BAB II
2.1.1. Definisi
Dua gambaran klinis yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronik atau
emfisema. Bronkitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus
berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai
batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam
setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-
paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai ke
ujung bronkiole yang abnormal dan permanen, disertai dengan kerusakan dinding
alveolus. Bronkitis kronis dan emfisema dapat merupakan penyakit yang berdiri
sendiri atau menjadi bagian dari penyakit PPOK. Pasien pada umumnya
mengalami kedua gangguan ini, dengan salah satunya bisa lebih dominan, atau
sama beratnya, dengan keparahan yang bervariasi (Ikawati, 2016).
2.1.2. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembanganya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
6
a. Merokok
b. Pekerjaan
Para perkerja tambang emas atau batu bara, industry gelas dan keramik
yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan abses, mempunyai risiko yang lebih besar dari
pada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa bersal dari luar rumah
seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusi dari dalam
rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok.
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang
dapat diukur dari peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari
peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepataan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan resiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/ pasiennya antara lain adalah :
a. Usia
7
b. Jenis kelamin
Laki laki lebih berisiko terkena PPOK dari pada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan
penigkatan prevaleensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok. Selain itu, ada fenomena menarik bahwa wanita ternyata lebih
rentan terhadap bahaya merokok dari pada pria. Bukti- bukti klinis
menunjukkan bahwa wanita juga akan mengalami penurunan fugsi paru yang
lebih besar dari pada pria dengan status merokok yang relative sama. Hal ini
diduga karenan ukuran paru-paru wanita umumnya relatif lebih kecil dari pada
pria,sehingga dengan paparan rokok yang sama presentase paru yang terpapar
pada wanita lebih besar dari pada pria.
1. Riwayat penyakit
2.1.5. Patogenesis
Emfisema
C5a, atau dengan mengurangi aktivitas inhibitor elastase. Selain itu, banyak
neutrofil yang biasanya dibatasi (terjebak) di dalam paru, dan proses ini diperberat
oleh merokok, yang juga mengaktifkan leukosit yang terjebak.
Bronkitis kronik
2.1.6. Patologi
Emfisema
lebih teratur. Sejak awal perlu ditekankan bahwa defenisi emfisema adalah
defenisi morfologik, sedangkan bronkitis kronis didefinisikan berdasarkan
gambaran klinis, seperti adanya batuk kronis rekuren disertai pengeluaran mukus
yang berlebihan. Kedua, pola anatomik distribusi juga berbeda-bronkitis kronis
mengenai saluran napas besar dan kecil, sebaliknya emfisema terbatas di asinus,
struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.
Emfisema ini terjadi di dekat daerah fibrosis, jaringan parut, atau atelektasis dan
biasanya lebih parah di separuh atas paru. Temuan khas adalah adanya ruang
udara yang multipel, saling berhubungan, dan membesar dengan garis tengah
berkisar dari kurang 0,5 mm hingga lebih dari 2,0 cm, kadang-kadang membentuk
struktur mirip kista yang jika membesar progresif disebut sebagai bula. Tipe
emfisema ini mungkin mendasari kasus pneumothoraks spontan pada orang
dewasa muda.
Bronkitis Kronis
tertutup oleh lapisan sekresi musinosa atau mukopurulen. Bronkus yang lebih
kecil dan bronkiolus juga mungkin terisi oleh sekresi serupa. Secara histologist,
gambaran diagnostik pada bronkitis kronis di trakea dan bronkus besar adalah
membesarnya kelenjar penghasil mukus. Besarnya pertambahan ukuran ini dinilai
dengan rasio ketebalan lapisan kelenjar mukosa terhadap ketebalan dinding
bronkus (indeks Reid). Sering ditemukan penambahan jumlah sel goblet di epitel,
disertai hilangnya sel epitel bersilia. Sering terjadi metaplasia skuamosa, diikuti
oleh perubahan displastik di lapisan sel epitel, suatu rangkaian kejadian yang
akhirnya dapat menyebabkan timbulnya karsinoma bronkogenik. Sering terdapat
sel radang dengan kepadatan bervariasi, terutama terdiri atas sel mononukleus
yang kadang-kadang bercampur dengan neutrofil. Neutrofilia jaringan sangat
meningkat saat eksaserbasi bronkitik, dan beberapa penelitian memperlihatkan
adanya keterkaitan antara intensitas sebukan neutrofil dan keparahan penyakit.
Tidak seperti asma, eosinofil bukan merupakan komponen yang menonjol pada
infiltrat peradangan, kecuali pada pasien dengan hiperresponsivitas jalan napas
(bronkitis asmatik). Pada bronkiolitis kronis (small airways disease), yang
ditandai dengan metaplasia sel goblet (dalam keadaan normal jumlah sel goblet di
saluran napas perifer sedikit), juga ditemukan peradangan, fibrosis di dinding, dan
hiperplasia otot polos. Seperti telah dinyatakan, fibrosis peribronkus dan
penyempitan lumenlah yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Robbins. 2012).
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologik emfisema secara umum ialah akibat penambahan
ukuran paru anterior posterior akan menyebabkan bentuk toraks kifosis, sedang
penambahan ukuran paru vertikal menyebabkan diafragma letak rendah dengan
bentuk diafragma yang datar dan peranjakan diafragma berkurang pada
pengamatan dengan fluoroskopi. Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh
paru atau lobaris ataupun segmental, akan menghasilkan bayangan lebih
radiolusen, sehingga corakan jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran
fibrosisnya dan vaskular paru yang relatif jarang (Rasad, 2005).
Pada bronkitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan
pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu ukuran jantung juga mengalami
pembesaran. Dengan pemeriksaan fluoroskopi dapat dinilai kecepatan aliran udara
pada waktu ekspirasi. Infeksi pada bronkiolus ditandai dengan adanya bercak-
bercak pada bagian tengah paru. Bila terdapat emfisema sentrilobular, maka dapat
ditemukan adanya gambaran yang disebut dengan leaves on a winter tree sebagai
tanda adanya bronkiektasis dan gambaran ini akan semakin jelas bila dilakukan
pemeriksaan bronkografi (Rab, 2010).
Paru-paru yang terlihat mengembang secara berlebihan,diafragma yang
datar. Pada emfisema yang klasik ( berkaitan dengan kebiasaan merokok) terlihat
corakan vaskular yang menghilang ( karena berkurangnya pembuluh arteri) pada
lobus paru sebelah atas dengan atau tanpa bullae. Perubahan ini dapat terlihat pada
lobus paru sebelah bawah pada keadaan defisiensi 1- anti tripsin (Kendal,2013).
4. Pemeriksaan Bronkoskopi
17
Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli dan kadang-
kadang dapat meliputi bronkus yang besar. Pada bronkitis kronik tampak
warna mukosa yang merah dan hipersekresi (Rab, 2010).
2.1.8. Diagnosis
Pemeriksaan fisik dan foto thoraks bukan metode yang sensitif untuk
mendiagnosis PPOK. Pemeriksaan fisik dari hiperinflasi paru seperti diafragma
letak rendah, suara napas menurun, dan hipersonor pada perkusi sangat spesifik
untuk PPOK tetapi biasanya hanya pada penyakit stadium lanjut. High-resolution
computed tomopgraphy (HRCT) paru merupakan teknik yang canggih untuk
deteksi awal emfisema tetapi peranan HRCT pada deteksi awal dan monitoring
PPOK saat ini belum baku.
1. Asma bronkial
2. Gagal jantung kongestif
3. Bronkiektasis
18
4. Tuberkulosis
5. Bronkiolitis obliteratif
6. Diffuse panbronchiolitis (Wibisono et al., 2010).
Asma PPOK
Definisi Penyakit inflamasi kronik pada Obstruksi jalan napas yang
jalan napas yang mengakibatkan persisten, progresif dan hanya
hiperreaktivitas obstruksi jalan bersifat parsial reversibel;
napas yang bersifat episodik memiliki komponen bronkitis
serta reversibel dan emfisema yang beragam.
2.1.10. Penatalaksanaan
Penderita dengan keluhan sesak napas, batuk kronis atau berdahak dan
atau riwayat paparan faktor risiko perlu dicurigai menderita PPOK. Diagnosis
harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri merupakan gold standard
diagnosis PPOK. FEV1/FVC < 70% pasca bronkodilator menunjukkan hambatan
aliran udara yang tidak reversible sempurna.
Penyakit paru obstruktif kronik biasanya progresif, oleh sebab itu gejala
dan pemeriksaan untuk mengetahui hambatan aliran udara harus dimonitor untuk
menentukan kapan terapi dimodifikasi dan identifikasi penyulit bila ada. Untuk
menyesuaikan terapi dengan progresi penyakit setiap kunjungan pasien untuk
kontrol harus didiskusikan tentang regimen yang sedang dikonsumsi. Dosis obat,
kepatuhan minum obat, cara pemakaian obat inhalasi, efektivitas obat dalam
mengontrol gejala dan efek samping obat harus dimonitor (Wibisono et al., 2010).
3.1 Edukasi
3.2 Obat-obat
Tidak ada obat-obat untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah
penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk
mengurangi keluhan dan atau komplikasi.
Terdiri dari:
23
3.2.1 Bronkodilator
3.2.2 Kortikosteroid
3.2.3 Mukolitik
3.2.4 Antioksidan
3.2.5 Antibiotik
4. Oksigen
Oksigen jangka panjang ( > 15 jam/hari) pada PPOK dengan gagal napas
kronik terbukti dapat meningkatkan survival (Evidence A).
Indikasi : PaO2 < 55 mmHg (7,3 Kpa) atau SaO2 < 88% dengan atau tanpa
hiperkapnia atau PaO2 antara 55 mmHg (7,3 Kpa) dan 60 mmHg (8,0 Kpa) atau
SaO2 89% tetapi ada hipertensi pulmonal. Oedem perifer yang dicurigai karena
congestive heart failure atau polisitemia (Hct > 55%) (Wibisono et al., 2010).
5. Ventilator
Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya
peranan pada penatalaksanaan rutin PPOK stabil (Wibisono et al., 2010).
6. Rehabilitasi medik
25
a. Exercise training
b. Konsultasi nutrisi
c. Edukasi
7. Operasi
7.1 Bulektomi
Manajemen di Rumah
organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI lebih
disarankan dari pada pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6
kali, 2-4 hirup sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin)
lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena
efek bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya
terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak segera
memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik sampai
dengan perbaikan gejala.
Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut, kelainan asam basa berat
atau perburukan status mental, maka pemasangan ventilator mekanik invasif dapat
dipertimbangkan.
Intubasi Endotrakea
Caranya :
1. Pilih laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar pasien. Pada anak
besar dan dewasa lebih mudah menggunakan laringoskop berdaun
lengkung.
28
Trakeostomi
Caranya :
4. Posisi pasien tidur telentang dengan kantong pasir di bawah bahu untuk
membantu mengekstensikan leher. Dagu harus difiksasi tepat pada garis
tengah.
5. Desinfeksi daerah operasi.
6. Lakukan anestesi lokal infiltrasi, dapat juga tanpa anestesi terutama pada
kasus yang sangat darurat.
7. Lakukan insisi di daerah segitiga yang bebas dari pembuluh darah, dengan
batas-batas, kranial : kartilago krikoidea, lateral :
m.sternokleidomastoideus, kaudal : fosa supra sternal.
8. Insisi dapat dilakukan secara transversal atau vertikal. Insisi transversal
memberikan hasil kosmetik yang lebih baik, tetapi insisi vertikal
memberikan pemaparan yang lebih baik dan perdarahan yang lebih sedikit.
9. Insisi vertikal di garis media mulai tepi bawah kartilago krikoid sampai
fosa supra sternal.
29
2.1.11. Prognosis
30
Karakteristik:
s 1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
4. Pendidikan Penderita Penyakit Paru
5. perokok Obstruktif Kronik (PPOK)
6. Pemeriksaan
penunjang
7. Penatalaksanaan
31