Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KULIT KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR, 8 APRIL 2016

REFERAT
SINDROMA STEVEN-JOHNSON DAN NEKROLISIS
EPIDERMAL TOKSIK

OLEH:
Nur Intan Yusuf (111 2016 0031)
A. Rizki Sundusiasih Ashari (111 2016 0033)

Pembimbing:
dr. Soraya Bakri, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, Sindrom Steven-Johnson


merupakan hipersinsitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan
ekspresi berat dari eritema multiform. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) (ektodermosis
erosive pluriofisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra,
eritema multiform mayor, eritema bullosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lender orifisium, dan mukosa kelopak mata dengan keadaan umum bervariasi dari
baik sampai buruk

Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Mekanisme terjadinya sindroma pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat
yang memicunya.

SSJ muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum,
dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan langsung dengan
dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat
sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang
tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat seperti syok anafilaktik jika cepat
ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SSJ akan
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian
seperti syok anafilaktik.

Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritem multiform mayor


tetapi terjadi ketidaksetujuan dalam literature. Sebagian besar pada penulis dan ahli
berpendapat bahwa SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit
yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Dengan alas an tersebut, banyak yang
menyebutkan SSJ/NET. SSJ secara khas mengenai kulit dan membrane mukosa oral,
nasal, mata, vaginal, uretral, gastrointestinal dan saluran napas bawah dapat terjadi

2
selama perjalanan penyakit. Ikut sertanya gastrointestinal dan respiratori dapat
berlanjut menjadi nekrosis. SSJ merupakan kelainan sistemik yang serius dengan
potensi morbiditas berat dan mungkin kematian. Kesalahan diagnosis sering terjadi
pada penyakit ini.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi SSJ

Sindrom Steven-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah


reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk,
yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (TEN). Ada juga versi yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiform (EM).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala


klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya
antara lain: Sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Sindrom Steven-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua


dokter, dr. Steven dan dr. Johnson, pada dua pasien laki-laki. Namun dokter tersebuh
tidak dapat menemukan penyebabnya.

II.2. Etiologi SSJ

1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa


dan usia lanjut.
2. Kasus pediatric lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada
keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya,
karena imunitas belum berkembang sepenuhnya.
3. NSAID oksikam dan sulfonamide merupakan penyebab utama di negara-
negara barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.

4
4. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari
dua pertiga pasien dengan SSJ.
5. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran
napas atas.
6. Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.

II.3. Faktor Predisposisi SSJ

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi


1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari
semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih
rentan daripada laki-laki. (Siregar, 2004)

II.4. Patofisiologi SSJ

SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks


imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini
kokain dimasukkan dalam daftar obat yang menyebabkan SSJ. Sampai dengan
setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi.

SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II


(sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung
kepada sel sasaran target (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET adalah pada kulit
berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk
CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin sitokin lain. CD4 terutama terdapat di
dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-
2, dan MHC-II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di
epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi:

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.

5
2. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuriat.
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan
yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri yang berkelanjutan. Erupsi
timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi,
eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjugtivitis, dan urethritis). Gejala prodromal tidak spesifik, dapat berlangsung
hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa,
beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput
lender, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada
kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai
krusta hemoragik. (Ilyas, 2004).

II.5. Epidemiologi SSJ DAN NET

Insidensi SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap
tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.

Predominasi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio


pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi
pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi berusia 3 bulan.

II.6. Gejala Klinis SSJ DAN NET

SSJ dan TEN biasanya dimulai dengan gejala prodromal berkisar


antara 1-24 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami makula eritem pada muka
dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang
tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada

6
tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas,
proses penyakit dimulai dengan infeksi non spesifik saluran napas atas.

Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang


berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik.
Riwayat demam atau perburukan local harus dipikirkan kea rah superinfeksi, demam
dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus.

Gejala pada membrane mukosa oral dapat cukup berat sehingga


pasien tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinary dapat
memberi keluhan dysuria. Riwaya penyakit SSJ atau eritema multiform dapat
ditemukan. Rekurensi terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau
pasien mengalami pajanan kembali.

Pada TEN, bagian kulit yang mengelupas, sering hanya dengan


sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.
Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan
panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan,
2006).

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat
dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar
dapat merembes dari kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Pada SSJ akan terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan
selaput lendiri di orifisium, dan kelainan mata.

1. Kelainan pada kulit


a. Kemerahan pada kulit bermula sebagai macula yang berkembang
menjadi papul, vesikel, bulla, plak urtikaria atau eritema konfluen.
b. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikuler, purpura atau nekrotik.
c. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan
eksoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
d. Lesi urtikaria biasanya bersifat pruritic.

7
e. Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan
morbiditas.
f. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal
dari tangan dan permukaan tempat yang paling umum.
g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang
paling umum di batang tubuh.

2. Kelainan selaput lender di orifisium


a. Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada
lubang alat genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus
(masing-masing 8% dan 4%).
b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritem, edema, vesikel, bulla, yang
gampang pecah sehingga timbul erosi, eksoriasi, dan krusta
kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran.
Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan
esophagus.
c. Stomatitis pada mulut menyebabkan adanya kemungkinan SSJ tanpa
lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut
kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.

8
3. Kelainan mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis.

II.7. Diagnosa SSJ

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias


kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara
klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam. Selain itu didukung pemeriksaan imunologik, biakan kuman, sertauji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsy kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terhadap peningkatan eosinophil. Kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun beredar. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada.
Imunoflurosensi direk bias membantu diagnosa kasus-kasus atipik.

II.8. Diagnosis Banding SSJ

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven-Johnson:

9
1. Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sindroma Steven-
Johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari
30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada
penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas
pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

II.9. Pemeriksaan Penunjang SSJ

a. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsy yang dapat menegakkan
diagnosis SSJ.
1) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang
normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat. Kalau terdapat
eosinophilia kemungkinan karena alergi.
2) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi
bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
3) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven-
Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
4) Kultur darah, urin, dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai
adanya infeksi.
b. Pemeriksaan Radiologi.
c. Pemeriksaan Histopatologi.
Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiform, bervarias dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa:
1) Infiltrat sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis
superfisial.
2) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.
3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5) Spongiosis dan edema intrasel epidermis.

10
II.10. Penatalaksanaan SSJ

Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk


jamu dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak
menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan
umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien
harus dirawat inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving,
dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih
jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang berat, harus
segera dirawat inap dan diberikan dexamethasone 6x5 mg iv. Biasanya setelah
beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg
sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan
keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi
menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira
10 hari.

Selain deksametasone dapat digunakan pula metilprednisolon dengan


dosis setara. Kelebihan etilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason
termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan
dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak
banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tappering-off hendaknya dilakukan
cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi) jadi berbeda dengan
penyakit autoimun (endogen), misalnya pemphigus.

Bila tapering-off tidak lancer hendaknya dipikirkan factor lain.


Mungkin antibiotic yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih
timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotic lain. Kemungkinan
lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi
kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah

11
kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril selaa
jam untuk menghindari kontaminasi.

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul


miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid
dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.

Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan


berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk encegah terjadinya infeksi,
misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotic yang
dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal, dan tidak atau seidkit nefrositik. Hendaknya antibiotic yang akan
diberikan jangan yang segolongan atau rumusnya mirip dengan antibiotic yang
diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitasi silang. Obat yang memenuhi
syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2x400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak
berspektrum luas sering digunakan karena juga efektif bagi kuman anaerob, dosisnya
2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan
dosis 2 gram iv sehari 1x1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan
sensitasi silang karena keduanya termasuk antibiotic beta lactam. Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein,
karena kortikosteroid bersifat katabolic. Setelah seminggu diperiksa pula kadar
elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3x 500 m per
os.

Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan


cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan
akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu
dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5% NaCl 9% dan ringer laktat berbanding
1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.

Jika dengan terapi tersebut belum tapak perbaikan dalam 2 hari, maka
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hairi berturut-turut. Efek

12
transfuse darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit menjadi normal.

Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meninggikan daya tahan.

Jika indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan TEN yang
dilakukan ialah:

1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat


setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ
30mg deksametason sehari dan TEN 40mg sehari.
2. Bila terjadi purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu
dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfuse hanya selama 2 hari. Hb
dapat naik sedikit, namun cepat turun.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin
C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.
Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan
eksoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat diberikan
kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya
berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.

II.11. Komplikasi SSJ

Sindrom Steven-Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain


sebagai berikut:

a. Oftalmologi: ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis,


kebutaan
b. Gastroenterologi: esophageal strictures
c. Genitourinaria: nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile
scarring, stenosis vagina
d. Pulmonary: bronkopneumonia
e. Kutaneus: timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit
permanen, infeksi kulit sekunder
13
f. Infeksi sistemik: Sepsis
g. Kehilangan cairan tubuh: Shock

II.12. Prognosis SSJ

Kalau bertindak cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.


Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat
mendatangkan kematian. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

Presentase kematian di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dalam publikasi Sri


Lestari dan Adhi Djuanda pada tahun 1994 dicantumkan angka kematian di berbagai
kota di Indonesia. Angka kematian di RS Dr Kariadi Semarang 14,6%, RS dr.
Soetomo Surabaya 5,1 %, RS dr. Sardjito Yogyakarta 7,0%, RS Wangaya Denpasar
9%, dan RS Denpasar 20%, sedangakan di RS Cipto Mangunkusumo 4%.

14
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar
ditentukan dengan pasti, karena penyebab berbagai factor, walaupun pada umumnya
sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering


dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV).
Manifestasi SSJ pada mata dapat berupa konjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dpt menyebabkan kebutaan.

Diagnosis banding dari SSJ ada 2, yaitu Toxic Epidermolysis


Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan
konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.

15
Penanganan SSJ dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan
elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan
umum berat. Pemberian antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang menganggap bahwa penggunaan steroid
sistemik pada anak bias menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping
yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. Sindrom Steven-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 5.


Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2007: 163-5
2. NN, Syndrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan Penanganannya.
Didapat dari: http://allergycliniconline.com
3. Djuanda, ADhim et al, 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 7. Jakarta:
Badan Penerbit FK-UI.
4. Williams M. Steven-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://patient.co.uk
5. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, et al. 2008. Allopurinol is the most
common cause of Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis
in Europe and Israel. Journal Am Acad Dermatol, 58:25-32
6. Wolff, Klaus, et. Al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
Seventh Edition Volumes 1 & 2. Amerika: The McGraw-Hill Companies,
Inc.

16

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh:: Catatan
    Contoh:: Catatan
    Dokumen4 halaman
    Contoh:: Catatan
    Zul Fajri
    Belum ada peringkat
  • Laporan Biologi
    Laporan Biologi
    Dokumen13 halaman
    Laporan Biologi
    Nur Sri Hardianty
    100% (1)
  • Second Hand
    Second Hand
    Dokumen10 halaman
    Second Hand
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Dokumen34 halaman
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • K
    K
    Dokumen12 halaman
    K
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Dokumen3 halaman
    Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Dokumen14 halaman
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Nhlsss
    Nhlsss
    Dokumen6 halaman
    Nhlsss
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Lasik
    Lasik
    Dokumen12 halaman
    Lasik
    Latifa Sary
    Belum ada peringkat
  • Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Dokumen2 halaman
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Makalah: (Polio)
    Makalah: (Polio)
    Dokumen18 halaman
    Makalah: (Polio)
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • KLDDDDF
    KLDDDDF
    Dokumen1 halaman
    KLDDDDF
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Referat Syok Septik
    Referat Syok Septik
    Dokumen29 halaman
    Referat Syok Septik
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Acvfgh
    Acvfgh
    Dokumen1 halaman
    Acvfgh
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Asdre
    Asdre
    Dokumen1 halaman
    Asdre
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas Histo
    Tugas Histo
    Dokumen3 halaman
    Tugas Histo
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Martindale Fenobarbital Translate
    Martindale Fenobarbital Translate
    Dokumen12 halaman
    Martindale Fenobarbital Translate
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • TGS
    TGS
    Dokumen80 halaman
    TGS
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Aut
    Aut
    Dokumen5 halaman
    Aut
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • BAB II2a
    BAB II2a
    Dokumen19 halaman
    BAB II2a
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Bab II5
    Bab II5
    Dokumen11 halaman
    Bab II5
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • 5
    5
    Dokumen1 halaman
    5
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Asma
    Lapsus Asma
    Dokumen23 halaman
    Lapsus Asma
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • TP Farmako DDT
    TP Farmako DDT
    Dokumen7 halaman
    TP Farmako DDT
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • EKTIMA
    EKTIMA
    Dokumen8 halaman
    EKTIMA
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • CA Caput Pankreas
    CA Caput Pankreas
    Dokumen46 halaman
    CA Caput Pankreas
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas PBL
    Tugas PBL
    Dokumen80 halaman
    Tugas PBL
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • BAB Ii6
    BAB Ii6
    Dokumen11 halaman
    BAB Ii6
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Rububiyah
    Rububiyah
    Dokumen1 halaman
    Rububiyah
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat