Anda di halaman 1dari 31

Perbedaan UU No.

4 tahun 2009 dengan


UU No. 11 tahun 1967
April 14, 2010 by Dida Sadariksa in Waktu Mahasiswa.

Pada tahun 2009 lalu, Indonesia resmi memiliki peraturan baru di sektor pertambangan.
Pemerintah menerbitkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
untuk menggantikan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Ada catatan menarik dari UU yang baru ini. Dalam banyak hal rumusan kebijaksanaan sangat
berbeda dengan UU sebelumnya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hal:

dasar hukum dan bentuk perizinan usaha pertambangan;

desentralisasi wewenang pengurusan dan pengelolaan dari pemerintah pusat ke


pemerintah daerah;

penggolongan (pengelompokan) usaha pertambangan;

pemberian perlakuan yang sama bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri).

Selain itu, UU No. 4 tahun 2009 cukup mengatur hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan
hidup, pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain, yang belum atau
tidak diatur dalam UU No. 11 tahun 1967.

Referensi

Wibowo, Aryo P. (2010). Kebijakan Pertambangan. Materi Kuliah.

PERBEDAAN POKOK UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 1967 DAN UNDANG-UNDANG NO.4


TAHUN 2009

PERBEDAAN POKOK UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 1967 DAN UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN
2009

UU NO. 11 TAHUN 1967

Penggolongan Bahan Mineral


bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan

a. golongan bahan galian strategis

b. golonagan bahan galian vital

c. golongan bahan galian yang tidak termaksud dalam golongan a dan b

Kuasa Pertambangan (KP)

a. KP penyelidikan umum

b. KP Eksplorasi

c. KP Eksploitasi

d. KP pengolahan dan pemurnian

e. KP pengangkutan

f. KP penjualan

Bentuk dan organisasi Perusahaan

Usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh :

a. instansi pemerintah

b. Perusahaan Negara (BUMN)

c. Perusahaan Daerah (BUMD)

d. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah

e. Badan atau perseorangan swasta

f. PMA

Jangka Waktu KP

(1) KP penyelidikan umum dapat diberikan paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang 1x1 tahun

(2) KP eksplorasi dapat diberikan paling lama 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 x 1 tahun

(3) KP eksploitasi dapat diberikan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 2 x 10 tahun
(4) KP pengolahan dan pemurnian dapat diberikan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 2 x 10
tahun

(5) KP pengangkutan dan penjualan dapat diberikan paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 1 x 5
tahun

Usaha Pertambangan

Pasal 14.

Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi:

a. penyelidikan umum.

b. eksplorasi;

c. eksploitasi

d. pengolahan dan pemurnian;

e. pengangkutan;

f. penjualan.

UU NO. 4 TAHUN 2009

Pengelompokan Bahan Galian

Usaha pertambangan dikelompokan atas

a. pertambangan mineral

b. pertambangan batu bara

pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan atas :

a. pertambangan mineral radioaktif

b. pertambangan mineral logam

c. pertambangan mineral bukan logam


d. pertambangan batuan

Izin Usaha Pertambangan (IUP)

IUP terdiri atas dua tahap :

a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

b. IUP Operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.

Bentuk dan organisasi Perusahaan

IUP diberikan kepada :

a. badan usaha

b. Koperasi

c. perseorangan

Jangka waktu IUP Eksplorasi

(1) IUP mineral logam dapat diberikan paling lama 8 tahun

(2) IUP eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan paling lama 3 tahun dan mineral bukan logam
jenis tertentu paling lama 7 tahun

(3) IUP pertmabangan batuan dapat diberikan paling lama 3 tahun

(4) IUP batu bara dapat diberikan paling lama 7 tahun.

IUPK Eksplorasi

(1) IUPK mineral logam dapat diberikan paling lama 8 tahun

(2) IUPK batu bara dapat diberikan paling lama 7 tahun

Usaha Pertambangan
a. penyelidikan umum.

b. eksplorasi

c. Konstruksi

e. Penambangan

d. pengolahan dan pemurnian

f. pengangkutan

g. penjualan

h. Kegiatan pascatambang

Review Perbandingan UU Minerba No. 11 Th. 1967 VS UU No.4 Th. 2009

1. 1. UU No.11 Tahun 1967 Vs.UU No.4 Tahun 2009 NIKKA SASONGKO 120140204016
INDONESIA DEFENSE UNIVERSITY MASTER DEGREE ENERGY SECURITY MAJOR 2015 Hukum &
Pengusahaan Energi | Prof. Hikmahanto Juwono

2. 2. Isi UU UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 37 Pasal dan 12 Bab 175 Pasal
dan 26 Bab

3. 3. Kandungan Tambang UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Segala bahan
galian (unsur- unsur kimia mineral- mineral, bijih-bijih, dan segala macam batuan termasuk
batu-batu mulia yang merupakan endapan- endapan alam) Lebih spesifik yaitu mineral dan
Batubara

4. 4. Golongan Bahan Tambang UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. golongan
bahan galian strategis b. golongan bahan galian vital c. golongan bahan galian yang Non
strategis & Non Vital a. mineral radioaktif, b. mineral logam, c. mineral bukan logam dan
batuan, d. batubara

5. 5. Penguasaan Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


Pemerintah Dikuasai negara, diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah
daerah Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR menetapkan kebijakan untuk
kepentingan dalam negeri

6. 6. Kewenangan Pengelolaan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. Bahan


galian golongan strategis dan vital oleh Menteri b. Bahan galian golongan Vital dan Non
strategis-Non Vital oleh Pemerintah Daerah Tingkat I 1. Bupati/Walikota apabila Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota 2. Gubernur
apabila WIUP berada pada lintas Wilayah Kab/Kota 3. Menteri apabila WIUP berada pada
lintas wilayah Provinsi

7. 7. Pengawasan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Terpusat kepada Menteri
Pembinaan dan Pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan
tugas Bupati/Walikota

8. 8. Penggunaan Lahan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Dalam penggunaan
lahan dilakukan pembatasan tanah yang dapat diusahakan Pembatasan tanah yang dapat
diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah

9. 9. Wilayah Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tidak diatur
secara jelas. Hanya disebutkan bahwa tidak meliputi : tempat-tempat kuburan, tempat-
tempat yang dianggap suci, pekerjaan- pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan-
jalan, jalan kereta api, saluran air listrik, gas dan sebagainya. Tempat-tempat pekerjaan usaha
pertambangan lain, bangunan- bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik. a. WUP
(Wilayah Usaha Pertambangan) b. WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) c. WPN (Wilayah
Pencadangan Negara)

10. 10. Bentuk Perizinan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Kuasa
Pertambangan (KP), Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD), Surat Izin Pertambangan
Rakyat (SIPR), Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) Izin Usaha pertambangan (IUP) Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK)

11. 11. UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a. Investor domestik (KP, SIPD,
PKP2B) b. Investor asing (KK, PKP2B) a. IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan pada badan
usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38) b. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) diberikan
pada penduduk setempat, naik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan atau
koperasi (pasal 67), dengan luas terperinci (pasal 68) c. IUPK (Izin Usaha Pertambangan
Khusus) diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD,
maupun swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75)

12. 12. Pelaksana Usaha Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 a.
Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri b. Perusahaan Negara c. Perusahaan Daerah
d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah e. Koperasi f. Badan atau
perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) g.
Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi
dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat- syarat yang dimaksud dalam
pasal 12 ayat (1) h. Pertambangan Rakyat a. Pemegang IUP atau IUPK b. Badan Usaha c.
Koperasi d. Perseorangan sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh klasifikasi
Menteri.

13. 13. Tahapan Usaha Pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009
Penyelidikan Umum Eksplorasi Eksploitasi Pengolahan & Pemurnian Pengangkutan
Penjualan IUP Eksplorasi meliputi kegiatan : - penyelidikan umum - eksplorasi - studi
kelayakan IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan : - Konstruksi - penambangan -
pengolahan dan pemurnian - serta pengangkutan dan penjualan

14. 14. Perizinan Usaha UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Permohonan
Lelang untuk mineral logam dan batubara Permohonan Wilayah untuk mineral bukan
logam dan batuan perijinan
15. 15. Jangka Waktu Perizinan UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009
KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum (1+1 Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3 Tahun + 2 x 1
Tahun), KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1 Tahun), KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun),
KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi termasuk pengolahan dan pemurnian serta
pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun) - IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari
Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1
tahun); - IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun),
Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun); - IUP Operasi Produksi
mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (20 tahun)

16. 16. Hak dan Kewajiban UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 1. Keuangan : a.
KP, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku b. KK/PKP2B, tetap pada saat
kontrak ditandatangani 2. Lingkungan (sedikit diatur) 3. Nilai tambah (hanya diatur didalam
kontrak) 4. Pemanfaatan tenaga kerja setempat (tidak diatur) 5. Kemitraaan pengusaha lokal
(tidak diatur) 6. Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (tidak diatur) 1.
Keuangan : membayar pendapatan negara dan daerah : Pajak, PNBP, iuran (pasal 128-133) 2.
Lingkungan: a. Good mining practices (pasal 95) b. Reklamasi, pasca tambang dan konservasi
yang telah direncanakan, beseta dana yang disediakan (pasal 96- 100) 3. Pemegang IUP
operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri
untuk Nilai Tambah (pasal 103-104) 4. Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat
(pasal 106) 5. Saat tahap operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal (pasal
107) 6. Menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108) 7.
Wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional seperti
konsultasi dan perencanaan (pasal 124)

17. 17. Divestasi UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tidak diatur Setelah 5 (lima)
tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing
wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, Pemerintah daerah, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional

18. 18. Sanksi UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 - Ketentuan pidana diatur
tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini. Hukuman
penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ratus
ribu rupiah. Sanksi pidana /kurungan sangat sedikit (Pasal 31,32,33) - Tidak ada sangsi pidana
terhadap pemberi/penerbit izin Sanksi Administratif yang cukup keras kepada pemegang
IUP, IPR, atau IUPK jika melakukan pelanggaran berupa : peringatan tertulis, penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau
pencabutan IUP, IPR, atau IUPK (Pasal 151, 152). Pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda pasling banyak 10 Miliar (Pasal 158, 159,160)

19. 19. KELEBIHAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 1. Ditiadakannya sistem kontrak karya,
maka Pemerintah menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri
pertambangan mineral dan batubara. 2. Undang-Undang ini telah mengatur dan
memperhatikan masalah mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan akibat kegiatan
eksplorasi. 3. Telah diatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan
kebijakan pertambangan umum. 4. Adanya kepastian hukum pemberian sanksi bagi pelaku
pelanggaran usaha pertambangan.

20. 20. 5. Pemerintah menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market Obligation (DMO),
nilai tambah hasil tambang, divestasi, dan lain-lain. 6. Telah diatur mekanisme pengusahaan
mulai dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain. 7. Hak-hak
masyarakat telah dilindungi mulai dari kewajiban pengembangan masyarakat dan
perlindungan lingkungan di sekitar tambang. 8. UU Minerba juga mengakomodasi
kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah, dan jangka waktu izin
usaha pertambangan. 9. Terdapat pasal yang mengatur tentang batasan wilayah maksimal
operasi pertambangan.

21. 21. KELEMAHAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 1. UU ini tidak mengatur secara
tegas dan eksplisit perihal kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market
Obligation/DMO). 2. UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. 3.
Tidak jelas dan tegasnya jumlah besaran sesungguhnya penerimaan negara dari pajak dan
non pajak. 4. Kewenangan pemberian IUP diberikan kepada pemerintah daerah, namun
belum disertai dengan kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas.
5. UU Minerba juga tidak mampu mengintervensi dan memperbaiki kontrak-kontrak
pertambangan yang telah ada sebelumnya. 6. UU Minerba cenderung masih memuat
ketentuan yang bersifat sangat umum.

22. 22. 7. Tidak diakuinya Hak Veto rakyat dan tidak adanya perlindungan masyarakat yang
terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan. 8. Terancamnya
kawasan hutan lindung dan hutan adat karena adanya alih fungsi hutan setelah ada izin dari
pemerintah. 9. Adanya kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup yang mengakui legal
standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang
merusak lingkungan. 10. Beberapa pasal yang dinilai tidak memperhatikan masyarakat yang
justru terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan 11. Kurangnya
Transparansi & akuntabilitas

23. 23. SARAN DAN REKOMENDASI Pemerintah perlu menetapkan arah kebijakan dan strategi
sektor pertambangan nasional yang jelas, terukur dengan menuangkannya ke dalam sebuah
dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam aturan
dan pelaksanaannya. Pemerintah juga seharusnya mulai concern mengenai transparans

ANALISA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL


DAN BATUBARA

Oleh: Sri Wahyuni

A. Perbandingan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan
pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
bersama dengan pelaku usaha;
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan
pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-
masing;
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah;
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia;
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya
industri penunjang pertambangan; dan
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut:

1. Penguasaan bahan galian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian


diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis
nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan Negara
(WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan kebutuhan mineral
dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah Daerah serta
pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.

Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian


diselenggarakan oleh Pemerintah.

2. Kewenangan Pengelolaan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


mengatur bahwa Pemerintah Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan
nasional, Pemerintah Provinsi memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional
sedangkan Kabupaten/Kota memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal.

Sedangkan Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan


pengelolaan bersifat nasional.
3. Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Penggolongan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari mineral radioaktif, mineral logam, mineral
bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya bahan
galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital, non strategis dan non vital.

4. Perizinan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya,
perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat Ijin Pertambangan
Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B).

5. Tata cara Perizinan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, perizinan dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan
untuk mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah.
Dalam Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan.

6. Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, Pelaku usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih sejak
berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca tambang,
kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik pertambangan, kewajiban
untuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat data dan pelaporan, dan kewajiban
untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil.

Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait


dengan keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani, lingkungan,
kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan.

7. Penggunaan Lahan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi
produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan pembatasan
tanah yang dapat diusahakan.

8. Pelaku Usaha

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan
radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-
Undangsebelumnya pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin Pertambangan
daerah (SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B).

9. Jangka Waktu

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut:

a. IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3
tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun);
b. IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2
tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun);
c. IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3
tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan
(20 tahun).

Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum


(1+1Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3Tahun + 2 x 1 Tahun), KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 +
1Tahun), KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun), KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi
termasuk pengolahan dan pemurnian serta pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun).

10. Pengembangan Wilayah dan Masyarakat

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, Pengembangan wilayah dan masyarakat merupakan kewajiban keharusan yang
dipenuhi oleh pemegang IUP, sedangkan Undang-Undang sebelumnya tidak diatur.

11. Pembinaan dan pengawasan


Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh
menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR
merupakan tugas Bupati/walikota. Dalam Undang-Undang sebelumnya pembinaan dan
pengawasan sifatnya terpusat.

12. Penyidikan

Setelah pada peraturan sebelumnya tidak diatur, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan penyidik polri dan PPNS.

13. Ketentuan Pidana

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara ketentuan pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup
keras. Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3.
Dalam Undang-Undang sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak
sesuai lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana /kurungan sangat lunak.

B. Kelemahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara
1. Batasan luasan minimal wilayah eksplorasi

Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare

Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar

Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat
(1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009
berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk
ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang
batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam,
mineral non logam, batuan dan batubara. Di lapangan tim menemukan bahwa ketentuan untuk
luas wilayah minimal tidak memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di
tiap-tiap daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah daerah
Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah pertambangan dengan luasan di bawah
5000 hektar. Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya
mempunyai potensi cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi
hambatan bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah
penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan
dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, sehingga wilayah potensial menjadi
tidak dapat diusahakan dengan adanya ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak
memperhatikan karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy, yang menghalangi
pelaku usaha tertentu.

2. Kewajiban Divestasi Setelah 5 (Lima) Tahun Operasi Produksi

Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan
IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha
swasta nasional.

Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi sebagaimana tercantum pada
pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga termasuk kebijakan yang berpotensi memberikan
hambatan persaingan. Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki
oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang
dive stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena masingmasing jenis usaha
tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai Break Event Point (BEP). Hal
tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai oleh pelaku usaha.

UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. Penyusunan


mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara matang untuk
menghindari munculnya hambatan bagi pelaku usaha asing untuk menanamkan
investasinya di pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Keresahan yang muncul di sebagian kalangan pelaku usaha pertambangan mineral dan
batubara, adalah ketidakjelasan dalam ketentuan dive stasi akan mengakibatkan
ketidakpastian mereka dalam membuat keputusan melakukan investasi.

3. Regulasi tidak bersifat netral terhadap persaingan usaha

Suatu regulasi dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha apabila didasari dengan
alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai suatu tujuan bersama. Seperti halnya UU
Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 4
Tahun 2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan dari paper
ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa kebijakan yang bersifat
netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai kewenangan pemerintah untuk menetapkan
jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD
untuk Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan
luasan wilayah maksimal operasi pertambangan.

4. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun
setiap provinsi

Pasal 5 ayat (3) : Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas
per tahun setiap provinsi

Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut dapat berakibat pada
pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait dengan strategi perusahaan untuk
melakukan produksi dan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut
sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of scope dari
pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang sebenarnya
potensial untuk mengembangkan industri pertambangan mineral dan batubara.

Akan tetapi kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan karena mempunyai
tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau
sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.
5. Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau
nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi

Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik dareah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan BUMD tersebut menyebutkan bahwa
untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam
dan batubara diselenggarakan dengan cara priorotas atau lelang. Prioritas diberikan lepada
BUMN dan BUMD dengan mekanisme first come forst serve. Apabila tidak ada yang berminat
maka WIUPK tersebut akan ditawarkan kepada badan usaha swasta yang bergerak di
bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu sisi, kebijakan prioritas ini tidak memberikan
kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan pertambangan.

Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasional

Pa sal 124 Ayat (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan
perusahaan jasa pertambangan lain yang berbada hukum Indonesia.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa UU Minerba masih belum memberikan


definisi yang jelas tentang definisi dari perusahaan lokal dan/atau nasional. Ketidakjelasan
definisi tersebut dapat memberikan entry barrier bagi beberapa pelaku usaha yang
sebenarnya mempunyai kompetensi lebih baik.

Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan
dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan yang diusahakannya , kecuali
dengan izin Menteri.

Pemberian izin Menteri dapat dilakukan jika tidak terdapat perusahaan jasa pertmabangan
sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan yang berminat/mampu. Selama peraturan
pelaksana untuk larangan menggunakan perusahaan afiliasi ini belum ada maka mengacu pada
Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi adalah hubungan di antara
pihak dimana salah satu pihak secara langsung atau tidak langsung mengendalikan,
dikendalikan, atau di bawah pengendalian pihak lain. Pengecualian juga akan dilakukan dengan
syarat bahwa azas transparansi dan akuntabilitas serta fairness diterapkan sehingga negara
tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di daerah) tetap terbuka lebar.

Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan lokal
dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi di satu sisi memberikan
hambatan masuk kepada beberapa pelaku usaha ke dalam industri pertambangan mineral dan
batubara. Di sisi lain kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan
menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional,
regional, dan internasional.

6. Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan

Pasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas
paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare

Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan
luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling
banyak 1.000 (seribu) hektare

Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas
paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare

Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan
ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk
diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan
dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain
kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan
hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat
pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup
sesuai dengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan,
sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk
mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.

C. Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah
memberikan kepastian hukum karena:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup sehingga sudah tidak
bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara lain dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah
mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan kebijakan pertambangan
umum. Di samping itu juga terdapat mekanisme pemberian sanksi terhadap pelaku
pelanggaran;
3. Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market Obligation
(DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi, dan lain-lain;
4. Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari sistem pelelangan, luas
wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5. Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari kewajiban pengembangan
masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah merupakan


konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah kebijakan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009.
UU Nomor 11 Tahun 1967 sulit dipertahankan lagi sebagi kerangka dasar kebijakan
pertambangan, yang terbukti sering dilanggar baik pada substansi yuridis maupun dalam
pelaksanaannya.

Guna memudahkan perbandingan kedua UU tersebut dan melihat sisi perubahan yang
terkandung dalam UU Minerba yang baru, berikut ditampilkan tabel ;

No Materi Pokok UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


1 Judul Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pertambangan Mineral dan Batubara
2 Prinsip Hak Penguasaan bahan galian diselenggarakan
Penguasaan Negara Negara; Penguasaan Minerba oleh
Negara, diselenggarakan oleh
(pasal 1) Pemerintah dan/atau Pemerin
Daerah

(pasal 4);

Pemerintah dan DPR


menetapkan kebijakan
pengutamaan Minerba bagi
kepentingan nasional;

(pasal 5)

Penggolongan bahan galian;


Pengelompokan usaha
pertambangan; mineral dan
batubara;
Strategis;
Penggolongan /
3
Pengelompokan Vital;
Penggolongan tambang mine
radioakif, logam, buka logam
Non strategis, Non vital
batuan;
(pasal 3)
(pasal 34)

21 kewenangan berada di tan


pusat;
Bahan galian strategis (gol. A) dan
vital (gol.B) dilakukan oleh Menteri;

14 kewenangan berada di tan


Kewenangan propinsi;
4
Pengelolaan Bahan galian non strategis non-vital
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I/
Propinsi;
12 kewenangan berada di tan
(pasal 4) kabupaten / kota

(pasal 6-8)

5 Wilayah Secara terinci tidak diatur, kecuali bahwa


Pertambangan usaha pertambangan tidak berlokasi di Wilayah pertambangan adalah
tempat suci, kuburan, bangunan dll bagian dari tata ruang nasiona
ditetapkan pemerintah setelah
(pasal 16 ayat 3) koordinasi dengan Pemda dan
konsultasi dengan DPR;

(pasal 9);

Wilayah Pertambangan terdir


dari Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP), Wilay
Pertambangan Rakyat (WPR)
Wilayah Pencadangan Nasion
(WPN) (pasal 13)

Rezim Kontrak berupa:


Rezim Perijinan berupa:

Kontrak / Perjanjian Karya (KK);


Ijin Usaha Pertambangan (IU
Kuasa Pertambangan (KP);
6 Legalitas Usaha Ijin Pertambangan Rakyat (IP
Surat Izin Pertambangan Daerah
(SIPD);
Ijin Usaha Pertambang Khusu
(IUPK);
Surat Izin Pertambangan Rakyat
(SIPR)
(pasal 35)
(pasal 10-15)

Enam tahapan, berkonsekuensi pada adanya


6 jenis pertambangan: Dua tahapan, berkonsekuensi pada
adanya 2 tingkat perijinan:

penyelidikan umum;
Eksplorasi,
eksplorasi; meliputi:penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan;
7 Tahapan Usaha eksploitasi;

pengolahan dan pemurnian;


Operasi produksi, meliputi:
kontruksi, penambangan,
pengangkutan; pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan, penjualan;
penjualan;
(pasal 36)
(pasal 14)

8 Klasifikasi Investor (pasal 38);


dan Jenis Legalitas Investor Domestik (PMDN), berupa:
Usaha KP, SIPD, PKP2B;

IPR bagi penduduk lokal,


koperasi (pasal 67);
Investor Asing (PMA), berupa: KK,
PKP2B

IUPK bagi badan usaha berba


hukum Indonesia, baik
BUMN/BUMD/badan usaha
IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN,
swasta;
koperasi, perseorangan;
(pasal 75)

Kewajiban keuangan bagi Negara

Pemeliharaan lingkungan:
KP sesuai aturan berlaku: iuran tetap konservasi, reklamasi;
dan royalti (merujuk PP No. 45/2003
tentang Penerimaan Negara Bukan (pasal 96-100);
Pajak Departemen ESDM)

Kepentingan nasional:
KK/PKP2B sesuai kontrak, yakni pengolahan dan pemurnian di
KK: iuran tetap dan royalti, PKP2B: dalam negeri (pasal 103-104)
iuran tetap dan Dana Hasil Penjualan
Batubara (DHPB) merujuk Keppres
Kewajiban Pelaku
9 No. 75/1996 tentang ketentuan
Usaha
PKP2B) Pemanfaatan tenaga kerja
setempat, partisipasi pengusa
lokal pada tahap produksi,
program pengembangan
Minimalnya bahkan tidak diaturnya masyarakat;
kewajiban soal lingkungan,
kemitraan dengan pelaku usaha (pasal 106-108);
lokal, pemanfaatan tenaga kerja
setempat, program pengembangan
masyarakat
Pengunaan perusahaan jasa
Kewajiban keuangan bagi Negara; pertambangan lokal dan/atau
pajak dan PNBP. Tambahan untuk nasional (pasal 124);
IUPK: pembayaran 10% keuntungan
bersih;

Pusat, propinsi, kabupaten / k


sesuai kewenangan terhadap
Pembinaan dan Pengawasan terpusat di tangan pemerintah
10 pemegang IUP, IPR atau IPK
Pengawasan atas pemegang KK, KP, PKP2B
(pasal 139-142)

11 Ketentuan Peralihan semua hak pertambangan dan KP pada saat UU ini mulai berlaku
(terkait status perusahaan Negara, swasta, badan lain atau
KK dan PKP2B yang telah ad
sebelum berlakunya UU ini te
diberlakukan sampai jangka
perseorangan berdasarkan peraturan yang waktu berakhirnya kontark /
ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap perjanjian;
dijalankan sampai sejauh masa berlakunya,
hukum investasi kecuali ada penetapan lain menurut PP yang
existing) dikeluarkan berdasarkan UU ini.
Ketentuan yang tercantum da
(pasal 35) pasal KK dan PKP2B dimaks
disesuaikan selambat-lambatn
1 tahun sejak UU ini
diundangkan, kecuali mengen
penerimaan Negara.

(pasal 169)

Dari sejumlah substansi perubahan di atas, terlihat bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 berusaha
menunjukkan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodir prinsip kepentingan
nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan good mining practices. Dalam UU Minerba yang baru juga terlihat
menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN) terhadap sumber daya alam. Pemerintah
menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus, mengawas
pengelolaan usaha tambang. Hal tersebut dimulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi
rezim perijinan. Dalam rezim kontrak, sebagaimana diterapkan selama ini, posisi pemerintah
tidak saja mendua sebagai regulator dan pihak berkontrak, tetapi secara mendasar juga
merendahkan posisi negara selevel kontraktor.

Implikasi hukum perubahan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengembalikan Hak
Penguasaan Negara dapat dilihat dalam tabel berikut :

Subyek Perijinan Kontrak


Bersifat publik, instrument hukum
Hubungan Hukum Bersifat perdata
administrasi negara
Penerapan Hukum Oleh pemerintah Oleh kedua belah pihak
Pilihan Hukum Tidak berlaku pilihan hukum Berlaku pilihan hukum
Akibat Hukum Sepihak Kesepakatan kedua belah pihak
Penyelesaian Sengketa PTUN Arbitrase
Kepastian Hukum Lebih terjamin Kesepakatan dua pihak
Hak / kewajiban pemerintah lebih Hak / kewajiban relatif setara antar
Hak dan Kewajiban
besar pihak
Sumber Hukum Peraturan perundang-undangan Kontrak / perjanjian itu sendiri

Akan tetapi dalam perjalanannya, Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 4


Tahun 2009 juga dirasa oleh banyak kalangan masih banyak terdapat kekurangannya,
sehingga pasal-pasal yang ada di dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 di uji materilkan ke
Mahkamah Konstitusi dan telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum lagi melalui
putusan-putusan sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010

Bahwa yang melatarbelakangi dari putusan ini adalah adanya rasa ketidakadilan atau
diskriminasi yang dialami oleh para penduduk asli Bangka yang sehari-harinya bekerja
mencari timah dengan sistem membuka Tambang Inkonvensional, yaitu semacam
pertambangan skala mini yang menggunakan peralatan sederhana, pekerjaan ini banyak
dilakoni oleh para penduduk karena untuk melakukan pekerjaan lain seperti bertani dan
berkebun terasa semakin sulit, mengingat semakin menyempitnya lahan yang ada akibat
eksploitasi timah selama beratus-ratus tahun.

Sementara dalam Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4 Nomor 2009, adalah sesuatu
yang sangat mustahil dapat dipenuhi, mengingat keterbatasan lahan yang bisa dijadikan
WIUP, hanya pemodal-pemodal besarlah yang kemungkinan mampu memiliki luas lahan
sebesar 5000 (lima ribu hektar). Kehadiran Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4/2009
ini, secara tidak langsung telah membatasi hak-hak serta bersifat mendiskriminasikan orang
yang akan membuat IUP.

Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Uji Materi ini dengan
Putusan sebagai berikut:

Pasal 22 huruf e sepanjang frasa dan/atau dan Pasal 22 huruf f UU Nomor 4 Tahun
2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;

2. Putusan Nomor 30/PUU-VIII/2010

Bahwa yang menjadi dasar dari permohonan ini adalah adanya diskriminasi yang dirasakan
oleh pengusaha timah di Bangka mengenai ketentuan penetapan luas minimum WIUP dan
prosedur mendapatkan WIUP dengan cara lelang dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Bahwa
persyaratan luas minimal WIUP eksplorasi dan cara lelang WIUP telah menghalang-halangi
dan menjegal hak pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan

Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:

1. Pasal 55 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;

2. Pasal 61 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU
Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;

3. Putusan Nomor 10/PUU-X/2012

Dalam Putusan ini yang menjadi dasar permohonan adalah mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur) untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan
merata.

Secara keseluruhan, isu hukum dalam permohonan ini hendak menguji konstitusionalitas
bahwa pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan
kebijakan yang diperlukan dalam mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi kegiatan
pengusahaan minerba.

Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:

1. Frasa setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 2009
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Frasa Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dalam
Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WP yang dilakukan setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;

4. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

5. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WUP dilakukan oleh
Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

6. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi, Penentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data
dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah;

7. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara selengkapnya menjadi, Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan
kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah;

Analisis Undang-Undang Mineba

Analisis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009


Tentang Pertambangan dan Mineral

Ditinjau Dari Aspek Sosiologis, Yuridis dan Filosofis

A. Latar Belakang Undang-Undang Minerba

Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai
peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai
sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan
yang mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses
eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang
sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam rangkaian industri tersebut.

Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri
yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology).
Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi
dimana cadangan bahan galian.

Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut maka
diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara.
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari
sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada
dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku
usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro
dan kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU
Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang
pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu.

Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan fungsi dan
kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki, dan diharapkan dapat
membawa perbaikan dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air. Dengan demikikian
amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, benar-benar dapat diwujudkan.

Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat


beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya
sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin usaha
pertambangan (IUP).

UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada


pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan
jangka waktu izin usaha pertambangan.

Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan, UU Minerba dinilai belum
mengatur secara lebih detail hal-hal yang berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan,
pengelolaan, kebijakan, dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju.

Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum
sehingga tidak bisa operasional, serta pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan kepada
Pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai contoh, dari
175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya terdapat 22 pasal yang peraturan
pelaksanaannya diserahkan kepada Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah (Perda).
Dengan kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran pengelolaan sektor
pertambangan ke depan yang lebih pasti masih sangat bergantung pada situasi, kondisi, dan
kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP dan Perda tersebut dibuat.

Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan strategi pertambangan
nasional ke depan, juga ada beberapa kelemahan dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan
perhatian khusus. Jika kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru
berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan di masa mendatang.

Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang mengatur adanya
kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak
mengaturnya secara tegas dan eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak
mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar. Kasus
seperti ini sangat mungkin terulang kembali pada masa mendatang.

Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak dari sektor
pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan
Negara dari pajak dan nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan
merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas tentang hal ini dan
menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawah UU.

Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah tanpa disertai
kesiapan kerangka acuan tentang strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini
menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi pertambangan di daerah-
daerah. Berdasarkan data, semenjak digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan
kuasa pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang
memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak mampu 'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-
kontrak pertambangan yang telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa
kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya
kontrak/perjanjian.

Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka dipandang mendesak dilakukan


perbaikan UU ini sehingga ada arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas
dan terukur.

Paper ini akan merupakan analisa ringkas dari UU Minerba dari sudut pandang aspek
sosiologis, yuridis dan filosofis.

B. Analisis Undang-Undang Minerba


Sebelum menganalisa terhadap Undang - undang, ada baiknya kita perlu mengetahui
terlebih dahulu mengenai apa itu undang undang beserta penjelasan yang lain.

Undang undang merupakan peraturan peraturan tertulis yang dibuat oleh alat
perlengkapan negara yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang selaku warga negara.
Undang undang dapat berlaku didalam masyarakat jika telah memenuhi persyaratan tertentu.

Dalam istilah hukum, Undang undang dibedakan menjadi 2 ( dua ) jenis, yaitu :
a. UU dalam arti materiil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat orang
secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU dalam arti materiil, karena ada UU
yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti
formil saja. Misalnya adalah UU No. 62 / 1968 tentang naturalisasi.

b. UU dalam arti formil


Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara terjadinya dilakukan
secara prosedur dan formal.

Asas hukum tentang berlakunya Undang undang, yaitu :


a. UU tidak berlaku surut,
b. Asas lex superior derogat legi inferiori,
c. Asas lex posteriori derogat legi priori,
d. Asas lex specialis derogat legi generali.

Hasil analisa terhadap Undang - Undang ditinjau dari pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan
Yuridis.

1. Tinjauan Landasan Aspek Sosiologis


1
[1]Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sesuai
dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan tersebut penting agar
peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum
yang hidup (living law) dalam masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat dikaji


menurut tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU No. 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di
luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam

1
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan
pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Analisis : Bahwa keyakinan masyarakat akan pentingnya kemanfaatan sumber daya mineral dan
batu bara sebagai alat yang menunjang perekonomian serta pembangunan berkelanjutan daerah
maupun secara skala nasional. Kesadaran masyarakat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang
dimana banyak terjadi konflik-konflik mengenai mengeksploitasian mineral dan batubara.
Permasalahan investor dan rakyat menjadikan problem utama yang harus dicari jalan keluar.
Faktanya, konflik antara pemodal dan rakyat terjadi dalam aktivitas pertambangan tersebut. Kasus
Freeport (Papua), Newmont (Sumbawa dan Sulawesi) serta PT SMN (Bima) merupakan konflik yang
melibatkan korporasi tambang mineral. Sedangkan kasus pencemaran lingkungan dan perampasan
tanah ulayat suku Dayak oleh Adaro dan Kideco Jaya Agung di Kalimantan adalah konflik yang terjadi
dalam industri pertambangan batubara.

Di hampir semua konflik, posisi rakyat selalu berada pada pihak yang terkalahkan. Salah satu
sebabnya adalah keberpihakan aparat negara, baik pemerintah pusat, daerah, kepolisian maupun
militer kepada korporasi. Hal ini disebabkan juga oleh rancunya UU Minerba yang berlaku saat ini.
Kerancuan itu dapat kita pahami, bila kita meninjau latar belakang kelahiran UU ini secara seksama.
Dengan memberi pertimbangan seperti yang tercantum di atas, diharapkan segenap pelaku yang
terlibat dapat menaati peraturan tersebut. Sehingga landasan sosiologis yang dicantumkan ini akan
menjadi suatu dinamic recht dan bukan moment opname. Dengan demikian Undang-undang yang
bersangkutan akan berlaku efektif dan mengatur serta membatasi perilaku manusia dalam
memperlakukan sumber daya mineral yang tersedia.

2. Tinjauan Landasan Yuridis

2
[2]Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan
(bevoegddheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar
kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis
peratyuran perundang-undangan atau yang disebut landasan yuridis materil. Landasan yuridis
material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:

2
Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang
diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau
sederajat.

Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-
undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


tingkatannya. Suatu undang-undangan tiddak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan
UUD . Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.

Pertimbangan yang masuk landasan yuridis antara lain :

a. Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi
sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral
dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan. Analisis : Sebagai dasar yuridis bahwa artinya UU
Nomor 11 Tahun 1967 sudah tidak memenuhi kebutuhan yang ada. Dalam perkembangan lebih
lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai
dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan
pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat
nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan
batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi
manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual
serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan lingkungan
strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-
undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan
hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan
pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Posisi negara yang lemah dalam UU No.11/1967
inilah yang berusaha untuk dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui UU No.4/2009 tentang
Minerba tersebut. Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri
tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan.
Sehingga istilah-istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pada pasal 36 UU Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahap, yakni IUP Eksplorasi
(penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan IUP Operasi Produksi (konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan).

b. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis : Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
menyatakan Presiden RI memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Maka dalam
Undang-undang nomor 7 Tahun 2004 yang disahkan dengan tanda tangan dari Presiden Republik
Indonesia, maka sebagai landasan yuridis peraturan yang bersangkutan menjadi memiliki legalitas
untuk dibenarkan dan diaplikasikan. Begitu pula Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang
nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batu bara.

3. Tinjauan landasan Filosofis

Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain
berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai
yang baik dan yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam
membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu
kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus
mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moral bangsa.

Termasuk dalam landasan Filosofis UU No 4 Tahun 2009 yaitu bahwa mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk
memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Analisis : Bahwa sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 Undang-Undang ini dipergunkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas
penguasaan mineral dan batubara tersebut diharapkan dapat memenuhi hajat hidup orang banyak
dan memakmurkan daerah yang menjadikan pertambangan serta mewujudkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya. Wilayah mineral dan wilayah pertambangan tak semua dapat mencakup
wilayah luas Negara Indonesia yang diharapkan daerah yang mengelola tidak memecah belah demi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945
segala penguasaan kekayaan alam bumi, air yang terkadung didalam bumi dikelola oleh negara.
Perhatian kita tertuju pada pemberian Tuhan Yang Maha Esa dimana material bahan tak terbarukan
dapat terdapat di wilayah Indonesia yang dapat memenuhi hajat orang hidup banyak yang
diwujudakan dan dikelola secara baik oleh pemerintah dan masyarakat sehingga mewujudkan
masyarakat yang sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai