Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Berdasarkan data Departemen
Kesehatan RI (2007) menunjukkan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2005 terdapat
peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case
fatality rate sebesar 1,01%. (Chen, 2009).
Menurut Achmadi (2010) demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-
tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009,
World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama
41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang menyebabkan
masalah dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi, penyebaran penyakit yang mudah
meluas dan terutama menyerang anak-anak. Pada DBD yang terlambat ditegakkan diagnosisnya
sering berakibat fatal.
Masa kritis dari penyakit ini terjadi pada akhir fase demam yaitu pada Dengue Syok Syndrome
(DSS), karena pada saat itu terjadi penurunan suhu tubuh yang tiba-tiba dan sering disertai dengan
gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringanya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi
ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami
syok. Syok pada demam berdarah (DSS) merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat
perhatian serius. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, pasien dapat meninggal
dalam waktu 12 24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat penggantian cairan yang memadai.
Apabila syok tidak dapat segera diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis
metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis yang
buruk (DepKes RI, 2004). Menurut Wiradharma (2009) angka kematian kasus DBD pada
penderita yang tidak dirawat dan diobati segera mencapai 50%, tetapi angka tersebut menurun
sampai 5 % dengan tindakan yang cepat dan tepat, baik dalam diagnosis maupun dalam
penatalaksanaannya.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat, di Indonesia jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah, maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) setiap tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk (PSN),
terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotype virus
yang bersirkulasi sepanjang tahun (Mujida, 2009). Sedangkan menurut Khie Chen (2009) berbagai
faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, Tidak
efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana
transportasi.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk)
harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan
tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada
terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien (Chen, 2009).
Berdasarkan fenomena dan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk
membahas mengenai asuhan keperawatan kegawatan pada pasien demam berdarah.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan kegawatan pada pasien demam
berdarah
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian demam berdarah dengue
b. Mengetahui penyebab demam berdarah dengue
c. Mengetahui patofisiologi demam berdarah dengue
d. Mengatahui pathogenesis demam berdarah dengue
e. Mengetahui klasifikasi demam berdarah dengue
f. Mengetahui manifestasi klinis demam berdarah dengue
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang demam berdarah dengue
h. Mengetahui penatalaksanaan demam berdarah dengue
i. Mengetahui asuhan keperawatan demam berdarag dengue

C. Manfaat
1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu keperawatan tentang
kegawatan pada pasien dengan demam berdarah.
2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan) kepada pasien dan
keluarganya tentang kegawatan pada pasien demam berdarah.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit DBD


1. Pengertian
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn virus)
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai
sekarang dikenal ada 4 jenis virus dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam
dangue maupun demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes
Albocpitus. (Soegijanto, 2004).

2. Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus dangue termasuk
family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus
DEN-3 sering menimbulkan wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok
virus yang relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang
pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid,
ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E
dan protein membrane M.

3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang
mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada
kasus-kasus berat. (Gubler, 1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan
ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler, trombositopeni,
dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).
4. Patogenesis
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypty atau
Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang
belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.
Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya. Setelah
terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di
sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan mengaktifasi komplemen.
Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A yang akan merupakan mediator
yang mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan
perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang terbentuknya
antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang
tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat
pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag
yang menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki
sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin yang
memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus
mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin kerja adalah
sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang
infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi
limfosit, sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.
Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septic
banyak berhubungan dengan mediator.

Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih
besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 %
dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu. Virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte, 1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
factor pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan akan mempercepat syok yang terjadi (Suvatte, 1977).

5. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 yaitu :
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis (nyeri ulu
hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.

b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan,
muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari
(tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

6. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab
yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik,
2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya
menurun pada hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari,
telinga dan hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38-40 C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
Gambar: Kurva suhu pada DHF
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk
perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan fraglita kapiler meingkat
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak,
demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis,
epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa
cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus.
Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan
dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok
yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian
Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat
dan lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan. Kadar
trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan dua kriteria
tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi
secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey, 2012).

Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran, Chong, Ng, Suhail,
Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan
dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.

d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan
karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG
dapat digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh
berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun
tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody
HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada
studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat
dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen
daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru
terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga
berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3
tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara Plaque
Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque
yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan
antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-
8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan
(Vasanwala dkk, 2011).

4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)


Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue karena
IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang.
Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM
dapat bertahan dalam darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji
Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan
satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR)
sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan
dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang
berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama dengan
isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang
kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari
PCR (Vasanwala dkk, 2011).

8. Penatalaksanaan
a.Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu pencegahan
dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah. DinasKesehatan Kota
Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan
dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi / WC,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).

Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk


dengan cara:
1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang sulit dikuras atau
sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos (abate) atau Altosid. Temephos atau
Altosid ditaburkan 2-3 bulan sekali dengan takaran 10 gram Abate ( 1 sendok
makan peres)
untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( 1/4 sendok makan
peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat diperoleh di puskesmas atau di
apotik.
2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3 kasus positif DBD
dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di daerah tersebut ditemukan banyak
jentik nyamuk.

Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya mengalami demam
tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh kekurangan cairan karena
penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai adalah muntah atau intake tidak adekuat
(tidak mau minum), akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama
yang dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan minum 2
liter/hari (kira kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15 menit. Minuman yang
diberikan sesuai selera misalnya air putih, air teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit,
shoft drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini. Untuk
mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan jumlah atau
frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6 kali sehari menunjukkan
pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit, tapi butuh
kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah sebagai berikut (WHO,
1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari (lebih banyak
lebih baik)
2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas. Parasetamol
sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih dari 4 kali sehari. Jangan
memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat menimbulkan gastritis dan
atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion tambahan ( pocari
sweet )
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam kuantitas yang
banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari

Jenis minuman yang di rekomendasikan bagi penderita DBD merupakan


sebagian dari obat demam berdarah yang dimaksudkan untuk menghindari pasien
dari kekurangan cairan, antara lain :
a) Jus Buah
Untuk mengatasi kekurangan cairan karena demam berdarah dapat
memberikan banyak cairan berupa air jus. Tidak selalu harus jus jambu biji,
bisa memberikan jus buah lain seperti jus pepaya, jeruk, atau jus mangga.
Dengan kadar air dalam buah berhitung tinggi antara 65 sampai 92 persen,
sehingga bisa mensuplai atau menutupi kekurangan cairan akibat merembesnya
plasma darah keluar dari pembuluh.
b) Air Kelapa Muda
Air kelapa muda banyak megandung mineral kalium, sodium, klorida, dan
magnesium. Zat-zat ini adalah elektrolit yang dibutuhkan tubuh untuk
membantu mengatasi ancaman syok pada kondisi kekurangan cairan. Selain
kalium, juga mengandung gula, vitamin B dan C dan protein. Komposisi gula
dan mineral yang terdapat dalam air ini begitu sempurna, sehingga memiliki
keseimbangan yang mirip dengan cairan tubuh manusia.
c) Air Heksagonal
Air heksagonal merupakan air yang banyak mengandung oksigen, air telah
banyak dikembangkan untuk membantu metabolisme tubuh sehingga bisa
menjaga stamina dan vitalitas, termasuk bagi yang menderita demam berdarah.
d) Alang-Alang
Dalam kandungan Alang-alang terdapat manitol, glukosa, sakharosa, malic
acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin, fernenol, simiarenol, anemonin,
asam kersik, damar, dan logam alkali. Dilihat dari kandungan-kandungan
tersebut, alang-alang bersifat antipiretik (menurunkan panas), diuretik
(meluruhkan kemih), hemostatik (menghentikan perdarahan), dan
menghilangkan haus.

Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam maka perlu
diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan cairan akibat demam
tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus
diberikan obat penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun panas.
Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal dari golongan
parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh
karena dapat merangsang lambung sehingga akan memperberat bila terdapat
perdarahan lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam terlalu
tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres dingin, oleh karena
kompres dingin dapat menyebabkan anak menggigil. Sebagai tambahan untuk anak
yang mempunyai riwayat kejang demam disamping obat penurun panas dapat
diberikan obat anti kejang (IDAI, 2009).
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan baik karena
sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik maka akan menyusul
gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita akan
tampak sangat kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah
tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan
kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh
karena itu penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila terdapat tanda gejala
dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat, seluruh badan
teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus, kencing berkurang atau tidak
ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau penurunan
jumlah trombosit

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam
menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan
apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan
Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila ada anggota
masyarakat yang terkena DBD.
Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet bagi kader
kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam berdarah dengue memberikan
gambaran bahwa setelah diberikan penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet
terjadi perubahan yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang
penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana yang dapat
dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan kesehatan.

b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat


Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan ease awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah
trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung
pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan
suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat
sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat
ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD
derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang
rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (DepKes RI, 2005).
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah
atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus
dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-
100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus
diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping
antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).
Tabel 1
Dosisi Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500
mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-
5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak
hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan
Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai
Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian,
penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus
syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus
menerus smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam
larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%
1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan
yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,
yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%).
Tabel 2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 8 %)
Berat Badan waktu masuk RS ( Jumlah cairan Ml/kg berat
kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur


dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama (DepKes RI, 2005).

2) Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak akan cepat mengalami syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB.
Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat
badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam,
bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan
tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid
danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada
umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap
sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat
diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan
infuse dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes
RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik
dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang
terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien
SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan
apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah
urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok
teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis
dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan (DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang
masker oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun
telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit (DepKes
RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID
dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan
hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis
tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI, 2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil.
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
- Jumlah dan frekuensi dieresis

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah
diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi
dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI,
2005).
Alur Tersangka DBD

Tersangka DBD

Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan

Pasien tidak dapat minum


Pasien
9. masih dapat minum
Beri
10.Minum banyak 1-2 liter/ hari
atau
11.1 swndok makan tiap 5 menit
Jenis minum: air putih, teh manis,
12. Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
jus buah, susu, oralit
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi nadi perifer HT naik dan / atau trombosit turun
Ujur diuresis
Awasi perdarahan
Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 6-
12 jam
Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)

Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik
Nafsu makan membaik, secara klinis
tampak perbaikan
Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL
3 hari setelah syock teratasi, tidak
dijumpai distress nafas

Gambar: Alur Tersangaka DBD (Sumber: DepKes RI, 2005


Penatalaksanaan DBD Derajat I dan II
Cairan Awal

RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl +


D5 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital / nilai Ht dan


Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
13. kuat
Nadi Distress pernapasan
Tekadan
14. Darah stabil Frekuensi nadi
Diuresis Cukup meningkat
HT turun (2x HT tetap tinggi / naik
pemeriksaan) Tekanan nadi < 20
mmHg
Tetesan dikurangi 5 Tanda vital memburuk Diuresis kurang/tidak
ml/kgBB/jam Ht meningkat
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kg BB/jam
Perbaikan

Evaluasi 12-24 jam


Perbaikan
Sesuaikan tetesan
3 ml/kg BB/jam
Tanda vital tidak stabil

Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup

Koloid 20-30 ml/kgBB/


Tranfusi darah segar 10
ml/kgBB
Indikasi tranfusi:
Syok belum teratasi
Perdarahan masif

Perbaikan
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat I dan II (Sumber: DepKes RI, 2005)
Penatalaksanaan DBD Derajat II dan III

DBD Derajat III dan IV

1. Oksigenasi (O2 2-4 lt/mnt)


2. Penggantian volume plasma segera (cairan
kristaloid isotonis): RL/NaCl 0,9% 20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit apakah syock teratasi?


Syock teratasi:
Syock teratasi: Kesaaran menurun
Kesadaran membaik Tekanan nadi < 20
Tekanan nadi > 20 mmHg mmHg
Tidak sesak nafas/tidak Distress nafas/sianosis
sianosis Dingin
Ekstremitas hangat Periksa kadar gula
Diuresis cukup 1
ml/kgBB/jam 1. Lanjutkan cairan 15-
20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan
koloid/plasma
Cairan & tetesan disesuaikan dekstran /FFP 10-20
10 ml/kgBB/jam (max 30 ml/kgBB)
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Hb stabil alam 2 x periksa Ht tetap tinggi/ meningkat
Ht menurun
Koloid 20 ml/kgBB

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak lebih 48 jam


Setelah syok teratasi

Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)

Anda mungkin juga menyukai