Anda di halaman 1dari 17

Evaluasi Kebijakan Pencegahan Sekunder terhadap Demam Rematik pada

Anak-Anak Mesir

Soha M. Abd El Dayem, Hala Hamza, Sohair Helal, Azza Mohamed, Heba Hassan

ABSTRAK

Tujuan : Kami mengevaluasi efektivitas dari penisilin jangka panjang sebagai regimen setiap
2 minggu pada musim dingin dan regimen setiap 3 minggu pada musim panas untuk mencegah
kolonisasi streptokokus dan juga mempelajari keluhan umum pasien selama masa pemberian
penisilin jangka panjang. Kami juga mencoba untuk menentukan kejadian kekambuhan atau
berulangnya demam rematik setelah onset episode pertama demam rematik.

Pasien dan Metode : 210 pasien rematik dengan kepatuhan yang baik terhadap pemberian
penisilin jangka panjang (paling sedikit satu tahun) dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Demografi, informasi klinis, keluhan pasien dan data ekokardiografi pada pasien rematik
dikumpulkan secara retrospektif dan prospektif. Anti-streptolisin O (ASTO) dan kultur usap
tenggorokan dilakukan pada akhir penelitian (pada hari ke-14 pada regimen setiap 2 minggu
dan pada hari ke-21 pada regimen setiap 3 minggu).

Hasil : Usia saat onset demam rematik sebagian besar antara 5 dan 15 tahun dan pasien termuda
berusia 2 tahun. Karditis subklinis (SCC) tampak pada 79 pasien (37%) dari semua pasien pada
populasi penelitian. Hanya 7 pasien (3,3%) yang kambuh dalam waktu 2 tahun dari episode
akut demam rematik. Pada akhir penelitian, ASTO ditemukan tinggi hanya pada 11 pasien
(5,2%) dan kultur usap tenggorokan ditemukan negatif pada semua pasien.

Kesimpulan : Regimen penisilin jangka panjang cukup efektif dalam memberantas kolonisasi
streptokukos. Kejadian kekambuhan pada demam rematik dalam waktu 2 tahun dari episode
akut demam rematik relatif rendah.
1. PENDAHULUAN
Demam rematik dan penyakit jantung rematik (PJR) menyebabkan 40% dari semua
penyakit kardiovaskular di negara berkembang. Kecacatan dan kematian akibat penyakit
jantung rematik terutama disebabkan oleh serangan berulang. Namun, penelitian
percontohan yang dilakukan selama lima dekade terakhir di negara maju dan berkembang
mengungkapkan bahwa pencegahan dan pengendalian demam rematik dan penyakit
jantung rematik mungkin untuk dilakukan. Demam rematik adalah multisistem, penyakit
peradangan yang dimediasi secara imunologis, yang terjadi sebagai sekuel tertunda
terhadap infeksi streptokokus grup A (GAS).
Orang dengan riwayat demam rematik berada pada risiko tinggi serangan berulang dan
berkembang menjadi penyakit jantung rematik setelah infeksi tenggorokan streptokokus.
Pemberian penisilin kepada orang-orang ini dapat mencegah serangan berulang demam
rematik dan penyakit jantung rematik berikutnya. Namun, tidak ada kesepakatan mengenai
metode pemberian penisilin yang paling efektif.
Profilaksis sekunder dengan penisilin G benzatin (BPG) adalah satu-satunya strategi
yang terbukti secara ilmiah untuk mengendalikan penyakit jantung rematik. Dianjurkan
untuk menerapkan regimen penisilin jangka panjang setiap 2 minggu dalam beberapa tahun
pertama setelah episode akut demam rematik terutama pada kelompok berisiko tinggi. Hal
ini kemudian dapat diikuti dengan regimen penisilin jangka panjang setiap 2 minggu di
musim dingin dan regimen setiap 3 minggu pada musim panas di tahun-tahun berikutnya.
Keputusan untuk menghentikan profilaksis sekunder harus didasarkan pada penilaian klinis
teratur.
Dalam penelitian ini, kami bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas penisilin jangka
panjang sebagai regimen setiap 2 minggu di musim dingin dan regimen setiap 3 minggu di
musim panas untuk pencegahan kolonisasi streptokokus pada tenggorokan. Selain itu, kami
mencoba untuk menilai keluhan pasien selama masa kepatuhan pemberian injeksi penisilin
jangka panjang dan untuk menentukan apakah manifestasi rematik kedua berkaitan dengan
manifestasi awal atau tidak.

2. PASIEN DAN METODE


Ini adalah penelitian observasi cross-sectional (retrospektif dan prospektif) yang dilakukan
setelah meminta persetujuan dewan peninjau institusional lokal dan perlindungan subyek
manusia. Persetujuan tertulis diperoleh dari pasien dan orang tua pasien.
Penilitian kami berlangsung dalam rentang waktu lebih dari satu tahun dan mencakup
210 pasien yang didiagnosis sebelumnya dengan demam rematik berdasarkan kriteria Jones.
Semua pasien melaporkan kepatuhan yang baik terhadap pemberian regimen penisilin
jangka panjang dan secara rutin mengunjungi klinik rawat jalan demam rematik untuk
jangka waktu minimal satu tahun yang retrospektif terhadap penelitian kami. Hal ini
dikonfirmasi melalui kartu kontrol ulang khusus yang dimiliki oleh setiap pasien di Klinik
Demam Rematik, Universitas Kairo, Rumah Sakit Anak-anak.

Kriteria inklusi:
1. Pasien yang menerima penisilin jangka panjang sesuai dengan berat badan (regimen
pencegahan sekunder demam rematik adalah 600.000 unit penisilin jangka panjang
untuk pasien dengan berat badan 25 kg atau kurang dan 1,2 juta unit untuk pasien
dengan berat lebih dari 25 kg) setiap 2 minggu di musim dingin dan setiap 3 minggu
di musim panas, tanpa memandang usia
2. Pasien menunjukkan kepatuhan yang baik dengan pengobatan penisilin jangka
panjang (minimal satu tahun).

Kriteria eksklusi:
1. Pasien yang alergi penisilin selama pencegahan
2. Pasien yang menolak untuk melanjutkan pencegahan dengan penisilin jangka
panjang
3. Pasien dengan penisilin oral.

Penelitian kami memiliki komponen retrospektif dan prospektif

2.1. Komponen retrospektif


Sistem pengarsipan terorganisir untuk setiap pasien di klinik demam rematik dan meliputi:
keluhan pada serangan awal, riwayat kambuh atau berulang, penyelidikan dilakukan pada
serangan awal (ESR, CRP, ASTO dan Ekokardiografi) dan kontrol ulang ekokardiografi
setiap 3 bulan. Semua kasus kekambuhan didiagnosis di klinik demam rematik. Pasien
tersebut langsung dikirim ke Universitas Kairo, Rumah Sakit Anak-anak dan kemudian
diselidiki oleh salah satu profesor kardiologi anak-anak terkemuka yang melakukan
ekokardiografi untuk mendokumentasikan kriteria ekokardiografi kekambuhan. Menurut
protokol klinik demam rematik, setiap kasus kambuh harus diterima di Universitas Kairo,
Rumah Sakit Anak agar dapat diselidiki sepenuhnya (laboratorium lengkap dan pencitraan
ekokardiografi).
2.2. Komponen prospektif
Keluhan baru-baru ini dan secara ekstensif adanya riwayat medis. Titer Anti-streptolysin
O (tes lateks ASO): Kit uji lateks ASO plasmatik untuk perkiraan kualitatif dan semi
kuantitatif antibodi anti-streptolysin O dalam serum manusia digunakan. Kultur usap
tenggorokan dilakukan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi streptokokus beta
hemolitika grup A. Penelitian ASTO dan kultur usap tenggorokan dilakukan pada akhir
penelitian (pada hari ke 14 pada regimen setiap 2 minggu dan pada hari ke 21 pada regimen
setiap 3 minggu yang sebelumnya menerima injeksi penisilin jangka panjang) dan tes
sensitivitas juga dilakukan untuk kultur yang positif.

2.3. Ekokardiografi
Pencitraan ekokardiogram dilakukan setiap 3 bulan dan pada akhir penelitian menggunakan
protokol standar dengan M-mode, gelombang 2 dimensi dan berpulsasi, gelombang terus-
menerus menggunakan model mesin ekokardiografi elektrik medis umum: vived 7 Pro, GE
Vingmed ultrasound AS-N190, Hortone-Norway dilengkapi dengan transduser MHZ 3 &
7.

2.4. Metode statistik


Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for Social
Science (SPSS) versi 15 (Chicago, Illinois, USA). Data diringkas dalam bentuk angka dan
persentase.

3. HASIL
Penelitian ini mencakup 210 pasien dengan riwayat demam rematik (120 pasien pada
regimen setiap 2 minggu dan 90 pasien pada regimen setiap 3 minggu). Penelitian ini
meliputi 100 laki-laki dan 110 perempuan dengan rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1:
1.1. Usia rata-rata saat onset demam rematik adalah 8,0 2,4 tahun (2-15 tahun) dan usia
pasien rata-rata adalah 11,5 2,8 tahun (4-19 tahun). Tabel 1 menunjukkan usia saat onset
demam rematik pada pasien yang diteliti. Gejala klinis demam rematik yang tampak
meliputi poliartritis pada 143 pasien (68%), karditis (karditis klinis dan subklinis yang
didiagnosis dengan ekokardiografi) pada 130 pasien (61%), korea pada 14 pasien (6,6%),
dan Eritema marginatum dan subkutan nodul pada 1 pasien (0,5%) masing-masing. 102
dari 210 (48,5%) pasien mengalami Anemia (Hb% <11,5 g / dl), 19% pasien memiliki
kardiomegali, 19,9% mengalami gemetar dan 58,8% mengalami murmur sistolik apikal
atau diastolik basal. 54 (25,7%) keluhan pasien mengalami sakit tenggorokan namun pada
pemeriksaan, hanya 19 kasus (9%) yang ditemukan memiliki faringitis. 46,4% keluhan
pasien berupa artralgia namun pada pemeriksaan hanya 0,5% mengalami arthritis. Rematik
arthritis pada serangan pertama ditemukan pada 68% pasien penelitian. Sistem yang
terpengaruh selama periode penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Temuan ekokardiografi
pasien rematik pada akhir penelitian ditunjukkan pada Tabel 3.
Dalam penelitian kami, 7 pasien (3,3%) mengalami kambuh dalam 2 tahun pertama
setelah episode akut demam rematik. 4 pasien (75%) mengalami kambuh dalam bentuk
artritis, 1 pasien (14,2%) menderita carditis dan 2 pasien (28,5%) memiliki korea. Data
demografi dan klinis pasien kambuh ditunjukkan pada Tabel 4. ASTO pasien rematik pada
akhir penelitian adalah > 200 todd U / ml pada 11 (5,2%) pasien. Kultur usap tenggorokan
pada semua pasien negatif.

Tabel 1. Usia saat onset demam rematik


Kelompok usia n %
< 5 tahun 17 8,1
5-10 tahun 131 61,6
10-15 tahun 60 28,4
15-20 tahun 2 0,9

Tabel 2. Sistem yang terkena selama periode penelitian pada pasien yang diteliti
Tabel 3. Temuan ekokardiografi pada pasien rematik yang diteliti pada penelitian ini

Tabel 4. Data demografi dan klinis pasien dengan kekambuhan

4. DISKUSI
Dalam penelitian kami, usia saat onset demam rematik adalah antara 5 dan 15 tahun untuk
91% pasien dan antara 5 dan 10 tahun untuk 62,6% pasien. Ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Omokhodion dkk dan Mahmudi dkk, yang melaporkan bahwa 70%
pasien memiliki usia saat onset demam rematik antara 5 dan 15 tahun. Distribusi usia ini
bersamaan dengan insidensi puncak infeksi streptokokus pada anak-anak.
Tujuh belas pasien kami (8,1%) memiliki usia saat onset demam rematik di bawah 5
tahun (yang termuda berusia 2 tahun). Hal ini setuju dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yee dkk, yang melaporkan rematik karditis pada tahun pertama kehidupan. Juga, Seckeler
dkk, menemukan bahwa usia saat diagnosis demam rematik berkisar antara 2,9 sampai 17,1
tahun (rata-rata 10,6 tahun).
Dalam penelitian kami, manifestasi awal demam rematik adalah dalam bentuk: 143
pasien (68%) memiliki poliartritis, 130 pasien (61%) memiliki karditis (klinis dan subklinis
yang didiagnosis dengan ekokardiografi), 14 pasien (6,6%) memiliki korea , 1 pasien
(0,5%) mengalami eritema marginatum dan 1 pasien (0,5%) memiliki nodul subkutan. Ini
bersamaan dengan Seckeler dkk, yang melaporkan bahwa demam dan karditis adalah
temuan manifestasi yang paling umum.
Demam reumatik biasanya didahului oleh streptokokus grup A beta hemolitika
(GAbHS) pada saluran pernapasan bagian atas. Riwayat sakit tenggorokan sebelumnya
(32%) dilaporkan oleh Mahmoud dkk, sementara itu Omran dan Mourad melaporkan
presentase yang sedikit lebih rendah (29,3%). Dalam penelitian kami, 54 pasien (25,7%)
mengeluhkan sakit tenggorokan sedangkan pada pemeriksaan faringitis hanya terdeteksi
pada 19 kasus (9%). Hal ini juga dikonfirmasi oleh Carapetis dkk, yang mencatat bahwa
gejala faringitis akut lebih sering disebabkan oleh virus (adenovirus, enterovirus dan virus
influenza) dibandingkan dengan Streptococcal grup A (GAS). Membedakan faringitis
GAS dari faringitis virus berdasarkan riwayat dan temuan klinis sulit dilakukan. Bahkan
dokter yang berpengalaman tidak dapat membedakan faringitis streptokokus dengan
faringitis yang disebabkan oleh patogen lain.
Dalam populasi penelitian kami, manifestasi artikular yang paling umum selama
periode kepatuhan injeksi penisilin jangka panjang adalah dalam bentuk artralgia, yang
tampak pada 46,7% pasien. Namun, hanya 0,5% pasien yang memiliki tanda-tanda arthritis
secara klinis pada pemeriksaan. Kejadian arthritis yang kecil ini mungkin disebabkan oleh
penyebab arthritis lainnya seperti artritis reaktif pasca streptokokus yang terkait dengan
infeksi streptokokus. Karena kesulitan dalam membedakan jenis arthritis ini dari demam
reumatik akut (DRA), kondisi ini seharusnya jarang, jika pernah, maka didiagnosis pada
populasi berisiko tinggi. Carapetis dkk, menyarankan bahwa pada serangan berulang
demam rematik pada kelompok berisiko tinggi, poliartritis atau monoartritis aseptik atau
poliatralgia seharusnya dalam bentuk kriteria mayor untuk diagnosis. Rayamajhi dkk juga
mengusulkan bahwa artralgia harus diubah dari bentuk kriterio minor ke kriteria mayor.
Demikian pula, gejala jantung umum selama periode penelitian kami meliputi nyeri
dada pada 37 (17,6%) pasien, dispnea pada 52 (24,8%) pasien dan intoleransi olahraga pada
105 (50,0%) pasien. Dispnea dan intoleransi olahraga mungkin disebabkan oleh fakta
bahwa 102 pasien yang diteliti (48,5%) mengalami anemia (HB% <11,5 g / dl). Mengenai
tanda jantung, pada pemeriksaan klinis, 19% pasien mengalami kardiomegali, 19,9%
mengalami gemetar dan 58,8% mengalami murmur sistolik apikal atau diastolik basal.
Dalam penelitian kami, rematik karditis (terbukti secara klinis dan sub-klinis yang
didiagnosis dengan ekokardiografi) terdeteksi pada total 130 (61%) dari 210 kasus yang
diteliti. Karditis klinis yang terjadi pada menifestasi pertama terdeteksi pada 51 (24,3%)
dari semua pasien yang diteliti sedangkan karditis subklinis (pemeriksaan klinis normal
namun ekokardiogram tidak normal) ditemukan pada 79 (37%) dari semua pasien yang
diteliti.
Dalam sebuah penelitian oleh Figuerora dkk, untuk menentukan frekuensi terjadinya
dan evolusi jangka panjang karditis subklinis pada pasien demam rematik akut, ditemukan
bahwa selama episode demam rematik dan juga selama kontrol ulang, ekokardiografi
Doppler mendeteksi lebih banyak lesi katup daripada pemeriksaan klinis. Dalam penelitian
ini, 25 dari 35 pasien rematik (71% pasien yang diteliti) memiliki bukti ekokardiografi
inkompetensi katup (mitral atau aorta) pada saat masuk penelitian. Di sisi lain, pada 10 dari
35 pasien (30% dari semua pasien demam rematik yang masuk dalam penelitian ini), tidak
ada auskultasi atau temuan klinis yang menganjurkan reumatik karditis akut seharusnya
ditemukan meskipun pemeriksaan diulang. 10 individu ini merupakan kelompok pasien
demam rematik dengan karditis subklinis.
Khriesat dan Najada, menemukan empat kasus (25%) dengan karditis silent yang
didirikan setelah ekokardiografi. Temuan ini menunjukkan bahwa pentingnya untuk
ekokardiografi ulang setelah 3-4 minggu berikutnya karena keterlibatan katup yang tidak
ada pada awalnya mungkin terjadi kemudian. Hal ini memvalidasi bahwa hasil
ekokardiografi adalah kriteria utama untuk diagnosis demam rematik akut. Diagnosis dari
silent carditis hanya dilakukan setelah ekokardiografi. Temuan ini menunjukkan
pentingnya ekokardiografi ulang setelah 3-4 minggu selanjutnya, karena keterlibatan katup
yang tidak ada pada awalnya, mungkin akan muncul kemudian, mendukung pandangan
tersebut, bahwa temuan ekokardiografi harus dianggap sebagai kriteria utama untuk
diagnosis demam rematik akut. Menurut Carapetis dkk, hasil ekokardiografi menunjukkan
kerusakan katup subklinis akan membantu dokter ahli untuk mendiagnosis demam rematik
akut dan mengkonfirmasi adanya karditis pada kasus demam rematik tanpa murmur jantung
yang jelas secara patologi. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan diagnosis
kerusakan katup secara ekokardiografi sebagai manifestasi mayor pada pasien dengan
demam rematik akut / penyakit jantung rematik. Diagnosis ekokardiografi kerusakan katup
subklinis dapat membantu dokter berpengalaman dalam membuat diagnosis demam
rematik akut, atau dalam mengkonfirmasikan adanya karditis pada kasus demam rematik
akut tanpa murmur jantung yang jelas secara patologis. Oleh karena itu, mereka
merekomendasikan bahwa kerusakan katup yang disarankan secara ekokardiografi
(subklinis atau lainnya), didiagnosis oleh dokter berpengalaman dengan ekokardiografi
pada pasien demam rematik akut / penyakit jantung rematik, dimasukkan sebagai
manifestasi mayor.
Regurgitasi mitral (MR) ditemukan sebagai kerusakan katup yang paling umum dalam
penelitian kami dan didiagnosis dengan ekokardiografi pada akhir penelitian. Regurgutasi
mitral terbukti dalam 80% kasus, sebuah angka yang mendekati temuan oleh Mahmudi dkk,
dari Iran, yang melaporkan bahwa regurgitasi mitral ada pada 75% pasien rematik. Studi
lain menunjukkan bahwa regurgutasi mitral adalah lesi yang paling umum pada dekade
pertama dan kedua kehidupan. Pereira dkk juga memperhatikan bahwa regurgitasi mitral
adalah lesi yang paling sering terjadi pada demam rematik akut. Tingkat perbaikan katup
mitral untuk penyakit jantung rematik saat ini lebih besar dari 90 % di Unit Kardiologi
anak-anak tetapi tetap rendah di Unit Kardiologi orang dewasa di Selandia Baru. Dalam
penelitian kami, regurgitasi aorta (AR) adalah kerusakan katup jantung kedua yang paling
sering terkena. Hal itu terbukti pada 27% kasus, temuan serupa dengan Biter dkk dari
Lebane, yang menemukan kejadian regurgitasi aorta di antara pasien rematik mendekati
35%. Namun, temuan ini berbeda dengan itu, Omran dkk yang melaporkan kejadian
regurgitasi aorta pada pasien rematik menjadi 52%.
Mengenai manifestasi neuropsikiatrik, 4,3% pasien mengeluhkan pergerakan
abnormal dan 3,8% mengeluhkan kelainan perilaku selama periode penelitian kami. Pada
pemeriksaan 3.3% pasien mengalami pergerakan abnormal dan 2,4% mengalami kecacatan
emosional selama masa kepatuhannya terhadap injeksi penisilin jangka panjang.
Chockalingam dkk menemukan korea hanya pada 4% dari total populasi penderita rematik
akut. Sejumlah kecil kasus semacam ini mungkin disebabkan oleh penyebab korea lainnya,
karena gangguan neuropsikiatri autoimun pediatrik juga terkait dengan infeksi
streptokokus. Namun, karena kesulitan dalam membedakan korea dari demam rematik akut,
kondisi ini seharusnya tidak dicurigai, terutama pada populasi berisiko rendah.
Dalam penelitian kami, 7 pasien (3,5%) mengalami kambuh - 3 pasien memiliki
poliartritis, 1 pasien memiliki monoartritis, 1 pasien memiliki karditis, dan 2 pasien
memiliki korea. Empat dari tujuh pasien ini, yang telah kambuh dalam bentuk arthritis, juga
memiliki arthritis sebagai manifestasi awal mereka. Sisa 3 pasien memiliki bentuk
kambuhan yang berbeda dari manifestasi aslinya. Oran dkk melaporkan bahwa,
kekambuhan dikaitkan dengan kerusakan organ yang lebih parah, terutama jantung, yang
mungkin telah cedera selama serangan awal. Kambuh terjadi dalam 2 tahun pertama
episode akut demam rematik (3 pasien setelah 2 tahun, 2 pasien setelah 1,5 tahun, dan 2
pasien setelah 1 tahun).
American Heart Association (AHA) merekomendasikan regimen penisilin jangka
panjang setiap 3 minggu di negara-negara di mana kejadian demam rematik sangat tinggi.
Namun, beberapa penulis telah merekomendasikan regimen setiap 2 minggu. Rekomendasi
ini sesuai dengan temuan dari penelitian kami-dari 7 pasien yang kambuh, 5 memakai
regimen penisilin jangka panjang setiap 3 minggu, sementara 2 orang memakai regimen
setiap 2 minggu. Ini menunjukkan keefektifan penisilin jangka panjang dalam pencegahan
serangan berulang demam rematik. Oran dkk menyarankan bahwa interval antara suntikan
harus 15 hari selama 2 tahun pertama setelah episode akut demam rematik dan 21 hari
selama tahun-tahun berikutnya.
Manyemba dan Mayosi melaporkan bahwa penisilin mengurangi risiko kambuhnya
demam rematik sebesar 55% dan infeksi tenggorokan streptokokus sebesar 16%.
Sebaliknya, Seckeler dkk melaporkan tingkat kekambuhan demam rematik pada kelompok
perlakuan penisilin sebesar 38% .
Seseorang yang sudah pernah menderita serangan demam rematik lebih rentan
mengalami kekambuhan setelah faringitis streptokokus grup A. Untuk mencegah
kekambuhan tersebut, orang-orang ini harus diberi profilaksis antimikroba teru-menerus.
Durasi profilaksis ditentukan berdasarkan jumlah serangan sebelumnya, waktu berlalu
sejak serangan terakhir, usia pasien, keterlibatan jantung dan risiko terpapar infeksi
streptokokus grup A. Penisilin adalah obat pilihan untuk profilaksis sekunder di antara
kasus-kasus seperti itu, namun pada pasien yang sensitif penisilin, sulfadiazine, makrolida
atau azalida juga dapat dipertimbangkan.
Kejadian kambuhan yang agak rendah dalam penelitian kami mencerminkan efektivitas
pemberian penisilin jangka panjang sebagai regimen setiap 2 minggu di musim dingin dan
regimen setiap 3 minggu di musim panas. Temuan ini juga berkaitan dengan tinjauan
sistematis baru-baru ini yang membandingkan perlakuan penisilin jangka panjang setiap
2-3 minggu dengan penisilin setiap 4 minggu secara IM pada pasien dengan serangan
demam remtuk sebelumnya. Satu percobaan telah dilakukan, menunjukkan bahwa injeksi
setiap 2 atau 3 minggu lebih efektif daripada suntikan setiap 4 minggu untuk mencegah
kekambuhan demam rematik. Bukti menunjukkan injeksi setiap 2 minggu menghasilkan
pengurangan hampir 50% pada kekambuhan demam rematik dan penurunan infeksi
streptokokus sebesar 40% dibandingkan injeksi setiap 4 minggu. Namun, bukti injeksi
setiap 3 minggu sama sekali tidak lebih kuat jika kesalahan sistematis oleh randomisasi
yang tidak memadai dalam penelitian ini diperhitungkan.
Penelitian lain dilakukan di Brazil untuk mengevaluasi konsentrasi penisilin dalam
serum pada 1, 10, 14, dan 21 hari setelah pemberian IM injeksi penicillin benzatin G (BPG)
40.000 IU / kg. Konsentrasi penicillin serum minimum yang direkomendasikan untuk
mencegah kekambuhan demam rematik adalah 0,02 mg / ml. Penelitian ini mengungkapkan
bahwa rata-rata konsentrasi penisilin serum setelah hari ke 1, 10, 14 dan 21 pada pemberian
obat yaitu masing-masing 0,08, 0,03, 0,02 dan 0,01 mikro gm / ml. Ini berarti bahwa pada
sebagian besar anak-anak, pada minggu ke 3 pemberian, konsentrasi serum menjadi tidak
memadai untuk pencegahan demam rematik pada sebagian besar anak-anak. Menurut
penelitian farmakokinetik, konsentrasi penisilin dalam serum tetap di atas batas minimum
kadar penghambatan saat pemberian penisilin diberikan setiap 2 minggu. Jadi, hasil di atas
mendukung regimen setiap 2 minggu.
Dalam penelitian kami, pada saat kambuh, satu pasien yang kambuh memiliki ASTO
setara dengan 400 todd U / ml, sedangkan 6 pasien lainnya memiliki ASTO baru-baru ini
kurang dari 200 todd U / ml. Hasil semua kultur usap tenggorokan pasien yang diteliti
negatif. Hal ini membuktikan efektivitas regimen setiap 2 minggu di musim dingin dan
regimen setiap 3 minggu di musim panas untuk memberantas kolonisasi streptokokus di
tenggorokan. Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting mengapa 7 pasien kambuh,
sementara semuanya memiliki kultur tenggorokan yang negatif? Hal ini sebagian dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa kultur tenggorokan dalam penelitian kami hanya dilakukan
untuk infeksi streptokokus Grup A dan bukan untuk kelompok lain seperti C, G, F dan B.
Banyak peneliti lain telah memiliki temuan serupa di masa lalu. Pada tahun 2001, para
peneliti mempelajari tingkat streptokokus di tenggorokan di antara anak-anak sekolah
negeri di Nigeria dan menemukan 13,3%. Studi lain menemukan tingkat streptokokus
9,78% tanpa kelompok isolasi lapangan A Lance. Namun, kejadian kelompok streptokokus
C, G, F dan B masing-masing masing-masing 38%, 36%, 20%, dan 7%.
Streptokokus non-grup A lebih dominan di negara tropis dan subtropis, oleh karena itu
kemungkinan besar pasien tidak berkembang menjadi demam rematik sekunder untuk
streptokokus non-grup A beta hemolitika. Sebenarnya, para ilmuwan telah menyarankan
peran yang lebih kuat dari kelompok streptokokus C dan G beta hemolitik pada manusia
dengan sekuele non-supuratif di negara tropis dan subtropis, di mana prevalensi demam
remati / penyakit jantung rematik tinggi. Dinkla dkk juga menyarankan bahwa rantai
streptococcal menyebabkan dema rematik akut membentuk kompleks auto antigenik
dengan kolagen IV manusia. Pengangkutan faring kelompok C dan G streptokokus terjadi
di beberapa daerah geografis yang mencerminkan tingginya kejadian demam rematik akut.
Protein permukaan mirip M, yang mengikat kolagen manusia telah diidentifikasi pada
permukaan streptokokus grup C dan G. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memberantas
streptokokus yang memiliki protein pengikatan kolase untuk mencegah berulangnya
demam rematik.
Di sisi lain, kami menemukan bahwa hanya 11/210 (5,2%) pasien yang baru-baru ini
memiliki ASTO> 200 todd U / ml setelah kepatuhan regimen penisilin jangka panjang
setidaknya selama satu tahun. Hal ini mencerminkan keefektifan regimen penisilin jangka
panjang dalam menurunkan nilai ASTO dan pencegahan kolonisasi streptokokus pada
tenggorokan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa 11 pasien masih memiliki ASTO
tinggi dalam penelitian kami sementara semua kultur tenggorokan negatif. Hal ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa ada penyebab lain yang meningkatkan ASOT, seperti pada
penyakit terkait lainnya seperti rematik artritis, demam Mediterania familial, arteritis
Takayasu dan impetigo streptokokus.

Batasan penelitian:
1. Studi kontrol ulang jangka panjang sulit dilakukan.
2. Tingkat serum penisilin tidak dievaluasi karena tidak tersedianya kit
3. Tidak ada kelompok kontrol yang dimasukkan karena penolakan pasien untuk
ditindak lanjuti

Kami menyimpulkan bahwa usia saat onset demam rematik sebagian besar antara 5 dan
15 tahun dan usia termuda adalah 2 tahun. Poliartritis adalah presentasi demam rematik
yang paling umum kemudian diikuti oleh karditis. Karditis subklinis tampak pada 79 pasien
(37%) dari semua pasien yang diteliti. Regurgitasi mitral adalah lesi paling umum diikuti
dengan regurgitasi aorta. Tingkat kekambuhan demam rematik rendah dan terjadi dalam 2
tahun setelah episode akut demam rematik. Penisilin jangka panjang efektif untuk
memberantas kolonisasi streptokokus di tenggorokan. Profilaksis sekunder dengan
penisilin jangka panjang terbukti satu-satunya strategi pengendalian penyakit jantung
rematik yang efektif.
Kami merekomendasikan penggunaan regimen penisilin jangka panjang setiap 2
minggu dalam beberapa tahun pertama setelah episode akut demam rematik terutama pada
komunitas berisiko tinggi. Kemudian, selama tahun-tahun berikutnya, regimen setiap 2
minggu di musim dingin dan regimen setiap 3 minggu di musim panas, ternyata sangat
efektif. Kami juga menyarankan kontrol ulang jantung dan ekokardiografi rutin untuk
deteksi dini dan penanganan komplikasi. Kontrol ulang agresif juga membantu membuat
keputusan tepat waktu mengenai penarikan profilaksis sekunder.

TELAAH JURNAL

Evaluasi Kebijakan Pencegahan Sekunder terhadap Demam Rematik pada


Anak-Anak Mesir

A. PICO
1. PATIENT OR PROBLEM
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas dari penisilin jangka
panjang sebagai regimen setiap 2 minggu pada musim dingin dan regimen setiap 3
minggu pada musim panas untuk mencegah kolonisasi streptokokus, dan
mempelajari keluhan umum pasien selama masa pemberian penisilin jangka
panjang, serta menentukan kejadian kekambuhan atau berulangnya demam rematik
setelah onset episode pertama demam rematik
Penilitian ini mencakup 210 pasien yang didiagnosis sebelumnya dengan demam
rematik berdasarkan kriteria Jones, yang memiliki kepatuhan yang baik pada
pemberian regimen penisilin jangka panjang dan secara rutin mengunjungi klinik
rawat jalan demam rematik untuk jangka waktu minimal satu tahun.

2. INTERVENTION
Penelitian ini menggunakan metode observasi cross-sectional. Pasien demam
rematik akut yang memiliki kepatuhan yang baik pada pemberian regimen penisilin
jangka panjang dan secara rutin mengunjungi klinik rawat jalan demam rematik untuk
jangka waktu minimal satu tahun, maka dikumpulkan data demografi, keluhan pada
serangan awal, riwayat kambuh atau berulang, kemudian pemeriksaan dilakukan pada
serangan awal (ESR, CRP, ASTO dan Ekokardiografi) dan kontrol ulang
ekokardiografi setiap 3 bulan. Semua kasus kekambuhan didiagnosis di klinik demam
rematik. Pasien tersebut langsung dikirim ke Universitas Kairo, Rumah Sakit Anak-
anak dan kemudian diselidiki oleh salah satu profesor kardiologi anak-anak terkemuka
yang melakukan ekokardiografi untuk mendokumentasikan kriteria ekokardiografi
kekambuhan.
Pemeriksaan ASTO dan kultur usap tenggorokan dilakukan pada akhir penelitian
(pada hari ke 14 pada regimen setiap 2 minggu dan pada hari ke 21 pada regimen setiap
3 minggu yang sebelumnya menerima injeksi penisilin jangka panjang) dan tes
sensitivitas juga dilakukan untuk kultur yang positif.

3. COMPARE

penelitian yang dilakukan oleh Omokhodion dkk (2006) dan Mahmudi dkk (2006),
melaporkan bahwa 70% pasien memiliki usia saat onset demam rematik antara 5
dan 15 tahun. Seckeler dkk (2010), menemukan bahwa usia saat diagnosis demam
rematik berkisar antara 2,9 sampai 17,1 tahun (rata-rata 10,6 tahun)
Seckeler dkk (2010) melaporkan bahwa demam dan karditis adalah temuan
manifestasi yang paling umum
Manyemba dan Mayosi (2002) melaporkan bahwa penisilin mengurangi risiko
kambuhnya demam rematik sebesar 55% dan infeksi tenggorokan streptokokus
sebesar 16%. Sebaliknya, Seckeler dkk melaporkan tingkat kekambuhan demam
rematik pada kelompok perlakuan penisilin sebesar 38% .
Penelitian lain dilakukan di Brazil (Peloso dkk, 2000) untuk mengevaluasi
konsentrasi penisilin dalam serum pada 1, 10, 14, dan 21 hari setelah pemberian IM
injeksi penicillin benzatin G (BPG) 40.000 IU / kg. Konsentrasi penicillin serum
minimum yang direkomendasikan untuk mencegah kekambuhan demam rematik
adalah 0,02 mg / ml. Penelitian ini mengungkapkan bahwa rata-rata konsentrasi
penisilin serum setelah hari ke 1, 10, 14 dan 21 pada pemberian obat yaitu masing-
masing 0,08, 0,03, 0,02 dan 0,01 mikro gm / ml. Ini berarti bahwa pada sebagian
besar anak-anak, pada minggu ke 3 pemberian, konsentrasi serum menjadi tidak
memadai untuk pencegahan demam rematik pada sebagian besar anak-anak.
Menurut penelitian farmakokinetik, konsentrasi penisilin dalam serum tetap di atas
batas minimum kadar penghambatan saat pemberian penisilin diberikan setiap 2
minggu. Jadi, hasil di atas mendukung regimen setiap 2 minggu.

4. OUTCOME

1. Usia saat onset demam rematik yang paling banyak yaitu antara 5 dan 15 tahun,
dan usia termuda yaitu 2 tahun
2. Manifestasi demam rematik yang paling umum yaitu poliartritis, kemudian
diikuti oleh karditis
3. Tingkat kekambuhan demam rematik rendah dan terjadi dalam 2 tahun setelah
episode akut demam rematik
4. Penisilin jangka panjang efektif sebagai regimen setiap 2 minggu di musim
dingin dan regimen setiap 3 minggu di musim panas untuk memberantas
kolonisasi streptokokus di tenggorokan

B. VIA
1. VALIDITY
a. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah observasi cross-sectional dengan
pendekatan retrospektif dan prospektif.
b. Izin Penelitian
Izin penelitian telah diperoleh dari Dewan Peninjau Institusional Lokal dan
Perlindungan Subyek Manusia, dan telah mendapatkan persetujuan tertulis yang
diperoleh dari pasien dan orang tua pasien.
c. Sumber data
Klinik Demam Rematik, Universitas Kairo, Rumah Sakit Anak-anak
d. Waktu Penelitian
Dalam jurnal ini tidak disebutkan waktu penelitiannya, tetapi disebutkan bahwa
penelitian ini berlangsung dalam rentang waktu lebih dari satu tahun
e. Subjek penelitian
Populasi penelitian ini meliputi semua pasien yang melaporkan kepatuhan yang
baik terhadap regimen penisilin jangka panjang dan secara rutin mengunjungi
klinik rawat jalan demam rematik, Universitas Kairo, Rumah Sakit Anak, untuk
jangka waktu minimal satu tahun. 210 pasien rematik dengan kepatuhan yang baik
terhadap penisilin jangka panjang (paling sedikit satu tahun) dimasukkan ke dalam
penelitian ini. Kriteria inklusi adalah pasien yang menerima penisilin jangka
panjang sesuai berat badan (regimen pencegahan sekunder demam rematik adalah
600.000 unit penisilin jangka panjang untuk pasien dengan berat badan 25 kg atau
kurang dan 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat lebih dari 25 kg) setiap 2 minggu
di musim dingin dan 3 minggu di musim panas, tanpa memandang usia; dan pasien
menunjukkan kepatuhan yang baik dengan pengobatan penisilin jangka panjang
(minimal satu tahun). Kriteria eksklusi meliputi pasien yang alergi penisilin selama
pencegahan, pasien yang menolak untuk melanjutkan pencegahan dengan penisilin
jangka panjang, dan pasien dengan penisilin oral.
f. Kualitas Data
Terjamin melalui pemantauan
g. Tujuan Penelitian
Fokus penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas dari penisilin jangka
panjang sebagai regimen setiap 2 minggu pada musim dingin dan regimen setiap 3
minggu pada musim panas untuk mencegah kolonisasi streptokokus, dan
mempelajari keluhan umum pasien selama masa pemberian penisilin jangka
panjang, serta menentukan kejadian kekambuhan atau berulangnya demam rematik
setelah onset episode pertama demam rematik
h. Analisa Statistik
Data diringkas dalam bentuk angka dan persentase
i. Program
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for
Social Science (SPSS) versi 15 (Chicago, Illinois, USA).

2. IMPORTANT
Hasil penelitian ini penting untuk mengevaluasi efektivitas penisilin jangka panjang
sebagai regimen setiap 2 minggu pada musim dingin dan regimen setiap 3 minggu pada
musim panas. Pasien dengan riwayat demam rematik berada pada risiko tinggi serangan
berulang demam rematik dan berkembang menjadi penyakit jantung rematik, sehingga
diperlukan pemberian penisilin jangka panjang sebagai pencegahan yang telah terbukti
efektif.
3. APPLICABLE
Jurnal ini dapat diterapkan di RSUD Raden Mattaher Jambi dalam hal terapi,
dimana penggunaan penisilin jangka panjang sebagai profilaksis sekunder efektif untuk
memberantas kolonisasi streptokokus di tenggorokan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover Laporan Phrs
    Cover Laporan Phrs
    Dokumen1 halaman
    Cover Laporan Phrs
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Presentation RADIO
    Presentation RADIO
    Dokumen25 halaman
    Presentation RADIO
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Osteoarthritis Lutut
    Osteoarthritis Lutut
    Dokumen38 halaman
    Osteoarthritis Lutut
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Presentation RADIO
    Presentation RADIO
    Dokumen25 halaman
    Presentation RADIO
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Tumor Leher - Kidis
    Tumor Leher - Kidis
    Dokumen61 halaman
    Tumor Leher - Kidis
    Gebrina Amanda
    Belum ada peringkat
  • Cover Asma
    Cover Asma
    Dokumen4 halaman
    Cover Asma
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • CSS Prolaps Rektum
    CSS Prolaps Rektum
    Dokumen24 halaman
    CSS Prolaps Rektum
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Asma
    Asma
    Dokumen28 halaman
    Asma
    Oka Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Asma Bronkhial
    Asma Bronkhial
    Dokumen32 halaman
    Asma Bronkhial
    Oka Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Crs Sandy Jantung
    Crs Sandy Jantung
    Dokumen31 halaman
    Crs Sandy Jantung
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Stemi Anterior
    Stemi Anterior
    Dokumen30 halaman
    Stemi Anterior
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Css Anak
    Css Anak
    Dokumen16 halaman
    Css Anak
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat
  • Stemi Anterior
    Stemi Anterior
    Dokumen30 halaman
    Stemi Anterior
    Nevi Triayu Juwita
    Belum ada peringkat