TINJAUAN PUSTAKA
Ikan bandeng memiliki ciri ciri morfologi berupa tubuh berbentuk pipih,
sirip dorsal 13-17, sirip anal 9-11, sirip caudal 16. Ikan bandeng memiliki mulut
kecil dan tidak bergigi. Ikan bandeng dapat mencapai ukuran 30-90 cm
(Nelson 1984).
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan yang terdapat
pada perairan dekat pantai atau pertemuan antara air laut dan air tawar (payau).
Secara geografis, ikan ini hidup di daerah tropis maupun sub-tropis pada batas
300 LU 400 LS. Ikan bandeng tersebar di perairan Indo-Pasifik mulai dari pantai
timur Afrika, laut merah, pantai barat dan timur India, Asia Tenggara, bagian
selatan Jepang, pantai utara Australia, sampai ke pantai barat California, dan
Meksiko (Saparinto 2009).
Ikan bandeng sudah lama dikenal di negara Indonesia sebagai ikan yang
banyak dipelihara di tambak yang tersebar hampir di seluruh pulau besar di
Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi). Ikan ini telah banyak
dikonsumsi masyarakat baik ikan segar maupun dalam bentuk olahan. Ikan ini
juga dipelihara di Filipina dan Taiwan. Ikan bandeng ini ditempat lain disebut
banding, mulch, agam (Sumatera), bolu (Bugis), bangos (Filipina) dan sabahi
(Taiwan) (Saparinto 2009).
1
2
3
4
Pemanfaatan kulit ikan tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan tetapi
juga untuk produk non-pangan. Kulit ikan diketahui memiliki unsur utama berupa
protein kolagen yang banyak digunakan untuk bahan baku kulit olahan serta
bahan perekat (Adawyah 2007).
Kulit ikan akan mengalami kemunduran mutu seperti bagian ikan yang
lain ketika ikan mati. Kulit ikan rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas bakteri
dan enzim sehingga diperlukan pengetahuan mengenai kemuduran mutu pada
kulit ikan serta untuk menstabilkannya (Gimenez et al. 2005). Enzim-enzim yang
banyak berperan dalam kemunduran mutu kulit seperti halnya pada ikan adalah
enzim-enzim proteolitik seperti enzim katepsin dan kolagenase (Haard 1994).
Sisik
- Sisik menempel kuat pada tubuh - Sisik mudah terlepas dari tubuh
sehingga sulit dilepas
Mata
- Mata tampak terang, jernih, - Tampak suram, tenggelam dan
menonjol dan cembung berkerut
9
Selain ciri-ciri fisik, kesegaran ikan dapat dilihat dari parameter kimia
(kadar air, pH, total volatile base (TVB), TBA, kadar histamin) dan aktivitas
mikrobiologisnya. Badan Standarisasi Nasional (BSN) memberikan suatu standar
dalam menentukan mutu ikan. Berikut persyaratan mutu ikan segar berdasarkan
SNI 01-2729-2006 (BSNa 2006) pada Tabel 3.
Potensial redoks
Penurunan Suhu menurun
Perubahan pasca kematian ikan (post mortem) terjadi setelah ikan mati dan
aliran darah terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian
reaksi yang sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya
peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya
pemasukan oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu
membentuk kembali adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena
mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini
menyebabkan respirasi anaerob yang menghasilkan asam laktat pada sel sehingga
pH turun. Setelah pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan
aktif kemudian mendegradasi protein. Pemecahan protein akan memacu
pertumbuhan bakteri sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda
kebusukan (Eskin 1990).
Proses kemunduran mutu ikan berlangsung cepat dikarenakan ikan
merupakan bahan pangan yang cepat membusuk (highly perishable foods).
Kecepatan kemunduran mutu ikan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi spesies, ukuran, jenis kelamin.
Faktor eksternal meliputi kondisi pembudidayaan, penanganan pasca panen serta
sifat-sifat biokimia ikan (DKP dan JICA 2008).
Proses kemunduran mutu ikan terbagi menjadi beberapa fase sesuai
dengan urutan perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati.
Fase kemunduran mutu tersebut secara umum menurut Junianto (2003) adalah:
fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Fase-fase ini berkaitan erat
dengan perubahan fisik, biokimiawi dan aktivitas bakteri yang diakibatkan
terhentinya aliran darah setelah ikan mati.
Pada fase ini, terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat serta
perubahan glikogen menjadi asam laktat akibat respirasi anaerob. Hal ini akan
menyebabkan turunnya pH pada ikan pada tahap selanjutnya. Tahap ini biasanya
akan terjadi 1-7 jam setelah ikan mati (Adawyah 2007).
2.5.4 Busuk
Fase busuk menandai akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana ikan
tidak dapat lagi dikonsumsi. Fase ini ditandai dengan meningkatnya bakteri
13
pembusuk pada ikan. Tekstur, rasa dan bau sudah tidak dapat diterima lagi oleh
konsumen.
Fase busuk ditandai dengan perubahan yang jelas pada tubuh ikan. Akan
terjadi perubahan baik pada tekstur, rasa dan bau ikan. Nilai pH ikan akan naik
akibat basa volatil yang terus menumpuk serta aktivitas bakteri yang meningkat
pesat (Huss 1995).
Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung jika tidak
dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal,
baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri
maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia.
Faktor biologis (internal) tidak mudah ditangani karena berkaitan dengan sifat
ikan itu sendiri. Meski begitu, dalam beberapa hal beberapa tindakan dapat
dilakukan. Misalnya, untuk ikan budidaya dipuasakan lebih dulu paling tidak
4 jam sebelum dipanen sehingga ikan tidak dalam kondisi kenyang ketika
dipanen. Usaha yang paling dapat dilakukan adalah menangani faktor eksternal
karena berkaitan dengan tindakan dan lingkungan yang diberikan (Junianto 2003).
Sifat ikan yang mudah rusak merupakan masalah bagi pemanfaatan ikan.
Apalagi bila ikan akan didistribusikan ke tempat yang jauh dari tempat
penangkapan maupun tempat budidaya ikan. Untuk menjaga mutu ikan yang
cepat menurun, dua strategi dasar telah dikembangkan di seluruh dunia, yaitu
penyimpanan dingin (chilling) dan penyimpanan beku (frozen)
(FAO 2007 diacu dalam Medina et al. 2009). Produk yang disimpan dalam suhu
dingin ((-1)-5 0C) dan suhu beku ((-30) 0C atau lebih rendah lagi) mendominasi
pasar produk perikanan saat ini dan terus berkembang. Penyimpanan dingin dan
beku diketahui dapat mencegah aktivitas bakteri namun kurang efektif untuk
mencegah autolisis akibat enzim pada ikan (Huss 1995).
hipoksantin, dimetil amin, trimetil amin, amoniak, oksidasi lipid dan nilai K
(Huss 1995; Adawyah 2007).
2.7 Enzim
Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai katalis dan dapat
mempercepat reaksi (Campbell dan Farrell 2007). Suatu reaksi kimia khususnya
antara senyawa organik yang dilakukan dalam laboratorium membutuhkan suatu
kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan waktu dan
lain-lain. Apabila salah satu kondisi tidak terpenuhi maka reaksi tidak akan
terjadi. Pada mahkluk hidup, proses ini dapat berlangsung dengan baik tanpa
suhu tinggi dan terjadi dalam waktu relatif singkat karena adanya katalis berupa
enzim. Enzim dapat mempercepat reaksi 108-1011 kali lebih cepat dibanding
reaksi yang dilakukan tanpa enzim. Enzim memiliki cara kerja dengan kekhasan
yang tinggi dimana enzim hanya akan bekerja pada substrat tertentu
(lock and key) (Poedjiadi 1994).
Enzim diketahui merupakan salah satu penyebab kemunduran mutu pada
ikan. Enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan merupakan jenis enzim
proteolitik. Enzim ini bekerja dengan substrat protein. Enzim ini berperan dalam
pendegradasian jaringan tubuh ikan yang sebagian besar merupakan protein.
Enzim proteolitik juga diketahui mempercepat pertumbuhan bakteri pembusuk
pada ikan dengan mendegradasikan protein pada jaringan tubuh ikan menjadi
lebih sederhana dan menjadi sumber nutrien bagi bakteri pembusuk (Huss 1995).
Enzim-enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan telah berhasil
diketahui. Enzim-enzim ini merupakan enzim proteolitik yang menyebabkan
autolisis pada ikan. Secara umum enzim proteolitik yang menyebabkan
kemunduran mutu pada tubuh ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
16