TRAUMA MAKSILOFASIAL
Robert M. Kellman
Konsep mengenai daerah wajah tengah hanya digunakan jika cedera yang
ada baru terjadi dan istilah ini merujuk pada trauma terhadap solid nasal root yang
ditransmisikan secara posterior sehingga menghasilkan sebuah teleschoping injury.
Keadaan ini memiliki berbagai sebutan, antara lain : naso-orbital fractures, fracture
of the ethmoids, nasoethmoid complex (NEC) fracture dan istilah yang paling terbaru
ialah naso-orbital-ethmoid (NOE) fracture. Hal ini adalah fraktur yang penting secara
klinis, namun diperlukan paradigma yang lebih besar untuk memahami bagaimana
cedera fasial ini bisa muncul dan bagaiman wajah dirancang untuk menyediakan
perlindungan maksimum bagi struktur struktur penting sehingga dapat bertahan
pada manusia.
Hidung merupakan struktur penting bagi jalan napas, proses penciuman dan
segi kosmetik, namun hidung lebih tidak terlalu penting dalam tubuh manusia jika
dibandingkan dengan fungsi penglihatan atau fungsi serebral. Glabelar padat dan
tulang dasar nasal tidak hanya melindungi lempengan kribiformis yang terletak
dibawahnya, tapi juga berperan sebagai bagian pertama yang menerima dampak
cedera pada daerah tengah wajah. Karena tulang nasal dan prosessus frontalis maksila
dilindungi oleh lamina papyracea tipis dari tulang tulang ethmoid. Nervus optikus
dilindungi dalam bantalan lemak orbita sampai pada foramen optikus dan pada daerah
yang lebih posterior dilindungi oleh lapisan tulang tipis dari sayap sphenoid saat
nervus optikus memasuki kanal tulang.
Konsep yang sama ini cenderung diaplikasikan ke aspek aspek lain pada
anatomi skeletal wajah. Bola mata cenderung dilindungi pada cedera langsung oleh
tulang tulang tipis pada dasar rongga orbita dan dinding dinding medial, hal ini
mengapa blowout fracture lebih sering terjadi dibandingkan ruptur bola mata. Mirip
dengan hal ini, wajah sendiri berfungsi sebagai sebuah shock absorber bagi cavitas
kranial, sehingga frekuensi dan tingkat keparahan cedera otak dapat dibatasi.
Akhirnya, teori ini telah menyediakan sebuah penjelasan terhadap keberadaan sinus
sinus paranasal yang memberikan keuntungan pertahanan : bahwa sinus sinus ini
berperan sebagai pengumpulan pada wajah, sehingga memungkinkan energi untuk
dihamburkan sebelum energi dari trauma mencapai mata dan otak. Jadi keseluruhan
struktur wajah telah dirancang untuk berkembang dan menyediakan perlindungan
untuk pertahanan terhadap organ organ yang penting (tabel 23-1).
Bagian Sepertiga Bawah
Mandibula secara umum dianggap sebagai bagian sepertiga bawah dari
struktur wajah. Bagian ini terdiri dari gigi geligi pada mandibula, dimana gigi geligi
ini berhubungan dengan gigi geligi pada maksila untuk proses mengunyah. Tidak
seperti bagian sepertiga tengah wajah yang terfiksasi pada tulang tengkorak,
mandibula cenderung lebih banyak bergerak (mobile) dan berayun, melekat pada
basal tulang tengkorak melalui dua titik perlekatan yang simetris bilateral. Perlekatan
terletak pada temporomandibular joints (TMJ). Formasi mandibula terlihat seperti
tulang yang berbentuk tapal kuda yang menggantung pada tempat yang padat yaitu
tulang tengkorak, sehingga mandibula dirancang dengan baik untuk menyerap
dampak gaya dari trauma yang ada dibandingkan untuk mentransmisikan gaya dari
trauma tersebut ke bagian pada dasar fossa tengah, dan oleh karena itufraktur
mandibula multipel yang dikarenakan oleh dampak gaya tunggal biasanya jarang
terjadi. (Trauma mandibula yang mengakibatkan cedera pada basal tulang tengkorak
dapat terjadi dan caput kondilar mandibula sangat jarang untuk bisa masuk ke dalam
fossa glenoid, dimana fossa glenoid ini adalah muara dari artikulatio kartilago pada
tempat sendi dan keseluruhan fossa tengah, namun cedera seperti ini sangat jarang
terjadi). Fraktur pada ramus vertikal (berbeda dengan perluasan fraktur pada
subkondilar) biasanya jarang terjadi, hal ini mungkin dikarenakan efek efek
protektif dari pergerakan otot yang disediakan oleh otot otot mengunyah, dimana
keseluruhan otot otot untuk mengunyah ini melekat pada bagian rami vertikal.
Muskulus masseter yang kuat melekat secara luas pada permukaan inferolateral
ramus, sedangkan muskulus pterigoideus melekat pada permukaan medial. Muskulus
temporalis melekat pada prosessus koronoid, sebuah pemanjangan secara superior
dari ramus anterior. Regio sudut mandibulamuncul pada daerah posterior dari
perlekatan gigi geligi ke mandibula dan daerah ini merupakan daerah yang sering
mengalami fraktur. Fraktur pada daerah ini sering berasal dari perluasan fraktur pada
daerah yang tipis dimana molar tiga melekat. Keberadaan molar tiga cenderung
mempertipistulang secara superior dan tegangan dari pergerakan otot dapat membebat
area ini, mengakibatkan sebuah break point alamiah. Fraktur yang terjadi pada daerah
ini biasanya lebih sulit untuk distabilkan dan perbaikan yang dilakukan cenderung
mengakibatkan komplikasi lebih lanjut (dibahas nanti). Seperti yang telah diketahui
bahwa mandibula menjadi lebih tipis pada daerah dimana terdapat perlekatan gigi.
Dari gigi taring sampai ke sudut dari korpus mandibula terdapat 2 gigi premolar dan
tiga gigi molar. Aspek unik lainnya yang dimiliki oleh anatomi mandibula ialah
keberadaan nervus alveolar inferior, sebuah percabangan ketiga dari nervus
trigeminus, nervus alveolar inferior memasuki mandibula pada lingula dan berjalan
dibawah akar gigi yang dipersarafinya serta keluar padaforamen mental sebagai
nervus mentalis. Penting untuk diingat pada saat memperbaiki fraktur mandibula
bahwa foramen mental tidak secara umum mewakili kebanyakan posisi inferior dari
nervus, dan harus diperhatikan pada saat penempatan hardware pada mandibula yaitu
pada korpus mandibula yang terletak dibelakang foramen mental.
Sebuah klasifikasi skema perbaikan fraktur mandibula yang umumnya ada
ialah berdasarkan penggunaan istilah favorable dan unfavorable. Namun demikian
skema ini tidak memiliki pengaruh pada pemilihan manajemen perbaikan yang akan
dipilih. Penting juga untuk terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada mandibula
berdasarkan usia dan kehilangan gigi. Saat orang kehilangan gigi, tekanan normal
pada gigi teralihkan secara signifikan dan remodeling cenderung berakibat atrofi
bagian alveolar pada tulang. Atrofi pada daerah tempat melekatnya gigi di mandibula
cenderung terjadi dari atas ke bawah, sehingga mengakibatkan nervus alveolar
inferior semakin dekat ke permukaan oral; pada kasus yang ekstrim, maka nervus
alveolar inferior dapat berada pada bagian atas tulang mandibula. Sebagai tambahan,
aterosklerosis yang timbul pada arteri alveolar inferior akan membatasi suplai darah
ke tulang yang menjadi tipis karena atrofi. Hal ini memiliki dampak yang signifikan
pada perbaikan dari fraktur fraktur ini.
Fraktur pada segmen segmen alveolar, fraktur pada gigi dan avulsi gigi tidak
termasuk pada bahasan dalam bab ini.
Pengetahuan mengenai anatomi dasar gigi dan kemiripan antara hubungan
oklusi gigi geligi yang normal dan yang tidak normal adalah penting bagi siapa saja
yang akan menangani fraktur pada tulang wajah yang memiliki perlekatan gigi geligi
pada tulang tersebut. Pada orang dewas normal, gigi yang lengkap adalah 32 gigi,
dimana terdapat 8 gigi pada setiap kuadran di mandibula dan maksila. Penomoran gigi
yang umumnya berlaku di amerika adalah dari 1 sampai 32, dimana penomoran ini
dimulai dari maksila sebelah kanan pada molar tiga (nomor 1) berlanjut terus sampai
pada maksila sebelah kiri di molar tiga (nomor 16), pada mandibula kiri yaitu di
molar 3 diberikan nomor 17 dan kemudian penomoran berlanjut sampai molar 3 di
mandibula kanan (nomor 32). Permukaan dental mengandung cusps untuk
mengunyah dan memiliki alur diantara cusps dan pada gigi gigi yang memiliki
multipel cusps, alur ini diidentifikasi berdasarkan posisi mereka sebagai mesial
(menghadap ke insisifus), distal (menghadap ke arah maksilla), bukal (menghadap ke
pipi) dan lingual (menghadap ke lidah). Oklusi adalah sesuatu yang kompleks dan
memiliki banyak aspek, namun sebuah hubungan normal molar didefinisikan oleh
sebuah sudut yang dibentuk oleh cusps mesiobukal pada molar pertama di maksila
yang akan terletak dalam alur mesiobukal di dalam molar pertama yang terletak di
mandibula. Insisifus maksila harus melewati insisifus mandibula secara vertikal,
dimana hal ini didefinisikan sebagai sebuah keadaan menggigit yang berlebihan
(gambar 23-8).
EVALUASI RADIOLOGI
Dengan beberapa kondisi pengecualian, CT-scan telah mampu mengantikan
jenis pencitraan radiologi lainnya yang digunakan untuk menilai cedera cedera
kraniomaksilofasial. Karena tingginya ketersediaan kecepatan modern yang tinggi dan
tingginya resolusi CT-scan, kebanyakan spesialis bedah maksilofasial telah
mengabaikan foto polos pada tulang wajah atas dan tengah bahkan pencitraan ini
tidak lagi dilakukan sekalipun hanya untuk screening. Sejumlah bayangan yang
tumpang tidih dapat menybabkan tidak teramatinya fraktur yang ada, dimana pada
pemeriksaan dengan CT-scan hal ini dapat ditemukan dengan lebih mudah.
Pengecualian yang ada ialah untuk fraktur nasal sederhana (simpleks) (simpleks disini
berarti tanpa adanya bukti keterlibatan tulang wajah yang lain), dimana pada keadaan
ini penilaian yang rutin digunakan adalah dengan menggunakan foto polos.
Pengecualian lainnya ialah penggunaan 6-footAP Caldwell view untuk menciptakan
suatu gambaran yang akan digunakan dalam menciptakan osteoplastic frontal sinus
bone flap.
Secara umum, bidang pada CT-scan (axial vs coronal) memciptakan
perbedaan dalam bagaimana suatu fraktur dapat terlihat secara spesifik. Ditemukan
bahwa orientasi axial merupakan orientasi terbaik untuk visualisasi pada kebanyakan
fraktur frontal, sama halnya dengan visualisasi terbaik yang bisa dilakukan pada
fraktur NOE dan menilai lengkungan zigoma dan dinding dinding vertikal orbita.
Orientasi coronal lebih digunakan dalam menilai dasar orbita dan lempengan
pterigoid. Secara umum seperti yang sudah bisa diperkirakan, struktur struktur
vertikal lebih baik jika dinilai dengan orientasi scan axial dan struktur struktur
horizontal lebih baik jika dinilai dengan orientasi scan coronal. Juga ditemukan bahwa
CT-scan yang dilakukan dengan resolusi yang kurang dari 1.5 mm sebaiknya tidak
digunakan dalam membuat rekonstruksi tiga dimensi, karena algoritma fill-in yang
digunakan oleh program komputer akan menciptakan terlalu banyak kesalahan
interpretasi. Secara umum, rekonstruksi tiga dimensi akan menciptakan sebuah
gambaran menyeluruh yang dapat membantu spesialis bedah dalam
memvisualisasikan keseluruhan struktur wajah; namun rekonstruksi tiga dimensi ini
juga dapat mengandung sejumlah potensi tidak akurat yang tidak nampak pada proses
CT-scan yang dilakukan secara langsung.
PENANGANAN
Umum
Sekali cedera telah berhasil diidentifikasi, sebuah perencanaan manajemen
untuk menangani cedera tersebut harus ditetapkan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa sebuah konsultasi yang baik harus dilakukan dan jika diperlukan,
konsultasi yang dilakukan dapat juga dimasukkan dalam proses pelaksanaan
manajemen terapi sehingga perencanaan manajemen terapi menjadi suatu
perencanaan yang komperhensif.
Kebanyakan menganggap bahwa karena kebanyakan cedera maksilofasial
diakibatkan kontaminasi yang terjadi karena hubungan diantara hidung, sinus sinus
dan/atau kavitas oral, maka penggunaan terapi antibotik harus dimulai sejak pasien
pertama kali dating. Sebuah penelitian prospektif oleh Chole dan Yee menunjukkan
terdapat beberapa manfaat dari tipe pengobatan seperti ini. Umumnya antibiotik yang
sensitif terhadap organisme organisme oral seperti penisilin, sefalosporin ataupun
klindamisin merupakan jenis antibiotik yang dipilih. Masih belum jelas berapa lama
waktu pemberian antibiotik ini, namun kebanyakan antibiotik ini umumnya tetap
diberikan sampai 24 jam setelah pembedahan, meskipun begitu pada beberapa
keadaan antibiotik diberikan untuk periode yang lebih lama.
Sebuah masalah yang diperdebatkan karena banyaknya pendapat pendapat
mengenai hal tersebut ialah pemilihan waktu untuk dilakukan pembedahan. Pada
pembahasan terdahulu mengenai fraktur mandibula, dikatakan bahwa penundaan
dalam pelaksanaan pembedahan akan meningkatkan infeksi. Namun semenjak adanya
manfaat dari penggunaan terapi antibiotik profilaksis, pernyataan ini nampaknya tidak
benar. Kebanyakan spesialis bedah menyarankan bahwa proses pembedahan harus
ditunda sampai pembengkakan teratasi sehingga keadaan asimetris wajah dapat dinilai
lebih baik daripada saat pembengkakan di wajah masih terjadi. Namun di sisi lain,
karena fraktur yang ada bisa dinilai dengan menggunakan pemeriksaan CT-scan,
maka alasan yang disampaikan tersebut mungkin tidak relevan, sebagian dikarenakan
perluasan jaringan ikat yang terpapar akan tetap mengakibatkan pembengkakan juga.
Argumen yang lebih baru dan lebih meyakinkan menyatakan bahwa melukai kembali
jaringan ikat yang telah mengalami penyembuhan setelah fase akut dapat
mengakibatkan kelenturan menjadi sedikit dan memberikan hasil yang kurang
memuaskan pada perbaikan, meskipun argumen ini cenderung teoritikal dibandingkan
pembuktian. Tentu saja secara logika intervensi dini untuk mengembalikan jaringan
keras dan jaringan lunak ke posisi anatomi normal mereka akan memberikan manfaat.
Namun hal ini tidak jarang dipertimbangan pelaksanaannya, khususnya pada trauma
berat, dimana pasien sedang distabilkan dari cedera yang mengancam nyawa, dan
ancaman terhadap hidup pasien yang menjadi prioritas penanganan. Namun demikian
tingkat urgensi tetap menjadi pilihan perorangan
Akses Pembedahan
Pengunaan yang cukup sering dari teknik pendekatan peluasan akses telah
menuntun pada sebuah pengertian yang lebih baik terhadap pola pola fraktur dan
kompleksitas pada reduksi dan fiksasi yang dilakukan. Penggabungan menggunakan
teknik fiksasi rigid dan pembebasan menggunakan bone graft dalam memperbaiki
tulang wajah telah menjadi teknik yang lebih dapat diandalkan dan kebutuhan
terhadap fiksasi maksilomandibular post operasi (maxilomandibular fixation - MMF)
dan trakheostomi bisa diminimalkan. Namun demikian terdapat juga banyak kerugian
pada teknik dengan pemaparan yang luas ini dan keadaan asimetris wajah masih bisa
terjadi setelah dilakukan reduksi skeletal yang baik. Hal ini berhubungan dengan
masalah penyembuhan jaringan lunak yang menyebabkan spesialis bedah untuk
mencari pemilihan teknik yang lebih terbatas daerah pemaparannya namun tetap
memungkinkan mereka untuk melakukan reposisi tulang secara tepat.
Terdapat juga tantangan lain dalam pembedahan kraniomalsilofasial yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan insisi langsung pada kebanyakan fraktur, hal ini
dikarenakan akan memunculkan jaringan parut yang tidak bisa diterima pada daerah
wajah dan kemungkinan terjadi cedera nervus fasialis. Insisi yang dilakukan
direncanakan dengan hati hati pada daerah daerah yang memberikan keuntungan
baik itu pada daerah daerah yang tersembunyi, dilakukan secara transmukosal atau
pada daerah daerah dimana jaringan parut yang terbentuk bisa disamarkan. Namun
sering hal ini memerlukan penanganan untuk pengurangan perlebaran yang bisa
terjadi dan teknik untuk elevasi terhadap retraksi intraoperatif yang signifikan yang
bisa terjadi, dimana keseluruhan hal ini bisa mengakibatkan perubahan jaringan lunak
yang akhirnya mengakibatkan hasil perbaikan yang kurang ideal. Permasalahan
permasalahan ini harus dipertimbangkan secara hati hati saat dibuat perencanaan
pembedahan, harus selalu diingat bahwa terkadang lebih bijak untuk memperluas
insisi daripada membahayakan jaringan lunak dengan melakukan traksi yang terlalu
berlebihan.
Dasar orbita dapat terekspos dengan baik melalui insisi transkonjungtival melalui
kelopak mata bawah. Insisi ini dapat dikerjakan baik dengan menggunakan
pendekatan pre-septal atau pendekatan post-septal dimana setiap pendekatan ini
memiliki keuntungan dan kerugiannya masing masing. Apapun pendekatan yang
akan dipilih untuk dilakukan, perhatian khusus harus diberikan untuk menghindari
cedera terhadap septum orbita, karena jaringan parut pada lapisan ini cenderung
mengakibatkan malposisi kelopak mata bawah setelah pembedahan. Perluasan insisi
ini baik melalui canthotomy lateral dan insisi kulit akan mampu menyediakan bagian
yang terekspos lebih besar, khusunya untuk penempatan graft yang besar dan
mengekspos orbita lateral dan medial. Dasar orbita juga dapat dieksplorasi melalui
insisi transkutaneus melalui kelopak mata bawah, termasuk insisi subsiliari dan insisi
lipatan kelopak mata bawah. Insisi infraorbita merupakan insisi yang paling banyak
dihindari karena keterbatasan akses yang bisa dicapai melalui insisi ini serta
pemanjangan pembengkakan kelopak mata bawah (kecuali jika telah ada laserasi
terlebih dahulu di daerah ini). Orbita medial dapat dieksplorasi melalui sebuah insisi
cornal, sebuah insisi transkonjungtiva (transcaruncular atau retrocaruncular) atau
melalui sebuah insisi kutaneus yang mirip dengan pendekatan etmoidektomi
eksternal. Perlu diperhatikan bahwa kapanpun sebuah insisi kelopak mata bawah
dilakukan, adalah tindakan bijaksana untuk meletakkan sebuah Frost stitch (Jahitan
Frost) pada akhir prosedur ini dan membiarkan jahitan itu tetap disitu selama 24
sampai 48 jam. Frost stitch diletakkan pada kelopak mata bawah dan dilekatkan ke
dahi; jahitan ini mengencangkan kelopak mata bawah dan dapat mengurangi
malposisi kelopak mata bawah (gambar 23-17).
Bagian bawah daerah sepertiga tengah wajah ialah dinding anterior maksila,
termasuk piriform apertures, prosessus frontal dan zygomaticomaxillary junction,
dimana struktur struktur ini paling baik dieksplorasi menggunakan pendekatan
transoral melalui insisi pada mukosa sulcus gingivobuccal. Kecermatan diperlukan
pada cara ini untuk menghindari elevasi fragmen tulang dalam flap dan untuk
menghindari terjadinya cedera pada nervus infraorbita. Insisi ini memungkinkan
elevasi superior ke batas infraorbita. Pemaparan tambahan bisa dilakukan dengan
menggunakan midfacial degloving approach dalam mukosa vestibuli nasal, dimana
insisi dilakukan secara sirkumferensia, namun pendekatan ini menambah resiko
terjadinya stenosis nasal. Pemaparan palatum umumnya dicapai melalui laserasi yang
terjadi sepanjang garis fraktur. Sebuah flap palatum berbentuk U dapat dielevasi
sehingga menyediakan paparan palatum yang luas
Bagian Sepertiga Bawah (Mandibula)
Mandibula dapat diekspos naik secara transmukosa ataupun transkutaneus.
Perhatian awal yang diperlukan ialah bahwa pernyataan mengenai pemaparan
intraoral akan dapat mengakibatkan peningkatan infeksi belum terbukti benar pada
serangkaian pengalaman pembedaha dengan pemaparan (ekspos) daerah intraoral.
Secara kasat mata semua area mandibula bisa dieksplorasi melalui insisi transoral.
Regio symphyseal dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan sebuah insisi
yang dilakukan dibawah 5 10 mm dari batas gingiva, sehingga menyediakan
mukosa bebas yang cukup untuk memudahkan dalam menutup luka.fraktur corpus
mandibula juga dapat dieksplorasi dengan cara yang mirip dengan cara ini. Kehati
hatian diperlukan untuk menghindari cedera terhadap nervus mental karena nervus
mental berada di mandibula dan nervus ini memasuki jaringan lunak untuk
memberikan persarafan (sensasi) terhadap kulit yang terletak dibawahnya. Regio
ramus vertikal dan regio subkondilar dapat diekspos dengan menggunakan bagian
vertikal dari insisi yang diperluas dari insisi pada bagian inferior ramus anterior
mandibula ke garis oblique dan melewati batas gingiva molar posterior. bagian
vertikal dari insisi ini kemudian diperluas kea rah superior sehingga bisa memberikan
akses untuk mengeksplorasi ramus vertikal dan regio subkondilar. Dalam
mengeksplorasi daerah subkondilar terkadang perlu bantuan endoskopi.
Insisi ekstraoral menambah resikosebuah jaringan parut yang kasat mata,
dimana insisi ekstraoral ini juga memiliki kemungkinan mencederai ramus
mandibular nervus fasial. Disisi lain, pada sebuah fraktur korpus mandibula anterior,
jika dilakukan insisi ekstraoral akan mengurangi cedera terhadap nervus mental.
Simfisis mandibula paling baik dieksplorasi melalui insisi submental. Bagian korpus
mandibula posterior, sudut mandibula dan regio subkondilar paling baik dieksplorasi
menggunakan insisi submandibular. Untuk membantu dalam mengekspos tulang dan
meminimalkan retraksi, insisi dapat dibuat satu jari dibawah mandibula atau kurang
dari itu dan dielevasisecara superficial inferior ke platisma. Platisma diinsisi 2 jari
dibawah mandibula untuk meminimalkan resiko cedera nervus fasialis (gambar 23-
18). Korpus anterior mandibula lebih susah untuk dicapai secara transkutaneus karena
tekanan garis kulit saat kulit relaksasi, melewati mandibula dan memiliki resiko
mencederai nervus fasial. Daerah ini mungkin paling baik diakses dengan
menggunakan gabungan insisi submental dengan sebuah insisi submandila anterior
dan kedua insisi ini digabungkan dengan sebuah Z untuk meminimalkan jaringan
parut yang terbentuk. Ramus dan regio subkondilar dapat dicapai melalui insisi
submandibula dan elavasi diantara muskulus masseter dan tulang. Terdapat sebuah
alternatif lain berupa sebuah insisi retromandibula untuk digunakan seperti yang
disarankan oleh Ellis (Gambar 23-19). Sebuah insisi preaurikular dapat digunakan,
namun insisi ini memiliki resiko cedera terhadap trunkus utama nervus fasial dan jika
insisi preaurikular ini digunakan, perlu dipertimbangkan sebuah pembedahan nervus
fasialis untuk melindungi nervus fasialis.
Oklusi
Pada trauma maksilofasial apapun yang melibatkan segmen penyangga gigi, penting
untuk menentukan hubungan oklusi yang sesuai. Hal ini penting untuk restorasi fungsi
mengunyah yan gnormal. Hubungan oklusi antara dentisi maksila dan mandibula juga
menentukan hubungan antara tulang wajah sentral bagian bawah. Penyesuaian
langsung fragmen tulang secara virtual selalu berada di tempat kedua setelah
penyesuaian oklusi. Hal ini benar terutama ketika bagian tengah dari 1/3 wajah
kolaps, karena berat mandibula digunakan untuk menentukan berat wajah, dan oklusi
merupakan komponen utama dalam hubungan antara mandibula dan maksila.
Oklusi paling baik ditentukan menggunakan kawat gigi, yaitu kumpulan besi
lunak dengan kait-kait untuk kawat atau karet yang dipasang secara langsung pada
gigi. Kawat gigi yang paling umum digunakan di Amerika Serikat yaitu kawat gigi
Errich. Pilihan lainnya termasuk Ivy Loops, walaupun alat ini hanya menstabilkan
beberapa gigi dibandingkan keseluruhan daerah gigi. Alat ini juga tidak memberikan
tekanan sepanjang lengkungan gigi mandibula. Sejumlah pilihan lainnya juga
tersedia. Penemuan baru yang telah digunakan yaitu sekrup untuk MMF. Walaupun
alat ini dapat digunakan dengan cepat dan mudah, terdapat beberapa kerugian, yang
paling umum yaitu seringnya penetrasi akar gigi saat menempatkan alat tersebut
(Gambar 23-23). Semua kawat gigi cenderung menarik dentisi ke arah lingual, namun
penempatan sekrup lebih inferior dan lebih ke arah buccal saat menggunakan sekrup
MMF cenderung meningkatkan terjadinya hal ini.
Ketika kawat gigi telah ditempatkan, mereka dapat digunakan untuk menahan
pasien pada MMF. Hal ini dilakukan dengan menempatkan kawat atau karet antara
kait-kait pada bagian atas kawat gigi dan pada bagian bawah kawat gigi. Setelah
fiksasi yang kaku dari semua fraktur fasial telah selesai, MMF dapat dilepaskan,
namun kawat gigi harus tetap berada ditempatnya jika diperlukan latihan elastisitas
selama periode penyembuhan. MMF tidak mengkoreksi maloklusi yang diakibatkan
oleh fiksasi kaku dari fragmen dalam posisi suboptimal; hanya penempatan plat pada
fragmen yang dapat mengkoreksi malposisi tersebut. MMF mungkin juga diperlukan
untuk mengatasi fraktur unfixed, seperti fraktur subkondiler pada manibula.
Ketika terjadi fraktur palatum, penting untuk memastikan bahwa gigi tidak
mengalami rotasi disekitar fraktur palatum, yang dapat mengakibatkan gigi versi
lingual atau buccal dan malposisi fragmen tulang yang signifikan. Pada kasus
gangguan berat, terutama ketika segmen alveolar mengalami fraktur dan/ atau
mandibula juga mengalami gangguan berat, splint palatum mungkin diperlukan untuk
menstabilkan dentisi pada posisi yang sesuai. Palatum dapat direparasi secara
langsung dengan sebuah plat, atau dapat distabilkan sepanjang daerah premaksila jika
stabilitasi oklusi cukup memadai untuk mencegah rotasi (Gambar 23-26).
Fraktur maksila pada tingkat Le Fort II dengan cara yang sama distabilkan
menggunakan plat 1.5-2 mm, dan memastikan bahwa setidaknya 2 sekrup
ditempatkan pada setiap sisi fraktur yang sudah terpasang plat (Gambar 23-27).
Sebuah plat dapat ditempatkan sepanjang rima infraorbital untuk menstabilkan bagian
atas fraktur tersebut. Jika tidak, ketika diakses, dasar nasal harus difiksasi dengan kuat
menggunakan plat-plat berukuran sangat kecil (Gambar 23-28). Sangat penting untuk
memastikan bahwa midface tidak terimpaksi dan ter-rotasi ke arah superior sebelum
menempatkan tulang ke posisinya. Walaupun MMF digunakan pada awal prosedur,
namun sebenarnya memungkinkan untuk menarik pasien ke dalam posisi oklusi yang
baik walaupun midface terimpaksi; gigi mandibula ditarik oleh MMF ke arah maksila
yang ter-rotasi secara superior, sehingga menarik kondilus mandibula keluar dari
fossa glenoid.
Seorang pasien mungkin bahkan dapat tetap dalam posisi MMF yang baik selama 6
minggu atau lebih, dan ketika MMF dilepaskan, mandibula kembali ke posisi netral-
nya dengan gigitan terbuka anterior yang signifikan. Sehingga penting untuk
mendeteksi hal ini saat operasi, sehingga midface dapat di-rotasi dengan tepat ke arah
bawah masuk ke dalam posisi yang sesuai. Jika midface terimpaksi berat, disimpacter
midfacial Rowe mungkin diperlukan untuk menggerakan midface dan membawanya
ke bawah menuju posisinya yang sesuai. Selama bertahun-tahun, ahli bedah lebih
mengkhawatirkan masalah kemungkinan elongasi fasial akibat penarikan MMF pada
fraktur maksila unfixed dibandingkan kekhawatiran mengenai rotasi dan pemendekan
midfasial. Maka, pokok utama penanganan yaitu Adams suspension wiring, dimana
gigi kawat bagian atas disambungkan pada arkus zigomatikus (atau tulang frontalis
saat zigoma mengalami fraktur) untuk mencegah elongasi fasial; penanganan
semacam ini mungkin memperberat rotasi midfasial dan mengakibatkan pemendekan
dan pembentukan gigitan terbuka anterior pada banyak pasien. Dengan adanya
perluasan pendekatan akses dan paparan rutin dan fiksasi fraktur midfasial, masalah
ini diketahui dan dihindari dengan hati-hati. Sama halnya, dengan ketersediaan
teknik-teknik fiksasi kaku, penggunaan halo untuk fiksasi eksternal fraktur midfasial
telah menjadi hal yang sangat jarang. Meskipun, kebiasaan menggunakan teknik-
teknik tersebut memiliki nilai dalam memahami berbagai pilihan bedah.
Walaupun daerah diantara buttress secara khusus tidak begitu penting untuk
menyokong struktural, namun buttress sendiri penting. Sehingga, saat terjadi
defisiensi tulang disepanjang buttress ini, maka harus digantikan. Defek berukuran
kurang dari 5 mm pada buttress tunggal mungkin dengan aman dapat ditutup
menggunakan plat. Jika tidak, defek tersebut dapat ditutup menggunakn graft tulang
dari lokasi lainnya. Split kalvarium merupakan sumber bahan graft tulang yang sering
digunakan. Split kalvarium dapat distabilkan di bawah plat, atau dapat digunakan
sebagai plat biologis dan difiksasi pada tulang di setiap ujungnya menggunakan
sekrup tambatan.
Jumlah stabilisasi ( dan jumlah paparan bedah) yang diperlukan untuk
memfiksasi fraktur zigomatikus dapat bervariasi tergantung pada jumlah instabilitas
dan pecahan fraktur. Manson telah mengusulkan bahwa tingkat keparahan cedera
ditentukan oleh jumlah energi yang ditransmisikan pada tulang pada saat cedera. Hal
ini terlihat berdasarkan cedera, sehingga sebenarnya tingkat keparahan merupakan hal
yang dianalisis saat merencanakan reparasi. Namun, untuk fraktur yang mengalami
pergeseran minimal, zigoma cenderung tergantung pada daerah frontozigomatikus
dan reparasi mungkin hanya memerlukan reduksi perkutaneus, dan dapat muncul ke
permukaan atau dapat diam, atau mungkin hanya memerlukan paparan sublabial dan
fiksasi disepanjang daerah zigomatikomaksilaris. Ketika daya yang lebih kuat
mengakibatkan cedera, terdapat kecenderungan terjadinya pecahan fraktur pada
daerah zigomatikomaksilaris, membuatnya menjadi titik yang tidak adekuat untuk
dilakukan reduksi. Paparan pada daerah pelupuk mata bagian bawah memungkinkan
penjajaran dari rima infraorbital, dan juga eksplorasi basis orbita jika diperlukan
nantinya. Akses terutama pada orbita lateral juga bermanfaat, dalam hal penjajaran
zigoma dengan sisi sfenoid yang lebih besar pada orbita lateral cenderung menjadi
batasan reduksi tulang dapat diandalkan. Dengan dampak yang lebih berat, pecahan
fraktur yang lebih jelas menjadikannya lebih sulit untuk memastikan bahwa zigoma
telah diresposisi dengan tepat. Insisi koronal memungkinkan paparan yang lengkap
pada keseluruhan arkus zigomatikus. Ketika zigoma kontralateral tetap intak, daerah
ini berfungsi sebagai referensi reposisi yang baik. Jika tidak, bahkan paparan yang
luas mungkin tidak dapat memastikan reposisi zigoma yang akurat. Radiografi
intraoperatif dapat bermanfaat dalam hal ini. Posisi arkus dapat diperiksa
menggunakan fluoroskopi. Namun, meskipun jarang tersedia, CT-scan intraoperatif
jelas dapat memberikan penilaian posisi tulang yang paling akurat. Jika tidak, CT-
scan postoperatif mungkin mengindikasikan kebutuhan terhadap operasi revisi.
Akhirnya, penting untuk diingat bahwa walaupun sebagian besar defek basis orbita
dapat dievaluasi menggunakan CT-scan preoperatif, kemungkinan adanya defek basis
orbita mungkin tidak terlihat. Hal ini terjadi ketika zigoma terimpaksi berat ke dalam
ruang orbita. Setelah dis-impaksi zigoma, defek basis orbita yang sebelumnya tidak
ditemukan yang memerlukan tindakan reparasi mungkin terdeteksi. Kegagalan dalam
mendeteksi defek ini dapat mengakibatkan enoftalmus postoperatif mendadak.
Endoskop yang ditempatkan pada sinus maksilaris memberikan cara invasif yang
minimal untuk menilai basis orbita pada situasi tersebut. Juga penting untuk
mereparasi rima orbita sebelum menilai dinding orbita, karena posisi rima akan
mempengaruhi posisi secara keseluruhan dan bentuk orbita secara keseluruhan.
Orbita itu sendiri perlu direstorasi sebaik mungkin untuk dapat kembali ke
bentuknya semula sebelum cedera. Hal ini memerlukan pengetahuan terhadap kontour
orbita normal. Tulang tengkorak pada ruang operasi mungkin dapat bermanfaat dalam
hal ini, dan beberapa ahli beda bahkan menempatkan sebuah tulang tengkorak ke
dalam kantung steril dan membentangkan implan dinding orbita pada tengkorak
tersebut. Penting untuk mengenali konveksitas pada basis orbita secara medial di
belakang ekuator tengkorak. Kegagalan dalam memperhatikan hal ini akan
menciptakan kecenderungan terhadap enoftalmus. Juga penting untuk memperbaiki
defek-defek yang cukup besar pada dinding medial dengan alasan yang sama.
Jaringan orbita apapun yang terjebak harus dilepaskan kembali ke dalam posisi
normal mereka pada orbita, dan pemeriksaan forced duction harus dilakukan sebelum
dan sesudah dilakukannya manuver pada orbita. Kontour dinding orbita dapat
direkonstruksi menggunakan bahan autolog atau bahan alloplastik, dan setiap pilihan
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Split kalvarial bone dapat
digunakan, namun sangat kaku dan tidak dapat dibentuk sesuai keinginan. Molding
memerlukan tindakan memotong tulang dan menyatukan berbagai potongan menjadi
bentuk yang berbeda. Split rib lebih lentur dan dapat dibentuk sesuai keinginan,
namun mengalami resorpsi yang lebih besar. Untuk defek-defek berukuran kecil,
kartilago atau tulang septum nasal dan bagian depan tulang maksila telah berhasil
digunakan. Setelah pelepasan rektus inferior, sebuah retakan pada basis orbita dapat
ditutup dengan fascia atau film gelatin. Titanium dapat dibentuk dengan mudah,
namun terdapat kekhawatiran mengenai pertumbuhan jaringan fibrosa pada lubang-
lubang bahan, walaupun tidak ada laporan yang menyatakan timbulnya masalah ini.
Polietilene berpori telah menjadi populer pada beberapa tahun terakhir ini untuk
reparasi defek basis orbita, dan menggantikan bahan-bahan yang dipakai sebelumnya
yang memiliki tingkat ekstrusi yang bervariasi. Sebagian besar ahli bedah
menempatkan implan orbita secara langsung via insisi transkonjungtiva dan
transkutaneus kelopak mata, walaupun baru-baru ini keberhasilan penempatan implan
via sinus maksilaris menggunakan bantuan endoskopi telah dilaporkan. Enoftalmus
umumnya perlu dikoreksi untuk mengkompensasi pembengkakan yang terjadi selama
prosedur operasi itu sendiri. Sebaliknya, hipoftalmus (posisi mata inferior), tidak
perlu dikoreksi, karena koreksi pada arah ini lebih cenderung menetap.
Fraktur-faktur ethmoid naso-orbital (NOE, NEC) merupakan salah satu jenis
fraktur yang paling sulit untuk direparasi. Fraktur-fraktur simpel dimana ligamen
kantus medial tetap melekat pada tulang sentral yang solid (tipe I) direparasi dengan
menstabilkan tulang solid tersebut pada sekitar tengkorak menggunakan plat. Fraktur
ini harus diposisikan dan difiksasi dengan tepat, jika tidak secara perlahan akan
mengalami lateralisasi dan mengakibatkan deformitas yang cukup besar seiring
waktu. Reparasi pada cedera tipe II dan III yang lebih berat bersifat lebih
kontroversial, dan beberapa ahli memperdebatkan preservasi terhadap perlekatan
ligamen apapun pada tulang, sedangkan lainnya merekomendasikan agar prosedur
reparasi terfokus pada ligamen itu sendiri. Dengan ligamen yang terpapar (umumnya
melalui insisi koronal), jahitan permanen atau kawat permanen dimasukkan melewati
ligamen dan jahitan dimasukkan melewati daerah lakrimalis posterior (yang mungkin
ada atau tidak), di belakang tulang nasal, melalui septum nasal, keluar pada daerah
yang sama pada sisi kontralateral (dengan perhatian khusus untuk menghindari cedera
pada sisi kontralateral), dimana jahitan ini dapat difiksasi baik pada tulang frontal
kontralateral (sekitar sekrup, melalui lubang plat, atau melalui lubang rima
supraorbita) atau pada ligamen kantus medial kontralateral. Retraktor yang panjang
(sendok teh yang telah disterilkan juga dapat digunakan) dapat menutupi dan
melindungi tengkorak sisi kontralateral selama memasukkan kawat atau jahitan dari 1
sisi ke sisi lainnya. Jika pendekatan tersebut telah dilakukan, pengikatan kawat akan
memfiksasi kedua ligamen kantus medial secara bersama.
Perawatan yang baik harus diterapkan guna memastikan pengaturan posisi dan
fiksasi dari ligamentum kantal. Bila ligamentum kantal medial sulit diidentifikasi,
ditempatkan hemostat di antara karunkel, lalu didorong ke arah medial. Saat
dilakukan inspeksi, ligamen seharusnya berada kira-kira di sekitar benjolan yang
ditimbulkan oleh hemostat. Bila ligamen tidak terfiksasi ke arah medial, ligamen itu
akan perlahan-lahan bergeser seiring dengan waktu, yang mengakibatkan telekantus,
malposisi karunkel, pemendekan dari kelopak, dan terdapat potensi terjadinya
gangguan fungsi lakrimasi. Juga harus diperhatikan bagian dorsal dari hidung
dibentuk kembali, dan graft tulang harus digunakan apabila diperlukan. Bila tidak
dilakukan, maka akan meningkatkan kemungkinan timbulnya lipatan epikantal.
Beberapa ahli bedah menyarankan pemasangan plat penopang perikutaneus di bawah
lapisan kulit hidung agar terbentuknya rongga konka secara natural. Belum jelas
diketahui apakah metode ini memang dibutuhkan. Meskipun teknik perbaikan ini
dilakukan melalui hidung, tapi teknik ini tidak sama dengan teknik perbaikan fraktur
perikutan, oleh karena itu boleh digunakan dalam menangani fraktur ini sebab tidak
akan memiliki pengaruh.
Mandibula edentula
Mandibula edentula memiliki 2 masalah. Pertama adalah tidak adanya gigi, yang
berperan besar untuk fungsi pengunyahan. Yang kedua adalah banyaknya atrofi
mandibula.
Oklusi berperan penting dalam reposisi serpihan tulang. Oleh karena itu, bila
tersedia gigi palsu, maka sebaiknya digunakan sebagai penopang untuk membantu
penyusunan garis tulang. Reposisi fungsional sangat penting, meskipun tidak terdapat
gigi, karena reposisi yang tidak tepat dapat menyebabkan rehabilitasi dengan protesa
menjadi lebih sulit, bahkan tidak mungkin. Dan meskipun protesa bisa dibuat, tekanan
pada sendi temporo mandibular dapat menyebabkan komplikasi pada pasien.
Atrofi mandibular adalah masalah yang lebih besar, karena memiliki angka
komplikasi yang tinggi. Miskonsepsi yang umumnya terjadi adalah anggapan bahwa
mandibula itu kecil, sehingga hanya dibutuhkan plat kecil untuk memperbaikinya.
Padahal, tekanan yang terdapat pada mandibula begitu besar, dan kurangnya jumlah
tulang berarti sedikitnya kontak antar tulang, yang dibutuhkan untuk penyembuhan,
dan tulang tipis tidak cukup baik dalam menahan beban apabila digunakan plat kecil.
Oleh karenanya, atrofi mandibula merupakan kontra indikasi untuk reparasi load-
sharing. Demi mengurangi angka komplikasi, reparasi load-bearing menjadi pilihan
reparasi, dimana tindakan ini membutuhkan plat yang panjang dan kuat dengan
beberapa titik fiksasi dengan menggunakan sekrup bikortikal. Dengan metode ini,
angka keberhasilan untuk penyembuhan tulang pada fraktur ini telah meningkat
drastis.
Fraktur panfasial
Masing-masing fraktur ini bisa direparasi. Namun apabila semua atau sebagian besar
dari tulang tengkorak mengalami fraktur, jauh lebih sulit untuk menyusun kembali
bentuk 3 dimensi yang reposisi yang tepat dari serpihan fraktur. Secara logika,
rekonstruksi harus dilakukan dari bagian yang jelas hingga tidak jelas, yang artinya
dari stabil hingga ke tidak stabil. Dengan pengecualin dari fungsi oklusi yang
seharusnya menjadi tujuan utama dalam reparasi, rekonstruksi ini dilakukan dari
bagian perifer menuju medial. Bagian kranial diperbaiki terlebih dahulu agar dapat
menjadi dasar untuk reposisi zigoma. Panjang wajah diperbaiki dengan rekonstruksi
mandibula, agar gigi di mandibula bisa menjadi dasar untuk reposisi penopang gigi
maksilaris. Hilangnya gigi dan hancurnya tulang menjadi indikiasi wajib untuk
penggunaan protesa. Pada fraktur panfasial, reduksi terbuka untuk fraktur subkondilar
merupakan komponen yang sangat penting dalam reparasi, oleh karena ramus
mandibula adalah tolak ukur dalam mengetahui panjang wajah. Maksila bagian bawah
lalu distabilkan ke zigoma diatasnya dan gigi mandibula dibawahnya. Setelah maksila
telah direposisi dan direkonstruksi, fokus utama berpindah ke wajah bagian tengah,
yaitu hidung dan kompleks nasal-etmoid. Setelah keseluruhan bentuk wajah telah
diperbaiki, barulah beralih pada bagian di sekitar bola mata. Apabila berhasil, maka
hasil CT-scan akan menunjukkan bentuk permukaan wajah yang normal
Komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah tidak terjadi reduksi yang baik. Bila terjadi
pada tulang penopang gigi, akan terjadi maloklusi. Jika kelainannya hanya kecil,
maka tidak dibutuhkan tindakan operasi, namun hal ini sepenuhnya bergantung pada
ahli bedah dan pasien sendiri. Bila maloklusi sudah sangat jelas, maka tindakan
operasi harus dilakukan. Apabila teknik reduksi tertutup digunakan, maloklusi bisa
diperbaiki dengan fiksasi maksilomandibular. Tetapi apabila sudah menggunakan
fiksasi keras, maka untuk memperbaiki malposisi hanya dibutuhkan pencabutan plat
dan reposisi. Apabila arah penyembuhan tulang tidak tepat, akan terjadi malunion.
Terminologi malunion berarti telah terjadi penyembuhan tulang, berbeda dengan non
union. Pada bagian lain dari wajah, malunion biasanya menyebabkan asimetris. Pada
daerah bola mata, malposisi ini dapat menyebabkan enoftalmitis. Bila dasar rongga
orbita tidak dibentuk dengan baik, bisa juga terjadi hipoftalmus. Deformitas ini
membutuhkan eksplorasi kembali dan penempatan graft. Apabila fraktur naso-etmoid-
orbita tidak direparasi dengan baik, akan terjadi telekantus, meskipun kelainan ini
biasanya tidak tampak. Deformitas akan mulai tampak di kemudian hari.
Non union adalah komplikasi yang lebih berat, jarang terjadi pada wajah
bagian tengah dan atas, tapi sering terjadi pada mandibula. Yang menjadi
penyebabnya adalah adanya pergerakan di lokasi fraktur, dan dapat terkait dengan
adanya infeksi pada gigi. Apabila serpihan fraktur dapat berpindah, pergerakan ini
mengganggu proses penyembuhan tulang dan tampaknya menjadi faktor predisposisi
timbulnya infeksi. Apabila terjadi infeksi, maka bisa terjadi osteomielitis. Hal ini
menyebabkan hilangnya tulang sehingga menyebabkan nonunion. Dan meskipun
infeksi sudah berhasil diobati, bagian yang sembuh hanyalah jaringan fibrosa,
bukannya tulang. Hal ini terjadi apabila cedera mengakibatkan hilangnya tulang.
Pertumbuhan tulang dan jaringan fibrosa sama-sama terjadi. Apabila jaringan fibrosa
tumbuh lebih dahulu, maka sambungan antar serpihan tulang tidaklah kuat, sehingga
ada pergerakan diantara patahan tulang. Kelainan ini disebut pseudoartrosis, oleh
karena bagian ini merupakan suatu sambungan palsu. Kelainan ini pula sering disebut
nonunion, atau nonunion fibrosa. Jika tulang telah distabilkan disekitar bagian ini
dengan menggunakan fiksasi, ada kemungkinan tulang akan sembuh. Bila terjadi
osteitis, maka harus dilakukan debridemen tulang selain dengan menggunakan
antibiotik.
Komplikasi jaringan lunak juga bisa muncul. Yang paling umum adalah
timbulnya bekas luka. Hal ini bisa dicegah dengan resuspensi yang baik pada jaringan
lunak sebelum lukanya menutup sempurna. Malposisi bagian bawah misalnya
ektropion atau entropion dapat terjadi juga. Penanganan harus menghindari timbulnya
luka pada septum orbita, agar tidak terjadi retraksi yang berlebihan selama reparasi.
Jahitan yang dibiarkan 1-2 hari setelah operasi dapat mengurangi terjadinya hal ini.
Disarankan untuk dilakukan masase, setelah minggu pertama, untuk mengurangi
timbulnya bekas luka. Fiksasi sutura subkutan pada ala nasi akan mencegah timbulnya
pelebaran basis ala. Penggunaan insisi koronal juga bisa menyembunyikan luka ini
dengan rambut.
Bagian yang lain juga dapat mengalami kelainan, baik karena trauma atau oleh
karena proses pembedahan. Yang paling ditakuti adalah cedera pada otak dan mata.
Ahli bedah harus berhati-hati dalam melakukan eksplorasi mata. Bisa terjadi cedera
oleh karena tindakan pembedahan pada cabang dari nervus trigeminus. Bisa juga kena
nervus pada supra orbital dan supratroklearis ketika dilakukan flapping di bagian
supraorbita. Saraf pada bagian infraorbita juga bisa terkena. Nervus fasialis paling
beresiko apabila dilakukan tindakan pembedahan, oleh karena itu ahli bedah harus
berhati-hati agar tidak mencederai nervus fasialis. Kelenjar air mata bisa rusak oleh
karena trauma, namun bisa juga oleh karena pembedahan. Kerusakan pada otot diluar
mata dan sarafnya akan menimbulkan diplopia.
Perihal ini membahas keseluruhan dari managemen trauma maksilofasial.
Tindakan ini sangat bergantung pada teknik pembedahan yang dilakukan. Misalnya
pada reparasi primer, hal terpenting adalah penanganan teliti dengan menggunakan
evaluasi CT scan, dilanjutkan dengan perencanaan untuk prosedur yang sulit ini.
Terkadang prostesa dapat digunakan untuk membantu proses rekonstruksi. Meskipun
dengan perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang tepat, ada kemungkinan
juga tidak diperoleh hasil yang maksimal
Batasan baru
Tidaklah mungkin mengetahui dengan tepat bagaimana cedera maksilofasial akan
ditangani di masa depan. Namun beberapa teknologi baru dapat memberi gambaran
dalam mengetahui arah perkembangan yang ada. Penggunaan endoskopi dalam
penanganan tramua pada wajah telah memperbaharui cara ahli bedah dalam
menangani fraktur mandibula dan orbita. Beberapa diantaranya juga telah menerapkan
teknik ini dalam penanganany fraktur yang lebih kompleks, misalnya fraktur zigoma
dan frontal, dan berbagai variasi osteotomi maksilofasial. Perkembangan CT scan dan
teknik navigasi memungkinkan penggunaan teknik operasi perikutan yang lebih
sering dalam perbaikan tulang wajah.
Teknologi yang terus berkembang memungkinkan dilakukan perbaikan untuk
kelainan kongengital, dan juga perbaikan traumatik sekunder, sebagaimana halnya
untuk rekonstruksi pada trauma primer.
Kemajuan dalam pemahaman prinsip biomekanika telah membuat teknik
fiksasi makin berkembang. Penerapan dari teknologi ini memungkinkan penggunaan
materi yang ada dalam menangani seluruh trauma fasial. Ke depan nanti, masalah-
masalah yang muncul saat ini bisa ditangani dengan timbulnya bahan baru.
Pada akhirnya, bahan pengganti tulang dan lem hingga saat ini masih diteliti
dengan ketat. Apabila digabungkan dengan protein yang dapat merangsang
penyembuhan tulang, mungkin saja suatu saat teknologi rekonstruksi akan
memberikan kesempatan bagi ahli bedah untuk melakukan perbaikan dan
pembentukan tulang wajah yang lebih terkontrol.