Anda di halaman 1dari 27

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik/PPOK (Chronic Obstructive Pulmonary


Disease/COPD) adalah hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible,bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun, disertai efek esktraparu yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit. (Junaidi, 2010).

Dua gambaran klinis yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronik atau
emfisema. Bronkitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus
berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai
batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam
setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-
paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai ke
ujung bronkiole yang abnormal dan permanen, disertai dengan kerusakan dinding
alveolus. Bronkitis kronis dan emfisema dapat merupakan penyakit yang berdiri
sendiri atau menjadi bagian dari penyakit PPOK. Pasien pada umumnya
mengalami kedua gangguan ini, dengan salah satunya bisa lebih dominan, atau
sama beratnya, dengan keparahan yang bervariasi (Ikawati, 2016).

2.1.2. Etiologi

Ada beberapa faktor resiko utama berkembanganya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
6

Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30


kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan
mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang
dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK
berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.
Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif ( tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko
menderita PPOK.

b. Pekerjaan
Para perkerja tambang emas atau batu bara, industry gelas dan keramik
yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan abses, mempunyai risiko yang lebih besar dari
pada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa bersal dari luar rumah
seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusi dari dalam
rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok.
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang
dapat diukur dari peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari
peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepataan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan resiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/ pasiennya antara lain adalah :

a. Usia
7

Semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita PPOK. Pada


pasien yang diagnose PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetik berupa defisiensi 1-antitripsin. Namun kejadian
ini hanya dialami < 1% pasien PPOK.

b. Jenis kelamin

Laki laki lebih berisiko terkena PPOK dari pada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan
penigkatan prevaleensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok. Selain itu, ada fenomena menarik bahwa wanita ternyata lebih
rentan terhadap bahaya merokok dari pada pria. Bukti- bukti klinis
menunjukkan bahwa wanita juga akan mengalami penurunan fugsi paru yang
lebih besar dari pada pria dengan status merokok yang relative sama. Hal ini
diduga karenan ukuran paru-paru wanita umumnya relatif lebih kecil dari pada
pria,sehingga dengan paparan rokok yang sama presentase paru yang terpapar
pada wanita lebih besar dari pada pria.

c. Adanya gagguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupskan faktor risiko terjadinya


PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulina A (IgA/ hypogammaglobulin) atau
infeksi pada masa kanak-kanak seprti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan
gangguan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu dari pada yang
fungsi paru nya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembaangnya
PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak
normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami PPOK.

d. Predisposisi genetik, yaitu defisensi 1 antitripsin (AAT)


8

Defisiensi AAT ini terutama dikaitkkan dengan kejadian emfisema, yang


disebabkan oleh hilangnya elastisitas karena adanya Makrofag dan neutrophil
melepaskan enzim proteolotik dan faktor protektif. Pada keadaan normal
protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan.
Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi
terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2016).

2.1.3. Gejala Klinis

1. Riwayat penyakit

Adapun gejala klinis PPOK adalah sbb :

1. Smokers cough,biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin,


kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.
2. Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau
atau kekuningan bila terjadi infeksi
3. Dyspnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan.

Tabel 2.1 : skala dyspnea American Thoracic Society (ATS)

Deskripsi Nilai Derajat


Tak terganggu oleh sesak saat bergegas waktu jalan atau sedikit 0 -
mendaki
Terganggu oleh sesak saat bergegas waktu berjalan atau sedikit 1 Ringan
mendaki
Jalan lebih lambat di banding orang seumur karena sesak atau 2 Sedang
harus berhenti untuk bernapas saat jalan biasa
Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 yard/ setelah 3 Berat
berjalan beberapa menit pada ketinggian tetap
Terlampau sesak untuk keluar rumah/sesak saat 4 Sangat
berpakian/ataumem melepas pakaian berat
Gejala ini mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi
semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medis. Sedangkan gejala
eksaserbasi akut adalah :

Peningkatan volume sputum


9

1. Perburukan pernafasn secara akut


2. Dada tersa berat (chest tightness)
3. Peningkatan purulensi sputum
4. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
5. Lelah, lesu
6. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah)

Pada gejala berat, dapat terjadi :

1. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi


2. Gagal jantung dan oedem perifer
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang
memerah yang disebabkan oleh polycythemia (erythrocytosis, jumlah
erythrosit yang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal
karena kapasitas pengankutan O2 yang berlebih.
2. Pemeriksaan fisik
1. Pursed- lips breathing (mulut setengah terkatup/ mencucu)
2. Barrel chest ( diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
3. Badan pasien tampak kurus atau menunjukkan kakeksia.
4. Pasien membungkukkan tubuhnya kedepan kedua lengan diektensikan
(posisi tripoding)dan menggunakan otot-otot aksesorius pernapsan.
5. Tanda-tanda hiperinflasi : bunyi sonor atau resonan pada perkusi di
bagian punggung yang lebih rendah dari pada yang diperkirakan;
berkurangnya bunyi pernapasan secara bilateral. Mungkin diameter AP
dada terlihat bertambah, kendati penelitian sistematis tidak berhasil
memastikan hasil observasiini dan kemungkinan besar ukuran kurung
iga (ribcage) yang tetap tersebut tampak relative besar karena
dibandingkan dengan abdomen yang tipis atau mengalami kaheksia.
6. Ekspirasi yang memanjang dan wheezing kadang-kadang terdengar
pada ekspirasi paksa (Ikawati, 2016).
2.1.4 Klasifikasi
Termasuk PPOK adalah :
1. Bronkitis kronik (masalah pada saluran pernapasan)
2. Emfisema (masalah pada parenkim) (Mubin, 2012).

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK GOLD 2010

Derajat Klinis Faal paru


10

Gejala klinis Normal


(batuk, produksi sptum)
Derajat I: Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada VEP1/KVP < 70%
PPOK tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering VEP1 80% prediksi
Ringan tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun.
Derajat Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan VEP1/KVP < 70%
II: PPOK kadang ditemukan batuk dan produksi sputum. 50% < VEP1 < 80%
Sedang Pada derajat ini biasanya pasien mulai prediksi
memeriksakan kesehatannya
Derajat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa VEP1 /KVP < 70%
III: lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan 30% <VEP1 <50%
PPOK berdampak pada kualitas hidup pasien prediksi
Berat
Derajat Gejala diatas tambah tanda-tanda gagal napas atau VEP1/ KVP <70%
IV: PPOK gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. VEP1 < 30% prediksi
Sangat Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk prediksi disertai gagal
berat dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa napas kronik

( Antariksa et al., 2011).

2.1.5. Patogenesis

Emfisema

Patogenesis merupakan bagian yang aktif diteliti. Satu hipotesis yang


berlaku ialah bahwa enzim elastase lisosomal dibebaskan dalam jumlah yang
sangat banyak dari neutrofil dalam paru. Hal ini menyebabkan kerusakan elastin,
sebuah protein struktural penting pada paru. Elastase Neutrofil juga memecah
kolagen tipe IV, dan molekul ini penting untuk menentukan kekuatan bagian tipis
kapiler paru dan juga integritas dinding alveolar. Hewan yang menerima elastase
neutrofil yang dimasukkan ke dalam jalan napasnya mengalami banyak perubahan
histologik yang menyerupai emfisema.

Merokok adalah faktor patogenik yang penting dan mungkin bekerja


dengan merangsang makrofag untuk melepaskan kemoatraktan neutrofil, seperti
11

C5a, atau dengan mengurangi aktivitas inhibitor elastase. Selain itu, banyak
neutrofil yang biasanya dibatasi (terjebak) di dalam paru, dan proses ini diperberat
oleh merokok, yang juga mengaktifkan leukosit yang terjebak.

Hipotesis ini etiologi pada dasarnya sama dengan emfisema defisiensi


alfa1-antitripsin, yang mekanismenya adalah tidak adanya antiprotease yang
seharusnya menghambat elastase. Yang aneh adalah mengapa beberapa perokok
berat tidak menderita penyakit ini. Polusi udara mungkin berperan, mungkin juga
faktor herediter, yang jelas penting dalam defisiensi alfa1-antitripsin (West dan
Jhon,2010).

Bronkitis kronik

Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar


mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan
infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang
meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang
disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya memengaruhi bronkiolus kecil
sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama
adalah merokok dan polusi udara yang lazim terjadi di daerah industri. Polusi
udara yang terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena
polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus
meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah (Price dan
Wilson, 2012).

2.1.6. Patologi

Emfisema

Emfisema ditandai dengan pembesaran permanen rongga udara yang


terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.

Hubungan antara bronkitis kronis dan emfisema rumit, tetapi penggunaan


definisi yang tepat menyebabkan beberapa hal yang selama ini kacau menjadi
12

lebih teratur. Sejak awal perlu ditekankan bahwa defenisi emfisema adalah
defenisi morfologik, sedangkan bronkitis kronis didefinisikan berdasarkan
gambaran klinis, seperti adanya batuk kronis rekuren disertai pengeluaran mukus
yang berlebihan. Kedua, pola anatomik distribusi juga berbeda-bronkitis kronis
mengenai saluran napas besar dan kecil, sebaliknya emfisema terbatas di asinus,
struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.

Emfisema didefinisikan tidak saja berdasarkan sifat anatomik lesi, tetapi


juga oleh distribusinya di lobules dan asinus. Asinus adalah bagian paru yang
terletak distal dari bronkiolus terminal dan mencakup bronkiolus respiratorik,
duktus alveolaris, dan alveolus; kelompokan yang terdiri atas tiga sampai lima
asinus disebut satu lobules. Terdapat tiga jenis emfisema: (1) sentriasinar, (2)
panasinar, dan (3) asinar distal.

Emfisema Sentriasinar (Sentrilobular). Gambaran khas pada emfisema tipe


ini adalah pola keterlibatan lobules: bagian sentral atau proksimal asinus, yang
dibentuk oleh bronkiolus respiratorik, terkena, sementara alveolus distal tidak
terkena. Oleh karena itu, di dalam asinus dan lobules yang sama ditemukan
rongga udara yang emfisematosa dan normal. Lesi lebih sering dan lebih parah di
lobus atas, terutama di segmen apeks. Pada emfisema sentriasinar yang parah,
asinus distal juga terkena sehingga, seperti telah disinggung, pembedaan dengan
emfisema panasinar menjadi sulit. Emfisema tipe ini paling sering terjadi pada
perokok yang tidak menderita defisiensi kongenital antitripsin-alfa1.

Emfisema Panasinar (Panlobular). Pada tipe emfisema ini, asinus secara


merata membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus buntu di
terminal. Berbeda dengan emfisema sentriasinar, emfisema panasinar cenderung
lebih sering terjadi di zona paru bawah dan merupakan tipe emfisema yang terjadi
padannb defisiensi antitripsin-alfa1.

Emfisema Asinar Distal (Paraseptal). Pada bentuk ini, bagian proksimal


asinus normal, tetapi bagian distal umumnya terkena. Emfisema lebih nyata di
dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobulus, dan tepi lobulus.
13

Emfisema ini terjadi di dekat daerah fibrosis, jaringan parut, atau atelektasis dan
biasanya lebih parah di separuh atas paru. Temuan khas adalah adanya ruang
udara yang multipel, saling berhubungan, dan membesar dengan garis tengah
berkisar dari kurang 0,5 mm hingga lebih dari 2,0 cm, kadang-kadang membentuk
struktur mirip kista yang jika membesar progresif disebut sebagai bula. Tipe
emfisema ini mungkin mendasari kasus pneumothoraks spontan pada orang
dewasa muda.

Diagnosis dan klasifikasi emfisema terutama bergantung pada gambaran


makroskopik paru. Emfisema panasinar, jika sudah berkembang sempurna,
menyebabkan paru membesar, pucat, dan sering menutupi jantung saat dinding
dada anterior dibuka pada autopsi. Gambaran makroskopik emfisema sentriasinar
tidak terlalu mencolok. Paru tampak lebih merah muda dibandingkan pada
emfisema panasinar dan tidak terlalu membesar, kecuali jika penyakit sudah
berada dalam tahap lanjut. Secara umum, pada emfisema sentriasinar dua pertiga
atas paru lebih parah terkena dibandingkan dengan bagian bawah paru, dan pada
kasus yang berat mungkin terlihat bula emfisematosa.

Secara histologis, terjadi penipisan dan kerusakan dinding alveolus. Pada


penyakit tahap lanjut, alveolus yang berdekatan menyatu dan membentuk ruang
udara besar. Bronkiolus terminal dan respiratorik mungkin mengalami deformitas
karena hilangnya septum yang membantu menambatkan struktur ini di parenkim.
Dengan hilangnya jaringan elastik di septum alveolus sekitar, terjadi penurunan
traksi radial di saluran napas halus. Akibatnya, saluran ini cenderung kolaps saat
ekspirasi, suatu penyebab penting obstruksi kronis aliran udara pada emfisema
berat. Selain berkurangnya alveolus, jumlah kapiler alveolus juga menyusut.
Terjadi fibrosis di bronkiolus respiratorik, dan mungkin terdapat tanda bronkitis
dan bronkiolitis (Robbins, 2012).

Bronkitis Kronis

Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini


didefinisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan
14

berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. Penyakit ini dapat


memiliki beberapa bentuk:

1. Sebagian besar pasien menderita bronkitis kronis sederhana; batuk


produktif meningkatkan sputum mukoid, tetapi jalan napas tidak
terhambat.
2. Jika sputum mengandung pus, mungkin karena infeksi sekunder, pasien
dikatakan mengidap bronkitis mukopurulen kronis.
3. Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan
hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini,
yang disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, sering sulit dibedakan
dengan asma atopik.
4. Suatu subpopulasi pasien bronkitis mengalami obstruksi aliran keluar
udara yang kronis berdasarkan uji fungsi paru. Mereka dikatakan
mengidap bronkitis obstruktif kronis.

Meskipun gambaran penentu pada bronkitis kronis (hipersekresi mukus)


terutama merupakan pencerminan keterlibatan bronkus besar, dasar morfologik
obstruksi aliran udara pada bronkitis kronis terletak lebih perifer dan terjadi akibat
(1) peradangan, fibrosis, dan penyempitan bronkiolus dan (2) adanya emfisema
secara bersamaan. Secara umum dianggap bahwa walaupun penyakit saluran
napas kecil (bronkiolitis kronis) memang berperan dalam obstruksi aliran udara,
bronkitis kronis dengan obstruksi aliran udara yang signifikan hampir selalu
dipersulit oleh emfisema. Antara 5% hingga 15% perokok memperlihatkan tanda-
tanda fisiologik PPOK, dan banyak dari mereka yang awalnya memperlihatkan
gejala bronkitis kronis. Saat ini, tidak mungkin ditentukan perokok mana,
termasuk mereka yang mengidap bronkitis kronis, akan mengalami PPOK (yang
secara klinis signifikan) dengan konsekuensinya yang merugikan. Jelaslah, faktor
genetik ikut berperan. Banyak upaya yang dilakukan untuk mengetahui
polimorfisme pada beberapa gen yang mungkin berkaitan dengan PPOK.

Morfologinya, secara makroskopis, lapisan mukosa saluran napas besar


biasanya hiperemik dan membengkak oleh cairan edema. Mukosa ini sering
15

tertutup oleh lapisan sekresi musinosa atau mukopurulen. Bronkus yang lebih
kecil dan bronkiolus juga mungkin terisi oleh sekresi serupa. Secara histologist,
gambaran diagnostik pada bronkitis kronis di trakea dan bronkus besar adalah
membesarnya kelenjar penghasil mukus. Besarnya pertambahan ukuran ini dinilai
dengan rasio ketebalan lapisan kelenjar mukosa terhadap ketebalan dinding
bronkus (indeks Reid). Sering ditemukan penambahan jumlah sel goblet di epitel,
disertai hilangnya sel epitel bersilia. Sering terjadi metaplasia skuamosa, diikuti
oleh perubahan displastik di lapisan sel epitel, suatu rangkaian kejadian yang
akhirnya dapat menyebabkan timbulnya karsinoma bronkogenik. Sering terdapat
sel radang dengan kepadatan bervariasi, terutama terdiri atas sel mononukleus
yang kadang-kadang bercampur dengan neutrofil. Neutrofilia jaringan sangat
meningkat saat eksaserbasi bronkitik, dan beberapa penelitian memperlihatkan
adanya keterkaitan antara intensitas sebukan neutrofil dan keparahan penyakit.
Tidak seperti asma, eosinofil bukan merupakan komponen yang menonjol pada
infiltrat peradangan, kecuali pada pasien dengan hiperresponsivitas jalan napas
(bronkitis asmatik). Pada bronkiolitis kronis (small airways disease), yang
ditandai dengan metaplasia sel goblet (dalam keadaan normal jumlah sel goblet di
saluran napas perifer sedikit), juga ditemukan peradangan, fibrosis di dinding, dan
hiperplasia otot polos. Seperti telah dinyatakan, fibrosis peribronkus dan
penyempitan lumenlah yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Robbins. 2012).

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji fungsi paru


Bisa menentukan adanya keterbatasan aliran udara pada kasus PPOK
merupakan hal yang terpenting secara diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan
menggunakan spirometri dan laju aliran ekspirasi puncak
(peak expiratory flow,PEF). Pada bebrapa kasus dimana PPOK dicurigai,
perlu dipertimbangkan menggunakan peak flow meter pediatrik. Ini
bermanfaat untuk mencatat volume keluaran yang lebih kecil dengan
menyediakan skala yang tepat untuk akurasi yang lebih baik. Hal inisangat
berguna jika sebelumnya peak flow meter dewasa menunjukkan angka yang
16

rendah dan berubah-ubah atau jika kesulitan merapatkan mulut disekitar


mouthpiece pada peak flow meter dewasa
Spirometri yang dapat mendukung diagnosis PPOK adalah FEV 1 80%
nilai prediksi dan rasio FEV1/FVC 70% (Francis,2011).

2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologik emfisema secara umum ialah akibat penambahan
ukuran paru anterior posterior akan menyebabkan bentuk toraks kifosis, sedang
penambahan ukuran paru vertikal menyebabkan diafragma letak rendah dengan
bentuk diafragma yang datar dan peranjakan diafragma berkurang pada
pengamatan dengan fluoroskopi. Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh
paru atau lobaris ataupun segmental, akan menghasilkan bayangan lebih
radiolusen, sehingga corakan jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran
fibrosisnya dan vaskular paru yang relatif jarang (Rasad, 2005).
Pada bronkitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan
pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu ukuran jantung juga mengalami
pembesaran. Dengan pemeriksaan fluoroskopi dapat dinilai kecepatan aliran udara
pada waktu ekspirasi. Infeksi pada bronkiolus ditandai dengan adanya bercak-
bercak pada bagian tengah paru. Bila terdapat emfisema sentrilobular, maka dapat
ditemukan adanya gambaran yang disebut dengan leaves on a winter tree sebagai
tanda adanya bronkiektasis dan gambaran ini akan semakin jelas bila dilakukan
pemeriksaan bronkografi (Rab, 2010).
Paru-paru yang terlihat mengembang secara berlebihan,diafragma yang
datar. Pada emfisema yang klasik ( berkaitan dengan kebiasaan merokok) terlihat
corakan vaskular yang menghilang ( karena berkurangnya pembuluh arteri) pada
lobus paru sebelah atas dengan atau tanpa bullae. Perubahan ini dapat terlihat pada
lobus paru sebelah bawah pada keadaan defisiensi 1- anti tripsin (Kendal,2013).

3. Pemeriksaangas darah aterial :


PaO2 mengalami penurunan dan PaCO2 menngalami peningktan.
Bikarbonat mengalami kenaikan karena ginjal akan berupaya untuk
megompensasi penurunan Ph (Kendal,2013).

4. Pemeriksaan Bronkoskopi
17

Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli dan kadang-
kadang dapat meliputi bronkus yang besar. Pada bronkitis kronik tampak
warna mukosa yang merah dan hipersekresi (Rab, 2010).

5. Pemeriksaan Analisa Gas Darah (Arteri)


Perlu diingat bahwa perjalanan bronkitis kronis berlangsung lambat
dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membuat keadaan penderita
betul-betul buruk. Dengan demikian, penurunan PaO2 serta peningkatan
PaCO2 dan semua akibat sekundernya (asidosis, dan lain-lain) juga akan
terjadi perlahan-lahan dengan adaptasi secara maksimal dari tubuh penderita.
Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa kadang-kadang dapat dijumpai
seorang penderita dengan PaO2 hanya sebesar 50% tetapi masih dapat
melakukan pekerjaan rutin sehari-hari.

2.1.8. Diagnosis

Pemeriksaan fisik dan foto thoraks bukan metode yang sensitif untuk
mendiagnosis PPOK. Pemeriksaan fisik dari hiperinflasi paru seperti diafragma
letak rendah, suara napas menurun, dan hipersonor pada perkusi sangat spesifik
untuk PPOK tetapi biasanya hanya pada penyakit stadium lanjut. High-resolution
computed tomopgraphy (HRCT) paru merupakan teknik yang canggih untuk
deteksi awal emfisema tetapi peranan HRCT pada deteksi awal dan monitoring
PPOK saat ini belum baku.

Spirometri merupakan pemeriksaan yang sederhana, tidak mahal, non


invasive dapat digunakan untuk mendiagnosis, menentukan keparahan penyakit
dan monitoring progresi PPOK. Rasio FEV 1/FVC menunjukkan laju (rate)
pengosongan paru digunakan untuk menunjukkan ada kelainan ventilasi obstruksi.
Spirometri merupakan gold standard diagnosis PPOK (Wibisono et al., 2010).

2.1.9. Diagnosis Banding

1. Asma bronkial
2. Gagal jantung kongestif
3. Bronkiektasis
18

4. Tuberkulosis
5. Bronkiolitis obliteratif
6. Diffuse panbronchiolitis (Wibisono et al., 2010).

Tabel 2.2 Perbedaan antara inflamasi PPOK dan Asma

PPOK Asma Asma berat


Sel Neutrofil ++ Eosinofil ++ Neutrofil +
Makrofag +++ Makrofag + Makrofag
CD8+ sel T (Tcl) CD4+sel T (Th2) CD4+ sel T(Th2),
CD8+ sel T (Tcl)
Mediator IL-8 Eotaxin IL-8
TNF-,IL-1,IL-6 IL-4, IL-5, IL-13 IL-5, IL-13
kunci
NO+ NO +++ NO++
Stress +++ + +++
oksidatif
Lokasi Saluran napas perifer Saluran napas Saluran napas
parenkim paru proximal proksimal
Saluran napas
pembuluh darah paru
perifer
Dampak Metaplasia skuamosa Epitel yang rapuh
Metaplasia mukosa Metaplasia
anatomis
Fibrosis saluran nafas
mukosa
kecil Penebalan
Dekstruksi parenkim
membrane basis
remodeling Bronkokontriksi
Pembuluh darah paru
Respon Kurang respon Respons baik Kurang respon
terapi terhdap bronkodilator terhadap terhadap
Kurang respon
bronkodilator bronkodilator
terhadap steroid Respon baik
kurang respon
terhadap steroid
terhadap steroid
(Antariksa et al., 2011).
19

Tabel 2.1. Perbedaan Asma dan PPOK

Asma PPOK
Definisi Penyakit inflamasi kronik pada Obstruksi jalan napas yang
jalan napas yang mengakibatkan persisten, progresif dan hanya
hiperreaktivitas obstruksi jalan bersifat parsial reversibel;
napas yang bersifat episodik memiliki komponen bronkitis
serta reversibel dan emfisema yang beragam.

Resiko - Atopi - Merokok


- Alergi - Polutan okupasional atau
polutan lainnya dalam
rumah

Keluhan - Dispnea yang episodic Dispnea yang kronis dan


& Gejala - Batuk non-produktif persisten yang secara khas
atau paroksismal semakin parah saat beraktivitas
- Wheezing dan rasa tertekan fisik
pada dada karena pemicu

Faal paru - FEV1 - FEV1


- Jalan napas hiperresponsif - Volume paru

Lab - PaCO2 merupakan tanda - PaO2


yang buruk - PaCO2 normal atau ( atau
)

Foto Thorax - Corakan dinding bronkus radiolusen, diafragma yang


- Diafragma tampak datar datar, siluet jantung menjadi
- Hiperinflasi sempit
Riwayat - Onset biasanya pada usia - Onsetnya pada usia tua
klinis muda sampai dewasa - Variasi diurnal tidak begitu
- Berkaitan dengan pola jelas.
nokturnal dan memberat
pada pagi hari.

Spirometri Obstruksi dapat reversible Obstruksi tidak reversibel


sepenuhnya

Patologi - Hiperplasia kelenjar mukus - Metaplasia kelenjar mukus


20

- Struktur alveolar utuh - Kerusakan jaringan alveolar


Sumber: Catatan saku penatalaksanaan COPD dalam praktik sehari-hari
(Hartono, 2013)

2.1.10. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Mencegah progresi penyakit


2. Menghilangkan gejala
3. Memperbaiki exercise tolerance
4. Memperbaiki status kesehatan
5. Mencegah dan mengobati penyulit
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
7. Menurunkan mortalitas

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan implementasi 4 komponen program


penatalaksanaan yaitu:

1. Menilai dan monitor perjalanan penyakit


2. Mengurangi faktor-faktor risiko
3. Penatalaksanaan PPOK stabil
4. Penatalaksanaan eksaserbasi

1. Penilaian dan pemantauan penyakit

Penderita dengan keluhan sesak napas, batuk kronis atau berdahak dan
atau riwayat paparan faktor risiko perlu dicurigai menderita PPOK. Diagnosis
harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri merupakan gold standard
diagnosis PPOK. FEV1/FVC < 70% pasca bronkodilator menunjukkan hambatan
aliran udara yang tidak reversible sempurna.

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit progresif, dengan faal


paru dapat diprediksi memburuk dengan berjalannya waktu, meskipun dengan
perawatan terbaik yang ada. Komorbid sering dijumpai pada PPOK dan harus
diidentifikasi secara aktif.
21

Disamping riwayat penyakit juga diperlukan pemeriksaan spirometri dan


pemeriksaan lain seperti foto thoraks, analisa gas darah, tes reversible
bronkodilator, pemeriksaan alfa 1 antitripsin.

Penyakit paru obstruktif kronik biasanya progresif, oleh sebab itu gejala
dan pemeriksaan untuk mengetahui hambatan aliran udara harus dimonitor untuk
menentukan kapan terapi dimodifikasi dan identifikasi penyulit bila ada. Untuk
menyesuaikan terapi dengan progresi penyakit setiap kunjungan pasien untuk
kontrol harus didiskusikan tentang regimen yang sedang dikonsumsi. Dosis obat,
kepatuhan minum obat, cara pemakaian obat inhalasi, efektivitas obat dalam
mengontrol gejala dan efek samping obat harus dimonitor (Wibisono et al., 2010).

2. Mengurangi faktor risiko

2.1 Berhenti merokok

Mengurangi paparan asap rokok, occupational dusts dan chemicals dan


polusi udara indoor dan outdoor penting untuk mencegah onset dan progresi
PPOK.

Berhenti merokok merupakan intervensi tunggal yang paling efektif dan


cost-effective untuk menurunkan risiko timbulnya PPOK dan memperlambat
progresi PPOK. Oleh sebab itu setiap upaya harus dikerjakan untuk membantu
pasien berhenti merokok terutama pasien-pasien dengan hambatan aliran udara
ringan atau sedang. Namun sayang tidak ada regimen yang dengan mudah/cepat
membantu semua pasien. Seperti pada penyebab mulai merokok dan terus
merokok adalah multi faktor keberhasilan penyelesaian juga sering kali juga
melibatkan multipel intervensi. Para klinisi harus punya suatu rencana untuk
membantu pasien berhenti merokok. Dikatakan nasihat untuk berhenti merokok
walaupun diberikan 1-2 menit mempunyai dampak yang berarti. Sebanyak 5%
pasien berhenti merokok sebagai respons terhadap nasihat tersebut.

Bila konseling tidak cukup membantu berhenti merokok dianjurkan untuk


memberikan farmakoterapi (nicotin replacement dan atau bupropion). Nicotin
22

replacement dapat dicoba dengan chewing gum yang mengandung 2 mg nikotin


per biji. Transdermal nicotin patch juga ada dipasaran. Angka keberhasilan jangka
pendek bervariasi lebar antara 10-77% tetapi secara keseluruhan angka
keberhasilan 2x lebih besar dari placebo (ATS 95). Perhatian khusus perlu
diberikan sebelum memakai farmakoterapi pada perokok < 10 batang/hari, wanita
hamil, adulecens, yang dengan kontraindikasi medis (penyakit koroner tidak
stabil, tukak lambung yang tidak diterapi, infark atau stroke yang baru untuk
nikotin dan riwayat kejang untuk bupropion) (Wibisono et al., 2010).

3. Penatalaksanaan PPOK stabil

Penyuluhan kesehatan berperan penting pada proses berhenti merokok dan


meningkatkan ketrampilan, kemampuan untuk mengatasi penyakit dan status
kesehatan. Tidak ada medikamentosa untuk PPOK yang terbukti dapat
memodifikasi penurunan fungsi paru jangka panjang. Terapi farmakologi
digunakan untuk menurunkan gejala dan atau penyakit.

Bronkodilator merupakan obat utama untuk penatalaksanaan PPOK.


Diberikan bila diperlukan atau rutin untuk mencegah atau mengurangi gejala dan
eksaserbasi (Wibisono et al., 2010).

3.1 Edukasi

Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat:

a. Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakit dan status


kesehatan
b. Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok

3.2 Obat-obat

Tidak ada obat-obat untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah
penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk
mengurangi keluhan dan atau komplikasi.

Terdiri dari:
23

3.2.1 Bronkodilator

Bronkodilator yang sering digunakan untuk pengobatan PPOK adalah


agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol), antikolinergis (ipatropium
bromide, tiotropium bromide), derivat santin (aminofilin, teofilin).

a. Bronkodilator merupakan bagian penting dari penatalaksanaan


simptomatik PPOK (Evidence A), diberikan bila perlu atau rutin untuk
mencegah atau mengurangi gejala.
b. Terapi inhalasi lebih dianjurkan.
c. Pemilihan antara agonis beta 2, antikolinergik, dan santin atau terapi
kombinasi tergantung dari obat yang tersedia dan respons individu
terhadap terapi dan ESO (efek samping obat).
d. Pengobatan reguler dengan bronkodilator long acting lebih efektif dan
menyenangkan daripada bronkodilator short acting tetapi lebih mahal
(Evidence A). Penggunaan reguler long acting 2 agonist (LABA) atau
long-acting anticholinergic meningkatkan status kesehatan.
e. Obat kombinasi dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan risiko ESO
dibanding peningkatan dosis obat tunggal.

3.2.2 Kortikosteroid

Pengobatan reguler (teratur) dengan inhaled corticosteroid (ICS) tidak


mempengaruhi penurunan jangka panjang FEV1 pada pasien PPOK. Namun
pengobatan reguler dengan ICS sudah tepat untuk pasien PPOK simptomatik
dengan FEV1 < 50% prediksi (stadium III dan IV) dan eksaserbasi berulang
(Evidence A). Pengobatan ini terbukti mengurangi frekuensi eksaserbasi dan
memperbaiki status kesehatan (Evidence A).

a. Kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan (Evidence A). Tidak


ada bukti manfaat jangka panjang dari pengobatan ini, apalagi efek
samping obat jangka panjang steroid sistematik adalah steroid myopathy
yang memberi kontribusi kelemahan otot, penurunan fungsional dan gagal
napas pada pasien PPOK stadium lanjut.
24

3.2.3 Mukolitik

Beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik bermanfaat, namun


secara keseluruhan manfaatnya kecil. Oleh sebab itu sampai saat ini penggunaan
secara luas tidak dianjurkan.

3.2.4 Antioksidan

Antioksidan khususnya N-acetylcysteine telah menunjukkan manfaatnya


menurunkan frekuensi eksaserbasi dan mempunyai peran dalam terapi pada
penderita dengan eksaserbasi berulang. Perlu penilaian lebih lanjut sebelum
direkomendasikan untuk digunakan secara rutin.

3.2.5 Antibiotik

Tidak dianjurkan kecuali untuk terapi eksaserbasi infeksius dan infeksi


bacterial lain (Wibisono et al., 2010).

4. Oksigen

Oksigen jangka panjang ( > 15 jam/hari) pada PPOK dengan gagal napas
kronik terbukti dapat meningkatkan survival (Evidence A).

Indikasi : PaO2 < 55 mmHg (7,3 Kpa) atau SaO2 < 88% dengan atau tanpa
hiperkapnia atau PaO2 antara 55 mmHg (7,3 Kpa) dan 60 mmHg (8,0 Kpa) atau
SaO2 89% tetapi ada hipertensi pulmonal. Oedem perifer yang dicurigai karena
congestive heart failure atau polisitemia (Hct > 55%) (Wibisono et al., 2010).

5. Ventilator

Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya
peranan pada penatalaksanaan rutin PPOK stabil (Wibisono et al., 2010).

6. Rehabilitasi medik
25

Tujuan utama rehabilitasi pulmonal adalah mengurangi gejala,


meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam
aktivitas sehari-hari. Dengan rehab medik semua pasien menunjukkan manfaat
dari exercise training programe. Ada perbaikan exercise tolerance dan keluhan
sesak napas dan capek.

Durasi minimal dari program rehabilitasi efektif adalah 2 bulan, makin


panjang program diteruskan makin efektif hasilnya.

Rehab paru komprehensif terdiri atas :

a. Exercise training
b. Konsultasi nutrisi
c. Edukasi

7. Operasi

7.1 Bulektomi

Pada pasien-pasien tertentu tindakan operasi ini efektif menurunkan sesak


napas dan memperbaiki faal paru (Evidence C).

7.2 Transplantasi paru

Pada PPOK stadium lanjut yang terseleksi dengan tepat, transplantasi


terbukti memperbaiki kualitas hidup dan kapasitas fungsional (Evidence C)
(Wibisono et al., 2010)

Manajemen PPOK Eksaserbasi Akut

Manajemen di Rumah

Bronkodilator. Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah 2-


agonis, antikolinergik, dan metilxantin. Obat tadi dapat diberikan secara
monoterapi atau kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih
menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada
26

organ paru dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI lebih
disarankan dari pada pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6
kali, 2-4 hirup sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin)
lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol), karena
efek bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya
terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak segera
memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik sampai
dengan perbaikan gejala.

Glukokortikosteroid. Jika FEV1 < 50% prediksi, dapat diberikan 40 mg


prednisolon (oral) per hari selama 10-14 hari bersamaan dengan pemberian
bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai alternatif terapi selain
oral. Glukokortikosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis.

Antibiotik. Diberikan pada pasien dengan kondisi :

a. Disertai tiga tanda cardinal : peningkatan sesak napas, peningkatan jumlah


sputum, dan peningkatan kekentalan/purulensi sputum.
b. Dengan peningkatan purulensi sputum dan disertai satu tanda cardinal
lainnya.
c. Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik.
1. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang bisa
menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae, dan M.catarrhalis sambil
menunggu hasil kultur sensitivitas kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga
kuman di atas merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling
sering ditemukan (Riyanto dan Hisyam, 2007).

Manajemen di Rumah Sakit

Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah :


27

a. Bronkodilator kerja cepat : 2-agonis dan anti kolinergik dosis ditinggikan


dan frekuensi pemberian dinaikkan.
b. Steroid : oral atau intra vena.
c. Antibiotik : oral atau intra vena.
d. Pertimbangkan teofilin oral atau intra vena (masih kontroversial).
e. Pertimbangkan ventilator mekanik invasif.

Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut, kelainan asam basa berat
atau perburukan status mental, maka pemasangan ventilator mekanik invasif dapat
dipertimbangkan.

a. Alfa1 antitripsin : diberikan pada pasien emfisema muda, bila terdapat


defisiensi zat ini. Obat ini agak mahal dan belum banyak tersedia di
beberapa negara.
b. Mukolitik : secara keseluruhan pemberian mukolitik pada pasien dengan
sputum kental hanya memberi sedikit keuntungan, terutama pada keadaan
akut eksaserbasi, sehingga jarang dipakai secara rutin.
c. Antioksidan : hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi dan tidak
dipakai pada penggunaan secara rutin.
d. Imunoregulator : terdapat penelitian yang menyatakan bahwa obat-obat ini
dapat menurunkan beratnya akut eksaserbasi. Penggunaan secara rutin
belum dianjurkan.
2. Antitusif dan narkotik : penggunaan secara rutin merupakan kontra
indikasi (Riyanto dan Hisyam, 2007).

Intubasi Endotrakea dan Trakeostomi

Intubasi Endotrakea

Caranya :

1. Pilih laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar pasien. Pada anak
besar dan dewasa lebih mudah menggunakan laringoskop berdaun
lengkung.
28

2. Mulut dibuka dengan jari-jari tangan kanan, tangan kiri memegang


laringoskop kemudian ujung daun laringoskop dimasukkan di atas lidah
pada sudut mulut sebelah kanan.
3. Daun laringoskop didorong ke dalam mulut ke arah orofaring sambil
menggeser lidah ke sebelah kiri ruang mulut.
4. Rahang bawah didorong ke bawah dengan menarik laringoskop sesuai
dengan sumbu pegangnya, sehingga terlihat epiglotis.
5. Apabila digunakan laringoskop berdaun lengkung, ujung daun diletakkan
di sebelah atas epiglotis dan epiglotis diangkat secara tak langsung dengan
menarik frenulum glosoepiglotika. Tampaklah pita suara dan lubang
tenggorok.
3. Dengan tangan kanan masukkan pipa endotrakheal (ukuran sesuai dengan
pasien) ke dalam laring. Untuk orang dewasa dan anak usia di atas 6 tahun,
gunakan pipa endotrakheal dengan balon (cuff) yang besar dan lunak serta
bertekanan rendah. Pengisian balon jangan berlebihan, karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea (Riyanto dan Hisyam, 2007).

Trakeostomi

Caranya :

4. Posisi pasien tidur telentang dengan kantong pasir di bawah bahu untuk
membantu mengekstensikan leher. Dagu harus difiksasi tepat pada garis
tengah.
5. Desinfeksi daerah operasi.
6. Lakukan anestesi lokal infiltrasi, dapat juga tanpa anestesi terutama pada
kasus yang sangat darurat.
7. Lakukan insisi di daerah segitiga yang bebas dari pembuluh darah, dengan
batas-batas, kranial : kartilago krikoidea, lateral :
m.sternokleidomastoideus, kaudal : fosa supra sternal.
8. Insisi dapat dilakukan secara transversal atau vertikal. Insisi transversal
memberikan hasil kosmetik yang lebih baik, tetapi insisi vertikal
memberikan pemaparan yang lebih baik dan perdarahan yang lebih sedikit.
9. Insisi vertikal di garis media mulai tepi bawah kartilago krikoid sampai
fosa supra sternal.
29

10. Insisi diperdalam sampai ke permukaan trakea. Jangan terlalu banyak


memotong pembuluh darah. Oleh karena itu bekerjalah secara tumpul
untuk memisah-misahkan jaringan.
11. Kulit, jaringan sub kutan, dan strap muscles (sterno hioidea, dan
sternotiroidea) diretraksi ke lateral untuk memaparkan ismus tiroid. Vena
jugularis anterior dapat ditemukan, jika ada harus dipotong dan diikat.
Ismus tiroid harus diretraksi ke atas atau ke bawah atau dipotong di antara
dua ikatan, tergantung mana yang paling mudah dan memberikan
pandangan terbaik.
12. Sebelum mengiris trakea sebaiknya dipungsi dulu dan jika yang keluar
udara berarti trakea.
13. Cincin trakea yang sering dipotong adalah cincin trakea III/IV, selain itu
dapat juga pada cincin V/VI (trakeostomi suprasternal). Kanul trakea
hendaknya dipilih dengan diameter dan bentuk yang sesuai, biasanya
sebesar jari kelingking pasien, sebab kanul trakea yang tidak sesuai dapat
merusak jaringan atau dinding trakea.
14. Sebelum kanul trakea dipasang, terlebih dahulu ditetesi dengan 1-2 tetes
pantokain untuk mengurangi rangsangan pada mukosa trakea oleh gesekan
kanul trakea.
15. Kanul trakea dimasukkan dari samping kiri pasien dan setelah ujungnya
masuk kemudian diputar searah jarum jam. Setelah kanul trakea dipasang,
obturator segera diangkat. Antara kanul dan luka iris diberi kasa yang telah
diolesi salep steril.
16. Luka insisi yang masih tersisa di atas dan di bawah kanul trakea ditutup
dengan jahitan benang catgut, tetapi tidak perlu terlalu rapat untuk
menghindari terjadinya emfisema sub akut.
17. Kanul trakea luar difiksasi dengan tali pita melingkari leher. Lubang kanul
trakea ditutup dengan kasa tipis yang basah, untuk menghindari masuknya
partikel-partikel kecil ke dalam trakea dan melembabkan udara pernapasan
(Riyanto dan Hisyam, 2007).

2.1.11. Prognosis
30

Prognosis keseluruhan untuk pasien PPOK bergantung pada keparahan


obstruksi aliran udara. Pasien dengan FEV1 < 0,8 L mempunyai angka mortalitas
tahunan sampai 25%. Pasien dengan kor pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan
merokok, pdan penurunan berat badan memiliki prognosis buruk. Kematian
biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas akut, embolus paru, atau aritmia
jantung (Ward et al., 2008).

Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan


dan mortalitsas pada 2,5 tahun kurang lebih 50% (Alsagaff dan Mukty, 2005).

2.2. Kerangka Konsep

Karakteristik:

s 1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan
4. Pendidikan Penderita Penyakit Paru
5. perokok Obstruktif Kronik (PPOK)
6. Pemeriksaan
penunjang
7. Penatalaksanaan
31

Gambar 2.1 Skema Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang gambaran penderita Penyakit


Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
akan diuraikan berdasarkan variabel kategori. Variabel penelitian mencakup usia,
jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, perokok, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai