Anda di halaman 1dari 58

BAB 23

TRAUMA MAKSILOFASIAL
Robert M. Kellman

Point Point Penting :


- Kemampuan memperbaiki fraktur kraniomaksilofasial memerlukan keakuratan
dalam diagnosis dan sebuah rencana perbaikan. Untuk menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan fisik yang baik dan pemeriksaan computed tomography
(CT) scanning resolusi tinggi dengan evaluasi sekurang sekurangnya berupa
axial scan dan coronal scan.
- Cedera cedera lain yang terkait dengan fraktur kraniomaksilofasial harus
dikenali dan ditangani.
- Mandibula sering dievaluasi menggunakan panoramic tomography, namun
pemeriksaan CT-scan bisa menemukan fraktur fraktur yang terlewatkan dengan
pemeriksaan panoramic tomography dan pemeriksaan dengan CT-scan lebih baik
dalam menunjukkan malposisi caput kondilar (condylar head malposition)
- Fraktur fraktur yang ada harus diklasifikasikan dalam : fraktur frontal, fraktus
basal tengkorak, fraktur naso-orbita-etmoid, fraktur dinding orbita, fraktur
zigoma, fraktur maksila dan fraktur mandibula.
- Berkaitan dengan klasifikasi Le Fort
- Pentingnya hal yang berkaitan dengan akses pembedahan. Percobaan dilakukan
untuk meminimalkan cedera pada kulit wajah; sebagai contohnya bagian sepertiga
atas lebih sering diakses melalui sebuah insisi coronal dan mandibula biasanya
diakses melalui pendekatan transmukosa jika hal ini memungkinkan.
- Bagian tulang sepertiga tengah diakses dari atas melalui insisi coronal, dari tengah
melalui insisi orbital dan dari bawah secara trans-oral melalui pendekatan
transmukosa sublabia sampai pemanjangan yang memungkinkan, sehingga
meminimalkan penggunaan pendekatan transkutaneus.
- Pendekatan dengan endoskopik membantu dalam meminimalkan penggunaan
akses pembedahan.
- Perbaikan memerlukan pengertian terhadap prinsip prinsip biomekanik : bagian
sepertiga atas memerlukan perbaikan yang berkaitan dengan kosmetik dan
pemisahan cranial vault pada hidung dan sinus. Fraktur naso-orbita-ethmoid
memerlukan reposisi dari tendon medial canthal. Daerah sepertiga tengah
ditunjang oleh dinding vertikal dan dinding horizontal. Perbaikan pada dinding
dinding ini akan mengembalikan dimensi fasial dan menunjang fungsi yang ada.
- Mandibula mendukung sebagian besar tenaga pada saat proses mengunyah
berlangsung, dan perbaikan mandibula harus melampaui tekanan tenaga ini dalam
fungsinya. Pengembalian oklusi yang sesuai merupakan kunci dalam mereduksi
pemaparan tulang dengan gigi
- Fraktur panfasial adalah fraktur yang paling sulit dan memerlukan sebuah
perencanaan komprehensif untuk memperbaiki fraktur ini
- Fiksasi rigid memungkinkan perbaikan anatomi dan pengembalian secara dini dari
fungsi yang ada, namun hal ini (fiksasi rigid) memerlukan reposisi yang tepat dan
teknik teknik

Istilah trauma maksilofasial secara umum digunakan untuk menunjukkan


keadaan cedera pada tulang wajah dan manejemen terhadapa cedera cedera ini
terkadang harus melalui facial orthopedics. (istilah trauma kraniomaksilofasial
merupakan istilah yang lebih baik karena dinding anterior dan basal fossa cranial
anterior juga termasuk dalam cedera ini). Seperti yang tertulis dalam buku ini, cedera
jaringan ikat / jaringan lunak sering dibahas secara terpisah. Namun demikian,
keakuratan reposisi pada fraktur fragmental skeletal memiliki peranan penting
terhadap estetika wajah dan pengaturan kembali jaringan ikat / jaringan lunak
memiliki dampak yang sama penting dengan reposisi skeletal terhadap dampak
signifikan yang diberikan bagi fungsi fungsi penting seperti penglihatan dan proses
mengunyah. Penempatan insisi dan perpanjangan daerah pembedahan dapat
mempengaruhi tampilan akhir wajah dan fungsi struktur struktur wajah seperti
kelopak mata, bibir dan hidung. Oleh karena itu manajemen yang sesuai pada trauma
maksilofasial memerlukan sebuah pendekatan yang komprehensif. Cedera cedera ini
harus ditentukan oleh dokter yang berpengalaman dan mengetahui percabangan
percabangan pada basal tengkorak, orbita, fasial, sinus, dentoalveolar serta cedera
jalan napas, dan yang paling penting ialah mau untuk berkolaborasi dengan dokter
spesialis lain yang memiliki wilayah kerja yang tumpang tindih (overlapping) dengan
wilayah kerja yang dokter tersebut miliki. Sebagai contohnya, menggabungkan fasial
dan cedera pada tulang tengkorak bagian basal anterior tengkorak, kebanyakan
penanganan terbaik adalah dengan menggabungkan spesialis bedah saraf dan spesialis
bedah kraniomaksilofasial dibandingkan jika ditangani secara terpisah oleh spesialis
spesialis bedah ini. Meskipun bab ini hanya mambahas secara permukaan saja dari
berbagai aspek kompleks dan kontroversial pada manajemen penanganan trauma
kraniomaksilofasial, bab ini selalu mengasumsikan bahwa sebuah penanganan
komprehensif terhadap cedera cedera ini cenderung kompleks dan menantang.
Manajemen penanganan cedera fasial terlah berevolusi secara signifikan
dalam 2 dekade terakhir. Evaluasi terhadap cedera cedera kraniomaksilofasial telah
berubah secara signifikan dengan adanya tambahan pemeriksaan computed
tomography (CT), dimana pemeriksaan ini telah berkembang secara dramatis selama
periode tersebut. CT-scan modern cenderung lebih cepat dan menghasilkan gambar
dengan resolusi yang cukup tinggi sehingga memungkinkan untuk dilakukan
rekonstruksi yang akurat dalam berbagai hasil gambaran pencitraan yang dihasilkan
dan dalam gambaran pencitraan tiga dimensi. Keuntungan keuntungan dari
pencitraan ini telah memberikan tambahan yang besar terhadap pemeriksaan pre-
operatif yang dilakukan oleh dokter, sehingga dokter lebih dapat mengerti keadaan
cedera yang terjadi.
Teknik teknik perbaikan tulang (bone repair techniques) telah berkembang
seiring dengan semakin seringnya digunakan perbaikan menggunakan interosseus
wire dan Adam suspension wiring untuk penggunaan umum pada fiksasi rigid
menggunakan plate dan screw. Banyak fiksasi mandibula dini menggunakan plate
yang besar dengan screw yang memiliki diameter besar, dan saat ini teknik ini telah
banyak digantikan oleh penggunaan teknik yang menggunakan alat yang berukuran
lebih kecil (miniplating) yang dianjurkan oleh Michelet dkk, Champy dkk, dan
pada terknik terbaru seperti yang dianjurkan oleh Ellis. Microplates dan bahkan plate
yang bisa diserap, telah dianjurkan penggunaannya pada perbaikan dari wajah bagian
tengah dan bagian atas, sama halnya pada penggunaan pada fraktur cranial dan
osteotomi. Pengertian terhadap prinsip prinsip biomekanik yang terlibat dalam
perbaikan fraktur fasial dapat menghasilkankan perbaikan yang lebih bisa diandalkan,
baik pada sudut pandang teknologi yang digunakan ataupun pengaplikasiannya.
Meskipun belum tersedia secara luas, keuntungan penggunaan teknik pencitraan
intraoperatif memungkinkan untuk pengembalian ke keadaan semula yang lebih bisa
diandalkan dan lebih akurat pada perbaikan tulang wajah yang kompleks secara tiga
dimensi.
Keuntungan keuntungan dalam teknologi implant (kebanyakan berupa
penggunaan luas titanium mesh, plate dan screw) ialah biokompabilitas yang lebih
baik. Sejauh ini, porous polyethylene implant mampu ditolerir dengan baik dalam
orbitnya, dan implant implant seperti ini bersamaan dengan hydroxyapatite cement
telah menyediakan variasi yang lebih banyak dalam rekonstruksi craniofasial. Bab ini
berfokus pada pembahasan manajemen terhadap perbaikan cedera yang ada, termasuk
evaluasi dan perbaikan primer, namun bab ini juga menyebutkan mengenai
komplikasi komplikasi yang dapat terjadi dan penanganan terhadap hasil jangka
panjang yang tidak memuaskan.

ANATOMI, FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Secara Umum
Saat bentuk dan fungsi menyokong anatomi wajah dan secara umum bentuk
anatomi wajah penting bagi fungsinya, bentuk wajah juga penting untuk fungsi
kosmetik. Pengetahuan terhadap anatomi tulang tulang wajah wajib dibutuhkan
untuk pengertian terhadap mekanisme dan pola pola cedera wajah, namun hal ini
juga penting dalam memilih pendekatan penanganan yang akan digunakan.
Penggambaran anatomi terdapat dalam berbagai buku anatomi dan atlas anatomi;
fokus bahasan yang terdapat dalam bab ini adalah mengenai aspek aspek yang
relevan terhadap cedera yang terjadi dan perbaikannya.
Wajah dapat dibagi kedalam beberapa bagian dimana setiap bagian ini dibagi
berdasarkan struktur anatomi tulang dan jaringan ikat serta organ organ yang
berkaitan dengan wajah. Dari superior ke inferior, daerah tulang frontal umumnya
dianggap sebagai bagian sepertiga atas wajah. Maksila, zigoma dan orbita dianggap
sebagai bagian sepertiga tengah wajah atau disebut midface, dimana hidung juga
termasuk dalam daerah ini. Atau pada pembagian lain, hidung dan kompleks
nasoethmoid dipisahkan menjadi daerah tengah wajah (central face). Mandibula
umumnya dianggap sebagai bagian sepertiga bawah, meskipun pada porsi vertikal
(posterior), perpanjangan mandibula yang melekat secara superior pada basis kranium
berada diatas dari bagian sepertiga bawah wajah.

Bagian Sepertiga Atas


Tulang frontal membentuk kontur dahi. Displaced fractures dapat
mengakibatkan berbagai variasi deformitas, yang paling sering terjadi adalah sebuah
central forehead depression (gambar 23-1). Tulang frontal menghubungkan antara
kranium dan wajah, dan pada tulang frontal terletak beberapa struktur visceral dimana
struktur visceral yang paling penting adalah otak. Keseluruhan sinus sinus frontal
berada dalam tulang frontal (gambar 23-2). Fraktur tulang frontal dapat melibatkan
hanya dinding sinus anterior saja, dalam hal ini fraktur yang terjadi hanya signifikan
pada funsi sinus; ataupun fraktur yang terjadi bisa sampai melibatkan dinding
posterior sinus atau bahkan memanjang sampai di daerah belakang sinus, dimana
dalam hal ini fraktur telah mencapai daerah true skull disebut true skull fracture, dan
keadaan ini memerlukan spesialis bedah saraf. Lingkaran orbita dan atap orbita juga
merupakan bagian dari tulang frontal, oleh karena itu itu fraktur tulang frontal akan
berkaitan dengan orbita dan dapat mempengaruhi fungsi fungsi ocular. Persarafan
supraorbita dan supratoklear yang melewati foramen dalam lingkaran supraorbita
dapat cedera akibat trauna yang terjadi, atau yang lebih sering diakibatkan oleh
manipulasi pembedahan yang dilakukan.

Bagian Sepertiga Tengah


Bagian sepertiga tengah termasuk zigoma, orbita dan maksila, juga termasuk
hidung, dimana hidung dan bagian anteromedial orbita membentuk bagian tengah
wajah (central face). Proyeksi anterior zigoma, malar eminence, atau Prominans
tulang pipi (cheekbone prominences) adalah bagian yang penting dalam
menentukan proyeksi wajah dan kontur wajah. Proyeksi posterolateral yaitu
lengkungan zygoma (zygomaatic arches), berbatasan langsung secara posterior
dengan tulang temporal dan merupakan perlekatan secara superior dari muskulus
masseter. Proyeksi superior dan medial zigoma berkontribusi pada lingkaran lateral
dan inferior dari orbita dan dinding inferolateral orbita. Pergeseran dari bagian
bagian zigoma dapat secara signifikan mengubah posisi bola mata dalam orbita.
Pemanjangan inferomedial zigoma berasal dari lengkungan inferior orbita dan secara
luas bersentuhan dengan maksila, membentuk dinding penunjang lateral yang penting
pada daerah midface (gambar 23-3). Lengkungan superior, medial dan inferior orbita
memanjang secara anterior ke bola mata, lengkungan lateral terletak dengan garis
ekuator bola mata (gambar 23-4). Oleh karena itu, perubahan minor pada posisi
zigoma dapat memberikan sebuah dampak yang signifikan terhadap posisi
anteroposterior bola mata. Enophthalmus adalah komplikasi yang umumnya dijumpai
pada perbaikan yang tidak adekuat atau pada fraktur zigoma yang tidak diperbaiki.
Bagian maksila yang berasal dari lateral zigoma ke bagian medial tulang nasal
membentuk bagian medial dari lengkungan infraorbita dan lantai anterior orbita serta
merupakan penunjang untuk tulang nasal. Keberadaan gigi geligi pada tulang maksila
berperan penting pada proses mengunyah, dan reposisi yang sesuai pada maksila
setelah terjadi trauma di maksila merupakan hal yang penting untuk perbaikan fungsi
oklusi diantara gigi geligi pada maksila dan mandibula.
Maksila juga memiliki persarafan infraorbita, cabang terminal dari nervus V2
yang mempersarafi sensasi rasa pada daerah pipi tengah, hidung sebelah lateral, bibir
bagian atas dang gingiva serta gigi (gambar 23-5). Fraktur fraktur yang terjadi dapat
menekan persarafan ini dan penanganan yang diberikan harus bertujuan untuk
mencegah kerusakan saraf dan jika memungkinkan, dekompresi dilakukan pada saat
perbaikan fraktur dilakukan. Maksila juga memiliki sejumlah sinus, dimana sinus
sinus ini bermuara ke meatus medial pada hidung. Cedera pada traktus aliran sinus ini
biasanya jarang, namun jika terdapat obstruksi pada traktus ini, maka hal ini dapat
mengakibatkan infeksi.

Tulang tulang nasal membentuk proyeksi tulang hidung dan menunjang


kartilago atas sebelah lateral, dimana kartilago ini membentuk katup katup nasal
internal. Karena posisi prominent mereka yang berada pada bagian tengah wajah,
tulang tulang nasal merupakan tulang yang paling sering mengalami fraktur pada
tubuh manusia. Pengembalian fungsi nasal adalah hal yang penting untuk bernapas
dan pelafalan, dimana hal ini juga memiliki dampak yang penting dalam proses
merasakan (mencicipi). Secara kosmetik, tulang tulang nasal juga penting dan
pengembalian kontur nasal yang suboptimal biasanya terlihat secara jelas. Tulang
tulang nasal disokong oleh prosessus frontalis maksila, dimana prossesus frontalis
maksila adalah proyeksi anterior dari bagian superomedial maksila. Kegagalan dalam
mengidentifikasi fraktur yang terjadi pada daerah ini akan mengakibatkan hasil yang
tidak memuaskan pada reduksi fraktur nasal.
Rongga orbita adalah sebuah struktur tulang tulang yang kompleks dengan
kontribusi struktural yang berasal dari multiple tulang wajah dan tulang tengkorak.
Tulang maksila dan tulang lakrimar bersama sama membentuk fossa lakrimalis,
dimana fossa lakrimalis ini adalah muara dari sakulus lakrimalis (gambar 23-6). Batas
anterior (tulang maksila) yang kuat dan batas posterior (tulang lakrimal) yang kuat
menyediakan tempat perlekatan bagi komponen komponen ligament canthal medial.
Perlu diperhatikan bahwa ligament canthal medial memiliki tiga komponen : sebuah
perlekatan anterior, sebuah perlekatan posterior dan sebuah perlekatan superior
(gambar 23-7). Foramen optik secara aktual diarahkan ke lengkung lateral orbita
dibandingkan diarahkan secara langsung ke lengkung anteroposterior. Apeks orbita
yang penting termasuk area lateral sampai ke kanalis optikus, dimana kanalis optikus
ini dilalui oleh nervus kranialis III, IV, V dan VI untuk masuk ke dalam rongga orbita,
dimana bagian ini dianggap sebagai bagian dari fisura orbita superior. Saat muncul
tekanan dari sebuah cedera (tumor, abses, hematom) yang menyebabkan disfungsi
dari saraf saraf ini, hal ini disebut superior orbital fissure syndrome, dimana
keadaan ini memerlukan intervensi pembedahan yang cepat.

Struktur struktur midface biasanya berpasangan dan tulang tulang sentral


dihubungkan pada garis tengah (midline). Tulang nasal dan maksila dihubungkan
secara vertikal dan palatum membentuk jembatan horizontal inferior diantara kedua
maksila. Jembatan horizontal bagian atas dibentuk oleh dasar tulang kranium anterior.
Terdapat hubungan horizontal melalui tulang nasal, namun hubungan ini tidak secara
langsung melewati tulang nasal, karena tulang nasal terletak pada garis superior
terhadap lengkungan infraorbita, dan melewati sphenoid secara posterior. Hubungan
antara berbagai tulang tulang ini penting, tidak hanya untuk posisi anatomi normal
mereka dan perencanaan rekonstruksi, tapi juga untuk mengerti bagaimana
pendistribusian gaya gaya biomekanik terhadap struktur struktur wajah, dimana
hal ini penting dalam perbaikan terhadap struktur yang mengalami fraktur.

Konsep mengenai daerah wajah tengah hanya digunakan jika cedera yang
ada baru terjadi dan istilah ini merujuk pada trauma terhadap solid nasal root yang
ditransmisikan secara posterior sehingga menghasilkan sebuah teleschoping injury.
Keadaan ini memiliki berbagai sebutan, antara lain : naso-orbital fractures, fracture
of the ethmoids, nasoethmoid complex (NEC) fracture dan istilah yang paling terbaru
ialah naso-orbital-ethmoid (NOE) fracture. Hal ini adalah fraktur yang penting secara
klinis, namun diperlukan paradigma yang lebih besar untuk memahami bagaimana
cedera fasial ini bisa muncul dan bagaiman wajah dirancang untuk menyediakan
perlindungan maksimum bagi struktur struktur penting sehingga dapat bertahan
pada manusia.
Hidung merupakan struktur penting bagi jalan napas, proses penciuman dan
segi kosmetik, namun hidung lebih tidak terlalu penting dalam tubuh manusia jika
dibandingkan dengan fungsi penglihatan atau fungsi serebral. Glabelar padat dan
tulang dasar nasal tidak hanya melindungi lempengan kribiformis yang terletak
dibawahnya, tapi juga berperan sebagai bagian pertama yang menerima dampak
cedera pada daerah tengah wajah. Karena tulang nasal dan prosessus frontalis maksila
dilindungi oleh lamina papyracea tipis dari tulang tulang ethmoid. Nervus optikus
dilindungi dalam bantalan lemak orbita sampai pada foramen optikus dan pada daerah
yang lebih posterior dilindungi oleh lapisan tulang tipis dari sayap sphenoid saat
nervus optikus memasuki kanal tulang.
Konsep yang sama ini cenderung diaplikasikan ke aspek aspek lain pada
anatomi skeletal wajah. Bola mata cenderung dilindungi pada cedera langsung oleh
tulang tulang tipis pada dasar rongga orbita dan dinding dinding medial, hal ini
mengapa blowout fracture lebih sering terjadi dibandingkan ruptur bola mata. Mirip
dengan hal ini, wajah sendiri berfungsi sebagai sebuah shock absorber bagi cavitas
kranial, sehingga frekuensi dan tingkat keparahan cedera otak dapat dibatasi.
Akhirnya, teori ini telah menyediakan sebuah penjelasan terhadap keberadaan sinus
sinus paranasal yang memberikan keuntungan pertahanan : bahwa sinus sinus ini
berperan sebagai pengumpulan pada wajah, sehingga memungkinkan energi untuk
dihamburkan sebelum energi dari trauma mencapai mata dan otak. Jadi keseluruhan
struktur wajah telah dirancang untuk berkembang dan menyediakan perlindungan
untuk pertahanan terhadap organ organ yang penting (tabel 23-1).
Bagian Sepertiga Bawah
Mandibula secara umum dianggap sebagai bagian sepertiga bawah dari
struktur wajah. Bagian ini terdiri dari gigi geligi pada mandibula, dimana gigi geligi
ini berhubungan dengan gigi geligi pada maksila untuk proses mengunyah. Tidak
seperti bagian sepertiga tengah wajah yang terfiksasi pada tulang tengkorak,
mandibula cenderung lebih banyak bergerak (mobile) dan berayun, melekat pada
basal tulang tengkorak melalui dua titik perlekatan yang simetris bilateral. Perlekatan
terletak pada temporomandibular joints (TMJ). Formasi mandibula terlihat seperti
tulang yang berbentuk tapal kuda yang menggantung pada tempat yang padat yaitu
tulang tengkorak, sehingga mandibula dirancang dengan baik untuk menyerap
dampak gaya dari trauma yang ada dibandingkan untuk mentransmisikan gaya dari
trauma tersebut ke bagian pada dasar fossa tengah, dan oleh karena itufraktur
mandibula multipel yang dikarenakan oleh dampak gaya tunggal biasanya jarang
terjadi. (Trauma mandibula yang mengakibatkan cedera pada basal tulang tengkorak
dapat terjadi dan caput kondilar mandibula sangat jarang untuk bisa masuk ke dalam
fossa glenoid, dimana fossa glenoid ini adalah muara dari artikulatio kartilago pada
tempat sendi dan keseluruhan fossa tengah, namun cedera seperti ini sangat jarang
terjadi). Fraktur pada ramus vertikal (berbeda dengan perluasan fraktur pada
subkondilar) biasanya jarang terjadi, hal ini mungkin dikarenakan efek efek
protektif dari pergerakan otot yang disediakan oleh otot otot mengunyah, dimana
keseluruhan otot otot untuk mengunyah ini melekat pada bagian rami vertikal.
Muskulus masseter yang kuat melekat secara luas pada permukaan inferolateral
ramus, sedangkan muskulus pterigoideus melekat pada permukaan medial. Muskulus
temporalis melekat pada prosessus koronoid, sebuah pemanjangan secara superior
dari ramus anterior. Regio sudut mandibulamuncul pada daerah posterior dari
perlekatan gigi geligi ke mandibula dan daerah ini merupakan daerah yang sering
mengalami fraktur. Fraktur pada daerah ini sering berasal dari perluasan fraktur pada
daerah yang tipis dimana molar tiga melekat. Keberadaan molar tiga cenderung
mempertipistulang secara superior dan tegangan dari pergerakan otot dapat membebat
area ini, mengakibatkan sebuah break point alamiah. Fraktur yang terjadi pada daerah
ini biasanya lebih sulit untuk distabilkan dan perbaikan yang dilakukan cenderung
mengakibatkan komplikasi lebih lanjut (dibahas nanti). Seperti yang telah diketahui
bahwa mandibula menjadi lebih tipis pada daerah dimana terdapat perlekatan gigi.
Dari gigi taring sampai ke sudut dari korpus mandibula terdapat 2 gigi premolar dan
tiga gigi molar. Aspek unik lainnya yang dimiliki oleh anatomi mandibula ialah
keberadaan nervus alveolar inferior, sebuah percabangan ketiga dari nervus
trigeminus, nervus alveolar inferior memasuki mandibula pada lingula dan berjalan
dibawah akar gigi yang dipersarafinya serta keluar padaforamen mental sebagai
nervus mentalis. Penting untuk diingat pada saat memperbaiki fraktur mandibula
bahwa foramen mental tidak secara umum mewakili kebanyakan posisi inferior dari
nervus, dan harus diperhatikan pada saat penempatan hardware pada mandibula yaitu
pada korpus mandibula yang terletak dibelakang foramen mental.
Sebuah klasifikasi skema perbaikan fraktur mandibula yang umumnya ada
ialah berdasarkan penggunaan istilah favorable dan unfavorable. Namun demikian
skema ini tidak memiliki pengaruh pada pemilihan manajemen perbaikan yang akan
dipilih. Penting juga untuk terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada mandibula
berdasarkan usia dan kehilangan gigi. Saat orang kehilangan gigi, tekanan normal
pada gigi teralihkan secara signifikan dan remodeling cenderung berakibat atrofi
bagian alveolar pada tulang. Atrofi pada daerah tempat melekatnya gigi di mandibula
cenderung terjadi dari atas ke bawah, sehingga mengakibatkan nervus alveolar
inferior semakin dekat ke permukaan oral; pada kasus yang ekstrim, maka nervus
alveolar inferior dapat berada pada bagian atas tulang mandibula. Sebagai tambahan,
aterosklerosis yang timbul pada arteri alveolar inferior akan membatasi suplai darah
ke tulang yang menjadi tipis karena atrofi. Hal ini memiliki dampak yang signifikan
pada perbaikan dari fraktur fraktur ini.
Fraktur pada segmen segmen alveolar, fraktur pada gigi dan avulsi gigi tidak
termasuk pada bahasan dalam bab ini.
Pengetahuan mengenai anatomi dasar gigi dan kemiripan antara hubungan
oklusi gigi geligi yang normal dan yang tidak normal adalah penting bagi siapa saja
yang akan menangani fraktur pada tulang wajah yang memiliki perlekatan gigi geligi
pada tulang tersebut. Pada orang dewas normal, gigi yang lengkap adalah 32 gigi,
dimana terdapat 8 gigi pada setiap kuadran di mandibula dan maksila. Penomoran gigi
yang umumnya berlaku di amerika adalah dari 1 sampai 32, dimana penomoran ini
dimulai dari maksila sebelah kanan pada molar tiga (nomor 1) berlanjut terus sampai
pada maksila sebelah kiri di molar tiga (nomor 16), pada mandibula kiri yaitu di
molar 3 diberikan nomor 17 dan kemudian penomoran berlanjut sampai molar 3 di
mandibula kanan (nomor 32). Permukaan dental mengandung cusps untuk
mengunyah dan memiliki alur diantara cusps dan pada gigi gigi yang memiliki
multipel cusps, alur ini diidentifikasi berdasarkan posisi mereka sebagai mesial
(menghadap ke insisifus), distal (menghadap ke arah maksilla), bukal (menghadap ke
pipi) dan lingual (menghadap ke lidah). Oklusi adalah sesuatu yang kompleks dan
memiliki banyak aspek, namun sebuah hubungan normal molar didefinisikan oleh
sebuah sudut yang dibentuk oleh cusps mesiobukal pada molar pertama di maksila
yang akan terletak dalam alur mesiobukal di dalam molar pertama yang terletak di
mandibula. Insisifus maksila harus melewati insisifus mandibula secara vertikal,
dimana hal ini didefinisikan sebagai sebuah keadaan menggigit yang berlebihan
(gambar 23-8).

EVALUASI DAN DIAGNOSIS


PEMERIKSAAN FISIK
Walaupun CT-scan berperan besar dalam mendiagnosis trauma maksilofasial,
terdapat beberapa aspek penting pada cedera wajah yang bisa diperiksa melalui
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fisik yang baik adalah cara terbaik untuk
memeriksa aspek aspek penting ini.
Yang pertama dan yang paling penting ialah pemeriksaan fisik untuk menilai
ABC dan keadaan keadaan lain yang berpotensi mengancam hidup pasien. Trauma
wajah dapat berhubungan dengan cedera primer jalan napas pada laring atau trakhea,
atau bisa terjadi obstruksi pada jalan napas yang secara sekunder diakibatkan oleh
pembengkakan pada cavitas oral dan/ataufaring ataupun obstruksi dikarenakan darah.
Memastikan jalan napas napas aman mungkin memerlukan tindakan intubasi atau
trakheostomi dan keadaan vertebra servkalharus selalu diperhatikan. Saat tidak terjadi
perdarahan, gunakan pemeriksaan endoskopi fiberoptic yang memungkinkan
dilakukan intubasi tanpa manipulasi pada leher (berupa ekstensi pada leher). Metode
lain yang tersedia ialah penggunaan lighted stylet dan intubasi retrograde, atu
menstabilkan jalan napas secara temporer dengan menggunakan laryngeal mask
airway. Jika diperlukan, maka dapat dilakukan krikotiroidektomi, meskipun jika bisa,
pemilihan penggunaan trakheotomi lebih dipilih.
Kebanyakan perdarahan berat berasal dari hidung dan sinus dan hal ini bisa
ditangani dengan pemberian tampon tanpa packing. Namun demikian, laserasi yang
terjadi pada arteri karotis interna pada basal tengkorak memerlukan angiografi dan
balloon technique secepatnya, meskipun pasien pasien yang mengalami keadaan
seperti ini jarang yang bisa bertahan. Cedera saraf yang terjadi tentu saja harus
diperiksa oleh spesialis bedah saraf, karena cedera saraf yang terjadi bisa saja juga
mengancam hidup.
Meskipun cedera yang terjadi bisa tidak mengancam hidup, kondisi
penglihatan harus dievaluasi secepatnya, karena kehilangan penglihatan yang
progresif biasanya mengindikasikan adanya peningkatan tekanan bola mata atau
adanya cedera nervus optikus dan intervensi dini terhadap hal ini perlu dilakukan
untuk mengamankan penglihatan.
Kualitas pemeriksaan fisik pada variasi struktur struktur wajah tergantung
pada lamanya waktu yang terjadi semenjak cedera sampai pada saat pemeriksaan
dilakukan, tergantung pada jumlah pembengkakan yang telah terjadi, tergantung pada
ada atau tidaknya hematoma dan tergantung pada ada atau tidaknya alat alat
perawatan yang terpasang seperti packing, tube pernapasan dan cervical collar pada
saat dilakukan pemeriksaan. Penampakan wajah secara umum adalah hal yang
pertama dinilai, carilah cedera cedera penetrasi dan laserasi jika ada, pada saat yang
bersamaan juga mencari apakah terdapat kemungkinan adanya corpus alienum.
Fungsi saraf harus dievaluasi per divisi dan kemungkinan adanya kebocoran cairan
serebrospinal, rinorhea dan otorhea harus dipertimbang jika terjadi pengeluaran
cairan. Jika pasien kooperatif, maka pemeriksaan nervus cranial secara menyeluruh
harus dilakukan. Jika terdapat laserasi, maka pemeriksaan secara steril pada luka
dapat menyediakan informasi yang cukup mengenai keadaan tulang dibawah luka.
Jika terdapat cedera parsial yang berat seperti herniasi otak yang terjadi melalui luka,
maka keadaan ini harus segera dilakukan pembedahan.

Bagian Sepertiga Atas


Pada bagian sepertiga atas wajah, pada dahi diperiksa fungsi sensasi dan
fungsi motorik. Pada beberapa kasus, fraktur yang terjadi pada daerah ini dapat
tampak jelas oleh mata seperti fraktur depress (lihat gambar 23-1) atau fraktur step-off
yang bisa teraba, meskipun fraktur fraktur tipe ini kebanyakan bisa terlihat pada
pemeriksaan CT-scan.

Bagian Sepertiga Tengah


Seperti yang telah diketahui, bagian sepertiga tengah wajah memiliki
bermacam macam struktur. Dari berbagai struktur ini, mata adalah struktur yang
paling penting. Penglihatan harus segera dinilai secepatnya karena kehilangan
penglihatan yang progresif memerlukan penanganan secepatnya. Pemeriksaan dengan
cahaya kecil dilakukan untuk memngevaluasi respon pupil, dimana pemeriksaan ini
bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar. Kegagalan respon pupil dapat
mengindikasikan adanya cedera pada sistem afferent (saraf optikus) atau pada sistem
efferent (saraf kranial III dan/atau ganglion siliaris), ataupun lain ini dapat
mengindikasikan adanya kondisiintrakranial yang lebih serius. Keadaan ini harus
segera dievaluasi bersamaan oleh spesialis bedah saraf dan spesialis mata.
Pemeriksaan CT-scan dapat digunakan untuk menilai asal cedera dan perluasan
cedera. Terdapat beberapa cedera signifikan lainnya namun disfungsi yang terjadi
hanya sedikit serius yaitu keterbatasan pengerakan bola mata baik dengan atau tanpa
diplopia. Pemeriksaan dengan menggunakan tonometri juga dapat digunakan untuk
menentukan apakah terdapat peningkatan tekanan bola mata pada pasien pasien
yang memiliki keterbatasan pergerakan bola mata. Posisi bola mata harus dinilai baik
melalui posisi anteroposterior (enopthalmus vs proptosis) maupun melalui posisi
vertikal. Enopthalmus dapat diidentifikasi secara klinis, baik dengan mengenali posisi
bola mata yang terletak lebih posterior atau terkadang terletak lebih dalam pada
lengkungan orbita. Khemosis dan perdarahan subkonjungtiva juga ekimosis periorbita
merupakan tanda tanda petunjuk adanya cedera orbita. Meskipun tidak diterima
secara mendunia, jika terdapat sebuah fraktur periorbita sebaiknay pemeriksaan oleh
spesialis mata harus dilakukan sebelum perbaikan dilakukan, karena adanya keadaan
cedera pada retina merupakan kontraindikasi pembedahan untuk perbaikan.
Malposisi zigoma dapat terlihat oleh mata ataupun dapat teraba, namun jika
terdapat pembengkakan yang luas, hal ini sulit untuk terlihat ataupun teraba. Hal yang
sama juga berlaku pada fraktur nasal. Septum nasal harus bisa terlihat, karena
hematoma septal yang dapat terjadi harus di-drainase sebelum mereka menyebabakan
nekrosis pada karilago septum. Sebuah pemeriksaan yang teliti pada hidung dapat
menemukan juka ada atau tidaknya trauma pada kartilago yang berada diatas dan
kartilago lateral, dimana hal ini dapat mengakibatkan hilangnya penunjang katup
nasal. Mati rasa pada pipi dan hidung lateral (cedera nervus V2) dapat menjadi satu
satunya indikasi adanya fraktur zigoma dan hal ini harus membuat dokter waspada
dan melakukan pemeriksaan CT-scan.
Telescoping fractures pada hidung, sitem lakrimasi dan tulang ethmoid
(disebut fraktur NEC atau fraktur NOE) memerlukan pemeriksaan yang hati hati
pada hubungan canthal medial karena bahkan pada pemeriksaan yang teliti, hal ini
pun bisa terlewatkan. Saat terjadi avulse menyeluruh pada ligament canthal (dimana
hal ini biasanya jarang terjadi) atau jika terjadi pelepasan ligament dari tempat dimana
ligament ini melekat pada tulang (hal ini lebih sering terjadi), maka ligament canthal
medial secara perlahan akan tertarik keluar dari posisi normalnya. Ligament canthal
medial ini cenderung tergeser ke lateral, anterior dan inferior, meskipun begitu
pergeseran yang terjadi ini cenderung bertahap dan dapat tidak terdeteksi pada fase
akut. Kedua sisi harus sama dan jarak intercanthal harus kira kira sama dengan
lebar horizontal palpebra. Hal ini juga digambarkan sebgai setengah dari jarak
interpupilaris (gambar 23-9). Adanya pemendekan pada panjang dorsal hidung dan
perkembangan lipatan epicanthal merupakan tanda petunjuk lainnya. Akhirnya,
sebuah tarikan langsung pada ligament canthal medial harus dilakukan untuk menilai
kekuatan perlekatan ligament. Sebuah pemeriksaan bimanual harus dilakukan dengan
menggunkan sebuah instrument dalam hidung dan sebuah jari pada daerah canthal
medial dapat dicoba, dimana teknik ini direkomendasikan oleh Paskert dan Manson
untuk dilakukan. Evaluasi pada sistem lakrimasi umumnya diperlukan untuk
pembedahan.
Pergeseran maksila umumnya dievaluasi berdasarkan tingkatan pertumbuhan
gigi. Sebuah perubahan pada oklusi penderita sebelum terjadinya cedera dan setelah
terjadinya cedera mengindikasikan adanya satu atau lebih fraktur tulang tulang yang
menyanggah gigi. Tentu saja evaluasi yang pertama dilakukan adalah pada gigi.
Disamping gigi yang tanggal, pemeriksaan pada gigi yang ada ialah pada mobilitas
segmen alveolar pada tempat dimana mereka tertanam. Pergerakan dari seluruh
segmen midface mengindikasikan fraktur midfacial, dimana kebanyak fraktur ini akan
muncul setinggi maksila. Pemisahan kraniofasial murni pada Le Fort III tanpa adanya
fraktur midfacial bawah (maksila) merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi.
Yang lebih penting dari sekedar mengidentifikasi tingkat cedera fraktur midfacial
pada pemeriksaan klinis ialah menemukan bukti adanya fraktur tersebut, dimana hal
ini merupakan indikasi untuk dilakukan perbaikan sesegera mungkin dan juga
memerlukan pemeriksaan CT-scan sesegera mungkin untuk mengidentifikasi semua
tingkatan yang terlibat pada fraktur yang terjadi. Secara umum jika gigi dan alveolar
intak dan bagian maksila yang terletak diatas gigi seri dapat digoyangkan, hal ini
mengidentifikasikan adanya pergerakan yang berhubungan nasal root ataupun dengan
tulang tengkorak diatasnya. Perlu diperhatikan bahwa pada kondisi tidak adanya
pergerakan maksila pada kondisi seperti diatas, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada
fraktur karena segmen yang terkena fraktur bisa saja tidak mobile. Pemeriksaan pada
palatum dapat juga membantu dalam menemukan adanya bukti fraktur dan tidak
jarang juga ditemukan adanya mukosa yang terlepas sepanjang jalur fraktur palatum.

Bagian Sepertiga Bawah


Mandibula harus dievaluasi mengenai sensitivitasnya, mukosa yang bisa
terlepas sepanjang gingiva dan mobilitas fragmen. Pemeriksaan pada ramus vertikal,
pada sisi yang mengalami deviasi, pada kontak prematur di molar dan adanya sebuah
kondisi anterior open bite, semua hal ini dapat menjadi indikasi adanya fraktur
subkondilar. Fraktur subkondilar bilateral dapat nampak jika hanya terdapat anterior
open bite dan kontak prematur molar. Penting untuk menilai sensasi dari distribusi
nervus mental karena mati rasa post operasi merupakan hal yang tidak jarang terjadi,
sehingga hal ini bisa terdekteksi hanya jika dilakukan pemeriksaan mengenai
distribusi sensasi nervus mental pre operasi, akan susah untuk menentukan apakah
mati rasa yang terjadi disebabkan oleh cedera atau oleh operasi jika tidak dilakukan
penilaian pre operasi. Gigi pasien harus diperiksa untuk menilai apakah ada fraktur
atau cedera lainnya seperti intrusi, subluksasi dan avulse. Konsultasi dengan dokter
gigi hanya dilakukan jika spesialis bedah plastik atau spesialis bedah kepala leher
merasa nyaman untuk melakukan penanganan terhadap kondisi ini.

EVALUASI RADIOLOGI
Dengan beberapa kondisi pengecualian, CT-scan telah mampu mengantikan
jenis pencitraan radiologi lainnya yang digunakan untuk menilai cedera cedera
kraniomaksilofasial. Karena tingginya ketersediaan kecepatan modern yang tinggi dan
tingginya resolusi CT-scan, kebanyakan spesialis bedah maksilofasial telah
mengabaikan foto polos pada tulang wajah atas dan tengah bahkan pencitraan ini
tidak lagi dilakukan sekalipun hanya untuk screening. Sejumlah bayangan yang
tumpang tidih dapat menybabkan tidak teramatinya fraktur yang ada, dimana pada
pemeriksaan dengan CT-scan hal ini dapat ditemukan dengan lebih mudah.
Pengecualian yang ada ialah untuk fraktur nasal sederhana (simpleks) (simpleks disini
berarti tanpa adanya bukti keterlibatan tulang wajah yang lain), dimana pada keadaan
ini penilaian yang rutin digunakan adalah dengan menggunakan foto polos.
Pengecualian lainnya ialah penggunaan 6-footAP Caldwell view untuk menciptakan
suatu gambaran yang akan digunakan dalam menciptakan osteoplastic frontal sinus
bone flap.
Secara umum, bidang pada CT-scan (axial vs coronal) memciptakan
perbedaan dalam bagaimana suatu fraktur dapat terlihat secara spesifik. Ditemukan
bahwa orientasi axial merupakan orientasi terbaik untuk visualisasi pada kebanyakan
fraktur frontal, sama halnya dengan visualisasi terbaik yang bisa dilakukan pada
fraktur NOE dan menilai lengkungan zigoma dan dinding dinding vertikal orbita.
Orientasi coronal lebih digunakan dalam menilai dasar orbita dan lempengan
pterigoid. Secara umum seperti yang sudah bisa diperkirakan, struktur struktur
vertikal lebih baik jika dinilai dengan orientasi scan axial dan struktur struktur
horizontal lebih baik jika dinilai dengan orientasi scan coronal. Juga ditemukan bahwa
CT-scan yang dilakukan dengan resolusi yang kurang dari 1.5 mm sebaiknya tidak
digunakan dalam membuat rekonstruksi tiga dimensi, karena algoritma fill-in yang
digunakan oleh program komputer akan menciptakan terlalu banyak kesalahan
interpretasi. Secara umum, rekonstruksi tiga dimensi akan menciptakan sebuah
gambaran menyeluruh yang dapat membantu spesialis bedah dalam
memvisualisasikan keseluruhan struktur wajah; namun rekonstruksi tiga dimensi ini
juga dapat mengandung sejumlah potensi tidak akurat yang tidak nampak pada proses
CT-scan yang dilakukan secara langsung.

Bagian Sepertiga Atas


Untuk fraktur frontal, sebuah CT-scan axial dengan resolusi tinggi akan
memberikan informasi yang baik mengenai dinding anterior dan dinding posterior
(gambar 23-10). Namun pada keadaan terdapat fraktur pada dinding saat posterior,
tidak mungkin untuk menentukan secara signifikan densitas jaringan ikat yang berada
dalam sinus. Saat terjad pergeseran pada dinding posterior (tanpa memperdulikan
tingkat pergeseran yang terjadi) dan terdapat densitas jaringan ikat dalam sinus, saya
merekomendasikan agar isi dalam sinus bisa divisiualisasikan (baik secara langsung
ataupun dengan penggunaan endoskopi) (kami memiliki pengalaman yang lebih
daripada satu kali dalam penggunaan endoskopi dalam sebuah sinus yang memiliki
pergeseran minimal pada dinding posteriornya dan tidak ditemukan ada kebocoran
cairan serebrospinal yang menunjukkan herniasi jaringan otak ke dalam sinus).
Pergeseran fraktur dinding anterior yang memerlukan perbaikan biasanya ditemukan
dalam pemeriksaan dengan CT-scan, bahkan jika tidak terdapat bukti klinis adanya
deformitas kosmetik. Perluasan fraktur ke dalam dasar fossa anterior paling baik
dievaluasi dengan menggunakan CT-scan resolusi tinggi.
Bagian Sepertiga Tengah
Simple orbital floor blowout fracture paling baik untuk dinilai melalui coronal
CT scanning. Namun jika terdapat kecurigaan adanya perluasan fraktur ke dalam
dinding medial, sebuah axial CT-scan (atau sebuah rekonstruksi dari orientasi coronal
ukuran 1.0 mm atau 1.5 mm) harus dilakukan (gambar 23-11). Sebagai tambahan,
untuk penilaian orbita yang akurat, Schubert merekomendasikan penggunaan
rekonstruksi para-sagital dalam bidang penampang nervus optikus (yang biasanya
melintang pada orbita dari posteromedial ke anterolateral, sehingga posisi ini bukan
sebuah bidang sagital sejati)

Penilaian akurat pergeseran dinding orbita memungkinkan spesialis bedah


untuk dapat mengantisipasi adanya keadaan enopthalmus yang biasanya terjadi jika
fraktur yang ada tidak diperbaiki. Penilaian yang akurat ini tidak hanya membantu
dalam menentukan perluasan perbaikan yang diperlukan tapi juga apakah perbaikan
diperlukan secara menyeluruh. Evaluasi CT-scan pada kanalis optikus dan apeks
orbita memiliki peranan penting dalam menentukan ada atau tidaknya neuropati
kranial yang berhubungan dengan daerah ini. Kehilangan penglihatan yang
dikarenakan trauma memerlukan analisis CT-scan orbita secepatnya saat hal ini
mungkin untuk dilakukan, karena sebuah cedera yang reversible yang menyebabkan
konstriksi pada daerah apeks dapat diidentifikasi.
Mengingat bahwa fraktur fraktur pada zigoma dapat divisualisasikan pada
foto polos, penilaian yang akurat mengenai pergeseran yang terjadi dapat dianalisis
dengan cara terbaik menggunakan CT-scan. Keadaan lengkungan zigoma dapat
dievaluasi pada foto polos (disebut bucket-handle view). Meskipun pencitraan ini
adekuat untuk simple zygomatic arch fractures (tanpa keterlibatan bagian malar pada
zigoma), kebanyakan fraktur zigoma melibatkan perubahan tiga dimensi yang
kompleks dalam posisinya dimana keadaan ini sama halnya dengan melibatkan
dinding dinding orbita lateral dan inferior dan pada kondisi ini, CT-scan adalah
pilihan pencitraan yang paling baik dalam menilai keadaan keadaan sepereti ini.
Axial CT-scan dapat menunjukkan pergeseran posisi dari lengkungan zigoma yang
dapat tidak terlihat pada keadaan trauma dengan dampak yang besar pada arah
anteroposterior. Perbandingan secara teliti pada lengkungan zigoma yang
kontralateral merupakan hal yang penting, dimana terdapat bentuk yang mirip dengan
bentuk normal lengkungan zigoma, dimana bentuk normalnya lebih mendatar pada
sisi anterior dan hal ini tidak berarti mewakili sebuah lengkungan konveks sejati
zigoma.
Pergeseran pada frakturk maksila umumnya dapat ditemukan dengan
menggunakan axial CT-scan. Axial CT-scan juga dapat menunjukkan fraktur yang
terjadi yang melewati lempengan pterigoid, dimana hal ini dapat membantu dalam
menentukan tipe fraktur Le Fort. Namun komponen komponen horizontal dari
fraktur ini divisualisikan paling baik pada coronal CT-scan (dan juga dapat diperoleh
rekonstruksi tiga dimensi dari coronal CT-scan).
Bagian Sepertiga Bawah
Tidak seperti bagian sepertiga atas dan sepertiga tengah wajah, untuk
mandibula kebanyakan spesialis bedah lebih memilih radiografi polos atau lebih
sering menggunakan panoramic tomography dan bahkan sering menggunakan kedua
teknik pencintraan ini sebagai pilihan mereka. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa radiografi dengan menggunakan film adalah lebih baik dibandingkan dengan
menggunakan CT-scan dalam pencitraan mandibula, namun dalam perbandingan
dengan CT-scan dalam beberapa penelitian ini, yang digunakan ialah CT-scan dengan
resolusi potongan 3 mm. Wilson dkk menemukan bahwa pemeriksaan tambahan
berupa axial CT-scan pada 39 pasien yang memiliki fraktur mandibula dapat
menunjukkan jika ada atau tidaknya dua parasymphyseal fracture dan pada 15 kasus
dapat ditemukan adanya pergeseran yang luput pada pencitraan dengan panoramic
tomography. Namun pemeriksaan CT-scan juga luput dalam mendeteksi fraktur
mandibula posterior, jadi kedua pencitraan ini diperlukan untuk memaksimalkan
informasi yang bisa diperoleh. CT-scan dengan resolusi potongan 3.00 mm sampai
5.00 mm pernah digunakan, dan pemeriksaan CT-scan dengan resolusi potongan ini
dinilai sebagai pencitraan yang memiliki sensitivitas buruk diantara serangkaian CT-
scan berdasarkan resolusi potongan CT-scan. Mempertimbangkan perbedaan biaya
pada pencitraan dengan menggunakan panoramic tomography dan menggunakan CT-
scan, hal ini masih belum bisa membantu dalam memperjelas apakah standar
pemeriksaan untuk evaluasi mandibula akan diubah atau tidak. Lee menyarankan
penggunaan coronal CT-scan dengan rekonstruksi tiga dimensi sebagai prosedur yang
dipilih untuk menilai posisi fragmen proksimal pada fraktur subkondilar mandibula.
Lebih lanjut Lee menganjurkan sebuah CT-scan post operasi untuk memastikan
bahwa reduksi yang dilakukan adekuat setelah dilakukan perbaikan menggunakan
endoskopi. Penangan ini jelas memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan
dengan menggunakan radiografi Townes view, dimana pencitraan Townes view
biasanya digunakan untuk memilhat posisi fragmen kondilar.

PENANGANAN
Umum
Sekali cedera telah berhasil diidentifikasi, sebuah perencanaan manajemen
untuk menangani cedera tersebut harus ditetapkan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa sebuah konsultasi yang baik harus dilakukan dan jika diperlukan,
konsultasi yang dilakukan dapat juga dimasukkan dalam proses pelaksanaan
manajemen terapi sehingga perencanaan manajemen terapi menjadi suatu
perencanaan yang komperhensif.
Kebanyakan menganggap bahwa karena kebanyakan cedera maksilofasial
diakibatkan kontaminasi yang terjadi karena hubungan diantara hidung, sinus sinus
dan/atau kavitas oral, maka penggunaan terapi antibotik harus dimulai sejak pasien
pertama kali dating. Sebuah penelitian prospektif oleh Chole dan Yee menunjukkan
terdapat beberapa manfaat dari tipe pengobatan seperti ini. Umumnya antibiotik yang
sensitif terhadap organisme organisme oral seperti penisilin, sefalosporin ataupun
klindamisin merupakan jenis antibiotik yang dipilih. Masih belum jelas berapa lama
waktu pemberian antibiotik ini, namun kebanyakan antibiotik ini umumnya tetap
diberikan sampai 24 jam setelah pembedahan, meskipun begitu pada beberapa
keadaan antibiotik diberikan untuk periode yang lebih lama.
Sebuah masalah yang diperdebatkan karena banyaknya pendapat pendapat
mengenai hal tersebut ialah pemilihan waktu untuk dilakukan pembedahan. Pada
pembahasan terdahulu mengenai fraktur mandibula, dikatakan bahwa penundaan
dalam pelaksanaan pembedahan akan meningkatkan infeksi. Namun semenjak adanya
manfaat dari penggunaan terapi antibiotik profilaksis, pernyataan ini nampaknya tidak
benar. Kebanyakan spesialis bedah menyarankan bahwa proses pembedahan harus
ditunda sampai pembengkakan teratasi sehingga keadaan asimetris wajah dapat dinilai
lebih baik daripada saat pembengkakan di wajah masih terjadi. Namun di sisi lain,
karena fraktur yang ada bisa dinilai dengan menggunakan pemeriksaan CT-scan,
maka alasan yang disampaikan tersebut mungkin tidak relevan, sebagian dikarenakan
perluasan jaringan ikat yang terpapar akan tetap mengakibatkan pembengkakan juga.
Argumen yang lebih baru dan lebih meyakinkan menyatakan bahwa melukai kembali
jaringan ikat yang telah mengalami penyembuhan setelah fase akut dapat
mengakibatkan kelenturan menjadi sedikit dan memberikan hasil yang kurang
memuaskan pada perbaikan, meskipun argumen ini cenderung teoritikal dibandingkan
pembuktian. Tentu saja secara logika intervensi dini untuk mengembalikan jaringan
keras dan jaringan lunak ke posisi anatomi normal mereka akan memberikan manfaat.
Namun hal ini tidak jarang dipertimbangan pelaksanaannya, khususnya pada trauma
berat, dimana pasien sedang distabilkan dari cedera yang mengancam nyawa, dan
ancaman terhadap hidup pasien yang menjadi prioritas penanganan. Namun demikian
tingkat urgensi tetap menjadi pilihan perorangan

Akses Pembedahan
Pengunaan yang cukup sering dari teknik pendekatan peluasan akses telah
menuntun pada sebuah pengertian yang lebih baik terhadap pola pola fraktur dan
kompleksitas pada reduksi dan fiksasi yang dilakukan. Penggabungan menggunakan
teknik fiksasi rigid dan pembebasan menggunakan bone graft dalam memperbaiki
tulang wajah telah menjadi teknik yang lebih dapat diandalkan dan kebutuhan
terhadap fiksasi maksilomandibular post operasi (maxilomandibular fixation - MMF)
dan trakheostomi bisa diminimalkan. Namun demikian terdapat juga banyak kerugian
pada teknik dengan pemaparan yang luas ini dan keadaan asimetris wajah masih bisa
terjadi setelah dilakukan reduksi skeletal yang baik. Hal ini berhubungan dengan
masalah penyembuhan jaringan lunak yang menyebabkan spesialis bedah untuk
mencari pemilihan teknik yang lebih terbatas daerah pemaparannya namun tetap
memungkinkan mereka untuk melakukan reposisi tulang secara tepat.
Terdapat juga tantangan lain dalam pembedahan kraniomalsilofasial yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan insisi langsung pada kebanyakan fraktur, hal ini
dikarenakan akan memunculkan jaringan parut yang tidak bisa diterima pada daerah
wajah dan kemungkinan terjadi cedera nervus fasialis. Insisi yang dilakukan
direncanakan dengan hati hati pada daerah daerah yang memberikan keuntungan
baik itu pada daerah daerah yang tersembunyi, dilakukan secara transmukosal atau
pada daerah daerah dimana jaringan parut yang terbentuk bisa disamarkan. Namun
sering hal ini memerlukan penanganan untuk pengurangan perlebaran yang bisa
terjadi dan teknik untuk elevasi terhadap retraksi intraoperatif yang signifikan yang
bisa terjadi, dimana keseluruhan hal ini bisa mengakibatkan perubahan jaringan lunak
yang akhirnya mengakibatkan hasil perbaikan yang kurang ideal. Permasalahan
permasalahan ini harus dipertimbangkan secara hati hati saat dibuat perencanaan
pembedahan, harus selalu diingat bahwa terkadang lebih bijak untuk memperluas
insisi daripada membahayakan jaringan lunak dengan melakukan traksi yang terlalu
berlebihan.

Bagian Sepertiga Atas


Kerja keras pada pemaparan bagian frontal dan tepi supraorbita ialah
melakukan insisi coronal. Pada umumnya insisi ini hanya sedikit mengakibatkan
penonjolan meskipun dilakukan pada orang yang botak dibandingkan dengan
penonjolan yang bisa terjadi pada penggunaan teknik bilateral brow, sehingga insisi
ini disebut butterfly incision (insisi kupu kupu) atau gull-wing incision.
Pengecualian dapat dilakukan pada pasien dengan alis yang tebal, yaitu hanya
dilakukan unilateral brow incision atau pada keadaan keadaan diman terdapat
laserasi yang signifikan. Pada pasien pasien yang tidak botak (memiliki rambut),
dilakukan insisi ireguler berbentuk W atau insisi dilakukan pada wavy line untuk
mencegah jaringan parut memisahkan bagian rambut, sehingga jaringan parut yang
terbentuk menjadi tidak terlihat. Namun sebuah insisi lurus akan kurang terlihat
jaringan parut yang dihasilkan oleh insisi ini, jika insisi ini dilakukan pada orang
botak.
Mencukur rambut tidak selalu harus dilakukan walaupun menciptakan daerah
yang bebas rambut akan memudahkan untuk mencegah rambut masuk ke dalam luka
selama operasi berlangsung dan mencegah rambut masuk ke dalam luka saat
penutupan luka dilakukan (beberapa spesialis bedah menganjurkan pencukuran
rambut secara menyeluruh jika terdapat cedera intrakranial). Saat pemaparan penuh
terhadap zigoma diperlukan, insisi biasanya dimulai pada preauricular crease dan
kemudian diperluas ke arah superior sampai diatas telinga dan kemudian terus keatas
kepala sampai ke aurikula kontralateral. Insisi yang dilakukan dapat melengkung
secara anterior diatas center scalp untuk memperpendek skin flap, sehingga
memungkinkan flap dilipat lebih mudah. Saat tidak diperlukan pemaparan zigoma,
insisi dilakukan mulai dari atas aurikula. Saat dibutuhkan sebuah long pericranial flap
(untuk perbaikan fossa anterior dan/atau obliterasi sinus frontal), insisi yang
dilakukan harus tidak melukai perikranium. Kulit bisa diangkat ke arah posterior
melewati perikranium, kemudian insisi dilanjutkan lebih posterior dan kemudian
mengangkat anterior skin flap sehingga menghasikan sebuah anteriorly based
pericranial flap yang panjang, yang bisa digunakan nanti (gambar 23-15).
Saat flap diangkat secara anterior, perlakuan yang hati hati diperlukan untuk
menghindari cedera terhadap cabang temporal (frontalis) dari nervus fasial. Hal ini
bisa dicapai baik dengan melakukan pengangkatan flap secara langsung pada posisi
yang berlawanan dengan fasia temporalis atau insisi dilakukan pada lapiasan
superfisial dari bagian dalam fasia temporal pada temporal line sehingga elevasi dapat
dilanjutkan dibawah lapisan ini. Setelah hal ini dilakukan, penting bahwa fasia harus
bisa digantungkan kembali pada saat penutupan luka operasi untuk mencegah
desuspensi pada jaringan lunak di midface. Nervus supraorbita dan supratroklear
dapat ditemukan saat flap diangkat ke batas supraorbita. Lemak orbita dapat
membungkus saraf ini. Elevasi periosteum supraotbita dari dasar orbita memerlukan
elevasi batas orbita ke arah superior. Periosteum cenderung melekat pada sutura
nasoftontal dan suatu elevasi yang tajam diperlukan pada daerah ini. Elevasi di
tingkatan ini akan menyediakan akses yang luas untuk daerah sepertiga atas wajah.
Elevasi flap ini juga bisa dilanjutkan secara anterior ke arah midline untuk
memaparkan tulang nasal, dinding medial orbita dan prosessus frontal maksila;
evelasi arah lateral dapat memaparkan lengkung zigoma dan banyak daerah dari
tulang zigoma serta dinding lateral orbita.

Bagian Sepertiga Tengah


Sejumlah pilihan tersedia bagi spesialis bedah untuk mennjangkau daerah
sepertiga tengah tulang wajah dan spesialis bedah harus memilih insisi dasar untuk
bisa mengakses secara baik demi proses perbaikan yang layak terhadap beberapa
cedera, spesialis bedah harus memiliki kemampuan untuk menyamarkan jaringan
parut dan memiliki pengalaman dalam melakukan pembedahan pada daerah ini.
Fraktur zigoma umumnya diperbaiki melalui lebih dari satu daerah, bahkan sering
memerlukan lebih dari satu kali operasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya
bahwa lengkung zigoma dapat terekspos dengan baik melalui insisi coronal. Sebuah
simple fraktur pada lengkungan zigoma dapat diakses melalui insisi Gillie (Gillies
incision) yang dibuat didalam garis rambut temporal (temporal hairline) dan elevasi
yang dilakukan dibawah fasia temporalis (diatas muskulus temporalis, karena fasia
ada di dalam lengkungan zigoma saat muskulus temporalis melewati bawah
lengkungan zigoma), sehingga memungkinkan sebuah instrument dapat lewat
dibawahnya untuk melakukan elevasi. Ataupun bisa dengan menggunakan
pendekatan yang mirip dengan cara ini yaitu dengan insisi transmukosa pada sulcus
gingivobucal intraoral. Area fronrozigomatik (batas lateral orbita) dapat diakses
melalui beberapa cara dan spesialis bedah plastik harus memilih insisi yang paling
sesuai bagi keadaan individual per pasien. Lateral upper lid incision (terkadang
dideskripsikan sebagai upper lid blepharoplasty incision) biasanya adalah insisi
yang paling sering digunakan (gambar 23-16), karena insisi ini cenderung dapat
disembunyikan dengan baik dalam lipatan kelopak mata atas (upper lid crease) dan
teknik ini menggantikan lateral brow incision. Batas lateral dapat dicapai melalui
sebuah insisi konjungtiva kelopak mata bawah (lower lid conjuntival incision), saat
insisi ini diperluas secara lateral dan sebuah canthotomy dapat dilakukan. Namun
demikian terkadang perlu dilakukan sejumlah retraksi dalam melakukan teknik ini.

Dasar orbita dapat terekspos dengan baik melalui insisi transkonjungtival melalui
kelopak mata bawah. Insisi ini dapat dikerjakan baik dengan menggunakan
pendekatan pre-septal atau pendekatan post-septal dimana setiap pendekatan ini
memiliki keuntungan dan kerugiannya masing masing. Apapun pendekatan yang
akan dipilih untuk dilakukan, perhatian khusus harus diberikan untuk menghindari
cedera terhadap septum orbita, karena jaringan parut pada lapisan ini cenderung
mengakibatkan malposisi kelopak mata bawah setelah pembedahan. Perluasan insisi
ini baik melalui canthotomy lateral dan insisi kulit akan mampu menyediakan bagian
yang terekspos lebih besar, khusunya untuk penempatan graft yang besar dan
mengekspos orbita lateral dan medial. Dasar orbita juga dapat dieksplorasi melalui
insisi transkutaneus melalui kelopak mata bawah, termasuk insisi subsiliari dan insisi
lipatan kelopak mata bawah. Insisi infraorbita merupakan insisi yang paling banyak
dihindari karena keterbatasan akses yang bisa dicapai melalui insisi ini serta
pemanjangan pembengkakan kelopak mata bawah (kecuali jika telah ada laserasi
terlebih dahulu di daerah ini). Orbita medial dapat dieksplorasi melalui sebuah insisi
cornal, sebuah insisi transkonjungtiva (transcaruncular atau retrocaruncular) atau
melalui sebuah insisi kutaneus yang mirip dengan pendekatan etmoidektomi
eksternal. Perlu diperhatikan bahwa kapanpun sebuah insisi kelopak mata bawah
dilakukan, adalah tindakan bijaksana untuk meletakkan sebuah Frost stitch (Jahitan
Frost) pada akhir prosedur ini dan membiarkan jahitan itu tetap disitu selama 24
sampai 48 jam. Frost stitch diletakkan pada kelopak mata bawah dan dilekatkan ke
dahi; jahitan ini mengencangkan kelopak mata bawah dan dapat mengurangi
malposisi kelopak mata bawah (gambar 23-17).
Bagian bawah daerah sepertiga tengah wajah ialah dinding anterior maksila,
termasuk piriform apertures, prosessus frontal dan zygomaticomaxillary junction,
dimana struktur struktur ini paling baik dieksplorasi menggunakan pendekatan
transoral melalui insisi pada mukosa sulcus gingivobuccal. Kecermatan diperlukan
pada cara ini untuk menghindari elevasi fragmen tulang dalam flap dan untuk
menghindari terjadinya cedera pada nervus infraorbita. Insisi ini memungkinkan
elevasi superior ke batas infraorbita. Pemaparan tambahan bisa dilakukan dengan
menggunakan midfacial degloving approach dalam mukosa vestibuli nasal, dimana
insisi dilakukan secara sirkumferensia, namun pendekatan ini menambah resiko
terjadinya stenosis nasal. Pemaparan palatum umumnya dicapai melalui laserasi yang
terjadi sepanjang garis fraktur. Sebuah flap palatum berbentuk U dapat dielevasi
sehingga menyediakan paparan palatum yang luas
Bagian Sepertiga Bawah (Mandibula)
Mandibula dapat diekspos naik secara transmukosa ataupun transkutaneus.
Perhatian awal yang diperlukan ialah bahwa pernyataan mengenai pemaparan
intraoral akan dapat mengakibatkan peningkatan infeksi belum terbukti benar pada
serangkaian pengalaman pembedaha dengan pemaparan (ekspos) daerah intraoral.
Secara kasat mata semua area mandibula bisa dieksplorasi melalui insisi transoral.
Regio symphyseal dapat dengan mudah dicapai dengan menggunakan sebuah insisi
yang dilakukan dibawah 5 10 mm dari batas gingiva, sehingga menyediakan
mukosa bebas yang cukup untuk memudahkan dalam menutup luka.fraktur corpus
mandibula juga dapat dieksplorasi dengan cara yang mirip dengan cara ini. Kehati
hatian diperlukan untuk menghindari cedera terhadap nervus mental karena nervus
mental berada di mandibula dan nervus ini memasuki jaringan lunak untuk
memberikan persarafan (sensasi) terhadap kulit yang terletak dibawahnya. Regio
ramus vertikal dan regio subkondilar dapat diekspos dengan menggunakan bagian
vertikal dari insisi yang diperluas dari insisi pada bagian inferior ramus anterior
mandibula ke garis oblique dan melewati batas gingiva molar posterior. bagian
vertikal dari insisi ini kemudian diperluas kea rah superior sehingga bisa memberikan
akses untuk mengeksplorasi ramus vertikal dan regio subkondilar. Dalam
mengeksplorasi daerah subkondilar terkadang perlu bantuan endoskopi.
Insisi ekstraoral menambah resikosebuah jaringan parut yang kasat mata,
dimana insisi ekstraoral ini juga memiliki kemungkinan mencederai ramus
mandibular nervus fasial. Disisi lain, pada sebuah fraktur korpus mandibula anterior,
jika dilakukan insisi ekstraoral akan mengurangi cedera terhadap nervus mental.
Simfisis mandibula paling baik dieksplorasi melalui insisi submental. Bagian korpus
mandibula posterior, sudut mandibula dan regio subkondilar paling baik dieksplorasi
menggunakan insisi submandibular. Untuk membantu dalam mengekspos tulang dan
meminimalkan retraksi, insisi dapat dibuat satu jari dibawah mandibula atau kurang
dari itu dan dielevasisecara superficial inferior ke platisma. Platisma diinsisi 2 jari
dibawah mandibula untuk meminimalkan resiko cedera nervus fasialis (gambar 23-
18). Korpus anterior mandibula lebih susah untuk dicapai secara transkutaneus karena
tekanan garis kulit saat kulit relaksasi, melewati mandibula dan memiliki resiko
mencederai nervus fasial. Daerah ini mungkin paling baik diakses dengan
menggunakan gabungan insisi submental dengan sebuah insisi submandila anterior
dan kedua insisi ini digabungkan dengan sebuah Z untuk meminimalkan jaringan
parut yang terbentuk. Ramus dan regio subkondilar dapat dicapai melalui insisi
submandibula dan elavasi diantara muskulus masseter dan tulang. Terdapat sebuah
alternatif lain berupa sebuah insisi retromandibula untuk digunakan seperti yang
disarankan oleh Ellis (Gambar 23-19). Sebuah insisi preaurikular dapat digunakan,
namun insisi ini memiliki resiko cedera terhadap trunkus utama nervus fasial dan jika
insisi preaurikular ini digunakan, perlu dipertimbangkan sebuah pembedahan nervus
fasialis untuk melindungi nervus fasialis.

Biomekanik tulang wajah


Gaya tindakan pada tulang wajah sangat kompleks dan belum sepenuhnya
dijabarkan. Namun, pada saat ini tingkat pemahaman memberikan informasi yang
cukup untuk membimbing teknik perbaikan yang dapat mengakibatkan tingkat
keberhasilan yang tinggi. Dilain pihak, mengabaikan prinsip-prinsip ini akan mungkin
mengakibatkan hasil yang lebih tinggi dari komplikasi yang diterima.
Seperti yang telah dibahas, bentuk wajah dirancang untuk mendukung fungsi
ini dan berfungsi sebagai penyangga untuk melindungi organ-organ yang lebih kritis
dari trauma. Daerah yang mendukung fungsi tersebut harus memiliki kekuatan
sepanjang jalan suatu gaya. Pada bagian tengah wajah, memiliki apa yang disebut
pilar dan penopang, dan daerah-daerah ini yang mendukung arsitektur wajah selama
tindakan menggigit yang kuat dan mengunyah. Sangat penting untuk membangun
kembali penopang ini ketika penopang ini mengalami keretakan/fraktur. Selain itu,
penopang ini dipisahkan oleh daerah-daerah yang lemah, yang tampaknya untuk
memfasilitasi tindakan sebagai "zona benturan." Mandibula menyediakan dukungan
untuk gigi selama menggigit dan mengunyah. Karena tulang ini mengayun pada
tulang cranium, kekuatan yang dihasilkan ketika bolus makanan dikompresi diantara
gigi yang mengakibatkan efek titik tumpu yang menghasilkan tekanan dan kompresi
pada zona di berbagai daerah (Gambar.23-20). Ini harus dipertimbangkan ketika
memperbaiki fraktur, karena perbaikan harus mengatasi kekuatan yang diberikan oleh
kontraksi otot dan kekuatan-kekuatan yang dibuat oleh fungsi tertentu seperti
mengunyah.

Bagian Sepertiga Atas wajah


Pada sepertiga atas wajah, dinding anterior dari frontal sinus tipis. karena itu
hanya memberikan perlindungan untuk sinus itu sendiri, dan ada tidak ada gaya yang
signikan yang terjadi di daerah ini. Ini dapat dipertimbangkan ketika merencanakan
perbaikan. Selama tulang tetap dalam posisi, hasil akhir yang memuaskan harus
dihasilkan. Rima supraorbital, di sisi lain, dan tulang-tulang frontal lateral dan bagian
superior dari sinus frontal lebih tebal, menyediakan perlindungan untuk isi orbital dan
isi fossa anterior, masing-masing. Hal ini membutuhkan lebih banyak kekuatan untuk
membuat patah tulang-tulang ini, dan tulang-tulang ini lebih cenderung lebih kuat dan
sulit untuk berkurang. Namun, tidak ada gaya fungsional signifikan yang bertindak
atas tulang-tulang ini.
Bagian Sepertiga tengah wajah
Bagian sepertiga tengah lebih kompleks. Pilar atau Penopang menerima
kekuatan tinggi untuk mengunyah tanpa terjadi fraktur. Penopang "vertikal" ini telah
digambarkan sebagai bagian lateral dan medial pada setiap sisi, serta posterior
(Gambar.23-21). Penopang lateral melewati daerah molar superior sepanjang sutura
zygomaticomaxillary, melalui malar eminens padat, kemudian melewati sepanjang
orbital lateralis dan sutura Frontozygomatik ke tulang Frontal. Penopang medial
melewati dari daerah kaninus superior sepanjang tulang padat yang berbatasan dengan
Apertura pirifomis, kemudian secara superior sepanjang prosesus tulang padat dari
maksila masuk ke tulang frontal. Seperti Rudderman dan Mullen menunjukkan, tujuan
dari perbaikan adalah untuk merekonstruksi "load path," sehingga tulang itu dapat
mendukung beban yang dirancang. Pada wajah bagian sepertiga tengah ini ,
diperlukan untuk pendirian kembali dari empat penopang vertikal ini, yang
mendukung gaya dari proses mengunyah. Ada tambahan dari penopang vertikal
posterior yang mengirimkan gaya melalui pelat pterygoideus ke dasar tengkorak,
tetapi sedikit perhatian untuk penopang yang satu ini karena tidak ada akses untuk
memperbaikinya.

Penopang horisontal dari bagian tengah wajah berfungsi sebagai konektor


yang melewati penopang vertikal. Ini bisa dilihat pada palatum, belum sepenuhnya
diketahui cirinya di seluruh wajah pusat dari malar sampai eminensia malar eminensia
sepanjang pinggiran infraorbital (tidak lengkap karena penyangga horisontal ini tidak
lengkap dalam melewati apertura piriformis), dan melewati bagian Frontal. Penopang
ini penting terutama bagi ahli bedah wajah untuk membangun kembali arsitektur
wajah yang benar. Juga ada dimensi ketiga dari anterior sampai posterior, dan hanya
penopang reconstructible pada arah ini yang lolos dari akar temporal lengkungan dari
arkus zygomatic anterior sampai malar iminens pada setiap sisi.
Bentuk Zygoma adalah tambahan yang penting untuk otot masseter kuat.
Untuk mendukung fungsi ini otot, tulang harus kokoh; Namun dalam keremukan, hal
ini juga harus mampu memberikan respon dalam menanggapi gaya traumatis. Bagian
multifungsi ini disebut "tripod" zygomatik yang membuat ini mungkin. Apakah itu
dianggap tripod atau quadrapod; yang penting adalah sifat alami dari hal itu. Malar
iminens cukup solid, tetapi bagian ini ke tulang sekitarnya kurang. Arkus zigomatik
cukup tipis, seperti rima orbitalis inferior. Rima orbitalis lateralis cukup padat, dan
bagian ini tidak sering untuk patah tulang zygomatic untuk bergantung dari bagian ini.
Bagian sisa dari maksila sangat luas (dan berlanjut dengan rima orbitalis inferior,
sehingga memungkinkan penamaan tripod menjadi masuk akal). Sedangkan tulang ini
relatif solid secara vertikal untuk mendukung gaya mengunyah, itu adalah benar-
benar tulang tipis yang mudah memberikan untuk gaya lebih horizontal atau
diarahkan miring. Perbaikan memerlukan stabilisasi dari zigoma dalam tiga dimensi.
Perbaikan tradisional berfokus pada titik fiksasi paling padat, dan itu tidak biasa pada
fraktur tulang zygomatik untuk diperbaiki dengan kawat tunggal di frontozygomatic
fracutres. Validitas perbaikan ini dipanggil ke pertanyaan tahun yang lalu, dan data
yang lebih baru mendukung bahwa titik multipel fiksasi diperlukan untuk
mempertahankan posisi tiga dimensi zygoma terhadap tarikan otot masseter kuat.
Teknik perbaikan yang terbaru telah berfokus pada penopang zygomaticomaxillari,
karena hal ini biasanya daerah yang dinamis, daripada memperbaiki titik engsel, yang
cenderung menjadi daerah frontozygomatic.
Tulang Orbita berfungsi sebagai pendukung untuk seluruh isi orbita. Dengan
demikian untuk tulang orbita konsentrasi biomekanisnya adalah untuk pemulihan
bentuk orbita untuk posisi tepat dari isi orbita. Dalam hal ini menjamin posisi tepat
globus, yang diperlukan secara kosmetik dan secara fungsional. Rekonstruksi orbital
harus cukup kuat untuk mendukung isi orbita.
Daerah pusat wajah termasuk bagian untuk kelopak mata bagian medial dan
proyeksi hidung. Kelopak mata bagian medial terikat oleh ligamen kantus medialis
pada puncak lakrimalis padat. Ketika ini terganggu, tendon ditarik ke lateral (serta
anterior dan inferior), dan panjang horisontal kelopak mata menjadi lebih pendek. Ini
perlu rekonstruksi kembali secara memadai untuk menahan ketegangan lateral
konstan menutup mata. Jika tidak, penampilan tidak sedap dipandang mungkin, dan
berkurangnya fungsi dari sistem pengumpulan lacrimalis dapat disebabkan pula.
Pemulihan dari tulang hidung penting baik untuk fungsi hidung dan kosmetik.

Bagian Sepertiga bawah wajah


Telah dicatat sebelumnya, bagian gigi dari mandibula menempati bagian
sepertiga bawah ini, rami vertikal dari mandibula disertakan dalam diskusi ini juga.
Mandibula dewasa normal adalah tulang padat kuat yang berisi gigi-geligi bagian
mandibula. Banyak otot yang melekat pada mandibula, dan gaya dikembangkan di
seluruh tulang ketika otot berkontraksi , bahkan dalam ketiadaan pengunyahan. (Hal
ini penting, dalam gaya yang bertindak di mandibula ketika pasien adalah di MMF.)
Mandibula mendukung lidah dan tulang hyoid, struktur penting bagi fungsi menelan
dan saluran pernapasan. Namun, gaya yang paling signifikan di seluruh mandibula
dikembangkan selama pengunyahan, dan gaya yang bertindak pada wilayah tertentu
dari mandibula bervariasi tergantung pada lokasi bolus makanan antara gigi.
Penjelasan awal dari biomekanik mandibula diasumsikan sebagai balok
sederhana dengan gaya di atas balok selalu menciptakan ketegangan zona Superior
(terhadap permukaan alveolar) dan zona kompresi inferior. Konsep ini diperkenalkan
di Eropa hampir bersamaan oleh Spiessl di Switzerland dan oleh Champy dan rekan-
rekannya di Prancis. Menariknya, keduan ahli bedah maksilofasial mengembangkan
dua teknik perbaikan yang sama sekali berbeda untuk mengalahkan gaya tadi, dan
kedua sekolah bersaing dalam pengembangan sebagai hasil. Mereka yang mengikuti
Spiessl dan Arbeitsgemeinschaft Osteosynthesefragen (AO) menggunakan teknik
kompresi plat untuk memperbaiki sebagian patah tulang mandibula, dan mereka yang
mengikuti Champy menggunakan teknik yang disebut miniplating. Hari ini, hal ini
telah menjadi jelas bahwa ada ruang untuk kedua konsep-konsep ini, dan lebih
penting untuk memahami bioamekanika dari perbaikan fraktur dan untuk memilih
teknik tertentu yang memiliki kemungkinan tertinggi keberhasilan dalam situasi
tertentu.
Dalam model balok sederhana, fraktur dari badan mandibula adalah terganggu
secara Superior (zona ketegangan) dan dikompresi inferior (zona klompresi) ketika
gaya berlaku diterapkan untuk permukaan gigi anterior (misalnya, mengunyah bolus
di antara insisivus) (Fig. 23-21). Dalam situasi ini, mengendalikan zona ketegangan
menghasilkan pemeliharaan dari pengurangan. Selain itu, ketika gaya yang diterapkan
oleh mengunyah anterior dengan zona ketegangan dikendalikan, kekuatan tekanan
dalam fungsi didistribusikan di seluruh panjang fraktur. Setelah ini adalah jelas
dipahami, berbagai opsi perbaikan menjadi tersedia untuk ahli bedah kepala dan leher.
Namun, batasan-batasan tertentu yang dibuat oleh aspek unik anatomi mandibula
harus diatasi pertama. Ini adalah munculnya akar gigi dalam tulang dan kehadiran
nervus alveolar inferior dalam tulang. Karena penting untuk menjaga struktur ini tidak
cedera, daerah-daerah tertentu dari tulang mandibula menjadi tidak tersedia untuk
penempatan peralatan fiksasi. Champy dan Spiessl datang ke kesimpulan yang sama
mengenai kebutuhan untuk mengontrol zona ketegangan tanpa melukai struktur vital,
tapi mereka memecahkan masalah dari menghindari gigi dan saraf dalam cara yang
berbeda. Champy memilih untuk mengontrol zona ketegangan dengan plat kecil
("mini") yang diposisikan dengan hati-hati antara akar gigi dan Nervus alveolar
inferior menggunakan sekrup yang melewati hanya satu korteks tulang, dengan
demikian meminimalkan risiko untuk gigi dan saraf dalam kasus penempatan tidak
sempurna. Spiessl menjauhi penggunaan plat kecil ini dengan sekrup monokortikal
dan malah menggunakan palang arkus melewati gigi-geligi untuk mengontrol zona
ketegangan dan kompresi lebih besar plat menggunakan sekrup bicortical ditempatkan
di bawah Nervus alveolar inferior untuk memaksimalkan jumlah stabilisasi. Lebih
besar, fiksasi tekanan diyakini diperlukan dalam bahwa ia sedang diletakkan dalam
posisi yang benar-benar tidak ada keuntungan secara biomemekanik. Namun,
menggunakan pendekatan ini, mutlak dan penting bahwa zona ketegangan harus
dikendalikan pertama; sebaliknya, tingkat kompresi plat pada bagian inferior
mandibula akan mengalihkan bagian alveolar dari fraktur. Pada akhirnya, itu menjadi
jelas bahwa kedua teknik ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, perlawanan
antara sekolah pemikiran dibubarkan, dan jelas bahwa selama prinsip biomekanis
diikuti dengan baik, tingkat keberhasilan yang tinggi dapat diharapkan.
Sayangnya, tidak semua aspek dari fungsi mandibula mengikuti model
sederhana balok ini. Ada juga penyimpangan dari tulang mandibula yang membuat
beberapa daerah berpotensi lebih tidak stabil daripada yang lain. Tampaknya ada
potensi besar torsi dan gerakan rotasi dalam area simphyseal, sehingga bila
menggunakan miniplates, dua yang diperlukan untuk mendapatkan fiksasi stabil di
daerah ini. Miniplat satu tampaknya cukup sepanjang tubuh mandibula, selama pasien
tidak mengunyah di sisi fraktur selama periode penyembuhan. Wilayah sudut
menyajikan beberapa masalah tertentu, dan itu adalah daerah di mana jumlah tertinggi
komplikasi telah dicatat. Wilayah sudut memiliki tebal tulang Superior dan tipis
tulang posteroinferiorly. Sering ada gigi di superior tulang tebal, dan kehadirannya
mungkin melemahkan tulang, tapi ekstraksi gigi (yang mungkin tidak dapat dihindari
dalam memudahkan beberapa) cenderung untuk melemahkan daerah bahkan lebih.
Selain itu, ada tidak ada gigi di belakang patah tulang, sehingga bar lengkungan yang
meminjamkan tidak ada dukungan untuk perbaikan. Kompleksitas yang bertindak
terhadap daerah ini menambahkan tantangan lain. ini dicatat pertama oleh Kroon dan
rekan kerja yang tergantung pada mana bolus makanan diletakkan sepanjang gigi-
geligi mandibula, lokasi zona kompresi dan ketegangan zona di sudut benar-benar
bervariasi begitu banyak bahwa daerah yang lebih rendah bisa berubah dari kompresi
ketegangan dan sebaliknya. (Rudderman dan Muen mengkonfirmasi temuan ini
untuk bagian lain dari mandibula juga.) Perbaikan sudut yang tetap kontroversial, tapi
kebanyakan penulis setuju bahwa, meskipun lebih sulit, memakan waktu dan
menuntut untuk penerapan, plat rekonstruksi yang lebih besar, panjang, dari
mandibula menawarkan perbaikan yang paling diandalkan dan tingkat keberhasilan
tertinggi secara keseluruhan. Di sisi lain, keinginan untuk menggunakan teknik-teknik
yang lebih mudah dan sederhana telah mengakibatkan dorongan, dan Potter dan Ellis
baru-baru ini menganjurkan penggunaan miniplate tunggal 1,3-mm ditempatkan
secara intraoral sepanjang garis oblik mandibula sebagai fiksasi yang memadai untuk
sudut fraktur mandibula. Laporan terbaru oleh Fox dan Kellman menunjukkan bahwa
ketika menggunakan teknik miniplat untuk memperbaiki fraktur sudut mandibula, dua
miniplates terbaik (dan mereka harus mungkin 2 mm), seperti telah disarankan
sebelumnya oleh Levy dan rekan-rekan dan Kroon dan koleganya. Dalam penelitian
terbaru, Siddiqui dan rekannya menemukan tidak ada perbedaan signikan dalam
komplikasi ketika menggunakan satu atau dua miniplates untuk memperbaiki fraktur
sudut mandibula.
Aspek penting lain dari biomekanik mandibula adalah peran dari ramus
vertikal dalam menjalin hubungan wajah. Ketika midface hancur, rami vertikal
mandibula menjadi satu-satunya penentu dari ketinggian wajah yang tepat. Oleh
karena itu, sangat penting bahwa ini penopang wajah tinggi ditumbuhkan sebelum
mencoba untuk reposisi tulang midfacial yang hancur.
Reparasi fraktur
Kunci utama pada reparasi fraktur yaitu pemahaman terhadap prinsip biomekanis
yang digunakan, disertai dengan berbagai aspek pemeriksaan dan akses yang
dijelaskan sebelumnya. Menggunakan semua prinsip-prinsip tersebut memungkinkan
ahli bedah untuk menganalisis cedera, merencanakan reparasi, dan melakukannya.
Gambaran berikut membahas mengenai beberapa kontroversi dan masalah-masalah
yang dihadapi ahli bedah dalam menangani pasien-pasien.
Sebagian besar prosedur reparasi dilakukan menggunakan plat dan sekrup
titanium, walaupun sejumlah plat dan sekrup yang dapat diserap juga digunakan.
Bahan-bahan ini biasanya polimer poliester yang mengandung asam polilaktat (PLA),
asam poliglikolat (PGA), atau campuran dari bahan-bahan ini dan polimer lainnya.
Polimer tersebut mendegradasi terutama melalui pemisahan hidrolitik, dan sejumlah
hasil produknya merupakan bagian yang paling baik dapat ditoleransi oleh tubuh
manusia. Namun, tidak terdapat kontraindikasi terhadap penggunaan kawat stainless
steel jika diperlukan, dan metode reparasi dengan menggunakan kawat tetap bertahan
sampai saat ini.

Oklusi
Pada trauma maksilofasial apapun yang melibatkan segmen penyangga gigi, penting
untuk menentukan hubungan oklusi yang sesuai. Hal ini penting untuk restorasi fungsi
mengunyah yan gnormal. Hubungan oklusi antara dentisi maksila dan mandibula juga
menentukan hubungan antara tulang wajah sentral bagian bawah. Penyesuaian
langsung fragmen tulang secara virtual selalu berada di tempat kedua setelah
penyesuaian oklusi. Hal ini benar terutama ketika bagian tengah dari 1/3 wajah
kolaps, karena berat mandibula digunakan untuk menentukan berat wajah, dan oklusi
merupakan komponen utama dalam hubungan antara mandibula dan maksila.
Oklusi paling baik ditentukan menggunakan kawat gigi, yaitu kumpulan besi
lunak dengan kait-kait untuk kawat atau karet yang dipasang secara langsung pada
gigi. Kawat gigi yang paling umum digunakan di Amerika Serikat yaitu kawat gigi
Errich. Pilihan lainnya termasuk Ivy Loops, walaupun alat ini hanya menstabilkan
beberapa gigi dibandingkan keseluruhan daerah gigi. Alat ini juga tidak memberikan
tekanan sepanjang lengkungan gigi mandibula. Sejumlah pilihan lainnya juga
tersedia. Penemuan baru yang telah digunakan yaitu sekrup untuk MMF. Walaupun
alat ini dapat digunakan dengan cepat dan mudah, terdapat beberapa kerugian, yang
paling umum yaitu seringnya penetrasi akar gigi saat menempatkan alat tersebut
(Gambar 23-23). Semua kawat gigi cenderung menarik dentisi ke arah lingual, namun
penempatan sekrup lebih inferior dan lebih ke arah buccal saat menggunakan sekrup
MMF cenderung meningkatkan terjadinya hal ini.

Ketika kawat gigi telah ditempatkan, mereka dapat digunakan untuk menahan
pasien pada MMF. Hal ini dilakukan dengan menempatkan kawat atau karet antara
kait-kait pada bagian atas kawat gigi dan pada bagian bawah kawat gigi. Setelah
fiksasi yang kaku dari semua fraktur fasial telah selesai, MMF dapat dilepaskan,
namun kawat gigi harus tetap berada ditempatnya jika diperlukan latihan elastisitas
selama periode penyembuhan. MMF tidak mengkoreksi maloklusi yang diakibatkan
oleh fiksasi kaku dari fragmen dalam posisi suboptimal; hanya penempatan plat pada
fragmen yang dapat mengkoreksi malposisi tersebut. MMF mungkin juga diperlukan
untuk mengatasi fraktur unfixed, seperti fraktur subkondiler pada manibula.

Bagian sepertiga atas


Sejumlah algoritma telah dipublikasikan mengenai penanganan fraktur frontal,
terutama sinus frontalis. Walaupun setiap algoritma memiliki kelebihannya masing-
masing, namun cenderung mengalam komplikasi. Sehingga, pendekatan yang lebih
mudah akan dijelaskan disini. Masalah utama pada trauma sinus frontalis terkait
dengan 2 pertanyaan yang mendasar: (1) apakah diperlukan prosedur eksplorasi? (2)
apakah tindakan obliterasi diperlukan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini
memerlukan penggunaan penilaian bedah, namun pedoman-pedoman tertentu juga
dapat digunakan.
Harus diingat mengenai tujuan reparasi tulang. Dinding anterior perlu
direparasi untuk tujuan kosmetik. Dinding posterior harus direparasi untuk
melindungi fossa kranialis anterior. Saluran sinus yang mengarah ke luar harus
berfungsi untuk dapat mengosongkan sinus, atau sinus harus diobliterasi; yang jika
tidak dilakukan maka akan mengakibatkan infeksi. Jadi, fraktur dinding anterior
murni yang tidak meluas sampai ke duktus nasofrontal direparasi hanya untuk alasan
kosmetik. Fraktur ini harus dieksplorasi jika mengalami depresi yang cukup besar,
karena bahkan dengan tidak adanya deformitas akut, fraktur ini cenderung
mengakibatkan deformitas saat pembengkakan mulai sembuh. Plat-plat dengan
ukuran terkecil biasanya digunakan, dan plat-plat yang dapat diserap juga dapat
digunakan pada daerah ini, karena hanya sedikit atau tidak ada kebutuhan adanya
tekanan dalam reparasi. Fragmen yang terpisah dapat disatukan dan ditahan
menggunakan sekrup pada plat yang membungkus defek, atau fragmen-fragmen kecil
dapat disatukan dengan plat berukuran kecil dan/ atau kawat. Penggunaan endoskopi
memungkinkan reparasi dari fraktur dinding anterior dengan insisi minimal. Teknik-
teknik ini saat ini mulai digunakan, dan cenderung lebih sering digunakan seiring
perkembangan peralatan baru untuk memudahkan prosedur reparasi. Ketika duktus
ikut terlibat namun dinding posterior tetap intak, penilaian bedah reparasi
memungkinkan leibh dari 1 pilihan. Obliterasi sinus frontalis selalu dapat dilakukan,
namun merupakan suatu hal yang masuk akal untuk memperhatikan fungsi sinus. Jika
sinus menjadi terhambat dan terjadi sinusitis akut atau kronis, sinus dapat dibuka
secara endoskopik, atau obliterasi dapat dilakukan nantinya. Pada kondisi tidak
ditemukannya cedera dinding posterior, tidak ada kerugian yang diperoleh dengan
mengunakan pendekatan ini (sepanjang pengamatan pasien dapat terjamin).
Adanya cedera dinding posterior merumitkan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Fraktur dinding posterior nondisplaced yang tidak memerlukan eksplorasi cedera
duktus atau pergeseran dinding anterior dapat diamati. Namun, jika dinding posterior
tergeser, maka sulit untuk menentukan status dura dan otak yang berada didalamnya.
Pada kondisi tidak tampak cedera duktus, dapat dipertimbangkan untuk melakukan
trefinasi dan endoskopi transkutaneus, karena herniasi otak secara mendadak ke
dalam sinus telah dilaporkan terjadi pada pendekatan ini. Pada kondisi tidak
ditemukannya pergeseran dinding posterior dan tanpa abnormalitas jaringan lunak
terkait dengan fraktur nondisplaced, tidak jelas apakah tindakan obliterasi merupakan
suatu kewajiban, bahkan dengan adanya cedera duktus. Pengamatan pasien yang ketat
termasuk pemeriksaan CT-scan interval akan menunjukkan apakah aerasi sinus
terjadi. Jika obstruksi kronis tetap ada, maka obliterasi harus dilakukan. Pilihan teknik
obliterasi meliputi beberapa pilihan, dan sebagian besar efektif. Lemak jelas tetap
bertahan, samahalnya padatulang dan bahkan meninggalkan sinus kosong (setelah
obstruksi duktus dengan fascia) untuk memungkinkan osteoneogenesis. Sejumlah
komplikasi telah ditemukan menggunakan semen hidroksiapatit, namun pada satu
penelitian yang menggunakannya secara kombinasi dengan flap perikranial, tidak
terdapat komplikasi yang terjadi. Semen ini memang menawarkan kelebihan bentuk
yang unik, sehingga dapat digunakan untuk mereparasi kontour frontal pada kondisi
fraktur yang berat dan/ atau hilangnya tulang pada dinding anterior (gambar 23-24).

Akhirnya, pilihan obliterasi via kranialisasi, yaitu, pengeluaran dinding sinus


posterior secara lengkap, digunakan pada kasus-kasus dimana dinding posterior
mengalami fraktur berat. Donald dan Bernstein menggunakan teknik ini secara
ekstensif ketika dinding posterior sinus frontalis terlibat dalam trauma. Pada sisi lain,
Schulz meyakini bahwa obliterasi sinus frontalis tidak diperlukan. Jika sinus tetap
diobliterasi, maka tampaknya masuk akal jika lapisan dinding posterior tambahan
menambah batasan lainnya antara kavitas nasal yang sudah terkontaminasi dan fossa
anterior dan harus direkonstruksi kembali dan dipertahankan jika memungkinkan.
Rhinorhea CSF
Pada kondisi trauma berat dengan fraktur fossa anterior, rhinorhea CSF tidak jarang
ditemukan dan dapat terjadi via sinus frontalis, atau mellaui plat kribriformis, sinus
ethmoid, dan/ atau sinus sfenoid. Defek berukuran besar dapat teridentifikasi dengan
endoskopi dan biasanya dapat direparasi menggunakan pendekatan tersebut.
Pemeriksaan teliti terhadap defek penting dilakukan, karena kebocoran yang transien
dapat berhenti akibat herniasi otak, dan komplikasi lanjut seperti meningitis atau
kematian dapat terjadi jika tidak diobati.

Gangguan basis tengkorak


Pada kondisi gangguan basis tengkorak anterior berat, cedera otak dan rhinorhea CSF
biasanya terjadi. Cara terbaik untuk mengatasi cedera ini yaitu bekerja sama dengan
ahli bedah saraf. Adanya cedera otak sering mengakibatkan tertundanya penanganan
fraktur fasial dan dapat meningkatkan resiko meningitis. Terdapat bukti yang cukup
baik terhadap semakin lama kebocoran CSF terjadi, semakin besar resiko meningitis.
Maka, intervensi dini dapat menurunkan resiko komplikasi tersebut. Penggunaan
pendekatan subkranial transglabela dapat memungkinkan dilakukannya intervensi
dini, karena pendekatan ini memungkinkan akses yang lebih langsung terhadap dasar
fossa anterior tanpa adanya kebutuhan untuk retraksi lobus frontalis secara signifikan.
Pendekatan ini juga memungkinkan visualisasi langsung daerah kribriformis tanpa
men-disartikulasi daerah tersebut secara lengkap, sehingga banyak cedera basis fossa
anterior dapat direparasi tanpa mengorbankan fungsi penghiduan secara lengkap.
Fossa anterior dapat dipisahkan dari nasal dan kavitas sinus, dan fraktur fasial dapat
direparasi secara dini, sehingga dapat menghasilkan prognosis yang lebih baik pada
pasien-pasien cedera berat.

Bagian sepertiga medial


Fraktur yang melibatkan segmen penyangga gigi awalnya distabilkan pada tingkat
oklusi. Fraktur horizontal di atas tingkat oklusi (Le Fort I) direparasi dengan
menentukan 4 buttress vertikal, 2 medial dan 2 lateral. Sebagian ahli bedah
mereparasi fraktur tipe ini menggunakan 1.5-2 mm plat L dan plat J (Gambar 23-25),
walaupun kombinasi dan ukuran lainnya dapat digunakan. Penting untuk memastikan
bahwa kedua sekrup ditempatkan pada kedua sisi dari setiap plat fraktur, walaupun
lebih banyak sekrup dapat ditempatkan sepanjang tidak terjadi penetrasi pada akar
gigi. Intinya yaitu untuk memperbaiki posisi fraktur sesuai arah daya msatikasi,
sehingga tindakan mengunyah tidak akan mengganggu reparasi.

Ketika terjadi fraktur palatum, penting untuk memastikan bahwa gigi tidak
mengalami rotasi disekitar fraktur palatum, yang dapat mengakibatkan gigi versi
lingual atau buccal dan malposisi fragmen tulang yang signifikan. Pada kasus
gangguan berat, terutama ketika segmen alveolar mengalami fraktur dan/ atau
mandibula juga mengalami gangguan berat, splint palatum mungkin diperlukan untuk
menstabilkan dentisi pada posisi yang sesuai. Palatum dapat direparasi secara
langsung dengan sebuah plat, atau dapat distabilkan sepanjang daerah premaksila jika
stabilitasi oklusi cukup memadai untuk mencegah rotasi (Gambar 23-26).
Fraktur maksila pada tingkat Le Fort II dengan cara yang sama distabilkan
menggunakan plat 1.5-2 mm, dan memastikan bahwa setidaknya 2 sekrup
ditempatkan pada setiap sisi fraktur yang sudah terpasang plat (Gambar 23-27).
Sebuah plat dapat ditempatkan sepanjang rima infraorbital untuk menstabilkan bagian
atas fraktur tersebut. Jika tidak, ketika diakses, dasar nasal harus difiksasi dengan kuat
menggunakan plat-plat berukuran sangat kecil (Gambar 23-28). Sangat penting untuk
memastikan bahwa midface tidak terimpaksi dan ter-rotasi ke arah superior sebelum
menempatkan tulang ke posisinya. Walaupun MMF digunakan pada awal prosedur,
namun sebenarnya memungkinkan untuk menarik pasien ke dalam posisi oklusi yang
baik walaupun midface terimpaksi; gigi mandibula ditarik oleh MMF ke arah maksila
yang ter-rotasi secara superior, sehingga menarik kondilus mandibula keluar dari
fossa glenoid.
Seorang pasien mungkin bahkan dapat tetap dalam posisi MMF yang baik selama 6
minggu atau lebih, dan ketika MMF dilepaskan, mandibula kembali ke posisi netral-
nya dengan gigitan terbuka anterior yang signifikan. Sehingga penting untuk
mendeteksi hal ini saat operasi, sehingga midface dapat di-rotasi dengan tepat ke arah
bawah masuk ke dalam posisi yang sesuai. Jika midface terimpaksi berat, disimpacter
midfacial Rowe mungkin diperlukan untuk menggerakan midface dan membawanya
ke bawah menuju posisinya yang sesuai. Selama bertahun-tahun, ahli bedah lebih
mengkhawatirkan masalah kemungkinan elongasi fasial akibat penarikan MMF pada
fraktur maksila unfixed dibandingkan kekhawatiran mengenai rotasi dan pemendekan
midfasial. Maka, pokok utama penanganan yaitu Adams suspension wiring, dimana
gigi kawat bagian atas disambungkan pada arkus zigomatikus (atau tulang frontalis
saat zigoma mengalami fraktur) untuk mencegah elongasi fasial; penanganan
semacam ini mungkin memperberat rotasi midfasial dan mengakibatkan pemendekan
dan pembentukan gigitan terbuka anterior pada banyak pasien. Dengan adanya
perluasan pendekatan akses dan paparan rutin dan fiksasi fraktur midfasial, masalah
ini diketahui dan dihindari dengan hati-hati. Sama halnya, dengan ketersediaan
teknik-teknik fiksasi kaku, penggunaan halo untuk fiksasi eksternal fraktur midfasial
telah menjadi hal yang sangat jarang. Meskipun, kebiasaan menggunakan teknik-
teknik tersebut memiliki nilai dalam memahami berbagai pilihan bedah.
Walaupun daerah diantara buttress secara khusus tidak begitu penting untuk
menyokong struktural, namun buttress sendiri penting. Sehingga, saat terjadi
defisiensi tulang disepanjang buttress ini, maka harus digantikan. Defek berukuran
kurang dari 5 mm pada buttress tunggal mungkin dengan aman dapat ditutup
menggunakan plat. Jika tidak, defek tersebut dapat ditutup menggunakn graft tulang
dari lokasi lainnya. Split kalvarium merupakan sumber bahan graft tulang yang sering
digunakan. Split kalvarium dapat distabilkan di bawah plat, atau dapat digunakan
sebagai plat biologis dan difiksasi pada tulang di setiap ujungnya menggunakan
sekrup tambatan.
Jumlah stabilisasi ( dan jumlah paparan bedah) yang diperlukan untuk
memfiksasi fraktur zigomatikus dapat bervariasi tergantung pada jumlah instabilitas
dan pecahan fraktur. Manson telah mengusulkan bahwa tingkat keparahan cedera
ditentukan oleh jumlah energi yang ditransmisikan pada tulang pada saat cedera. Hal
ini terlihat berdasarkan cedera, sehingga sebenarnya tingkat keparahan merupakan hal
yang dianalisis saat merencanakan reparasi. Namun, untuk fraktur yang mengalami
pergeseran minimal, zigoma cenderung tergantung pada daerah frontozigomatikus
dan reparasi mungkin hanya memerlukan reduksi perkutaneus, dan dapat muncul ke
permukaan atau dapat diam, atau mungkin hanya memerlukan paparan sublabial dan
fiksasi disepanjang daerah zigomatikomaksilaris. Ketika daya yang lebih kuat
mengakibatkan cedera, terdapat kecenderungan terjadinya pecahan fraktur pada
daerah zigomatikomaksilaris, membuatnya menjadi titik yang tidak adekuat untuk
dilakukan reduksi. Paparan pada daerah pelupuk mata bagian bawah memungkinkan
penjajaran dari rima infraorbital, dan juga eksplorasi basis orbita jika diperlukan
nantinya. Akses terutama pada orbita lateral juga bermanfaat, dalam hal penjajaran
zigoma dengan sisi sfenoid yang lebih besar pada orbita lateral cenderung menjadi
batasan reduksi tulang dapat diandalkan. Dengan dampak yang lebih berat, pecahan
fraktur yang lebih jelas menjadikannya lebih sulit untuk memastikan bahwa zigoma
telah diresposisi dengan tepat. Insisi koronal memungkinkan paparan yang lengkap
pada keseluruhan arkus zigomatikus. Ketika zigoma kontralateral tetap intak, daerah
ini berfungsi sebagai referensi reposisi yang baik. Jika tidak, bahkan paparan yang
luas mungkin tidak dapat memastikan reposisi zigoma yang akurat. Radiografi
intraoperatif dapat bermanfaat dalam hal ini. Posisi arkus dapat diperiksa
menggunakan fluoroskopi. Namun, meskipun jarang tersedia, CT-scan intraoperatif
jelas dapat memberikan penilaian posisi tulang yang paling akurat. Jika tidak, CT-
scan postoperatif mungkin mengindikasikan kebutuhan terhadap operasi revisi.
Akhirnya, penting untuk diingat bahwa walaupun sebagian besar defek basis orbita
dapat dievaluasi menggunakan CT-scan preoperatif, kemungkinan adanya defek basis
orbita mungkin tidak terlihat. Hal ini terjadi ketika zigoma terimpaksi berat ke dalam
ruang orbita. Setelah dis-impaksi zigoma, defek basis orbita yang sebelumnya tidak
ditemukan yang memerlukan tindakan reparasi mungkin terdeteksi. Kegagalan dalam
mendeteksi defek ini dapat mengakibatkan enoftalmus postoperatif mendadak.
Endoskop yang ditempatkan pada sinus maksilaris memberikan cara invasif yang
minimal untuk menilai basis orbita pada situasi tersebut. Juga penting untuk
mereparasi rima orbita sebelum menilai dinding orbita, karena posisi rima akan
mempengaruhi posisi secara keseluruhan dan bentuk orbita secara keseluruhan.
Orbita itu sendiri perlu direstorasi sebaik mungkin untuk dapat kembali ke
bentuknya semula sebelum cedera. Hal ini memerlukan pengetahuan terhadap kontour
orbita normal. Tulang tengkorak pada ruang operasi mungkin dapat bermanfaat dalam
hal ini, dan beberapa ahli beda bahkan menempatkan sebuah tulang tengkorak ke
dalam kantung steril dan membentangkan implan dinding orbita pada tengkorak
tersebut. Penting untuk mengenali konveksitas pada basis orbita secara medial di
belakang ekuator tengkorak. Kegagalan dalam memperhatikan hal ini akan
menciptakan kecenderungan terhadap enoftalmus. Juga penting untuk memperbaiki
defek-defek yang cukup besar pada dinding medial dengan alasan yang sama.
Jaringan orbita apapun yang terjebak harus dilepaskan kembali ke dalam posisi
normal mereka pada orbita, dan pemeriksaan forced duction harus dilakukan sebelum
dan sesudah dilakukannya manuver pada orbita. Kontour dinding orbita dapat
direkonstruksi menggunakan bahan autolog atau bahan alloplastik, dan setiap pilihan
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Split kalvarial bone dapat
digunakan, namun sangat kaku dan tidak dapat dibentuk sesuai keinginan. Molding
memerlukan tindakan memotong tulang dan menyatukan berbagai potongan menjadi
bentuk yang berbeda. Split rib lebih lentur dan dapat dibentuk sesuai keinginan,
namun mengalami resorpsi yang lebih besar. Untuk defek-defek berukuran kecil,
kartilago atau tulang septum nasal dan bagian depan tulang maksila telah berhasil
digunakan. Setelah pelepasan rektus inferior, sebuah retakan pada basis orbita dapat
ditutup dengan fascia atau film gelatin. Titanium dapat dibentuk dengan mudah,
namun terdapat kekhawatiran mengenai pertumbuhan jaringan fibrosa pada lubang-
lubang bahan, walaupun tidak ada laporan yang menyatakan timbulnya masalah ini.
Polietilene berpori telah menjadi populer pada beberapa tahun terakhir ini untuk
reparasi defek basis orbita, dan menggantikan bahan-bahan yang dipakai sebelumnya
yang memiliki tingkat ekstrusi yang bervariasi. Sebagian besar ahli bedah
menempatkan implan orbita secara langsung via insisi transkonjungtiva dan
transkutaneus kelopak mata, walaupun baru-baru ini keberhasilan penempatan implan
via sinus maksilaris menggunakan bantuan endoskopi telah dilaporkan. Enoftalmus
umumnya perlu dikoreksi untuk mengkompensasi pembengkakan yang terjadi selama
prosedur operasi itu sendiri. Sebaliknya, hipoftalmus (posisi mata inferior), tidak
perlu dikoreksi, karena koreksi pada arah ini lebih cenderung menetap.
Fraktur-faktur ethmoid naso-orbital (NOE, NEC) merupakan salah satu jenis
fraktur yang paling sulit untuk direparasi. Fraktur-fraktur simpel dimana ligamen
kantus medial tetap melekat pada tulang sentral yang solid (tipe I) direparasi dengan
menstabilkan tulang solid tersebut pada sekitar tengkorak menggunakan plat. Fraktur
ini harus diposisikan dan difiksasi dengan tepat, jika tidak secara perlahan akan
mengalami lateralisasi dan mengakibatkan deformitas yang cukup besar seiring
waktu. Reparasi pada cedera tipe II dan III yang lebih berat bersifat lebih
kontroversial, dan beberapa ahli memperdebatkan preservasi terhadap perlekatan
ligamen apapun pada tulang, sedangkan lainnya merekomendasikan agar prosedur
reparasi terfokus pada ligamen itu sendiri. Dengan ligamen yang terpapar (umumnya
melalui insisi koronal), jahitan permanen atau kawat permanen dimasukkan melewati
ligamen dan jahitan dimasukkan melewati daerah lakrimalis posterior (yang mungkin
ada atau tidak), di belakang tulang nasal, melalui septum nasal, keluar pada daerah
yang sama pada sisi kontralateral (dengan perhatian khusus untuk menghindari cedera
pada sisi kontralateral), dimana jahitan ini dapat difiksasi baik pada tulang frontal
kontralateral (sekitar sekrup, melalui lubang plat, atau melalui lubang rima
supraorbita) atau pada ligamen kantus medial kontralateral. Retraktor yang panjang
(sendok teh yang telah disterilkan juga dapat digunakan) dapat menutupi dan
melindungi tengkorak sisi kontralateral selama memasukkan kawat atau jahitan dari 1
sisi ke sisi lainnya. Jika pendekatan tersebut telah dilakukan, pengikatan kawat akan
memfiksasi kedua ligamen kantus medial secara bersama.

Perawatan yang baik harus diterapkan guna memastikan pengaturan posisi dan
fiksasi dari ligamentum kantal. Bila ligamentum kantal medial sulit diidentifikasi,
ditempatkan hemostat di antara karunkel, lalu didorong ke arah medial. Saat
dilakukan inspeksi, ligamen seharusnya berada kira-kira di sekitar benjolan yang
ditimbulkan oleh hemostat. Bila ligamen tidak terfiksasi ke arah medial, ligamen itu
akan perlahan-lahan bergeser seiring dengan waktu, yang mengakibatkan telekantus,
malposisi karunkel, pemendekan dari kelopak, dan terdapat potensi terjadinya
gangguan fungsi lakrimasi. Juga harus diperhatikan bagian dorsal dari hidung
dibentuk kembali, dan graft tulang harus digunakan apabila diperlukan. Bila tidak
dilakukan, maka akan meningkatkan kemungkinan timbulnya lipatan epikantal.
Beberapa ahli bedah menyarankan pemasangan plat penopang perikutaneus di bawah
lapisan kulit hidung agar terbentuknya rongga konka secara natural. Belum jelas
diketahui apakah metode ini memang dibutuhkan. Meskipun teknik perbaikan ini
dilakukan melalui hidung, tapi teknik ini tidak sama dengan teknik perbaikan fraktur
perikutan, oleh karena itu boleh digunakan dalam menangani fraktur ini sebab tidak
akan memiliki pengaruh.

Bagian sepertiga bawah


Prinsip dasar dari perbaikan fraktur mandibula dibasah di biomekanika tengkorak
wajah. Perbaikan dari fraktur tertentu dibahas lebih rinci disini. Pada mandibula-
dentata, yang paling penting adalah rekonstruksi yang tepat demi fungsi oklusi gigi.
Penopang yang tepat tidak hanya berguna dalam menunjang fungsi ini, tapi juga
memberi tekanan di bagian alveolar pada fraktur. Terkadang, fraktur yang buruk
membuat pemasangan penopang ini menjadi lebih sulit. Kondisi ini ditangani dengan
insisi intraoral yang membuat fraktur menjadi terlihat sehingga mempermudah
dilakukan tindakan reparasi. Bila penempatan sambungan dimulai pada lokasi fraktur,
dan kawat diletakkan di kedua sisi fraktur, tekanan yang kuat dapat menopang fraktur
dengan baik. Kemudian haruslah dilakukan penilaian fungsi oklusi antara gigi
maksilar dan mandibula, dan kawat digunakan hanya selama perbaikan fraktur
dilakukan.
Ada berbagai variasi penanganan untuk kebanyakan fraktur, dan oleh karena
prinsip dasar yang sama dalam penanganan fraktur, ahli bedah bisa memilih metode
yang diinginkan untuk fraktur manapun. Pertama, kemiripan dalam pembagian dan
penahanan beban menentukan pilihan teknik perbaikan untuk menangani fraktur
mandibula. Reparasi ini bergantung pada integritas dari tulang yang ada
mendasarinya, dan fiksasi diposisikan sedemikian hingga tekanan yang timbul dapat
ditahan oleh tulang. Sebagaimana yang telah dibahas, plat kecil di permukaan zona
penekanan akan menyebabkan tulang padat terdorong bersamaan sehingga beban dari
fiksasi tersebar secara merata. Fiksasi mini plat, fiksasi plat kompresi, dan fiksasi
sekrup semuanya merupakan perbaikan yang berdasar pada prinsip pembagian beban
dan membutuhkan penyambungan tulang yang adekuat agar bisa berhasil. Apabila
tulang tidak adekuat untuk menyebarkan tekanan dari fiksasi, misalnya pada kondisi
dimana tulang terlalu tipis dan atrofi, fraktur tidak akan mengalami perbaikan, atau
apabila terdapat bone loss, reparasi haruslah mampu menopang beban diseluruh
permukaan daerah yang direparasi, sehingga perbaikan dengan fungsi penahanan
beban dibutuhkan disini. Teknik ini membutuhkan reparasi yang cukup kuat untuk
menopang beban yang terdapat di suatu area tertentu, sehingga membutuhkan plat
yang panjang dan kuat. Belum lama ini, plat 2.7 mm dan sekrup digunakan dalam
perbaikan mandibula ini, namun, plat titanium 2,4 mm tampaknya memberikan hasil
yang lebih baik. Agar dapat memberi hasil yang lebih baik, sekurang-kurangnya
dibutuhkan 3-4 sekrup bikortikal dipasang pada tulang di masing-masing sisi yang
lemah. Rekonstruksi dengan plat ini juga digunakan dalam perbaikan fraktur
manapun, karena apabila teknik ini cukup kuat untuk menopang suatu defek, maka
teknik ini juga cukup kuat untuk memperbaiki fraktur apapin. Hal ini sesuai dengan
catatan dimana plat rekonstruksi mandibula merupakan pilihan terbaik dalam reparasi
fraktur mandibula.
Bila plat rekonstruksi mandibula bisa digunakan dalam teknik untuk fraktur
manapun, mengapa tidak diterapkan pada semua fraktur? Alasannya adalah plat ini
lebih besar dan membutuhkan banyak sekrup bikortikal, sehingga lebih sulit dipasang.
Plat ini keras, sehingga tidak elastis; plat ini lebih panjang, sehingga memerlukan
insisi yang lebih besar; dan sekrupnya haruslah bikortikal, sehingga harus dipasang di
batasan inferior mandibula, yang pada umumnya membutuhkan insisi dari luar,
terutama pada bagian posterior mandibula. Pemasangan yang salah akan
menimbulkan terjadinya komplikasi.
Dalam penggunaan plat rekonstruksi, pilihan bentuk kepala sekrup juga harus
dipertimbangkan. Berbagai peralatan delah diciptakan, diantaranya terdapat yang
kepala sekrupnya bisa dibuka, kemudian setelah dipasang, sekrup lain lagi dipasang
sehingga sekrupnya terpasang dengan baik di plat. Desain yang lebih baru
menggunakan sekrup yang langsung bisa langsung terkunci pada plat. Keuntungan
dari desain tersebut adalah platnya bisa membengkok tanpa memperburuk kondisi
fraktur, karena sekrupnya terhenti apabila bagian puncaknya telah masuk seluruhnya
ke lubang di plat. Namun penggunaan plat jenis ini haruslah dianggap alternatif.
Fiksasi eksternal juga menjadi pilihan, meskipun kurang stabil. Teknik ini
membutuhkan pin yang dipasang dari luar, sehingga meninggalkan bekas luka dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Sama seperti plat rekonstruksi mandibula,
makin banyak fiksasi, maka akan semakin stabil.
Apabila terdapat fraktur oblik, yaitu ketika tulang terpisah ke arah oblik,
fiksasi dengan sekrup menjadi pilihan utama, dengan atau tanpa fiksasi plat.
Setidaknya dibutuhkan 2 sekrup untuk mencegah rotasi di sekeliling sekrup yang
awal, dan butuh 3 agar fiksasi makin kuat.

Di bagian yang melengkung, ketika perbaikan penyebaran beban bisa


dilakukan, ada berbagai pilihan yang bisa digunakan. Oleh karena bentuk tulangnya
melengkung, ada bagian kortex yang keras pada kedua bagian fraktur yang bisa
dipasangi sekrup. Ketika dilakukan pemasangan sekrup, sebaiknya digunakan 2
sekrup, meskipun tidak harus, sebaiknya kepala masing-masing sekrup dipasang di
sisi yang berlawanan dari fraktur (gambar 23-31). Bisa juga digunakan 2 miniplat,
dengan setidaknya 2 sekrup pada masing-masing sisi. Penggunaan sekrup yang
dianjurkan adalah sekrup berukura 2mm. Setelah miniplat telah terpasang, bisa juga
digunakan plat kompresi bikortikal di batasan inferior mandibula.
Pada bagian utama, 1 miniplat dikatakan sudah adekuat, asalkan pasien tidak
mengunyah pada sisi yang terdapat fraktur selama masa penyembuhan. Kombinasi
dengan plat kompresi bikortikal juga dapat digunakan.
Bagian sudut merupakan bagian yang lebih sulit diperbaiki, oleh karena itu
teknik reparasi juga lebih kontroversial. Penggunaan plat dan plat tekanan tidaklah
disarankan. Malah sebaiknya dianjurkan penggunaan miniplat atau plat rekonstruksi.
Namun penggunaan miniplat juga masih kontroversial. Champy dkk menganjurkan 1
plat 2mm diletakkan pada garis obliq. Pasien lalu dilarang untuk mengunyah di sisi
tersebut selama 6 minggu. Kroon dan rekan-rekannya melakukan penelitian yang
menunjukkan perubahan lokasi tekanan, yang kemudian menyarankan penggunaan 2
miniplat pada bagian sudut. Levy dkk meninjau berdasarkan hasil, menggunakan 1
miniplat dan membandingkan hasilnya dengan pasien yang dipasangi 2 miniplat.
Terdapat hasil yang jelas berbeda, dimana 3,1% pasien dengan 2 miniplat mengalami
infeksi, dan 26,3% pasien dengan 1 miniplat mengalami infeksi. Fox dan Kellman
melaporkan tingkat infeksi 2,9% pada 72 pasien dengan 2 miniplat berlubang 4. Potter
dan Ellis, sebaliknya melaporkan tingkat komplikasi yang rendan pada pasien dengan
1 miniplat 1,3mm. Yang termasuk dalam kategori komplikasi berat yaitu pasien harus
dioperasi lagi, sehingga kegagalan dalam operasi tidak termasuk dalam komplikasi
berat. Siddiqui dkk menemukan tidak ada perbedaan besar dalam penggunaan 1 atau 2
miniplat. Namun penggunaan sampelnya hanya sedikit. Dan meskipun ada banyak
komplikasi ringan, tidak ditemukan adanya kegagalan operasi dalam kedua kelompok
ini, sehingga sulit diambil kesimpulan yang jelas. Niderdelmann dkk meneliti teknik
penggunaan sekrup untuk fraktur sudut mandibula, namun teknik ini sulit, dan
sebaiknya tidak diterapkan kecuali jika operator bedahnya memiliki pengalaman yang
baik.
Jumlah fiksasi yang dibutuhkan untuk fraktur ramus mandibula masih kurang
jelas, namun lebih dipilih untuk menggunakan 2 miniplat 2mm untuk fraktur ini.
Penanganan fraktur sobkondilar menjadi yang paling kontroversi, dan banyak ahli
bedah menangani sebagian besar dengan fiksasi maksilomandibular. Reduksi tertutup
telah diterima dengan baik selama bertahun-tahun, oleh karena penanganan ini
sepenuhnya tertutup bukannya reduksi. Fiksasi maksilomandibular juga melatih
fungsi oklusi mandibula untuk kembali seperti semula, dan bersamaan dengan
fisioterapi, memberikan hasil yang baik. Namun jika hasil radiologi dilakukan pada
periode akhir dari reduksi tertutup, posisi dari pecahan kondilar tidak bisa dirubah
lagi. Jika teknik ini yang dipilih, sebaiknya fiksasi dilepas setelah 10-14 hari, agar
fisioterapi bisa dilakukan lebih awal. Bila terjadi gangguan oklusi, ahli bedah bisa
melakukan penggantian fiksasi atau dilakukan reduksi terbuka. Belum diketahui pasti
apakah kondisi pasien lebih baik apabila dilakukan reduksi rebuka, dan bersamaan
dengan fakta bahwa adanya resiko cedera nervus fasialis (yang merupakan komplikasi
berat) berujun pada pemilihan penanganan tertutup. Kebanyakan ahli bedah
menganggap indikasi klasik untuk reduksi terbuka, sebagaimana dilaporkan Zide dan
Kent pada 1983, diantaranya (1) disposisi kondilar ke tulang tengah (2) tidak terdapat
reduksi (3) disposisi ekstrakapsular lateral pada kondilus (4) infasi dari badan asing.
Indikasi relatif lebih sering terdapat, yaitu (1) fraktur kondilar bilateral pada
mandibula (2) fraktur kondilar yang tidak bisa dilakukan splint (3) fraktur kondilar
bilateral dengan fraktur wajah tengah, (4) fraktur kondilar bilateral yang terkait
gnatologi. Penelitian yang lebih baru menemukan bahwa kondisi pasien lebih baik
bila dilakukan reduksi terbuka. Masalah utama adalah komplikasi paralisis nervus
fasialis bisa dikurangi sehingga bisa lebih sering dilakukan reduksi terbuka. Setelah
adanya reparasi transoral dengan endoskopi, terjadi pergeseran paradigma yang
berlaku. Meskipun angka keberhasilannya tinggi dan angka komplikasi sangat rendah,
teknik ini masih cukup sulit, dan membutuhkan instrumen yang baik untuk
menunjang tindakan operasi. Namun dengan pengalaman yang cukup, teknik ini
mungkin saja bisa menjadi teknik yang dipergunakan secara luas, sehingga fraktur
subkondilar bisa ditangani dengan lebih baik.
Meskipun fokus utamanya adalah pada reduksi terbuka, masih bisa pula
dilakukan reduksi tertutup pada fraktur mandibula. Reduksi tertutup lebih mengacu
pada penggunaan fiksasi maksiloandibular sebagai penanganan utama utntuk fraktur
mandibula. Secara umum. Reduksi tertutup membutuhkan 4-6 minggu. Gigi tidaklah
harus adekuat untuk menopang batangan yang digunakan, dan pasien harus bersedia
untuk bekerjasama selama periode fiksasi. Pasien juga harus diamati, untuk
mengetahui apakah terdapat tanda-tanda pergerakan dari serpihan tulang, dan apabila
tulang bergeser atau muncul tanda infeksi, maka harus dilakukan reduksi terbuka.
Penanganan untuk gigi yang terdapat sejajar dengan garis fraktur mandibula
juga telah berkembang. Sebelum penggunaan antibiotik menjadi semakin sering,
terdapatnya gigi pada suatu fraktur dianggap beresiko tinggi terkena infeksi atau
bahkan osteomielitis. Pencabutan gigi dapat mengurangi komplikasi ini. Penelitian
yang baru juga masih memperoleh angka insidensi infeksi yang tinggi apabila fraktur
terjadi di sekitar gigi, namun pencabutan gigi sudah tidak berpengaruh lagi terhadap
angka infeksi yang memang telah menurun. Oleh karena itu, gigi tidak perlu dicabut
apabila tidak mengganggu tindakan reduksi. Sebaliknya, gigi yang terinfeksi atau
mengalami abses harus dicabut. Perlu diketahui pula, di bagian sudut, gigi molar 3
berpengaruh besar terhadap daerah persimpangan tulang, dan apabila gigi ini dicabut
dapat mengganggu keseimbangan fraktur dan perbaikannya. Iizuka dan Lindqvist
menemukan angka komplikasi yang lebih tinggi apabila gigi ini dicabut pada saat
dilakukan reparasi. Oleh karena itu, mereka menyarankan agar fraktur ini distabilkan
dahulu sebelum gigi dicabut dengan menggunakan perbaikan load-bearing, sehingga
gigi bisa dicabut.

Mandibula edentula
Mandibula edentula memiliki 2 masalah. Pertama adalah tidak adanya gigi, yang
berperan besar untuk fungsi pengunyahan. Yang kedua adalah banyaknya atrofi
mandibula.
Oklusi berperan penting dalam reposisi serpihan tulang. Oleh karena itu, bila
tersedia gigi palsu, maka sebaiknya digunakan sebagai penopang untuk membantu
penyusunan garis tulang. Reposisi fungsional sangat penting, meskipun tidak terdapat
gigi, karena reposisi yang tidak tepat dapat menyebabkan rehabilitasi dengan protesa
menjadi lebih sulit, bahkan tidak mungkin. Dan meskipun protesa bisa dibuat, tekanan
pada sendi temporo mandibular dapat menyebabkan komplikasi pada pasien.
Atrofi mandibular adalah masalah yang lebih besar, karena memiliki angka
komplikasi yang tinggi. Miskonsepsi yang umumnya terjadi adalah anggapan bahwa
mandibula itu kecil, sehingga hanya dibutuhkan plat kecil untuk memperbaikinya.
Padahal, tekanan yang terdapat pada mandibula begitu besar, dan kurangnya jumlah
tulang berarti sedikitnya kontak antar tulang, yang dibutuhkan untuk penyembuhan,
dan tulang tipis tidak cukup baik dalam menahan beban apabila digunakan plat kecil.
Oleh karenanya, atrofi mandibula merupakan kontra indikasi untuk reparasi load-
sharing. Demi mengurangi angka komplikasi, reparasi load-bearing menjadi pilihan
reparasi, dimana tindakan ini membutuhkan plat yang panjang dan kuat dengan
beberapa titik fiksasi dengan menggunakan sekrup bikortikal. Dengan metode ini,
angka keberhasilan untuk penyembuhan tulang pada fraktur ini telah meningkat
drastis.

Fraktur panfasial
Masing-masing fraktur ini bisa direparasi. Namun apabila semua atau sebagian besar
dari tulang tengkorak mengalami fraktur, jauh lebih sulit untuk menyusun kembali
bentuk 3 dimensi yang reposisi yang tepat dari serpihan fraktur. Secara logika,
rekonstruksi harus dilakukan dari bagian yang jelas hingga tidak jelas, yang artinya
dari stabil hingga ke tidak stabil. Dengan pengecualin dari fungsi oklusi yang
seharusnya menjadi tujuan utama dalam reparasi, rekonstruksi ini dilakukan dari
bagian perifer menuju medial. Bagian kranial diperbaiki terlebih dahulu agar dapat
menjadi dasar untuk reposisi zigoma. Panjang wajah diperbaiki dengan rekonstruksi
mandibula, agar gigi di mandibula bisa menjadi dasar untuk reposisi penopang gigi
maksilaris. Hilangnya gigi dan hancurnya tulang menjadi indikiasi wajib untuk
penggunaan protesa. Pada fraktur panfasial, reduksi terbuka untuk fraktur subkondilar
merupakan komponen yang sangat penting dalam reparasi, oleh karena ramus
mandibula adalah tolak ukur dalam mengetahui panjang wajah. Maksila bagian bawah
lalu distabilkan ke zigoma diatasnya dan gigi mandibula dibawahnya. Setelah maksila
telah direposisi dan direkonstruksi, fokus utama berpindah ke wajah bagian tengah,
yaitu hidung dan kompleks nasal-etmoid. Setelah keseluruhan bentuk wajah telah
diperbaiki, barulah beralih pada bagian di sekitar bola mata. Apabila berhasil, maka
hasil CT-scan akan menunjukkan bentuk permukaan wajah yang normal

Komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah tidak terjadi reduksi yang baik. Bila terjadi
pada tulang penopang gigi, akan terjadi maloklusi. Jika kelainannya hanya kecil,
maka tidak dibutuhkan tindakan operasi, namun hal ini sepenuhnya bergantung pada
ahli bedah dan pasien sendiri. Bila maloklusi sudah sangat jelas, maka tindakan
operasi harus dilakukan. Apabila teknik reduksi tertutup digunakan, maloklusi bisa
diperbaiki dengan fiksasi maksilomandibular. Tetapi apabila sudah menggunakan
fiksasi keras, maka untuk memperbaiki malposisi hanya dibutuhkan pencabutan plat
dan reposisi. Apabila arah penyembuhan tulang tidak tepat, akan terjadi malunion.
Terminologi malunion berarti telah terjadi penyembuhan tulang, berbeda dengan non
union. Pada bagian lain dari wajah, malunion biasanya menyebabkan asimetris. Pada
daerah bola mata, malposisi ini dapat menyebabkan enoftalmitis. Bila dasar rongga
orbita tidak dibentuk dengan baik, bisa juga terjadi hipoftalmus. Deformitas ini
membutuhkan eksplorasi kembali dan penempatan graft. Apabila fraktur naso-etmoid-
orbita tidak direparasi dengan baik, akan terjadi telekantus, meskipun kelainan ini
biasanya tidak tampak. Deformitas akan mulai tampak di kemudian hari.
Non union adalah komplikasi yang lebih berat, jarang terjadi pada wajah
bagian tengah dan atas, tapi sering terjadi pada mandibula. Yang menjadi
penyebabnya adalah adanya pergerakan di lokasi fraktur, dan dapat terkait dengan
adanya infeksi pada gigi. Apabila serpihan fraktur dapat berpindah, pergerakan ini
mengganggu proses penyembuhan tulang dan tampaknya menjadi faktor predisposisi
timbulnya infeksi. Apabila terjadi infeksi, maka bisa terjadi osteomielitis. Hal ini
menyebabkan hilangnya tulang sehingga menyebabkan nonunion. Dan meskipun
infeksi sudah berhasil diobati, bagian yang sembuh hanyalah jaringan fibrosa,
bukannya tulang. Hal ini terjadi apabila cedera mengakibatkan hilangnya tulang.
Pertumbuhan tulang dan jaringan fibrosa sama-sama terjadi. Apabila jaringan fibrosa
tumbuh lebih dahulu, maka sambungan antar serpihan tulang tidaklah kuat, sehingga
ada pergerakan diantara patahan tulang. Kelainan ini disebut pseudoartrosis, oleh
karena bagian ini merupakan suatu sambungan palsu. Kelainan ini pula sering disebut
nonunion, atau nonunion fibrosa. Jika tulang telah distabilkan disekitar bagian ini
dengan menggunakan fiksasi, ada kemungkinan tulang akan sembuh. Bila terjadi
osteitis, maka harus dilakukan debridemen tulang selain dengan menggunakan
antibiotik.
Komplikasi jaringan lunak juga bisa muncul. Yang paling umum adalah
timbulnya bekas luka. Hal ini bisa dicegah dengan resuspensi yang baik pada jaringan
lunak sebelum lukanya menutup sempurna. Malposisi bagian bawah misalnya
ektropion atau entropion dapat terjadi juga. Penanganan harus menghindari timbulnya
luka pada septum orbita, agar tidak terjadi retraksi yang berlebihan selama reparasi.
Jahitan yang dibiarkan 1-2 hari setelah operasi dapat mengurangi terjadinya hal ini.
Disarankan untuk dilakukan masase, setelah minggu pertama, untuk mengurangi
timbulnya bekas luka. Fiksasi sutura subkutan pada ala nasi akan mencegah timbulnya
pelebaran basis ala. Penggunaan insisi koronal juga bisa menyembunyikan luka ini
dengan rambut.
Bagian yang lain juga dapat mengalami kelainan, baik karena trauma atau oleh
karena proses pembedahan. Yang paling ditakuti adalah cedera pada otak dan mata.
Ahli bedah harus berhati-hati dalam melakukan eksplorasi mata. Bisa terjadi cedera
oleh karena tindakan pembedahan pada cabang dari nervus trigeminus. Bisa juga kena
nervus pada supra orbital dan supratroklearis ketika dilakukan flapping di bagian
supraorbita. Saraf pada bagian infraorbita juga bisa terkena. Nervus fasialis paling
beresiko apabila dilakukan tindakan pembedahan, oleh karena itu ahli bedah harus
berhati-hati agar tidak mencederai nervus fasialis. Kelenjar air mata bisa rusak oleh
karena trauma, namun bisa juga oleh karena pembedahan. Kerusakan pada otot diluar
mata dan sarafnya akan menimbulkan diplopia.
Perihal ini membahas keseluruhan dari managemen trauma maksilofasial.
Tindakan ini sangat bergantung pada teknik pembedahan yang dilakukan. Misalnya
pada reparasi primer, hal terpenting adalah penanganan teliti dengan menggunakan
evaluasi CT scan, dilanjutkan dengan perencanaan untuk prosedur yang sulit ini.
Terkadang prostesa dapat digunakan untuk membantu proses rekonstruksi. Meskipun
dengan perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang tepat, ada kemungkinan
juga tidak diperoleh hasil yang maksimal

Batasan baru
Tidaklah mungkin mengetahui dengan tepat bagaimana cedera maksilofasial akan
ditangani di masa depan. Namun beberapa teknologi baru dapat memberi gambaran
dalam mengetahui arah perkembangan yang ada. Penggunaan endoskopi dalam
penanganan tramua pada wajah telah memperbaharui cara ahli bedah dalam
menangani fraktur mandibula dan orbita. Beberapa diantaranya juga telah menerapkan
teknik ini dalam penanganany fraktur yang lebih kompleks, misalnya fraktur zigoma
dan frontal, dan berbagai variasi osteotomi maksilofasial. Perkembangan CT scan dan
teknik navigasi memungkinkan penggunaan teknik operasi perikutan yang lebih
sering dalam perbaikan tulang wajah.
Teknologi yang terus berkembang memungkinkan dilakukan perbaikan untuk
kelainan kongengital, dan juga perbaikan traumatik sekunder, sebagaimana halnya
untuk rekonstruksi pada trauma primer.
Kemajuan dalam pemahaman prinsip biomekanika telah membuat teknik
fiksasi makin berkembang. Penerapan dari teknologi ini memungkinkan penggunaan
materi yang ada dalam menangani seluruh trauma fasial. Ke depan nanti, masalah-
masalah yang muncul saat ini bisa ditangani dengan timbulnya bahan baru.
Pada akhirnya, bahan pengganti tulang dan lem hingga saat ini masih diteliti
dengan ketat. Apabila digabungkan dengan protein yang dapat merangsang
penyembuhan tulang, mungkin saja suatu saat teknologi rekonstruksi akan
memberikan kesempatan bagi ahli bedah untuk melakukan perbaikan dan
pembentukan tulang wajah yang lebih terkontrol.

Anda mungkin juga menyukai