Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak merupakan merupakan dasar bagi masa dewasa, bagaimana lingkungan
dan diri kita sendiri dinilai, bagaimana kebiasaan berpikir dan pola reaksi kita, bagaimana
lingkungan cultural dan spiritual. Dengan seiring bertambahnya usia, akan ada banyak
perubahan yang akan kita alami baik dari pola piker dan car bertindak kita. Kita tidak hanya
terpaku atau terbatas pada pola yang telah dibentuk pada masa kanak-kanak saja. Dalam
proses menuju dewasa, ada sebagian orang yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan usia dan masanya. Namun, ada juga sebagian orang yang mengalami gangguan dalam
perkembangan akibat adanya kesalahn selama proses perkembangan. Proses yang salah
inilah yang akan menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan baik pada masa kanak-
kanak maupun setelah dewasa nanti (Maramis, 2009).
BAB II
ISI
A. Etiologi
Gangguan perkembangan dapat disebabkan karena perkembangan yang salah selama dalam
proses tumbuh dan berkembang. Perkembangan yang salah umumnya mencakup:
a. Ketidakmatangan atau fixasi, yaitu individu gagal berkembang lebih lanjut ke fase
berikutnya
b. Titik-titik lemah yang ditinggalkan oleh pengalaman traumatic menjadi kepekaan kita
terhadap jenis stressor atau stress tertentu
c. Distorsi, yaitu bila kita ingin mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai
atau bila kita gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal.
Proses perkembangan psikologi yang salah umumnya disebabkan oleh berbagai hal seperti
deprivasi dini, pola keluarga yang patohenik dan masa remaja yang dilalui dengan tidak baik
(Maramis, 2009). Factor sosiologis pun memiliki peran penting dalam menyebabkan
perkembangan yang salah, misalanya adat-istiadat dan kebudayaan yang kaku ataupun
perubahan-perubahan yang cepat dalam dunia yang modern ini sehingga menimbulkan stress
yang besar pada individu.

B. Manifestasi klinis dan penegakan diagnosis


Gangguan-gangguan yang termasuk dalam F80-F90 umumnya mempunyai gambaran
sebagai berikut :
a. Onset bervariasi selama masa bayi atau kanak
b. Adanya hendaya atau kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat
dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat.
c. Berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas bagi
banyak gangguan jiwa.
Pada sebagian besar kasus, fungsi-fungsi yang dipengaruhi termasuk bahasa,
keterampilan visuo-spatial dan/atau koordinasi motorik.
Yang khas adalah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia
anak (walaupun deficit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa).

F80 GANGGUAN PERKEMBANGAN KHAS BERBICARA DAN BERBAHASA


Gangguan perkembangan khas dimana pola normal penguasaan bahasa tergantung sejak
fase awal perkembangan.
Kondisi ini tidak secara langsung berkaitan dengan kelainan neurologis atau mekanisme
berbicara, gangguan sensorik, retardasi mental, atau factor lingkungan.
Tidak ada batas pemisah yang jelas dengan perbedaan-perbedaan dari variasi normal,
tetapi ada empat criteria utama yang berguna dalam member kesan terjadinya suatu
gangguan klinis yang nyata : (a). beratnya, (b). perjalanannya, (c). polanya, dan (d).
problem yang menyertai.
Bila suatu kelambanan berbahasa hanya merupakan bagian dari retardasi mental yang
lebih pervasif atau perlambatan perkembangan global, maka harus menggunakan kode
diagnosis Retardasi Mental (F70-F79). Akan tetapi, umumnya retardasi mental disertai
dengan pola prestasi intelektual yang tidak sama rata dan terutama dengan tingkat
gangguan berbahasa yang lebih berat dari pada retardasi keterampilan non-verbal. Bila
tingkat perbedaan ini mencolok sehingga jelas dalam berfungsinya sehari-hari, maka
kode diagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa harus diberikan,
bersamaan dengan kode diagnosis retardasi mental.
Tidak termasuk : kelambatan dan distorsia perkembangan berbahasa yang disebabkan
oleh ketulian yang berat (hendaya pendengaran), juga suatu kelainan artikulasi yang
langsung disebabkan oleh langit-langit mulut yang terbelah, atau disartri yang
diakibatkan oleh cerebral palsy.

F80.0 Gangguan Artikulasi Berbicara Khas


Pedoman Diagnositik
Gangguan perkembangan khas dimana penggunaan suara untuk berbicara dari anak,
berada di bawah tingkat yang sesuai dengan usia mentalnya, sedangkan tingkat
kemampuan bahasanya normal.
Usia penguasaan suara untuk berbicara, dan urutan dimana suara ini berkembang ,
menunjukkan variasi individual yang cukup besar.
Diagnosis ditegakkan hanya jika beratnya gangguan artikulasi di luar batas variasi normal
bagi usia mentalanak; kecerdasan (intelegensia) non verbal dalam batas normal;
kemampuan berbahasa ekpresif dan reseptif dalam batas normal; kelainan artikulasi tidak
langsung diakibatkan oleh suatu kelainan sensorik, struktural atau neurologis; dan salah
ucap jelas tidak normal dalam konteks pemakaian bahasa percakapan sehari-hari dalam
kehidupan anak.
Gangguan Berbahasa Ekspresif
Pedoman Diagnostik
Gangguan perkembangan khas dimana kemampuan anak dalam mengekpresikan bahasa
dengan berbicara, jelas di bawah rata-rata anak dalam usia mentalnya, tetapi pengertian
bahasa dalam batas-batas normal., dengan atau tanpa gangguan artikulasi.
Meskipun terdapat variasi individual yang luas dalam perkembangan bahasa yang
normal, tidak adanya kata atau beberapa kata yang muncul pada usia 2 tahun, dan
ketidak-mampuan dalam mengerti kata majemuk sederhana pada usia 3 tahun, dapat
diambil sebagai tanda yang bermakna dari kelambatan.
Kesulitan-kesulitann yang tampak belakangan termasuk : perkembangan kosa kata yang
terbatas, kesulitan dalam memilih dan mengganti kata-kata yang tepat, penggunaan
berlebihan dari sekelompok kecil kata-kata umum, memendekkan ucapan yang panjang,
struktur kalimat yang mentah, kesalahan kalimat (syntactical), kehilangan awalan atau
akhiran yang khas, dan salah atau gagal dalam menggunakan aturan tata bahasa seperi
kata penghubung, kata ganti, kata sandang, dan kata kerja, dan kata benda yang
terinfleksi (berubah). Dapat dijumpai generalisasi berlebihan yang tidak tepat dari aturan
tata bahasa, seperti kekurangan dalam pengucapan kalimat dan kesulitan mengurut
kejadian-kejadian yang telah lewat.
Ketidak-mampuan dalam bahasa lisan sering disertai dengan kelambatan atau kelainan
dalam bunyi kata yang dihasilkan.
Penggunaan bahasa non verbal (seperti senyum, dan gerakan tubuh) dan bahasa
internal yang tampak dalam imajinasi atau dalam permainan khayalan harus secara
relatif utuh, dan kemampuan dalam komunikasi social tanpa kata-kata tidak terganggu.
Sebagai kompensasi dari kekurangannya, anak akan berusaha berkomunikasi dengan
menggunakan demonstrasi, lagak (gesture), mimic, atau bunyi yang non bahasa.

F80.2 Gangguan Berbahasa Reseptif


Pedoman Diagnostik
Gangguan perkembangan khas dimana pengertian anak dalam bahasa , dibawah
kemampuan anak rata-rata anak dalam usia mentalnya.
Kegagalan dalam member respons terdapat nama yang familiar (tidak adanya petunjuk
non verbal)pada ulang tahun yang pertama, ketidakmampuan dalam identifikasi beberapa
objek yang sederhana dalam usia 18 bulan, atau kegagalan dalam mengikuti instruksi
sederhana pada usia 2 tahun, dapat dicatat sebagai tanda-tanda dari kelambatan. Di
kemudian hari kesulitan-kesulitan mencakup ketidak mampuan untuk mengerti struktur
tata bahasa (bentuk kalimat negative, pertanyaan, perbandingan dsb) dan kekurangan
dalam mengerti aspek penghalus dari bahasa (nada suara, gerakan tubuh dsb).
Kriteria dari gangguan perkembangan pervasive tidak dijumpai.
Pada hampir semua kasus, perkembangan dari bahasa ekspresif juga terlambat dan lazim
ada suara ucapan yang tidak normal.
Dari semua variasi gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa, gangguan
berbahasa reseptif mempunyai tingkat hubungan yang tinggi dengan gangguan sosio-
emosional-perilaku. Namun demikian, mereka berbeda dari anak autistic dalam hal
interaksi social yang lebih normal, permainan imajinasi yang normal, pemanfaatan orang
tua untuk berlindung normal, penggunaan gerak tubuh yang hampir normal, dan hanya
sedikit kesulitan dalam komunikasi.

F80.3 Afasia Didapat dengan Epilepsi (Sindrom Landau-Kleffner).


Pedoman Diagnostik
Gangguan perkembangan khas dimana anak mempunyai riwayat perkembangan bahasa
yang normal, kehilangan kedua kemampuan ekspresif dan reseptif, tetapi tetap normal
dalam intelegensia umum.
Onset gangguan disertai dengan kelainan paroksismal pada EEG (hampir selalu dari
lobus temporalis, biasanya bilateral, namun sering dengan kelainan yang luas), dan dalam
banyak kasus disertai kejang epileptic. Onset umumnya pada usia 3-7 tahun, tetapi dapat
juga muncul lebih awal atau lebih lambat.
Hubungan waktu antar onset kejang dengan kehilangan berbahasa bervariasi, biasanya
salah satu mendahului yang lain dalam beberapa bulan sampai 2 tahun. Yang sangat khas
adalah hendaya berbahasa reseptif yang sangat berat, dengan kesulitan dalam
penangkapan melalui pendengaran (auditory comprehension), yang sering merupakan
manifestasi pertama dari kondisi ini.
Gangguan emosi dan perilaku sering menyusul beberapa bulan setelah pertama kali
mengalami gangguan berbahasa, tetapi hal itu cenderung membaik pada saat anak
mendapatkan cara-cara berkomunikasi.

F80.8 Gangguan Perkembangan Berbicara dan Berbahasa Lainnya


F80.9 Gangguan Perkembangan Berbicara dan Berbahasa YTT
F81 GANGGUAN PERKEMBANGAN BELAJAR KHAS
Suatu gangguan pada pola normal kemampuan penguasaan keterampilan, yang terganggu
sejak stadium awal dari perkembangan(specific developmental disorders of scholastic
skills).
Gangguan dalam belajar ini tidak merupakan hasil langsung dari gangguan yang lain
(seperti retardasi mental, deficit neurologis yang besar, masalah visus dan daya denger
uang tidak terkoreksi, atau gangguan emosional), walaupun mungkin terdapat bersamaan
dengan kondisi tersebut.
Gangguan perkembangan khas seringkali terdapat bersama dengan sindrom klinis lain
(seperti gangguan pemusatan perhatian atau gangguan tingkah laku) atau gangguan
perkembangan lain (seperti gangguan perkembangan motorik khas atau gangguan
perkembangan khas berbicara atau berbahasa).
Etiologi dari gangguan perkembangan belajar khas tidak diketahui, tetapi diduga bahwa
manifestasi gangguan ini disebabkan oleh factor biologis yang berinteraksi dengan faktor
non-biologis (seperti kesempatan belajar dan kualitas pengajaran).

Pedoman Diagnostik
Terdapat beberapa syarat dasar untuk diagnosis gangguan perkembangan belajar khas :
a. Secara klinis terdapat derajat hendaya yang bermakna dalam keterampilan skolastik,
tertentu ( beratnya hendaya dinilai dari : ukuran skolastik, gangguan perkembangan
yang mendahului masalah yang terkait, pola, dan respon);
b. Hendayanya harus khas dalam arti bahwa tidak semata-mata dapat dijelaskan dari
retardasi mental atau hendaya ringan dalam intelegensiumum, sebab IQ dan kinerja
skolastik tidak persis berjalan bersamaan/parallel);
c. Hendaya harus dalam masa perkembangan, dalam arti harus sudah ada dalam awal
usia sekolah dan tida didapat dalam proses perjalanan pendidikan ebih lanjut;
d. Harus tidak ada faktor luar yang dapat menjadi alas an untuk kesulitan skolastik
(misalnya: kesempatan belajar, sistem pengajaran, pindah sekolah, dsb);
e. Tidak langsung disebabkan oleh hendaya visus atau pendengaran yang tidak
terkoreksi.
Dengan petunjuk diatas, diagnosis gangguan perkembangan belajar khas harus
berlandaskan temuan positif dari gangguan kinerja skolastik yang secra klinis bermakna,
yang berkaitan dengan faktor-faktor dalam (intrinsic) dari perkemabngan anak.

F81.0 Gangguan Membaca Khas


Pedoman Diagnostik
Kemampuan membaca anak harus secra bermakna lebih rendah tingkatannya daripada
kemampuan diharapkan berdasarkan pada usianya, inteligensia umum, dan tingkatan
sekolahnya.
Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh riwayat gangguan
perkembangan berbicara atau berbahasa.
Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang diharapkan dari
kemampuan membaca,berbahasa, dan tulisan.
Namun dalam tahap awaldari belajar membaca tulisan abjad, dapat terjadi kesulitan
mengucapkan huruf abjad, abjad, dapat terjadi kesulitan mengucapkan huruf abjad,
menyebut nama yang benar dari tulisan, member irama sederhana dari kata-kata yang
diucapkan, dan dalam menganalisis atau mengelompok bunyi-bunyi (meskipun
ketajaman pendengaran normal).
Kemudian dapat terjadi kesalahan dalam kemampuan membaca lisan, seperti ditunjukkan
berikut ini :
a. Ada kata-kata atau bagian-bagiannya yang mengalami penghilangan, penggantian,
penyimpangan, atau penambahan.
b. Kecepatan membaca yang lambat.
c. Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari teks dan tidak dapat
menyusun kalimat.
d. Susunan kata-kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf-huruf terbalik dalam kata-
kata.

Dapat juga terjadi defisit dalam memahami bacaan, seperti diperlihatkan oleh contoh:
e. Ketidakmampuan menyebut kembali isi bacaan
f. Ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi bacaan
g. Dalam menjawab pertanyaan perihal sesuatu bacaan, lebih menggunakan
pengetahuan umum sebagai latar belakang informasi daripada informasi yang berasal
dari materi bacaan tersebut.
Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya timbul pada masa usia
sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada masa tahun pertama sekolah,
tetapi gangguan perilaku dan sindrom hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa
kanak dan re,aja.

F81.1 Gangguan Mengejar Khas


Pedoman Diagnostik
Gangguan utama dari gangguan ini adalah hendaya yang khas dan bermakna dalam
perkembangan kemampuan mengeja tanpa riwayat gangguan membaca khas, yang bukan
disebabkan oleh rendahnya usia mental, masalah ketajaman penglihatan, pendengaran
atau fungsi neurologis, dan juga bukan didapatkan sebagai akibat gangguan neurologis,
gangguan jiwa, atau gangguan lainnya.
Kemampuan mengeja anak harus sevara bermakna dibawah tingkat yang seharusnya
berdasarkan usiany, inteligensia umum, dan tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai
dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan mengeja yang baku.

F81.2 Gangguan Berhitung Khas


Pedoman diagnostic
Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung yang tidak dapat
diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental umum atau tingkat pendidikan di
sekolah yang tidak adekuat. Kekurangannya ialah penguasaan pada kemampuan dasar
berhitung yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan kemampuan matematika yang lebih
abstrak dalam aljabar, trigonometr, geometri atau kalkulus).
Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah daripada tingkat yang
seharusnya dicapai berdasarkan usianya, inteligensia umum, tingkat sekolahnya, dan
terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan berhirung yang baku.
Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesui dengan umur
mental anak.
Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan oleh pengajaran yang tidak adekuat, atau
efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau fungsi naurologis, dan tidak
didapatkan sebagai akibat dari gangguan naurologis, gangguan jiwa, atau gangguan
lainnya.

F81.3 Gangguan Belajar Campuran


Pedoman Diagnostik
Merupakan kategori sisa gangguan yang batasnya tidak jelas,
Hendaya pada kemampuan berhitung,membaca atau mengeja secara bermakna, tetapi
tidak dapat diterangkan sebagai akibat dari retardasi mental atau pengajaran yang tidak
adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau fungsi
neurologis.
Gangguan yang memenuhi criteria pada F81.2, F81.0 atau F81.1

F81.1 Gangguan Perkembangan Belajar Lainnya


F81.2 Gangguan Perkembangan Bekajar YTT.

F82 GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK KHAS


Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya berat dalam perkembangan kordinasi
motorik yang tidak semata-mata disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan
neurologi khas baik yang didapat atau yang kongenital (selain dari yang secara implicit
ada kelainan koordinasi). Sesuatu yang biasanya bahwa kelambanan motorik
dihubungkan dengan hendaya dalam kemampuan melaksanakan tugas kognitif visuo-
spasial.
Koordinasi motorik anak, dalam gerak halus atau kasar, harus secara bermakna di bawah
rata-rata dari yang seharusnya berdasarkan usianya dan intelegensia umum. Keadaan ini
terbaik dinilai dengan tes baku dari koordinasi motorik.
Kesulitan dalam koordinasi harus sudah tampak sejak dalam fase perkembangan
awal(bukan merupakan hendaya yang didapat), dan juga bukan akibat langsung dari
gangguan penglihatan atau pendengaran atau dari gangguan neurologis lainnya.
Jangkauan dari gangguan yang meliputi koordinasi motorik halus dan kasar sangat luas,
dan pola hendaya motorik bervariasi sesuai usia. Tahap perkembangan motorik dapat
terlambat dan dapat berkaitan dengan kesulitan berbicara (khususnya mengenai gangguan
artikulasi). Anak tampak aneh cara berjalannya, lambat belajar berlari, meloncat dan naik
turun tangga. Terdapat kesulitan belajar mengikat tali sepatu, memasang dan melepaskan
kancing, serta melempar dan menangkap bola. Anak tampak lamban dalam gerak halus
dan kasar, benda yang dipegang mudah jatuh, terjatuh, tersandung, menabrak, dan tulisan
tangan tangan yang buruk. Tak pandai menggambar, dan sulit mengerjakan permainan
jigsaw, menggunakan peralatan konstruksional, menyusun bentuk bangunan,
membangun model, main bola serta menggambar dan mengerti peta. Sering disebut juga
the Clumsy Child Syndrome.
Kesulitan bersekolah dapat dijumpai dan kadang-kadang tarafnya sangat berat, dalam
beberapa kasus terdapat juga masalah perilaku sosio-emosional, tetapi frekuensi dan
cirinya tidak banyak diketahui.
Tidak dijumpai kelainan neurologis yang nyata (seperti cerebral palsy atau distrofi otot).
Pada kebanyakan kasusdengan pemerksaan klinis yang teliti, menunjukkan kelambatan
perkembangan neurologis (didapatkan soft neurological signs yang dapat terjadi pada
anak normal tanpa menunjukkan lokasi lesi). Pada beberapa kasus dapat dijumpai riwayat
komplikasi perinatal seperti berat badan lahir rendah (lahir prematur).

F83 GANGGUAN PERKEMBANGAN KHAS CAMPURAN


Keadaan ini merupakan sisa kategori gangguan yang batasannya tak jelas, konsepnya
tidak adekuat (tetapi perlu) dengan gangguan perkembangan khas campuran dari berbicara dan
berbahasa (F80), keterampilan skolastik (F81), dan atau fungsi motorik (F82), tetapi tidak ada
satu gejala yang cukup dominan untuk dibuat sebagai diagnosis utama.

F84 GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF


Kelompok gangguan ini ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang
timbale balik dan dalam pola komunikasi serta minat dan aktivitas yang terbatas, stereoptik,
berulang. Kelainan kualitatif ini menunjukkan gambaran yang pervasive dari fungsi-fungsi
individu dalam semua situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya.

F84.0 Autisme Masa Kanak


Pedoman diagnostik :
- Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3tahun dan dengan cirri kelainan fungsi dalam
tiga bidang interaksi soasial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
- Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila ada,
kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis
sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat di diagnosis pada semua
kelompok umur.
- Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbale balik (reciprocal social
interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidakadekuat terhadap isyarat sosio-emosional,
yang tambpak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan atau kurangnya
modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial, buruk dalam menggunakan isyarat
sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan
khususnya kurangnya respons timbale balik sosio-emosional.
- Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya
penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial, hendaya dalam
permainan imaginatif dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi
timbale balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam bahasa ekspresif dan
kreatifitas dan fantasi dalam proses piker yang relatif kurang, kurangnya respon
emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain, hendaya dalam
menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai modulasi komunikatif, dan
kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau member arti tambahan dalam
komunikasi lisan.
- Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, berulang
dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari, ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru dan juga
kebiasaan sehari-hari serta pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak yang dini,
dapat terjadi kelekatan yangkhas terhadap benda-benda yang aneh, khususnya benda
yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan kegiatan rutin dalam ritual yang sebetulnya
tidak perlu, dapat terjadi preokupasi yang stereotipik terhadap suatu minat seperti
tanggal, rute atau jadwal, sering terdapat stereotipik motorik, sering menunjukkan minat
khusus terhadap segi-segi non-fungsional dari benda-benda (misalnya bau atau rasanya),
dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam detil dari lingkungan
hidup pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah).
- Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi pada tiga
perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

F84.1 Autisme Tak Khas


Pedoman diagnostik :
- Gangguan perkembangan pervasive yang berbeda dari autism dalam hal usia onset
maupun tidak terpenuhnya ketiga kriteria diagnostik. Jadi kelainan dan atau hendaya
perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun, dan atau
tida cukup menunjukkan kelinan dalam satu atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang
dibutuhkan untuk diagnosis autisme (interaksi sosial timbale balik, komunikasi, dan
perilaku terbatas stereotipik, dan berulang) meskipun terdapat kelainan yang khas dalam
bidang lain.
- Autism tak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat, yang
sangat rendah kemampuannya, sehingga pasien tidak mampu menampakkan gejala yang
cukup untuk menegakkan diagnosis autism. Ini juga tampak pada individu dengan
gangguan perkembangan yang khas dari bahsa reseptif yang berat.

F84.2 Sindrom Rett


Pedoman diagnostik :
- Pada sebagian besar kasus onset gangguan terjadi pada usia 7-24 bulan. Pola
perkembangan awal yang tampak normal atau mendekati normal, diikuti dengan
kehilangan sebgian atau seluruhnya keterampilan tangan dan berbicara yang telah
didapat, bersamaan dengan terdapatnya kemunduran/ perlambatan pertumbuhan kepala.
Perjalanan gangguan bersifat progressive motor deterioration.
- Gejala khas yang paling menonjoladalah hilangnya kemampuan gerakan tangan yang
bertujuan dan keterampilan manipulative dari motorik halus yang telah terlatih. Disertai
kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan berbahasa, gerakan
seperti mencuci tangan yang stereotipik, dengan fleksi lengan di depan dada atau dagu,
membahsahi tangan secara stereotipik dengan ludah (saliva), hambatan dalam
mengunyah makanan yang baik, sering terjadi episode hiperventilasi, hampir selalu gagal
dalam pengaturan buang air besar dan buang air kecil, sering terdapat penjuluran lidah
dan air liur yang menetes, dan kehilangan dalam ikatan sosial.
- Secara khas tampak anak tetap dapat senyum sosial (social smile), menatap seseorang
dengan kosong, tetapi tidak terjadi interaksi sosial dengan merekapada awal masa
kanak (walaupun interaksi sosial dapat berkembang kemudian).
- Cara berdiri dan berjalan cenderung melebar (broad based), otot hipotonik, koordinasi
gerak tubuh memburuk (ataksia), serta skoliosis atau kifoskoliosis yang berkembang
kemudian. Atrofi spinal, dengan disabilitas motorik berat yang muncul pada saat remaja
atau dewasa pada kurang lebih 50% kasus. Kemudian dapat timbul spastisitas dan
rigiditas yang biasanya lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah dari pada ekstremitas
atas. Serangan epileptic yang mendadak (epileptic fits), biasanya dalam bentuk yang
kecil-kecil, dengan onset serangan umumnya sebelum usia 8 tahun, hal ini terjadi pada
kebanyakan kasus. Berbeda sekali dengan autism, disini jarang terjadi perilaku
mencederai diri dengan sengaja dan preokupasi yang stereotipik kompleks atau yang
rutin.

F84.3 Gangguan Desintegratif Masa Kanak Lainnya


Pedoman diagnostik :
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan suatu perkembangan normal yang jelas sampai usia
minimal 2 tahun, yang diikuti dengan kehilangan yang nyata dari keterampilan yang
sudah diperoleh sebelumnya, disertai dengan kelainan kualitatif dalam fungsi-fungsi
sosial.
- Biasanya terjadi regresi yang berat atau kehilangan kemampuan berbahasa, regresi dalam
kemampuan bermain, keterampilan sosial, dan perilaku adaptif, dan sering dengan
hilangnya pengendalian buang air besar atau kecil, kadang-kadang disertai dengan
kemerosotan pengendalian motorik.
- Yang khas, keadaan tersebut bersamaan dengan hilangnya secara menyeluruh perhatian/
minat terhadap lingkungan , adanya mannerisme motorik yang stereotipik dan berulang,
serta hendaya dalam interaksi sosial dan komunikasi yang mirip dengan autism.
- Dalam hal-hal tertentu sindrom ini mirip dengan dementia pada orang dewasa, tetapi
berbeda dalam tiga hal biasanya tidak ada bukti penyakit atau kerusakan organic yang
dapat ditemukan 9walaupun beberap tipedisfungsi otot organic dapat ditelesuri),
kehilangan keterampilan dapat diikuti dengan beberapa derajat perbaikan, hendaya dalam
fungsi sosial dan komunikasi mempunyai kualitas lebih berciri autistic daripada
kemunduran intelektual.

F84.4 Gangguan Aktivitas Berlebih Yang Berhubungan dengan Retardasi Mental dan Gerakan
Stereotipik
Pedoman diagnostik :
- Diagnosis ditentukan oleh kombinasi antara perkembangan yang tak serasi dari
overaktivitas yang berat, stereotipik motorik, dan retardasi mental berat
- Ketiga hal tersebut harus ada untuk menegakkan diagnosis. Bila kriteria diagnostik untuk
F84.0, F84.1, atau F84.2 terpenuhi, keadaan tersebut harus didiagnosis sesuai kriterianya.

F84.5 Sindrom Asperger


Pedoman diagnostik :
- Diagnosis ditentukan oleh kombinasi antara:
a. Tidak adanya hambatan/keterlambatan umum dalam perkembangan berbahasa atau
perkembangan kognitif yang secara klinis jelas, seperti pada autism
b. Adanya defisiensi kualitatif dalam fungsi interaksi sosial yang timbal balik]
c. Adanya pola perilaku, perhatian dan aktivitas yang terbatas, berulang dan stereotipik.
- Mungkin terdapat atau tidak terdapat masalah dalam komunikasi yang sama seperti yang
berkaitan dengan autism, tetapi terdapatnya keterlambatan berbahsa yang jelas akan
menyingkirkan diagnosis ini.

F84.8 Gangguan Perkembangan Pervasif Lainnya


F84.9 Gangguan Perkembangan Pervasif YTT

F88 GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS LAINNYA

F89 GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS YTT


PROSES ASESMEN KLINIS
Inti asesmen adalah mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk mengenali dan
menyelesaikan masalah menjadi lebih efektif.

PLANNING DATA COLLECTING DATA PROCESSING COMMUNICATING


COLLECTION ASSESSMENT DATA AND HYPOTHESIS ASSESSMENT DATA
PROCEDURES FORMATION

I II III IV

I. PLANNING DATA COLLECTION PROCEDURES


Apa yang ingin kita ketahui ?
Usaha-usaha atau penekanan asesmen yang dilakukan disesuaikan dengan pendekatan atau
teori yang akan digunakan. Penekanan asesmen berkaitan dengan dinamika kepribadian, latar
belakang lingkungan sosial dan keluarga, pola interaksi dengan orang lain, persepsi terhadap
diri dan realita atau riwayat secara genetis dan fisiologi.

Tabel 1. Tingkat asesmen dan data yang berkaitan


TINGKAT JENIS DATA
ASESMEN
1. Somatis Golongan darah, pola respon somatis terhadap stres, fungsi hati,
karakteristik genetis, riwayat penyakit, dsb
2. Fisik Berat/tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit, bentuk tubuh, tipe
rambut, dsb
3. Demografis Nama, umur, tempat/tanggal lahir, alamat, nomor telepon, pekerjaan,
pendidikan, penghasilan, status perkawinan, jumlah anak, dsb
4. Overt behavior Kecepatan membaca, koordinasi mata-tangan, kemampuan
conversation, ketrampilan bekerja, kebiasaan merokok, dsb
5. Respon terhadap tes intelegensi, daya pikir, respon terhadap tes
Kognitif/intelektual persepsi, dsb
6. Emosi/afeksi Perasaan, respon terhadap tes kepribadian, emosi saat bercerita, dsb
7. Lingkungan Lokasi dan karakteristik tempat tinggal, deskripsi kehidupan
pernikahan, karakteristik pekerjaan, perilaku anggota keluarga dan
teman, nilai-nilai budaya dan tradisi, kondisi sosial ekonomi, lokasi
geografis, dsb

PEDOMAN STUDI KASUS :


1. Identifikasi data, meliputi : nama, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, status
perkawinan, alamat, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan, suku bangsa.
2. Alasan kedatangan dan keluhan, harapan-harapan klien.
3. Situasi saat ini, meliputi : di tempat tinggal, kegiatan harian, perubahan dalam hidup yang
terjadi dalam satu bulan, dsb.
4. Keluarga, meliputi : deskripsi orang tua, saudara, figur lain dalam keluarga yang dekat
dengan klien (significant other), peran dalam keluarga, dsb.
5. Ingatan awal, mendeskripsikan tentang kejadian dan situasi pada awal kehidupannya.
6. Kelahiran dan perkembangan, meliputi : usia saat bisa berjalan dan berbicara,
permasalahan dengan anak lain, pengaruh dari pengalaman masa kecil, dsb.
7. Kondisi fisik dan kesehatan, meliputi : penyakit sejak kecil, penggunaan obat dokter atau
obat terlarang yang berturut-turut, merokok, alkohol, kebiasaan makan atau olahraga,
dsb.
8. Pendidikan, meliputi : riwayat pendidikan, bidang pendidikan yang diminati, prestasi,
bidang yang dirasa sulit, dsb.
9. Pekerjaan, meliputi : alasan berhenti atau pindah kerja, sikap dalam menghadapi
pekerjaan, dsb.
10. Minat dan hobi, meliputi : kesenangan, ekspresi diri, hobi, dsb.
11. Perkembangan seksual, meliputi : aktivitas seksual, ketepatan dalam pemuasan
kebutuhan seksual, dsb.
12. Data perkawinan dan keluarga, meliputi : alasan menikah, kehidupan perkawinan dalam
budayanya, masalah selama menikah, kebiasaan dalam rumah tangga, dsb.
13. Dukungan sosial, minat sosial dan komunikasi dengan orang lain, meliputi : tingkat
frekuensi untuk berhubungan dengan orang lain, kontribusi selama berinteraksi,
kesediaan menolong orang lain, dsb.
14. Self description, meliputi : kekuatan dan kelemahan, daya imajinasi, kreativitas, nilai-
nilai dan ide.
15. Pilihan dalam hidup, meliputi : keputusan untuk berubah, kejadian penting, dsb.
16. Tujuan dan masa depan, meliputi : harapan pada 5 10 tahun yang akan datang, hal-hal
yang perlu disiapkan untuk itu, kemampuan untuk menetapkan tujuan, daya realistis
berhubungan dengan waktu, dsb.
17. Hal-hal lain dapat dilihat dari riwayat atau latar belakang klien.

Pedoman tersebut harus selalu disesuaikan dengan pendekatan yang akan digunakan :
Psikodinamika lebih memfokuskan pada pertanyaan seputar motif bawah sadar, fungsi
ego, perkembangan pada awal kehidupan (5 tahun pertama) dan berbagai macam defense
mechanism.
Kognitif-behavior memfokuskan pada skill, pola berpikir yang biasa digunakan, berbagai
stimulus yang mendahului serta permasalahan perilaku yang menyertainya.
Fenomenologi cenderung mengikuti outline asesmen dan melihat bahwa serangkaian
asesmen merupakan kolaborasi untuk memahami klien dalam hal bagaimana klien
melihat atau mempersepsi dunia.

TUJUAN ASESMEN KLINIS


Ada tiga macam yaitu klasifikasi diagnostik, deskripsi dan prediksi.
1. Klasifikasi diagnostik
Maksud dari klasifikasi (penegakan) diagnostik yang tepat antara lain :
Untuk menentukan jenis treatment yang tepat. Suatu treatment sangat bergantung pada
bagaimana pemahaman klinisi terhadap kondisi klien termasuk jenis gangguannya
(vermande, van den Bercken, & De Bruyn, 1996).
Untuk keperluan penelitian. Penelitian tentang berbagai penyebab suatu gangguan sangat
bergantung kepada validitas dan reliabilitas diagnostik yang ditegakkan.
Memungkingkan klinisi untuk mendiskusikan gangguan dengan cara efektif bersama
profesional yang lain (Sartorius et.al, 1996).

Diagnostic System : DSM-IV


Teknik pengklasifikasian gangguan mental sudah dilakukan sejak tahun 1900-an.
Sedangkan secara formal baru pada tahun 1952 ketika APA (American Psychiatric
Association) menerbitkan sistem klasifikasi diagnostik yang pertama kali, Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder. Sistem ini kemudian terkenal dengan nama DSM I
dan berlaku hingga tahun 1968, ketika WHO mengeluarkan International Classification of
Diseases (ICD). DSM I kemudian direvisi dan disamakan dengan ICD, kemudian terbit DSM
II. DSM I dan II menyeragamkan terminologi untuk mendeskripsikan dan mendiagnosa
perilaku abnormal, tetapi tidak menjelaskan tentang aturan sebagai pedoman dalam
memutuskan suatu diagnostik. Di dalamnya tidak terdapat suatu kriteria yang jelas bagi tiap
gangguan sehingga agak sulit untuk mengklasifikasikan diagnostik. Pada tahun 1980 DSM II
mengalami perubahan menjadi DSM III yang diikuti pada tahun 1987 dengan edisi revisi
sehingga namanya menjadi DSM III-R. Dalam DSM III ini, sudah terdapat suatu kriteria
operasional untuk masing-masing label diagnostik. Kriteria ini meliputi simtom utama dan
simtom spesifik serta durasi simtom muncul. Disini juga digunakan pendekatan multiaxial,
dimana klien dideskripsikan ke dalam lima dimensi (axis), yaitu :
a. Axis I : 16 gangguan mental major
b. Axis II : Berbagai problem perkembangan dan gangguan kepribadian
c. Axis III : Gangguan fisik atau kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan
gangguan mental
d. Axis IV :Stressor psikososial (lingkungan) yang mungkin memberi kontribusi
terhadap gangguan pada Axis I dan II
e. Axis V : Rating terhadap fungsi psikologis, sosial dan pekerjaan dalam satu tahun
terakhir

DSM III-R pun kemudian dikritik karena beberapa kriteria diagnostiknya masih terlalu samar
dan masih membuka peluang untuk muncul bias dalam penggunaannya. Dan Axis II, IV dan
V mempunyai kekurangan dalam pengukurannya. Akhirnya pada tahun1988, APA
membentuk tim untuk membuat DSM IV. Di dalamnya tetap menggunakan pendekatan
multiaxial seperti pada DSM III-R dan Axis I hanya dapat di tegakkan jika terdapat jumlah
kriteria minimum dari daftar simtom yang disebutkan. Pada DSM IV ini terdapat beberapa
modifikasi dalam terminologi sebelumnya dan skema rating yang digunakan pada beberapa
axis. Sekarang ini telah diterbitkan DSM IV-TR (Text Revised). Sampai saat ini DSM IV dan
DSM IV-TR digunakan sebagai pedoman klinisi dan profesional terkait untuk menentukan
diagnostik.
Multiaxial DSM IV :
a. Axis I : Clinical Disorders, Other Conditions That May Be a Focus of Clinical
Attentions
b. Axis II : Personality Disorders, Mental Retardation
c. Axis III : General Medical Conditions
d. Axis IV : Psychosocial and Environtmental Problems
e. Axis V: Global Assessment of Functioning (GAF)

2. Deskripsi
Para klinisi beranggapan bahwa untuk memahami content dari perilaku klien secara
utuh maka harus mempertimbangkan juga tentang context sosial, budaya dan fisik klien. Hal
itu menyebabkan asesmen diharapkan dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara
lebih utuh dengan melihat pada person-environtment interactions. Dalam fungsinya sebagai
sarana untuk melakukan deskripsi terhadap kepribadian seseorang secara utuh, di dalam
asesmen harus terdapat antara lain : motivasi klien, fungsi intrapsikis, respon terhadap tes,
pengalaman subjektif, pola interaksi, kebutuhan (needs) dan perilaku. Dengan menggunakan
pendekatan deskriptif tersebut memudahkan klinisi untuk mengukur perilaku pra treatment,
merencanakan jenis treatment dan mengevaluasi perubahan perilaku pasca treatment.
3. Prediksi
Tujuan asesmen yang ketiga adalah untuk memprediksi perilaku seseorang. Misalnya
klinisi diminta oleh perusahaan, kantor pemerintah atau militer untuk menyeleksi seseorang
yang tepat bagi suatu posisi kerja tertentu. Dalam kasus tersebut, klinisi akan melakukan
asesmen dengan mengumpulkan dan menguji data deskriptif yang kemudian digunakan
sebagai dasar untuk melakukan prediksi dan seleksi.
Klinisi kadang dihadapkan pada situasi untuk memprediksi hal-hal yang berbahaya,
misalnya pertanyaan seperti Apakah si A akan bunuh diri ?, Apakah si B tidak akan
menyakiti orang lain setelah keluar dari RS?. Pada saat itu klinisi harus menentukan
jawaban ya atau tidak. Prediksi klinisi tentang berbahaya atau tidak berbahaya
dapat dievaluasi dengan empat kemungkinan jawaban.
a. True positive, jika prediksi klinisi berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku
berbahaya.
b. True negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya dan ternyata klien menunjukkan
perilaku yang tidak berbahaya.
c. False negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku
berbahaya.
d. False positive, jika prediksi klinisi berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku tidak
berbahaya.

II. COLLECTING ASSESSMENT DATA


Bagaimana seharusnya kita mencari tahu tentang hal itu ?

SUMBER ASESMEN DATA


Ada empat macam yaitu : interview, tes, observasi dan life record.
1. Interview
Interview merupakan dasar dalam asesmen dan merupakan sumber yang sangat luas. Ada
beberapa kelebihan interview antara lain:
a. Merupakan hal biasa dalam interaksi sosial sehingga memungkinkan untuk
mengumpulkan sampel tentang perilaku verbal atau non verbal individu bersama-
sama.
b. Tidak membutuhkan peralatan atau perlengkapan khusus dan dapat dilakukan
dimanapun juga.
c. Mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Klinisi bebas untuk melakukan inquiry
(pendalaman) terhadap topik pembicaraan yang mungkin dapat membantu proses
asesmen.
Tetapi interview dapat terdistorsi oleh karakteristik dan pertanyaan interviewer,
karakteristik klien dan oleh situasi pada saat interview berlangsung.

2. Tes
Seperti interview, tes juga memberikan sampel perilaku individu, hanya saja dalam tes
stimulus yang direspon klien lebih terstandardisasikan daripada interview. Bentuk tes
yang sudah standar tersebut membantu untuk mengurangi bias yang mungkin muncul
selama proses asesmen berlangsung. Respon yang diberikan biasanya dapat diubah dalam
bentuk skor dan dibuat analisis kuantitatif. Hal itu membantu klinisi untuk memahami
klien. Skor yang didapat kemudian diinterpretasi sesuai dengan norma yang ada.

3. Observasi
Tujuan observasi adalah untuk mengetahui lebih jauh di luar apa yang dikatakan klien.
Banyak yang mempertimbangkan bahwa observasi langsung mempunyai tingkat validitas
yang tertinggi dalam asesmen. Hal itu berhubungan dengan kelebihan observasi antara
lain:
a. Observasi dilakukan secara langsung dan mempunyai kemampuan untuk menghindari
permasalahan yang muncul selama interview dan tes seperti masalah memori, jenis
respon, motivasi dan bias situasional.
b. Relevansinya terhadap perilaku yang menjadi topik utama. Misalnya perilaku agresif
anak dapat diobservasi sebagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan
bermain dimana masalah itu telah muncul.
c. Observasi dapat mengases perilaku dalam konteks sosialnya. Misalnya untuk
memahami seorang pasien yang kelihatan depresi setelah dikunjungi keluarganya,
akan lebih bermakna dengan mengamati secara langsung daripada bertanya, Apakah
Anda pernah depresi?.
d. Dapat mendeskripsikan perilaku secara khusus dan detail. Misalnya untuk
mengetahui tingkat gairah seksual seseorang dapat diobservasi dengan banyaknya
cairan vagina yang keluar atau observasi melalui bantuan kamera.

4. Life record
Asesmen yang dilakukan melalui data-data yang dimiliki seseorang baik berupa ijazah
sekolah, arsip pekerjaan, catatan medis, tabungan, buku harian, surat, album foto, catatan
kepolisian, penghargaan, dsb. Banyak hal dapat dipelajari dari life record tersebut.
Pendekatan ini tidak meminta klien untuk memberi respon yang lebih banyak seperti
melalui interview, tes atau observasi. Selama proses ini, data dapat lebih terhindar dari
distorsi memori, jenis respon, motivasi atau faktor situasional. Contohnya, klinisi ingin
mendapatkan informasi tentang riwayat pendidikan klien. Data tentang transkrip nilai
selama sekolah mungkin dapat lebih memberikan informasi yang akurat tentang hal itu
daripada bertanya ,Bagaimana saudara di sekolah?. Buku harian yang ditulis selama
periode kehidupan seseorang juga dapat memberikan informasi tentang perasaan,
harapan, perilaku atau detail suatu situasi yang mana hal itu mungkin terdistorsi karena
lupa selama interview. Dengan merangkum informasi yang di dapat tentang pikiran dan
tingkah laku klien selama periode kehidupan yang panjang, life records memberikan
suatu sarana bagi klinisi untuk memahami klien dengan lebih baik.

III. PROCESSING ASSESSMENT DATA


Bagaimana seharusnya data-data tersebut dikombinasikan ?
Bagaimana asesor dapat meminimalkan bias selama interpretasi data ?
Didasarkan pada teori apa yang akan digunakan : psikoanalisa, behavioral atau
fenomenologi.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya dalam asesmen adalah menentukan arti dari data
tersebut. Jika informasi tersebut sekiranya berguna dalam pancapaian tujuan asesmen, maka
informasi itu akan dipindahkan dari data kasar menjadi format interpretatif. Langkah tersebut
biasanya disebut pemrosesan data asesmen atau clinical judgment.
Klinisi cenderung melihat data asesmen melalui tiga cara yaitu : sebagai sampel, korelasi
atau tanda (sign). Contoh : Seorang laki-laki menelan 20 tablet obat penenang sebelum tidur
tadi malam di sebuah hotel, tapi berhasil diselamatkan oleh petugas kebersihan yang
akhirnya membawanya ke RS.
1. Data dilihat sebagai sampel dari perilaku klien. Kemungkinan judgment :
Klien mempunyai cara potensial untuk melakukan pembunuhan secara medis
Klien tidak ingin diselamatkan sebab tidak ada seorangpun yang tahu tentang usaha
bunuh diri tersebut sebelum hal itu terjadi.
Dalam situasi yang sama, klien mungkin akan mencoba bunuh diri lagi.

Disini dapat dilihat, bahwa data berupa usaha bunuh diri dilihat sebagai contoh dari apa
yang dilakukan klien dalam situasi seperti itu. Tidak ada usaha untuk mengetahui
mengapa dia mencoba bunuh diri. Jika dilihat sebagai sampel, akan didapat kesimpulan
tingkat rendah. Teori yang mendasarinya adalah behavioral.

2. Data dilihat sebagai korelasi dengan aspek lain dalam hidup klien. Kemungkinan
judgment :
Klien sepertinya seorang lelaki setengah baya yang masih single atau bercerai dan
mengalami kesepian.
Klien saat itu mungkin mengalami depresi.
Klien kurang mendapatkan dukungan emosi dari teman dan keluarganya.

Ada kombinasi antara : 1). Fakta tentang perilaku klien. 2). Pengetahuan klinisi tentang
apa yang sekiranya dapat dikorelasikan dengan perilaku klien. Disini kesimpulan yang
diambil berada pada tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulannya didasarkan pada data-data
pendukung yang ada di luar data asli seperti hubungan antara bunuh diri, usia, jenis
kelamin, dukungan sosial, dan depresi. Semakin kuat pemahaman terhadap hubungan
antar variabel, maka kesimpulan yang di dapat semakin akurat. Pendekatan ini bisa
didasarkan pada beragam teori.

3. Data dilihat sebagai tanda (sign) yang lain, untuk mengetahui karakteristik kilen yang
masih kurang jelas. Kemungkinan judgment :
Dorongan agresif klien berubah menyerang diri sendiri.
Perilaku klien merefleksikan adanya konflik intrapsikis.
Perilaku minum obat merupakan manifestasi adanya kebutuhan untuk ditolong yang
tidak disadarinya.

Kesimpulan yang didapat berada pada tingkat paling tinggi. Teori yang mendasari
pendekatan ini adalah psikoanalisa atau fenomenologi.

IV. COMMUNICATING ASSESSMENT DATA


Siapa yang akan diberi laporan asesmen dan tujuannya apa ?
Bagaimanakah asesmen akan mempengaruhi klien yang di ases ?

Hasil dari asesmen biasanya akan ditulis menjadi sebuah laporan asesmen. Ada tiga kriteria
yang harus dipenuhi suatu laporan asesmen yaitu : jelas, relevan dengan tujuan dan berguna.
1. Jelas
Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah laporan itu harus jelas. Tanpa kriteria ini,
relevansi dan kegunaan laporan tidak dapat dievaluasi. Ketidakjelasan laporan psikologis
merupakan suatu masalah karena kesalahan interpretasi dapat menyebabkan kesalahan
pengambilan keputusan.
2. Relevan dengan tujuan
Laporan asesmen harus relevan dengan tujuan yang sudah ditetapkan pada awal asesmen.
Jika tujuan awalnya adalah untuk mengklasifikasikan perilaku klien maka informasi yang
relevan dengan hal itu harus lebih ditekankan.
3. Berguna
Laporan yang ditulis diharapkan dapat memberikan sesuatu informasi tambahan yang
penting tentang klien. Kadang terdapat juga laporan yang mempunyai validitas tambahan
yang rendah. Misalnya klinisi menyimpulkan bahwa klien mempunyai kecenderungan
agresifitas tinggi, tapi data kepolisian mencatat bahwa klien tersebut telah berulang kali
ditahan karena kasus kekerasan. Informasi yang diberikan klinisi tidak memberikan suatu
hal penting lainnya dari klien.

OUTLINE ASSESSMENT DATA


1. Psikoanalisa
I. Konflik
A. Persepsi diri
B. Tujuan
C. Frustrasi
D. Hubungan interpersonal
E. Persepsi lingkungan
F. Dorongan, dinamika
G. Kontrol emosi
II. Nilai stimulus sosial
A. Kemampuan kognitif
B. Faktor konatif
C. Tujuan
D. Peran sosial
III. Fungsi kognitif
A. Penurunan
B. Psikopatologi
IV. Defenses
A. Represi
B. Rasionalisasi
C. Regresi
D. Fantasi
E. Dsb
2. Fenomenologi ; pendekatan subjektif dan cenderung mengikuti format umum asesmen.
I. Klien dari sudut pandang sendiri
II. Klien seperti yang direfleksikan dalam tes
III. Klien seperti yang dilihat klinisi

3. Cognitive-Behavioral
I. Deskripsi tentang penampilan fisik dan perilaku selama asesmen
II. Permasalahan
A. Masalah saat ini
B. Latar belakang masalah
C. Situasi tertentu yang menentukan masalah
D. Variabel yang relevan
1. Aspek fisiologis
2. Pengaruh medis
3. Aspek kognitif yang menentukan masalah
E. Dimensi masalah
1. Durasi
2. Frekuensi
3. Keseriusan masalah

F. Konsekuensi masalah
1. Positif
2. Negatif
III. Masalah yang lain (diobservasi oleh asesor, tidak dinyatakan oleh klien)
IV. Aset individu
V. Target perubahan
VI. Treatment yang direkomendasikan
VII. Motivasi klien untuk treatment
VIII. Prognosis
IX. Prioritas treatment
X. Harapan klien
A. Penyelesaian masalah yang spesifik
B. Pada treatment secara umum
XI. Komentar lain

C. Tatalaksana
Umumnya terapi yang diberikan bergantung atas gangguan yang dialami. Beberapa terapi
yang dapat dilakukan antara lain :
a. Gangguan belajar berupa gangguan membaca, matematika, ekspresi tulisan. Terapi yang
terpilih adalah pendekatan pendidikan pengobatan. Anak-anak dengan gangguan belajar
harus ditempatkan dalam kelas sedekat mungkin dengan tingkat fungsional sosialnya dan
diberikan tugas pengobatan khsus. Masalah emosi dan perilaku harus diatasi dengan
terapi psikoterapi yang sesuai. Konseling parental mungkin juga dapat membantu
(Puspitosari, 2010).
b. Gangguan Rett. Terapi pada intervensi simptomatik. Fisioterapi bermanfaat bagi
disfungsi otot, dan terapi antikonvulsan biasanya diperlukan untuk mengendalika kejang.
Terpai perilaku berguna untuk mencegah anak melukai diri sendiri, dan dapat membantu
mengatur gangguan pernapasan (Puspitosari, 2010).
c. Gangguan ADHD. Terapi dapat dilakukan secara medikamentosa dengan memberikan
obat stimulant seperti pemolin, dextromphetamine, methylphenidate. Selain dengan obat-
obat, anak juga dapat diobat dengan psikoterapi. Psikoterapi ini dilakukan terhadap
individu, orang tua, dan gangguan belajar yang mungkin diperlukan (Puspitosari, 2010).
d. Gangguan bicara. Terapi yang diberikan adalah terapi wicara yang dilakukan oleh
speech-language-pathologist atau biasa disebut terapis wicara. Berbagai strategi yang
dikembangkan dalam terapi ini adalah kegiatan intervensi bahasa, terapi oral motorik,
terapi artikulasi (Nurima, 2010).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan perkembangan psikologi merupakan suatua keadaan yang diakibatkan adanya
kesalahn dalam proses tumbuh dan berkembang. Berbagai hal dapat menyababkan terjadinya
kesaalahan perkembangan baik itu yang berasal dari dalam individu maupun dari lingkungan
sekitarnya. Proses tumbuh dan berkembang dari anak-anak menjadi dewasa merupaka factor
penentu dari pencapaian perkembangan saat dewasa. Terdapat berbagai macam manifestasi
klinis yang akan terjadi jika anak mengalami gangguan perkembangan, baik yang
berhubungan dengann kognitif maupun motorik. Terapi yang diberikan tergantung dari jenis
gangguan yang dialami sang anak. Penanganan yang dilakukan tidak hanya cukup dengan
stau jenis terapi, namun melibatkan beberapa macam terapi dan melibatkan banyak pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W., Maramis, A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 2. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan (AUP)

Maslin, R. 2003. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-
III). Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

Nurani, E., dkk. 2010. Anak Terlambat Bicara, Normalkah?

Puspitosari, W.A. 2010. Gangguan Belajar. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UMY

Anda mungkin juga menyukai