa dan sebagainya dalam
menjawab suatu fenomena.
Maka manfaat filsafat ilmu bagi calon ahli kesehatan masyarakat secara khusus adalah :
a) Membantu memandang suatu fenomena kesehatan masyarakat secara menyeluruh dan
mendasar, sehingga dapat dilihat suatu kebenaran di antara kebenaran yang lain.
42
b) Membantu calon ahli kesehatan masyarakat berfikir secara luas dan dari berbagai sudut
pandang disiplin ilmu.
c) Membantu calon ahli kesehatan masyarakat untuk berfikir secara kritis dalam menghadapi
fenomena yang terjadi di masyarakat.
d) Membantu calon ahli kesehatan masyarakat untuk mengembangkan ilmunya karena ilmu
sifatnya bukan merupakan kebenaran yang hakiki, tidak stagnan dan terus berkembang.

Purba (2013) menyebutkan bahwa Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tentang cara mempertahankan kesehatan gigi manusia dan
mengembalikan gigi manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada
penyakit dan cedera. Kemudian disebutkan bahwa dokter (dari bahasa Latin, yang berarti
“guru”) adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang
yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk
menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar
dalam bidang kedokteran. Kata kedokteran berhubungan dengan penyembuhan. Hakekat
dari profesi dokter gigi adalah bisikan hati nurani dan panggilan jiwa untuk mengabdikan
diri pada semuanya, berlandaskan moralitas, kejujuran, keadilan, empati keikhlasan, dan
kepedulian sesama manusia. Dokter gigi merupakan profesi yang mempunyai kedudukan
tinggi di masyarakat. Filosofi tersebut di masyarakat modern masih terlihat keberadaan
dokter sebagai profesi yang mulia dan terhormat di jajaran sosialnya.
Tugas dokter gigi sesuai filosofinya adalah menjaga kesehatan serta mencegah
penyakit lebih penting daripada sekedar menyembuhkan penyakit dengan cara perpikir yang
sistimatis yakni menjaga kualitas hidup pasien, menyembuhkan pasien, mengurangi dan
menghilangkan penderitaan pasien. Berkenaan dengan ini Ilmu Gizi menjadi sangat penting
dalam mendukung Ilmu Kedokteran Gigi, merupakan akar tunggang utama dan paling dekat
dengan Ilmu Kedokteran Gigi, seperti tergambar dalam Gambar 4.1. berikut.

43
Gambar 4.1 Pohon Ilmu Kedokteran Gigi (Anonimus, 2017).

44
Dokter gigi juga menasehati penderita, bagaimana caranya untuk mencegah
timbulnya penyakit, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Dokter gigi
harus meyakinkan pasien, bahwa mempertahankan kesehatan hanya mungkin dengan
usaha sendiri, dan adanya kesediaan dan kemampuan melakukan usaha-usaha yang
diperlukan (Purba, 2013).
Sifat yang penting dari seorang dokter adalah adanya belas kasihan dan cinta
sesama manusia, hanya orang yang baik dapat menjadi dokter yang baik. Dasar dari
medicine adalah simpati dan keinginan untuk menolong orang lain, dan apapun yang
dilakukan dengan tujuan ini harus disebut medicine.
Seorang dokter harus dapat dengan tenang dan kritis melakukan pekerjaannya, dan
harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Dokter harus tangkas, harus mempunyai
kepribadian yang kuat, sehingga dapat melakukan pekerjaan di dalam keadaan yang serba
sulit.

45
BAB 5
TANTANGAN KEILMUAN DI MASA
DEPAN

5.1 Menuju Sinergi dan Integrasi Ilmu (Pendekatan Transdisiplin)


Perkembangan ilmu yang pesat berbanding lurus dengan kerumitan masalah yang
ditimbulkannya. Masalah-masalah yang ditimbulkan bersifat multisektoral dan memiliki
kaitan satu sama lain. Seperti masalah kualitas lingkungan hidup, tidak dapat dipisahkan
dari sektor-sektor lain seperti masalah sosial, ekonomi dan kesehatan (Tantera Keramas,
2008). UNESCO sebagai organisasi dunia yang bersifat multisektoral, mencetuskan
pendekatan transdisiplin untuk menghadapi masalah-masalah multisektoral yang dihadapi
dunia saat ini maupun pada milenium mendatang. Menurut Bakhtiar (2013) ada empat isu
utama tentang masalah-masalah yang kerap dibahas dan memerlukan pendekatan
multisektoral yakni :
a. Agresi manusia
b. Ditribusi sumber daya secara harmonis
c. Perkembangan pandangan dunia yang bersifat antroposentris
d. Realisasi potensi dan pemberdayaan manusia melalui pendidikan

Lebih lanjut disebutkan bahwa pendekatan transdisiplin dapat dipandang sebagai


ruang intelektual yang merupakan wilayah/tempat isu-isu dibahas untuk mendapat
pemahaman yang lebih baik, untuk dapat diimplementasikan. Implementasi transdisiplin
mengandung makna adanya kooperatif atau sinergi di antara orang-orang dan sektor-sektor
yang terlibat di dalamnya, mencapai sesuatu di luar dimensi kuantitatif, dan mencapai tingkat
harmoni yang lebih tinggi.

5.2 Agama, Ilmu, dan Masa Depan Manusia


Ilmu dan teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ilmu
telah banyak mendatangkan kemudahan bagi umat manusia, sehingga dapat memberantas
kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan berbagai wajah atau potret duka dalam hidup. Tetapi
jika salah menerapkannya dapat menjadi malapetaka. Itulah sebabnya kemajuan ilmu dan

46
teknologi harus didukung oleh Filsafat Ilmu agar bermanfaat bagi kehidupan bersama, bukan
hanya bersama sesama umat manusia, tetapi juga sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Satu sisi ilmu berkembang dengan pesat, di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat
besar terhadap perkembangan ilmu, karena tidak ada satu orangpun atau lembaga yang
memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari ilmu. Naisbitt (2002)
menyebutkan bahwa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai
dengan beberapa indikator, yaitu : (1) Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah
secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi, (2) Masyarakat takut dan sekaligus
memuja teknologi, (3) Masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang
semu, (4) Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, (5) Masyarakat
mencintai teknologi dalam bentuk mainan, (6) Masyarakat menjalani kehidupan yang
berjarak dan terenggut.
Ilmu dan teknologi semakin kehilangan rohnya yang fundamental, yang membuat
manusia tanpa sadar semakin menjadi budak ilmu dan teknologi. Karena itu Filsafat Ilmu
berusaha mengembalikan roh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi
kehidupan manusia. Filsafat Ilmu mempertegaskan bahwa ilmu dan teknologi adalah
instrumen bukan tujuan. Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan,
manusia hanya menemukan sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk kemudian
dijadikan instrument kehidupan, sehingga manusia tidak hanya bertanggung jawab kepada
sesama manusia, tetapi juga kepada Penciptanya. Perlu kejelian dan kecerdasan
memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak
saling bertolak belakang. Sehingga perlu rumusan yang jelas tentang ilmu secara filosofis
dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari
nilai-nilai agama dan kemanusiaan, serta lingkungan (Bakhtiar, 2013).
Karakteristik agama dan ilmu memiliki persamaan, yakni sama-sama bertujuan
memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia. Tetapi agama lebih mengedepankan
moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subyektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif,
bersifat inklusif, dan obyektif. Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam
konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi
dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak (Bakhtiar, 2013; Rahmat et al., 2013).

47
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, NM. 2012. Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Taman Dharma.
Blogspot.com/2012/07 Diakses 29 Juni 2015.
Aholiab Wathloly. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan. Kanisius. Yogyakarta.
Anonimus. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. FKM UI. Jakarta.
Anonimus.2012.Filsafat Ilmu Kesehatan Masyarakat.
http://diachs-an-nur.blogspot.co.id/2012/05/Filsafat-ekonomi-kedokteran-danhtml.
Diakses 29 Juni 2015
Bakhtiar. 2013. Filsafat Ilmu. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Edwards, P. 1967. The Encyclopedia of Philosohpy. Collier Macmillan Publisher. New
York.
Endang, SA. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Bina Ilmu. Surabaya.
Fadhillah, S. (2005). Kaitan Filsafat Ilmu dan ilmu Logika serta Ilmu Kesehatan Masyarakat.
http://dillah.co.id/2005/06/kait-ilmu-filsafat--dan-ilmu-logika
Feibleman, LJK. 1976. Dictinary Philosohpy. Totowa New Jersay: Little Adam & Co.
Govindan,M. 2001. Babaji. Protona Findo Universal. Jakarta.
Jendra,IW dan G Arsa Dana. 2007. Makanan Satwik dan Kesehatan. Paramita. Surabaya.
Kattsoff, L.O. (1987). Element Of Philosophy. New York: The Ronald.
Kertajaya. 2013. Bhuana Agung. http://kk.wordpress.com/2013/bhuana-agung. Diakses 29
Juni 2015.
Masuku, D. 2011. Keterkaitan Ilmu Logika dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Dahnarmasuku.co.id/2011/filsafat dan logika
Maswinara, IW. 2007. Awet Muda dan Pajang Umur dengan Ayurveda. Paramita.
Surabaya.
Mediawiki. 2015. Brahman. http://id.wikipedia.org/wiki/brahman. Diakses 29 juni 2015.
Naisbitt, J. 2002. High Technology High Touch. Pustaka Mizan. Jakarta.
Nala,IGN. 1993. Usada Bali. Upada Sastra. Denpasar.
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ; Prinsip-prinsip Dasar Ilmu
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Mubarak, W I. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Salemba Medika.
Rahmat, A., C. Semiawan, D. Nomida, I. Arianto, Kinayanti, J., Martini, J., Nadiroh, Nusa,
P., Sabarti, A. 2013. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta.
Ravertz. J. R. 1982. The Philosophy Of Science. England : Oxford University.
Semiawan, D. 2007. Landasan Pembelajaran dalam Perkembangan Manusia. Pusat
Pengembangan Kemampuan Manusia. Jakarta.
Subur Prayitno. 1997. Dasar-Dasar Administrasi Kesehatan Masyarakat. Airlangga
University Press. Surabaya.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Pustaka Filsafat. Yogyakarta.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara.
Syahriartato. 2013. Filsafat Ilmu Kesehatan Masyarakat. http://syahriartato.wordpress.com
(Diakses 9 Juli 2015).
Tantera Keramas, DM. 2008. Filsafat Ilmu. Paramita. Surabaya.
The Liang Gie. (2012). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
Wibowo. 2009. Aksiologi, Nilai dan Etika. http://wibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-
nilai-dan-etika.htm.

48
Yadnya. IGAD. 2005. Berorientasi pada Konsep Tri Semaya. http://www.balipost.co.id
Yuyun, S.S. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta : Mulia sari.
Yuyun, SS. 1984. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Sinar Harapan.

49
.

50
51
52

Anda mungkin juga menyukai