Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Kortikosteroid Pada Metabolisme Karbohidrat

Mata Kuliah : Farmakologi

DOSEN PEMBIMBING:
Dra.Ani Thuraidah, Apt., M.Si.
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Adelya Rahmah P07131215081
Binti Maulina Putri P07131215089
Meylan Indah Puspitasari P07131215104
Ni Wayan Leni Laolia Rianti P07131215110
Rahmat Hidayat P07131212113
Sekar Oktaviana Prabaningrum P07131215120

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia


Politeknik Kesehatan Banjarmasin
Program Diploma IV
Jurusan Gizi
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah
Kortikosteroid Pada Metabolisme Karbohidratini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Ani Turaidah,
Apt., M.Si.selaku Dosen mata kuliah Farmakologi Politeknik Kesehatan
Kemenkes Banjarmasin yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Banjarbaru, 2 Juni 2017

Penulis
(Kelompok 4)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat obatan kortikosteroid merupakan suatu agen yang sangat berguna

dalam ilmu kesehatan.Sering kali kita melihat para dokter terutama dari bagian

ilmu kesehatan kulit, rheumatologis, pulmonologis dan dari bagian lain juga

meresepkan kortikosteroid pada pasien pasien mereka.Namun penggunaan obat

dalam kelompok kortikosteroid sebenarnya mengandung bebarapa efek samping

membahayakan pasien.Biasanya efek samping yang terjadi adalah bergantung

kepada dosis dan lama pemakaian obat ini (Brett T.S, dkk, 2006).

Efek samping yang dapat kita jangkakan adalah terjadinya kehilangan massa

tulang yang cepat. Ini telah dibuktikan dalam satu penelitian, pada penderita yang

mengkomsumsi kortikosteroid antara 5 10 tahun didapatkan peningkatan insiden

terjadinya fraktur osteoporotic(Brett T.S, dkk, 2006).Ini terjadi apabila tulang

tulang pada penderita tersebut telah kehilangan masa sehingga menjadikannya

lemah dan tidak mampu untuk menyokong berat tubuh penderita dan akhirnya

mengalami fraktur yang terjadi sebagai komplikasi dari osteoporosis.

Etiologi terjadinya osteoporosis pada pengunaan obat obatan

kortikosteroid adalah disebabkan kehilangan sel pembentuk tulang yang dikenal

sebagai osteoblast.Osteoblast yang menurun menyebabkan tergangunya

keseimbangan pembentukan dan penyerapan tulang (Hyun-Ju K, 2010).

Dilaporkan penurunan jaringan tulang terjadi dengan cepat sehingga

mencapai 12% pada tahun pertama penggunaan kortikosteroid, dan diikuti 2-5%
setiap tahunnya. 30 50% pasien yang menggunakan kortikosteroid menderita

fraktur yang disebabkan osteoporosis(Hyun-Ju K, 2010). Corticosteroid induced

osteoporosis merupakan penyebab terbanyak kedua terjadinya osteoporosis

setelah osteoporosis postmenopausal (Brett T.S, dkk, 2006).

Walaupun efek samping terhadap corticosteroid ini dapat didiagnosa dengan

mudah, tidak banyak dokteryang memberikan terapi preventif untuk mencegah

osteoporosis kepada pasien mereka. Penelitian yang dilakukan menunjukkan

kurang dari 50% pasien yang diberikan obat golongan corticosteroid di evaluasi

untuk risiko terjadi osteoporosis dan kurang 25% telah dirawat apabila terjadi

osteoporosis (Jonathan D, dkk,2007)

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang didapatkan yang disimpulkan dalam makalah ini adalah :

Bagaimana pengaruh kortikosteroid pada metabolisme karbohidrat ?

1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk:


Mengetahui pengaruh kortikosteroid pada metabolisme karbohidrat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kortikosteroid
2.1.1 Definisi
Kortikosteroid adalah hormon yang tergolong dalam kelompok hormon

steroid yang dihasilkan oleh kelenjar korteks adrenal. Pada kondisi fight & fight,

hipotalamus beraksi dengan menghasilkan corticotropin releasing factor (CRF),

CRF kemudian akan menstimulasi kelenjar pituitari anterior untuk menghasilkan

adrenocorticotrophin stimulating hormone (ACTH). ACTH akan memasuki

sistem sirkulasi dan menuju ke kelenjar korteks adrenal dan menstimulasi

produksi hormon korticosteroid. Hormon ini berperan penting mengatur respon

tubuh terhadap stress, system kekebalan tubuh,pengaturan

inflamasi,gluconeogenesis, metabolism lemak, protein dan juga

emosi(Dorlan,2002).

Gambar 2.2.1

Kelenjar korteks adrenal dapat dibagikan kepada tiga bagian, yaitu zona

glomerulosa, zona fasikulata dan zona retikularis.Hormon kortikosteroid juga


terbagi kepada tiga, yaitu glukokorticoid, aldosterone dan androgen. Aldosteron

diproduksi di zona glomerulosa yang paling luar, glukokorticoid diproduksi pada

zona fasikulata yang berada di tengah, dan terkakhir, hormon androgen diproduksi

pada zona paling dalam yaitu zona retikularis (Goodman & Gilman, 2006).

Glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak,

dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan

fosfolipid, serta dapat menurunkan kerja eosinophil,contoh dari glukokortikoid

adalah kortisol. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid, yang

berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di

ginjal,contoh dari mineralokorticoid adalah aldosteron. Beberapa kortikosteroid

menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya

hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek

seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup

penting.Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan

prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja

glukokortikoid.

2.1.2 Pengunaan Klinis

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai

dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid

sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, artheritis temporal, dermatitis,

reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel

disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk
obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease.

Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual,

dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 , misalnya ondansetron(Dorlan,2002).

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan

pengobatan kelainan fungsi adrenal.Hormon ini juga sering digunakan dalam

dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal

biasanya diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal.

Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit

Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan

menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula

darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi

pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom

cushing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per

oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu

normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 g/dl, sedangkan pada

sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 g/dl. Namun hasil

ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi

stress yang lain.

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin.

Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan
insiden sindroma gagal nafas pada bayi yang dilahirkan secara premature, contoh

obat yang sering digunakan adalah indometasin.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai

kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi

adrenal.Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya

untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons

peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi,

terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk

mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon

peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses

penyakitnya(Goodman & Gilman,2006).

2.1.3 Farmakodinamik Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan hormon yang sangat lipofilik sehingga dapat

menembus membran lipid secara diffus. Pada waktu memasuki jaringan,

glukokortikoid terikat pada reseptor kortikostroid menjadi kortikosteroid

kompleks hormon reseptor,kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke

dalam inti, dimana akan hormon reseptor kompeks ini akan berikatan pada bagian

DNA yang dikenal sebagai elemen hormon reseptor sehingga terjadi transkirpsi

mRNA yang kemudiaannya akan ditranslasikan oleh ribosom menjadi protein

protein tertentu yang mengawal efek dari kortikosteroid ( Clive P. dkk, 2002,

Chapter 15)

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan

umpan balik negatif. Glukokorticoid yang banyak didalam darah menyebabkan


hipotalamus mengurangkan produksi CRF, sehingga terjadi umpan balik yang

efektif

2.1.4 Efek Samping Kortikosteroid

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat

bervariasi.Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap

banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak

diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom

cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid

jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.Sindrom

Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma,

dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen

anti inflamasi.

Iatrogenic Cushings syndrome, diinduksikan dengan pemberian

glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor

glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal

endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol

urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan

rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan

dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid

paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid


berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan

reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk

aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA

(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.

Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan

uptake glukosa10.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan

spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid.Spesies

yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang

sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan

menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah

menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini

lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B.Mekanisme yang

mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara

teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat

keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang

oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis

akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah

pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam

setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah

24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison

ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.


Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah

penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang.Selain itu

kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang

beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel

Kupffer).Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor

limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja

kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag. Penghambatan akumulasi

netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat

netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan

kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar

suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada

orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah

limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh

Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 3570 mg prednison per oral.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang

kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan

netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi.Di samping itu kortikosteroid juga

meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.Kombinasi kedua pengaruh ini

menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya

menurun.Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan

akumulasi netrofil pada daerah radang.Mungkin pengaruh kortikosteroid pada

makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi

pada penggunaan kortikosteroid setiap hari9.


Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan

akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag

pada hari tersebut masih rendah.Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih

sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi

kortikosteroid.Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari

tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga

mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi

stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik

komplemen.Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap

reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan

C567 pada lekosit PMN.Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian

kortikosteroid dosis tinggi.Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan

pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.Intravena atau secara invivo

dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga

berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga

kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret.Hal ini dapat

memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan

mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi

adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus

peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain,


terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan

penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila

digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya

belum diketahui.Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang

diobati dengan triamnisolon.Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon

berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada

beberapa penderita4.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis

besar kortikosteroid.Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan

katarak subkapsular posterior.Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp

periodik pada penderita ini.Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan

mungkin menyebabkan glaukoma.Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak.Pada

dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-

anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid

seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain

efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta

hilangnya kalium.Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal,

hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya

peningkatan tekanan darah.Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau

penyakit hati, dapat terjadi edema.Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi

natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.

BAB III
PEMBAHASAN

Mekanisme bagaimana glukokortikoid ini dapat mempengaruhi


metabolisme karbohidrat sebenarnya sangat kompleks; hormon ini dapat
menyebabkan glukoneogenesis (pembentukan baru gula) di perifer maupun di
hepar.Di perifer steroid ini menyebabkan mobilisasi asam amino dari beberapa
jaringan, jadi mempunyai efek katabolik.Efek katabolik inilah yang menyebabkan
terjadinya atrofi jaringan limfe, penghancuran jaringan dengan akibat pengecilan
masa jaringan otot, pada tulang terjadi osteoporosis (pengurangan matriks protein
tulang yang diikuti oleh pengeluaran Ca), penipisan kulit, dan timbulnya
keseimbangan nitrogen yang negatif.Asam amino tersebut akan dibawa ke hepar
yang kemudian akan digunakan sebagai substrat untuk enzim yang berperanan
dalam produksi glukosa dan glikogen.

Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperanan


dalam proses glukoneogenesis dan metabolisme asam amino, antara lain:
fosfoenolpiruvat-karboksikinase, fruktosa1,6difosfatase, dan glukosa6
fosfatase, yang mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan sintesis enzim ini
tidak timbul dengan segera, tetapi dibutuhkan waktu beberapa jam.Efek yang
lebih cepat timbulnya ialah pengaruh hormon terhadap mitokondria hepar, di
mana sintesis piruvat karboksilase sebagai katalisator pembentukan oksaloasetat,
dipercepat.Pembentukan oksaloasetat ini merupakan reaksi permulaan sintesis
glukosa dari piruvat.

Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan


peninggian konsentrasi glukagon plasma, yang dapat merangsang
glukoneogenesis, keadaan ini dapat merupakan salah satu penyebab bertambahnya
sintesisglukosa.Peninggian penyimpanan glikogen di hepar setelah pemberian
glukokortikoid, sekarang dianggap sebagai efek sekunder terhadap adanya
peninggian insulin plasma yang disebabkan karena bertambahnya glukosaplasma.

Efek glukokortikoid , meliputi:


1. Efek anti- inflamasi
Berdasarkan efek vasokonstriksi pada trauma, infeksi dan alergi, juga
berkhasiat mencegah atau mengurangi terbentuknya cairan- peradanga dan
udema setempat.

2. Daya imunosupresif dan antialergi


Dengan menghambat reaksi imun, sedangkan migrasi dan mengurangi
aktivasi limfosit T/ B dan makrofag.

3. Peningkatan glukoneogenesis
Pembentukan glukosa ditingkatkan, penggunaan di jaringan perifer
dikurangi dan penyimpanannya sebagai glikogen ditingkatkan.

4. Efek katabolisme
Menghalangi pembentukan protein dari asam amino sedangkan
pengubahannya menjadi glukosa dipercepat, sehingga mengakibatkan
terjadinya osteoporosis, atrofi otot dan kulit dengan terbentuknya striae,
menghambat pertumbuhan tulang pada anak- anak.

5. Pengubahan berbagai lemak


Mengakibatkan terhadinya moon face atau penumpukan lemak di wajah
serta buffalo hump (sindroma cushing)

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan

limfe, penghancuran jaringan dengan akibat pengecilan masa jaringan otot, pada

tulang terjadi osteoporosis (pengurangan matriks protein tulang yang diikuti oleh

pengeluaran Ca), penipisan kulit, dan timbulnya keseimbangan nitrogen yang

negatif.

Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan

peninggian konsentrasi glukagon plasma, yang dapat merangsang

glukoneogenesis, keadaan ini dapat merupakan salah satu penyebab bertambahnya

sintesis glukosa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brett T.S, dkk, 2006, Glucocorticoid-induced bone Loss in dermatologic patients


2. Hyun-Ju K, 2010, New understanding of glucocorticoid action in bone cells.

3. Jonathan D, dkk,2007 corticosteroid induced osteoporosis,

www.sciencedirect.com/sicence/article/pil/s0049017205800290 . Diakses tanggal 30

oktober 2011, jam 1920.

4. Walsh LJ, dkk, 1996. Use of oral corticosteroid in the community and the prevention

of secondary osteoporosis; the cross sectional study.

5. Oxford Medical dictionary, seventh edition, 2007, page 517

6. Clive P. dkk, 2002, Chapter 15;Drug and the endocrine and metabolic system,

Intergrated Pharmacology, 2nd edition.

7. Civitelli R, dkk, Epidemiology of glucocorticoid induced osteoporosis,

www.ncbi.nlm.gov/pubmed/18791344.

8. Dorlan,2002. Kamus kedokteran Dorland, 29th edition.

9. Katzung B.G, 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Mc Graw hill.

10.Goodman & Gilman,2006. The Pharmacoogical Basis of Therapeutic 11 th edition. Mc

Graw Hill.

11.International Osteoporosis Foundation, http://www.iofbonehealth.org/patients-

public/about-osteoporosis/what-is-osteoporosis.html, diakses tanggal 4 Oktober 2011,

jam 1500.

12. Kanis JA (2007) WHO Technical Report, University of Sheffield, UK: 66.

https://dahroji.wordpress.com/2009/10/18/kortikosteroid-dan-kortisol-2/

Anda mungkin juga menyukai