PENDAHULUAN
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk
dapat dicerna lebih lanjut.
b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak.11
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus
dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu
dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan
dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut
terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut
misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.11
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide.
Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin
yang terbentuk sangat banyak.11
Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang memberikan
warna hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga mengandung kalsium karbonat
dan fosfat, dimana batu coklat juga mengandung stearat, palmitat dan kolesterol.
Peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi pada empedu, yang dipecahkan hanya
dalam micelles, ini merupakan penyebab utama pembentukan batu empedu,
dimana normalnya mengandung hanya 1-2% dalam empedu.
Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi adalah:
Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu sehingga terjadi
pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam presipitat sebagai garam
kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme pertama diatas, mengandung
komponen tambahan, kalsium karbonat dan fosfat, inilah yang akan menurunkan
kapasitas keasaman dalam kandung empedu.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada kolelitiasis adalah kolik. Jika terjadi
penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan meningkat
dalam saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah sumbatan
menyebabkan nyeri viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan penyebaran nyeri ke
punggung dan disertai muntah.
II.1.9.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.7
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.7
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran
empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus
meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan
obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan
dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena
sintesis plasenta.14
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.7
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.7
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak.7
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan
kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.7
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.3
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi
normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung
dan paru.2 Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan
kecil di dinding perut.3
Kontra indikasi pada laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi
untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti
abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga keganasan
kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.18
a. Kemungkinan konversi ke pembedahan terbuka harus dijelaskan kepada pasien
sebelum operasi
b. Kateter Foley dan slang orogastrik dipasang
c. Baik metode terbuka maupun tertutup telah digunakan untuk menciptakan
pneumoperitoneum yang adekuat
d. Teknik terbuka
e. Kanula berujung tumpul khusus (Hasson)
f. Begitu pneumoperitoneum sudah adekuat, sebuah trokar 11 mm dimasukkan
melalui insisi supraumbilikal, lalu dimasukkan laparoskop yang dilengkapi
dengan kamera video
g. Trokar tambahan dimasukkan dengan visualisasi langsung
h. Dibuat dua port yang lebih kecil untuk memegang kandung empedu dan
menempatkannya pada posisi ideal untuk kolesistektomi antegrad
i. Port lateral
j. Kanula 5 mm medial
k. Taut kandung empedu dan ductus cysticus diidentifikasi
l. Triangulus calot dibebaskan dari semua jaringan lemak dan limfe
m. Begitu ductus
1. Batu Empedu. Dr. J.B Suharjo B. Cahyono, Sp.PD. Penerbit Kanisius. Tahun
2009
2. Major Diagnosis Fisik. Delp & Manning. Edisi revisi. Penerbit EGC. Jakarta.
Tahun 1996
3. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.
4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W. Sudoyo, dkk. Edisi 5. Jilid 1. Penerbit
EGC. Jakarta. Tahun 2009
5. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Price, S.A. Edisi 6. Penerbit
EGC, Jakarta. Tahun 2006
6. Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
7. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005.
8. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah. Bina Rupa Aksara, Jakarta.
9. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1. Penerbit EGC, Jakarta. 2002
10. C. Devid, Jr. Sabiston (1994), Sistem Empedu, Sars MG, L John Cameron, Dalam
Buku Ajar Bedah, Edisi 2. Penerbit EGC, Jakarta.
11. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512.
Penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta.
12. Williams, L.S, Hopper, P.D. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing
Second Edition. Philadelphia : F.A Davis Company
13. Silbernagl S, Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme
Stuttgart; 2000.
14. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994
15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
16. Anonynim, Laparoskopi Cikal Bakal Bedah Masa Depan available:
http://www.kompas.com/LaparoskopiCikalBakalBedahMasaDepan.asp (Accessed:
2008, January 22)
17. Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Handbook of Clinical Anesthesia, 4th
edition. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001
18. Zollinger, Robert M., Zollingers Atlas of Surgical Operations 8th edition,
international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2003