PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Berdasarkan data Departemen
Kesehatan RI (2007) menunjukkan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2005 terdapat
peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case
fatality rate sebesar 1,01%. (Chen, 2009).
Menurut Achmadi (2010) demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-
tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009,
World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD
tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama
41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang menyebabkan
masalah dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi, penyebaran penyakit yang mudah
meluas dan terutama menyerang anak-anak. Pada DBD yang terlambat ditegakkan diagnosisnya
sering berakibat fatal.
Masa kritis dari penyakit ini terjadi pada akhir fase demam yaitu pada Dengue Syok Syndrome
(DSS), karena pada saat itu terjadi penurunan suhu tubuh yang tiba-tiba dan sering disertai dengan
gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringanya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi
ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami
syok. Syok pada demam berdarah (DSS) merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat
perhatian serius. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, pasien dapat meninggal
dalam waktu 12 24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat penggantian cairan yang memadai.
Apabila syok tidak dapat segera diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis
metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis yang
buruk (DepKes RI, 2004). Menurut Wiradharma (2009) angka kematian kasus DBD pada
penderita yang tidak dirawat dan diobati segera mencapai 50%, tetapi angka tersebut menurun
sampai 5 % dengan tindakan yang cepat dan tepat, baik dalam diagnosis maupun dalam
penatalaksanaannya.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat, di Indonesia jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah, maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) setiap tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk (PSN),
terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotype virus
yang bersirkulasi sepanjang tahun (Mujida, 2009). Sedangkan menurut Khie Chen (2009) berbagai
faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
Pertumbuhan penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, Tidak
efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana
transportasi.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk)
harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan
tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada
terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien (Chen, 2009).
Berdasarkan fenomena dan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk
membahas mengenai asuhan keperawatan kegawatan pada pasien demam berdarah.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan kegawatan pada pasien demam
berdarah
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian demam berdarah dengue
b. Mengetahui penyebab demam berdarah dengue
c. Mengetahui patofisiologi demam berdarah dengue
d. Mengatahui pathogenesis demam berdarah dengue
e. Mengetahui klasifikasi demam berdarah dengue
f. Mengetahui manifestasi klinis demam berdarah dengue
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang demam berdarah dengue
h. Mengetahui penatalaksanaan demam berdarah dengue
i. Mengetahui asuhan keperawatan demam berdarag dengue
C. Manfaat
1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu keperawatan tentang
kegawatan pada pasien dengan demam berdarah.
2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan) kepada pasien dan
keluarganya tentang kegawatan pada pasien demam berdarah.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2. Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus dangue termasuk
family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus
DEN-3 sering menimbulkan wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok
virus yang relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang
pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid,
ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E
dan protein membrane M.
3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang
mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada
kasus-kasus berat. (Gubler, 1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan
ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler, trombositopeni,
dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).
4. Patogenesis
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypty atau
Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang
belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.
Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya. Setelah
terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di
sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &
Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibody,
membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan mengaktifasi komplemen.
Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A dan C5A yang akan merupakan mediator
yang mempunyai efek farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan
prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan
perdarahan. (Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang terbentuknya
antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang
tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat
pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag
yang menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki
sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin yang
memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus
mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme sitokin kerja adalah
sebagai mediator pada imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang
infeksius, sebagai regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi
limfosit, sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator
pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.
Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septic
banyak berhubungan dengan mediator.
Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih
besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 %
dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu. Virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte, 1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
factor pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan akan mempercepat syok yang terjadi (Suvatte, 1977).
5. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 yaitu :
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala klinis (nyeri ulu
hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti mimisan,
muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah
(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut, hidung dan jari
(tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
6. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak tanpa sebab
yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik,
2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya
menurun pada hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari,
telinga dan hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut
(38-40 C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
Gambar: Kurva suhu pada DHF
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk
perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan fraglita kapiler meingkat
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini juga dapat dijumpai pada campak,
demam chikungunya, tifoid, dll. Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis,
epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa
cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus.
Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan
dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok
yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk (Bagian
Patologi Klinik, 2009). Kegagalan sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat
dan lemah disertai penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien terlihat gelisah.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya renjatan. Kadar
trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DBD dengan dua kriteria
tersebut ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi
secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey, 2012).
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai pertimbangan
karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG
dapat digunakan sebagai alat menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh
berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun
tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody
HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada
studi serologi-epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat
dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen
daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru
terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga
berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3
tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memamkai cara Plaque
Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque
yang terjadi. Anti body neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan
antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-
8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan
(Vasanwala dkk, 2011).
8. Penatalaksanaan
a.Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu pencegahan
dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah. DinasKesehatan Kota
Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan
dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi / WC,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).
Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya mengalami demam
tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh kekurangan cairan karena
penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai adalah muntah atau intake tidak adekuat
(tidak mau minum), akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama
yang dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan minum 2
liter/hari (kira kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15 menit. Minuman yang
diberikan sesuai selera misalnya air putih, air teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit,
shoft drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini. Untuk
mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan jumlah atau
frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6 kali sehari menunjukkan
pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit, tapi butuh
kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah sebagai berikut (WHO,
1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari (lebih banyak
lebih baik)
2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas. Parasetamol
sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih dari 4 kali sehari. Jangan
memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat menimbulkan gastritis dan
atau perdarahan.
3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion tambahan ( pocari
sweet )
4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam kuantitas yang
banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari
Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam maka perlu
diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan cairan akibat demam
tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus
diberikan obat penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun panas.
Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal dari golongan
parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh
karena dapat merangsang lambung sehingga akan memperberat bila terdapat
perdarahan lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam terlalu
tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres dingin, oleh karena
kompres dingin dapat menyebabkan anak menggigil. Sebagai tambahan untuk anak
yang mempunyai riwayat kejang demam disamping obat penurun panas dapat
diberikan obat anti kejang (IDAI, 2009).
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan baik karena
sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik maka akan menyusul
gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita akan
tampak sangat kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah
tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan
kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Oleh
karena itu penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila terdapat tanda gejala
dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat, seluruh badan
teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa haus, kencing berkurang atau tidak
ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah atau penurunan
jumlah trombosit
Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam
menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan
apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan
Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila ada anggota
masyarakat yang terkena DBD.
Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet bagi kader
kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam berdarah dengue memberikan
gambaran bahwa setelah diberikan penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet
terjadi perubahan yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang
penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana yang dapat
dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan kesehatan.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-
5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak
hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan
Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai
Ht = 3 x kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian,
penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus
syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus
menerus smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam
larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%
1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan
yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,
yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%).
Tabel 2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 8 %)
Berat Badan waktu masuk RS ( Jumlah cairan Ml/kg berat
kg ) badan per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah
diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi
dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI,
2005).
Alur Tersangka DBD
Tersangka DBD
Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan
Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup
Perbaikan
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat I dan II (Sumber: DepKes RI, 2005)
Penatalaksanaan DBD Derajat II dan III
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)