Anda di halaman 1dari 80

Blok Kedokteran Tropis Makassar, 29 Desember 2014

TUGAS INDIVIDUAL

Disusun oleh :

Nama : Andi dewi shanti


Stambuk : 110 212 0076

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
TAHUN AJARAN 2013/2014
PENDAHULUAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
dapat menyelesaikan laporan individual (Program Based Learning) dengan baik
dan tepat waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Laporan ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas individual. Terima kasih
untuk semua pihak yang telah membantu dalam mencari informasi dan
mengumpulkan data.

Saya sadari bahwa tugas individual ini, masih terdapat banyak


kekurangan untuk itu kritik dan saran membangun dari pembaca sekalian sangat
kami harapkan demi kesempurnaan tulisan ini kedepannya.

Harapan semoga laporan ini mendapat penilaian yang baik, bermanfaat


bagi para pembaca umumnya.

Makassar, 29 Desember 2014

Penyusun
Soal

1. Sebutkan semua diagnosis banding untuk :


a. Skenario kasus demam
b. Skenario kasus lesu
c. Skenario bercak putih di kulit
d. Skenario bercak kemerahan pada kulit

2. Tuliskan secara lengkap semua diagnosis banding yang disebutkan pada


soal di atas mulai dari etiologi sampai prognosis.

3. Tuliskan pengobatan lengkap untuk semua diagnosis banding tersebut


(dosis, lamanya pemberian, efek samping dan dosis maksimal/mematikan).

Jawaban
1. Sebutkan semua diagnosis banding untuk :

Skenario kasus demam

Skenario A

Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Tifoid

Malaria

Chikungunya

Difteri

Demam Kuning

Skenario B

Demam tifoid

Malaria

Demam Berdarah Dengue

Skenario C

Demam Berdarah Dengue

Demam Tifoid

Malaria

Chikungunya

Difteri
Skenario Lesu

Skenario A

Filariasis

Trichuriasis

Ascaris

Skenario B

Parotitis Epidemika

Askariasis

Skenario C

Enterobiasis

Necatoriasis

Anchilostomiasis

Trichuriasis

Skenario Bercak Putih Pada Kulit

Skenario A

Ptyriasis Alba

Tinea Versikolor

Vitiligo
Morbus Hansen

Skenario B

Morbus Hansen

Tinea Versikolor

Skenario C

Morbus Hansen

Tinea Versikolor

Ptyriasis Alba

Tinea Cruris

Vitiligo

Skenario Bercak Merah Pada Kulit

Skenario A

Morbus Hansen

Pitiriasis Rosea

Tinea Corporis

Morbili

Dermatitis Atopi

Herpes Zoster

Varicella

Skenario B
Morbus Hansen

Tinea Cruris

Candidiasis intertriginosa

Eritrasma

Herpes Simplex Tipe II

Skenario C

Morbus Hansen

Pitiriasis Rosea

Ptiriasis rubra

Eritroderma

2. Tuliskan secara lengkap semua diagnosis banding yang disebutkan pada


soal di atas mulai dari etiologi sampai prognosis.

SKENARIO DEMAM

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1

DEFINISI
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue.

EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik


Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran
di seluruh wilayah tanah air .insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15
per 100.000 penduduk ; dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998.

ETIOLOGI

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang


termasuk dalam genus flavivirus , keluarga flaviviridae . flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4 X 106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN -1, DEN 2, DEN 3dan DEN-4
yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah
dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak .terdapat reaksi silang antara serotipe
dengue dengan flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese enchepalitis
dan West Nile Virus.

Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan


mamalia seperti tikus, kelinci, anjing,kelelawar dan primate. Survey
epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus
dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhnychites.

GEJALA KLINIK
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital
Myalgia/artragia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)
Leukopenia
Pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegaskan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi :
(1) Demam atau riwayat demam akut Antara 2-7 hari, biasanya bersifat
bifasik
(2) Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa :
Uji tourniquet positif
Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi), saluran cerna,


tempat bekas suntikan
Hematemesis atau melena

(3) Trombositopenia < 100.000/ul


(4) Kebocoran plasma yang ditandai dengan

Peningkatan nilai hematocrit > 20% dari nilai baku sesusai umur
dan jenis kelamin
Penurunan nilai hematocrit > 20% setelah pemberian cairan yang
adekuat
Tanda kebocoran plasma seperti : hipoproteinemia, asites, efusi
pleura

PATHOGENESIS

Pathogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini


maasih diperdebatkan.Berdasarkan data yang ada , terdapat bukti yang
kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam
berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD


adalah :

1) Respon humoral berupa pemebntukan antibody yang berperan dalam


proses netralisasi virus , sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody . antibody trehadap virus virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antybodi dependent enhancement
(ADE) ;
2) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksis (CD8) berperan
dalam proses imun seluler terhadap virus dengue .diferensiasi T helper
yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma . IL -2 dan limfokin ,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
3) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini meyebabkan
peningkatan repilakasi virus dan sekresi sitokinin oleh makrofag;
4) selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.\

Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue

DD / Derajat Laboratorium
DBD

Leukopenia
Demem disertai 2 atau lebih

DD tanda : myalgia, sakit kepala, nyeri Trombositopenia, tidak ditemukan


retroorbital, arthralgia bukti ada kebocoran plasma

Serologi dengue postif

Gejala diatas ditambah uji bending


DBD I positif

Gejala diatas ditambah perdarahan


DBD II spontan
Trombositopenia (<100.000/ul) bukti
Gejala diatas ditambah kegagalan ada kebocoran plasma

DBD III sirkulasi (kulit dingin dan lembab


serta gelisah)

Syok berat disertai dengan tekanan


DBD IV darah dan nadi tidak terukur

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue , prinsip


utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dpat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD .Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral.Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,
maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mncegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi scara bermakna.
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang
dibuat sesuai atas indikasi.Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protocol ini terbagi dalam 5 kategori :

Protocol 1 : penanganan tersangka ( probable ) DBD dewasa tanpa


syok
Protocol 2 : pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat
Protocol 3 : penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit >
20%
Protocol 4 : penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Protocol 5: tatalaksana sindroma syok Dengue pada dewasa
Protocol 1 : penanganan tersangka ( probable ) DBD dewasa tanpa
syok
Protocol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di
instalasi gawat darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang gawat Darurat
dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematocrit dan trombosit.
Bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan
Hb, Ht lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke instalasi gawat darurat
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat
Protocol 2 : pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif
dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid
dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + ( 20 X (BB dalam kg 20 ) )
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 + ( 20 X ( 55 20 ) =
2200 ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht
trombo dilakukan tiap 12 jam
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht > 20%
Protocol 3 : penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematocrit >
20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami
defisit cairan sebanyak 5%.Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan
adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6 7
ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda tanda hematocrit
turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil.Produksi urin meningkat
maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24 48 jam kemudian.

Protocol 4 : penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa


Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa
adalah: perdarahan hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun
telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna ( hematemesis
dan melena atau hematoskesia ), perdarahan saluran kencing ( hematuria ,
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahn
sebanyak 4 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok
lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan thrombosis
serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, ht dn
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Protocol 5: tatalaksana sindroma syok Dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan sindroma syok Dengue ( SSD ) maka
hal pertama yang harus di ingat adalah bahwa renjatan harus segera di
atasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravascular yang hilang
harus segera dilakukan.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan.Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4
liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap ( DPL ). Hemostasis, analisa gas darah,
kadar natrium, kalium dan klorida serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebnayak 10 20 ml/kgBB dan
devaluasi setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( diatasi
dengan tekanan sistolik 10 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup,
akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 1
ml/kgBB/jam ) jumlah cairan dikurangi nenjadi 7ml/kgBB/jam. Bila
dalam waktu 60 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi
tanda tanda vital dan hematocrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan ( karena jika reabsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematocrit, cairan infus diberikan maka keadaan hipervolemi,
edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.

DEMAM TIFOID 2

PENDAHULUAN
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di
Indonesia.Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Surveilens Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994
terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan
1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu
dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid nervariasi di tiap daerah dan biasanya
terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah urban ditemukan 760-810 per
100.000 penduduk.Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat
dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.

PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella


paratyphi (S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman.Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang baik. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M)
dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Dan
selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika.Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk kealam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menmbus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis
organ).Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar


biasa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan
komplikasi.Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini.Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.
MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.Gejala-


gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkatkan.Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardi relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu
1o tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegaly, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, spoor, koma delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia , dapat pula terjadi leukosit normal atau leukositosis.
Leukosistosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder.Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia.Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia.Laju endap darah pada demam tifoid
dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
b. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman
S.typhi.pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibody yang disebut aglutinin. Maksud uji
Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O, b).Aglutinin
H (flagella kuman), dan c).Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid.Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin ini mulai terbenttuk pada minggu pertama
demam, kemudia meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula tinggi aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin
H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-
12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan
c. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibody IgG dan IgM terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD,
yang terdapat pada strip nitroselulosa.
d. Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM dpesifik terhadap S.
typhi pada spesimen serum atau whole blood.Pemeriksaan ini mudah
dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun,
namun akuransi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1
minggu setelah timbulnya gejala.
e. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang postif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik
2) Volume darah yang kurang
3) Riwayat vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien .antibodi ini dapat menekan bakterimia hingga
biakan darah dapat negatif
4) Waktu pengambilan darah setlah minggu pertama, pada saat
aglutinin meningkat.

PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini trilogi penatalaksaan demam tifoid, adalah:


Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman:
a. Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara oral atau intravena.Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas.Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis
ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik leboh rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosisi tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam
rata-rata menurun sampai hari ke-5 sampai ke-6
c. Kotrikmosazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetropim) diberikan selama 2
minggu.
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50-150 mg/kgbb dan digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga.
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan
adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc dibeikan selama 1/2
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
f. Fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis sediaan dan aturan pemberiannya:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasi dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
5) Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari
g. Azitromisin.
Azitromisin 2 x 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap. Antibiotika akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotic ini menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan
kuman intraselular.
PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalu gerakan nasional sangat
diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan
kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran
pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara yang
berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat
negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi
terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.

MALARIA
DEFINISI

Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasite plasmodium didalam


darah atau eritrosit atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan
mikroskopik yang positif, adanya antigen malaria den biasanya disertai dengan
gejala demam.Dapat berlansung akut atau kronik.
Infeksi malaria dapat berlansung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.

ETIOLOGI

Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa.


Terdapat empat spesies Plasmodium pada manusia yaitu :Plasmodium vivax
menimbulkan malaria vivax (malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum
menimbulkan malaria falsifarum (malaria tertiana berat), malaria pernisiosa dan
Blackwater faver.Plasmodium malariae menimbulkan malaria kuartana, dan
Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale.
Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya
dengan membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang
terdapat di dalam darah perifer maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang
terdapat di dalam sel parenkim hati.

Plasmodium vivax Plasmodium falciparum


Plasmodium malariae Plasmodium ovale

EPIDEMIOLOGI

Insidensi di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi


Tengah sampai ke Utara Maluku, irian jaya, dan dari Lombok sampai
Nusatenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria
dengan P.falcifarum dan P.vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari
Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cenderung meningkat.Populasi
yang berisiko terhadap malaria ialah 113 juta dari 218 juta masyarakat Indonesia.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan


tingginya transmis infeksi malaria. Gejala yang klasik yaitu terjadinya trias
malaria secara berurutan
1. Periode dingin: (15-60 menit): mulai mengigil penderita sering membungkus
diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan
bergetar dan gigi geligi saling terantuk.
2. Periode panas: penderita muka merah, nadi cepat, dan suhu badan tetap tinggi
beberapa jam diikuti dengan keadaan berkeringat.
3. Periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperatur mulai
turun, dan penderita merasa sehat.
Trias malaria terjadi juga karena dipengaruhi oleh tingginya kadar TNF-alfa.

PATOGENESIS

Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi
melalui dua cara yaitu :

Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung


parasit malaria
Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah
manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang
baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal
sebagai berikut:
(1) Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :
Pecahnya eritrosit yang mengandung parasite
Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
(2) Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag
Pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan
berbagai mediator endotoksin.
(3) Pelepasan TNF
Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria.TNF ini
bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS.
(4) Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini
mengandung antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody.
Eritrosit yang terinfeksi akan menempel pada endotel kapiler alat dalam dan
membentuk gumpalan sehingga terjadi bendungan.

DIAGNOSIS

Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita


tentang asal penderita apakah dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke
daerah malaria, riawayat pengobatan kuratip maupun preventif.
1. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit
malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa.Pemeriksaan satu kali
dengan hasil negative tidak mengenyampingkan diagnosa
malaria.Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negative maka diagnosa
malaria dapat dikesampingkan. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat
dilakukan melalui :

a. Tetesan preparat darah tebal.


Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena
tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis.Sediaan
mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan.Ketebalan dalam
membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi
parasit.Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100
lapang pandangan dengan pembesaran kuat).Preparat dinyatakan negative
bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran 700-
1000 kali tidak ditemukan parasit.Hitung parasit dapat dilakukan pada
tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit.Bila
leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan
50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.

b. Tetesan preparat darah tipis.


Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan
preparat darah tebal sulit ditentukan.Kepadatan parasit dinyatakan
sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah
eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah.Bila jumlah
parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat.Hitung parasit
penting untuk menentukan prognosa penderita malaria.Pengecatan
dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan
juga Romanowsky.Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan
hasil yang cukup baik.
2. Tes Antigen : p-f test
Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein
II).Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus,
sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus.Deteksi untuk antigen
vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan
mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara
immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.
Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan
apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax.Sensitivitas sampai 95 % dan hasil
positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2.Tes ini sekarang dikenal
sebagai tes cepat (Rapid test).
3. Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik
indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya
antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat
minimal.Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody
baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.Manfaat tes serologi terutama
untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200
dianggap sebagai infeksi baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metode-
metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test,
immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
4. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA,
waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya
tinggi.Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat
memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan
belum untuk pemeriksaan rutin

KOMPLIKASI

Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering


disebut pernicious manifestasions.Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala
sebeumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang
pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5-10 % pada seluruh penderita yang
dirawat di RS dan 20 % diantaranya merupakan kasus yang fatal.

Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai


malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum
dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :

1. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih
dari 30 menit setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran harus
dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7
atau equal dengan keadaan klinis soporous.

2. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress.

3. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik
harus dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi,
talasemia/hemoglobinopati lainnya.

4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau
12 ml/kg BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin >
3 mg/dl.

5. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome).

6. Hipoglikemi : gula darah <>

7. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <> 10C:8).

8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna dan disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler

9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam

10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena
obat anti malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD)

11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada


pembuluh kapiler pada jaringan otak.

PENGOBATAN
Obat antimalaria dapat dibagi dalam 9 golongan yaitu :

kuinin (kina)

mepakrin

klorokuin, amodiakuin

proguanil, klorproguanil

Primakuin

Pirimetamin

sulfon dan sulfonamide

kuinolin methanol

antibiotic
Berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap
obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu

1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membunuh parasit stadium


praeritrositik dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit,
jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal. Obatnya adalah proguanil,
pirimetamin.
2. Skizontisida jaringan sekunder dapat membunuh parasit siklus eksoeritrositik
P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat
anti relaps, obatnya adala primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrositik, yang
berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik. Obat ini digunakan
untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat
membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak
efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau
amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk
gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida
untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai
gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah
untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat
obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
SKENARIO LESU

FILARIASIS

DEFENISI

Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan


oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini
bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin
baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara
optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban
keluarga, masyarakat dan negara. 4

EPIDEMOLOGI

Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh provinsi.


Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat
sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi
sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil
survei laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata mikrofilaria rate
(Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan
sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena vektornya
tersebar luas. 4

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of


Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC
dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan
dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit
kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten. Perluasan
wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga
spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.
Vektor penular : di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies
nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang
dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki Gajah. 4

ETIOLOGI

Filariasis adalah suatu penyakit yang sering pada daerah subtropik dan tropik,
disebabkan oleh parasit nematoda pada pembuluh limfe seperti Wuchereria
Bancrofti.Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing yang menyerang jaringan
viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family
onchorcercidae. Menurut lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan
filariasis, yaitu yang menimbulkan kelainan pada saluran limfe (filariasis limfatik)
dan jaringan subkutis (filariasis subkutan).4

Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia


malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh
Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut
juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi
disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Filariasis
limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic sehingga
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama.Pada tahun 1997, diperkirakan
paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia dibawah 15
tahun, 115 juta oleh W. bancrofti dan 15 juta oleh Brugia spp. Penyakit ini tidak
dijumpai lagi di Amerika Utara, Australia, Jepang, dan di beberapa negara
termasuk China.4

Di Indonesia, filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi


masalah kesehatan masyarakat. Di Jawa Barat, hingga November 2008, sebanyak
875 orang telah positif terjangkit filariasis, bahkan 420 orang di antaranya
termasuk penderita kronik,dengan penyebab utama W.bancrofti. Pada beberapa
tahun belakangan terjadi peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan
( urban lymphatic filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita
di per- kotaan akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut.4

DAUR HIDUP FILARIASIS

Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan


nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi
stadium 4 yang kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan
kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing
dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe
ekstremitas bawah ( inguinal dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe
aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital
laki-laki ( epididimidis, testis, korda spermatikus ). Melalui kopulasi, cacing
betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam
jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam
sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama
sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi.4

Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan
mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah
paru.Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai
bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada
saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia.Diduga pula pH darah yang
lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal.
Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk
larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva
stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun
dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun .4

KLASIFIKASI

Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.


Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:

Tingkat 1.

Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila tungkai
diangkat.

Tingkat 2.

Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila
tungkai diangkat.

Tingkat 3.

Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.

Tingkat 4.

Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).

GEJALA KLINIS FILARIASIS


Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem
limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh
reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam
proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis
akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem
limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium
berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:

1. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 37 bulan.Hanya sebagian dari
penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis.Terlihat
bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik
ataupun amikrofilaremik.

2. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala
klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.

3. Gejala klinik akut


Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai
panas dan malaise.Kelenjar yang terkena biasanya unilateral.Penderita dengan
gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.

Filariasis bancrofti

Pada filariasis yang disebabkanWuchereria bancrofti pembuluh limfe alat


kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan
orchitis.Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis
retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari.Serangan biasanya
terjadi beberapa kali dalam setahun.5
Filariasis brugia

Pada filariasis yang disebabkanBrugia malayi danBrugia timori limfadenitis


paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja
keras.Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd.Pembuluh limfe menjadi keras
dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki.Penderita
tidak mampu bekerja selama beberapa hari.Serangan dapat terjadi 12 kali dalam
satu tahun sampai beberapa kali perbulan.Kelenjar limfe yang terkena dapat
menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas,
setelah 3 minggu hingga 3 bulan.5

Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut
pertama.Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis
masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang
mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.5

Filariasis bancrofti

Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel.Di dalam cairan hidrokel dapat
ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai
atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran pembesaran
di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya.C hyl uri a dapat terjadi tanpa keluhan,
tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan
kelelahan.5

Filariasis brugia

Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah.


Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya.5

DIAGNOSA 5
1. Diagnosis Klinik

Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik.


Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan
menahun(Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala
klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda
limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.

2. Diagnosis Parasitologik

Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada


pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan
siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara
morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.

3. Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe


inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak- gerak
(filarial dance sign). Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran
atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya
abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia
asimtomatik.

4. Diagnosis Immunologi

Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,


amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi
dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang
diagnosis.Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan
mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama.Deteksi antigen
merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik.Gib 13, antibodi monoklonal terhadapO.
Gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremiaW.bancr
ofti di Papua New Guinea.

DIAGNOSA BANDING FILARIASIS 5

Pasien yang datang dengan pitting edema, lihat apakah kurang dari 40 detik
atau lebih dari 40 detik.Jika kurang dari 40 detik maka hipoalbuminemia yang
dapat disebabkan oleh penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan
protein.Jika lebih dari 40 detik maka normoalbuminemia yang dapat disebabkan
olehv e nous hypertension dan identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena
leher. Jika ada maka systemic venous hypertension (cardiac diseases) dan jika
tidak makav e nous insufficiencyata u obstruction.

Selain itu, perlu kita ketahui apakah edema unilateral atau bilateral.Jika
edema unilateral maka lihat apakahn onpitting dannont e nde r?Jika ya, maka
kemungkinan adalah limfedema, obstruksi oleh filariasis, infeksi streptokokkus
yang berulang, dan malignancy. Jikapitti ng dant ender, maka kemungkinan
adalah trombosis, kista Baker, dan akut selulitis.

Bilateral edema, perlu diketahui apakah non pitting dan non tender? Jika ya,
maka kemungkinan adalah limfedema.Jika pitting dan tender, lihat apakah cepat
atau lambat.Jika lambat maka kemungkinan adalah oleh venous hypertension dan
identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher.Jika ada maka edema
jantung.Jika tidak maka venous hypertension atau occlusion.Jika cepat maka
apakah ada penurunan protein.Jika ada maka kemungkinan penurunan sintesis
protein atau peningkatan kehilangan protein.Selain itu, diagnosa banding dari
filariasis adalah hernia inguinalis, knobs, kiluria, pembesaran ekstremitas.
Diagnosa banding untuk TPE.

OBAT FILARIASIS
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik
untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal.Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi
memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara. Reaksi
sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai
bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria transien,
alergi, muntah dan serangan asma.5

Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi,
limfedema transien, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping
sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5
hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal
terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita
dengan gejala klinis. Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik.5

Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia,


sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total
standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC
sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat
dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang
memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita. DEC tidak
dapat dipakai untuk khemoprofilaksis.5

Pengobatan diberikan peroral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai


konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air
kemih.DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu
hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada
filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6 mg/kg
berat badan, sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badan
selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg berat badan selama 23
minggu. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia,
gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan
pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna.5

Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah. Pengobatan


nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur, pengikatan di daerah
pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai, perawatan kaki,
pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk
melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki, mengobati luka
kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi
rendah lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi Pemberantasan filariasis
ditujukan pada pemutusan rantai penularan, dengan cara pengobatan untuk
menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi oleh vektor.5

Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan


tujuan:

1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%


2. Menurunkan microfilarial(mf) rate menjadi < 5%
3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)

Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang potensial masih ada
penularan dan daerah endemis baru. Dengan prioritas sasaran ditujukan pada:

1. Daerah endemis lama dengan mf rate> 5%


2. Daerah endemis lama dan baru yang merupakan daerah
pembangunan,transmigrasi, pariwisata dan perbatasan .
Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan
penyuluhan. Pengobatan merupakan kegiatan utama dalam pemberantasan
filariasis, yang akan menurunkan ADR dan mf rate. Di suatu daerah yang
diperkirakan endemik filariasis, perlu diselenggarakan suatu surveilans
epidemiologis.

Pada daerah tersebut 10% dari penduduknya perlu diperiksa untuk


menentukan Acute Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila
ADR> 0%, dan mf rate > 5%; sedangkan pengobatan selektif dilakukan bila ADR
= 0%, dan mf rate < 5%. Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan
menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan
dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah yang mampu
menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat
dengan prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang dari 2 tahun, hamil,
menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya.

DEC diberikan setelah makan dan dalam keadaan istirahat.

1. Dosis standar

Dosis tunggal5 mg/kg berat badan; untuk filariasis bancrofti selama 15 hari, dan
untuk filariasis brugia selama 10 hari.

2. Dosis bertahap

Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, dan 1/2 tablet untuk usia
kurang dari 10 tahun; disusul 5 mg/kg berat badan pada hari 5-12 untuk filariasis
bancrofti dan pada hari 5-17 untuk filariasis brugia.

3. Dosis rendah

Dosis tunggal 1 tablet untuk usia lebih dari 10 tahun, 1/2 tablet untuk usia < 10
tahun, seminggu sekali selama 40 minggu.

Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas:

1. Pemberantasan nyamuk dewasa

a. .Anopheles : residual indoor spraying


b. Aedes : aerial spraying
2. Pemberantasan jentik nyamuk

a. Anopheles : Abate 1%
b. Culex : minyak tanah
c. Mansonia : melenyapkan tanaman air tempat perindukan, mengeringkan rawa
dan saluranair
3. Mencegah gigitan nyamuk

a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu


b. Menggunakan repellent
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta
keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita
dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia
diperiksa darah kapiler jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta
menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan
setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah
tepi untuk deteksi mikrofilaria.5

PROGNOSIS FILARIASIS

Pada kasus kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien
pindah dari daerah endemik.Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya.Pada kasus kasus lanjut
terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
ASCARIASIS 6

DEFINISI

Biasanya penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascarias Lumbrocoides .


infeksi pada manusia terjadi kalau larva cacing ini mengkontiminasi makanan dan
minuman. Di dalam usus halus larva cacing akan keluar menembus dinding usus
halus dan kemudian menuju pembuluh darah dan limfe menuju paru. Setelah itu
larva cacing ini akan bermigrasi ke bronkus, faring, dan kemudian turun ke
esofagus dan usus halus. Lama perjalanan ini sampai menjadi bentuk cacing
dewasa 60-75 hari.

Panjang cacing dewasa 20-40 cm dan hidup di dala usus halus manusia untuk
bertahun-tahun lamanya. Sejak telur matang tertelan sampai vaving dewasa
bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau cacing gelang.


Ascaris lumbricoides adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus
manusia.

EPIDEMIOLOGI

Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah


beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Di Indonesia prevalensi
askariasis tinggu terutama pada anak. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah.

GEJALA KLINIS
Biasanya terjadinya perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan pneumonitis
Askaritis. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang mirip pneumonia viral yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaanini disebut sindrom Loeffler. Pada
pemeriksaan darah akan didapatkan eosinifilia.

Larva cacing ini dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti otak,
ginjal, mata, sumsum tulang belakang dan kulit. Dalam jumlah yang sedikit
cacing dewasa tidak akan menimbulkan gejala. Kadang-kadang pendertia
mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
diare atau konstipasi. Bila infestasi tersebut berat dapat menyebabkan cacing-
cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus ( ileus ).
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Cacing dewasa dapat juga
menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anak-anak. Cacing ini dapat
mengadakan sumbatan pada saluran empedu, saluran pankreas, divertikel dan usus
buntu. Selain hal tersebut di atas, cacing ini dapat juga eosinofilifa. Cacing
dewasa dapat keluar melalui mulut dengan perantaraan batuk, muntah atau
langsung keluar melalui hidung.

PENATALAKSANAAN

Piperazin

Merupakan obat pilihan utama, diberikan dengan dosis sebagai berikut:

a. Berat badan 0-15 kg: 1g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut


b. Berat badan 15-25 kg: 2 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut
c. Berat badan 25-50 kg: 3 g sekali sehari selama 2 hari berturut-turut
d. Berat badan lebih dari 50 kg: 3 sekali sehari selama 2 haru berturut-turut

Satu tablet obat ini mengandung 250 dan 500 mg piperazin. Efek samping
penggunaan obat ini adalah pusing, rasa melayang dan gangguan penglihatan.

Heksilresorsinol
Obat ini baik infeksi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini diberikan
setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan 1
gheksiresorsinol sekaligus disusul dengan pemberian laksans sebanyak 30 g
MgSO4, yang diulangi lagi 3 jam kemudian untuk tujuan mengeluarkan cacing.
Bila diperlukan pengobatan ini dapat diulang 3 hari kemudian.

Pirantel Pamoat

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
maksimum 1 g. Efek samping obat ini adalah rasa mual, mencret, pusing, ruam
kulit dan demam.

Levamisol

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg.

Albendazol

Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg

Mebendazol

Obat ini cukup bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3
hari.

KOMPLIKASI

Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergik


yang berat dan pneumonitis dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya
pneumonia.

PROGNOSIS

Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis
baik. Tanpa pengobatan infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5
tahun.9
PAROTITIS EPIDEMIKA

DEFENISI

Parotitis epidemika adalah penyakit virus menyeluruh, akut, kelenjar


ludahnya membesar dan nyeri, terutama kelenjar parotis, merupakan tanda-tanda
yang biasa ada, dan merupakan suatu penyakit menular yang akut.

ETIOLOGI

Virus yang menyebabkan parotitis epidemika adalah virus RNA untai


tunggal negative sense, berukuran 100 sampai 600 nm, dengan panjang 15.000
nukleotida termasuk dalam genus Rubulavirus, subfamily Paramyxovirinae dan
family Paramyxoviridae. Parotitis epidinamika virus bersifat sitopatik,
mempunyai hubungan antigenic dengan grup myxovirus termasuk virus
Parainfluenza dan virus Newcastle. Virus ini aktif dalam lingkungan yang kering
tapi virus ini hanya dapat bertahan selama 4 hari pada suhu ruangan.
Paramyxovirus dapat hancur pada suhu < 4C, oleh formalin, eter, sera pemaparan
cahaya ultraviolet selama 30 detik.

Virus parotitis epidemika dapat ditemukan pada saliva, cairan serebrospinal, urin,
darah, jaringan yang terinfeksi dari penderita parotitis epidemika serta dapat
diukur pada jaringan manusia atau kera.

EPIDEMOLOGI

Parotitis merupakan penyakit endemik bagi masyarakat kota dan


terdistribusi di seluruh dunia. Parotitis terutama merupakan infeksi pada anak.
Penyakit ini mencapai insiden tertinggi pada anak berusia 5-9 tahun, 80%
ditemukan pada anak yang berumur di bawah 15 tahun. Epidemi pada penyakit ini
relatif jarang dan biasanya terbatas pada kelompok yang tinggal berdekatan
seperti yang tinggal dip anti asuhan, kamp tentara atau sekolah. Pada anak berusia
kurang dari 5 tahun, gondong umumnya dapat menyebabkan infeksi saluran napas
atas tanpa parotitis. Sebelum era vaksinasi, parotitis epidemika merupakan
penyakit endemis hampir di seluruh daerah dunia dengan puncak insiden terjadi
pada usia 5-9 tahun. Di Amerika Serikat sekita 50% anak pernah terinfeksi dan
sekitar 1500 kasus dilaporkan tiap tahunnya, namun setelah era vaksinasi terjadi
penurunan yang bermakna. Di daerah dengan empat musim, parotitis eidemika
terutama terjadi pada musim dingin dan musim semi. Namun, penyakit ini tetap
dapat ditemukan sepanjang tahun. Virus menyebar dari reservoir manusia melalui
kontak langsung dari droplet. Virus dapat ditularkan dalam sekresi saliva yang
terinfeksi dimana yang bersifat infeksius lebih kurang 6 hari sebelum mulainya
parotitis, hingga 9 hari sesudah munculnya pembengkakan kelenjar parotis. Bayi
dari umur 6-8 bulan tidak dapat terjangkit penyakit parotitis epidemika karena
dilindungi oleh antibody yang berasal dari transplasental ibunya. Satu serangan
parotitis klinis atau subklinis akan memberikan imunitas selamanya, dan serangan
infeksi kedua sangat jarang. Parotitis unilateral memberikan perlindungan dengan
efektivitas yang sama dengan bilateral. Mortalitas karena parotitis epidemika
sangat jarang dan lebih sering terjadi pada anak di atas 19 tahun. Mortalitas
sebagian besar dikarenakan komplikasi ensefalitis.

PATOFISIOLOGI

Virus masuk melalui saluran pernapasan baik hidung maupun mulut. Masa
inkubasi 12 sampai 25 hari kemudian virus bereplikasi di dalam traktus
respiratorius atas dan nodus limfatikus servikalis, dari sini virus menyebar melalui
aliran darah ke jaringan sasaran seperti kelenjar ludah, kelenjar parotis dan
meningen selama 3-5 hari. Setelah replikasi awal, terjadi viremia sekunder
menyebabkan terkenanya berbagai organ yaitu gonad, pankreas, mammae, tiroid,
jantung, hati, ginjal, dan otak. Bila testis terkena maka terdapat perdarahan kecil
dan nekrosis sel epitel tubuli seminiferus. Pada pankreas kadang-kadang terdapat
degenerasi dan nekrosis jaringan. Adenitis kelenjar liur merupakan manifestasi
dari viremia awal. Viruria biasanya terjadi, dan disertai oleh gangguan fungsi
ginjal.

MANIFESTASI KLINIS

Setelah melewati masa inkubasi selama 14-24 hari, 30-40% penderita


tidak menunjukkan gejala klinik dan sisanya 60-70% menunjukkan gejala klinik
dengan berbagai tingkatan. Mulainya parotitis biasanya tiba-tiba, meskipun
mungkin didahului oleh periode prodromal seperti demam dalam suhu 37,8-
39,4C, rasa menggigil, nyeri tenggorokan, nyeri pada sudut rahang, nyeri kepala,
anorexia, malaise, nafsu makan menurun diikuti pembesaran cepat satu/dua
kelenjar parotis serta kelenjar ludah yang lain seperti submaksillaris dan
sublingual dan dapat meluas sampai bagian anterior dada, menimbulkan edema
prasternal. Pembesaran kelenjar unilateral terjadi pada 25% kasus sedangkan
pembengkakan kelenjar bilateral terjadi pada 70-80% kasus. Dalam beberapa hari
kelenjar parotis dapat terlihat membesar dengan cepat serta mencapai ukuran
maksimum dalam 1-3 hari dan pembengkakan menghilang dalam satu minggu
setelah pembengkakan maksimal. Kelenjar yang membengkak meluas dari telinga
sampai bagian bawah ramus mandibula dan sampai bagian inferior arkus
zygomatikus, seringkali menggeser telinga ke atas dan keluar. Pembengkakan
tersebut terasa nyeri baik spontan maupun pada perabaan, terlebih-lebih jika
penderita makan atau minum sesuatu yang asam, ini merupakan gejala khas untuk
penyakit parotitis epidemika.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan laboratorium rutin

Hasil tidak spesifik, gambarannya seperti infeksi virus lain, biasanya leukopenia
ringan dengan limfositosis relatif.
Amilase serum

Kadar amilase serum naik, kenaikan cenderung dengan pembengkakan parotis dan
kemudian kembali normal dalam kurang lebih 2 minggu.

Pemeriksaan serologis

Peningkatan antibodi dapat dideteksi dengan menggunakan serum berpasangan;


peningkatan titer antibodi empat kali lipat atau lebih, adalah bukti adanya infeksi
gondong.

ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibody IgM spesifik


gondong maupun antibodi IgG spesifik gondong. Hemaglutination inhibition (HI)
test, Uji ini memerlukan dua spesimen serum, satu serum dengan onset cepat dan
serum yang satunya di ambil pada hari ketiga.

Pemeriksaan virologi :

Isolasi virus jarang sekali digunakan untuk diagnosis. Isolasi virus dilakukan
dengan biakan virus yang terdapat dalam saliva, urin, cairan serebrospinal atau
darah.

TERAPI

Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh/hilang


sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi
spesifik bagi infeksi virus Mumps oleh karena itu pengobatan parotitis
seluruhnya simptomatis dan suportif.

Penderita rawat jalan


Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi, keadaan umum
cukup baik.

a. Istirahat yang cukup

b. Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup

c. Medikamentosa (simptomatik) :

Metampiron anak > 6 bulan 250 mg/hari, 500 mg/hari maksimum 2


g/hari, parasetamol : 7,5-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

Penderita rawat inap

Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala hebat, gejala
saraf perlu rawat inap di ruang isolasi

a. Diit lunak, cair dan TKTP

b. Analgetik-antipiretik

c. Penanganan komplikasi tergantung jenis komplikasinya.

Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi

a. Encephalitis, simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna untuk


mengurangi sakit kepala.

b. Orkhitis, istirahat yang cukup, pemberian analgetik, sistemik kortikosteroid


(hidrokortison, 10 mg/kg/24 jam, per oral, selama 2-4 hari dan globulin gama).

c. Pankreatitis dan oovoritis, dengan simptomatik saja.

PROGNOSIS

Secara umum prognosis parotitis epidemika baik, dapat sembuh


spontan dan komplit serta jarang berlanjut menjadi kronis. Kecuali pada keadaan
tertentu yang menyebabkan terjadinya ketulian, sterilitas karena atrofi testis dan
sekuele karena meningoensefalitis.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari parotitis epidemika, antara


lain, meningoensefalitis, ketulian, orkitis, oovoritis, pankreatitis, nefritis, tiroiditis,
miokarditis dan artritis.

SKENARIO BERCAK PUTIH

MORBUS HANSEN 7

DEFENISI

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat.
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat,
khususnya pada tangan dan kaki.

EPIDEMOLOGI

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui


secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok

umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.1,2
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru.
Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang.
Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per

100.000 penduduk.2 Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada
tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi
8,03 per 100.000 penduduk.

ETIOLOGI

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH


Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.

DIAGNOSIS
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu:

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.


Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau
kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.


Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada
saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:
Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

KLASIFIKASI

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap


selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat
diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang
terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan
pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:
A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan
dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.
C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi

Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut

WHO.

A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)


Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T),

Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan


klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan
bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari
International Leprosy Association di Madrid tahun 1953.

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)


Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari
daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki
kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler
(cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan
menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe
kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini
banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan
hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama
respon imun seluler spesifik.
Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe

Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid Borderline (BB), tipe Borderline


Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T).

C. Klasfikasi menurut WHO


Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan

pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya


dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB).

Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut

WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini

berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Bercak kusta. Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan.
Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil tahan Dijumpai basil tahan asam
asam (BTA negatif (BTA positif)

PB MB

Kecil dan besar Kecil-kecil


a. Ukuran

Unilateral atau Bilateral simetris


b. Distribusi bilateral asimetris
Kering dan kasar Halus, berkilat
c. Konsistensi

Tegas Kurang tegas


d. Batas

Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,


e. Kehilangan rasa jika ada, terjadi pada
pada bercak yang sudah lanjut

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,


f. Kehilangan jika ada, terjadi pada
kemampuan yang sudah lanjut

berkeringat, rambut
rontok pada bercak

2. Infiltrat

Tidak ada Ada, kadang-kadang


a. Kulit tidak ada

Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang


b. Membran mukosa tidak ada

Central healing
c. Ciri-ciri - Punched out
lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
Tidak ada Kadang-kadang ada
d. Nodulus

Terjadi dini Biasanya asimetris


e. Deformitas

DIAGNOSIS

Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak


dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes
serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul
manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya
antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat,
apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak
manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik.
Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang
meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang
diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan
antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai
orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang
tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan
antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain:

Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)


Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah

dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi
namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen
dari mikrobakteri lain.

Radio Immunoassay (RIA)


Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh

Armadillo yang diberi label radio aktif.

Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)


Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.

Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)


Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana
interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi
sebagai penanda.

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif


untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan
antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji
kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan

menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer. 35


Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi
yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut,
selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan
plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.

PENGOBATAN

REGIMEN MDT - WHO


PB :
Rifampisin 600 mg/bulan
6 dosis
DDS 100 mg/hari

MB :
Rifampisin 600 mg/bulan
Klofazimin 300 mg/bulan, plus 50 mg/hari 12 dosis
DDS 100 mg/hari
1. Kontak a. Lesi
penyakit kronis (kelainan)
yang disebabkan oleh kulit
2. inhalasi kulit yang
infeksi Mycobacterium
mati rasa.
leprae
b. Penebalan saraf
TT (tuberkuloid
polar) tepi yang

Penulara disertai dengan


BT(boderline T)
n gangguan
BB(mid boderline) Klasifika Diagnos
fungsi saraf.
si WHO is
BL(Boderline L) c. Ditemukannya
LL(Lepramatosa M. leprae pada
pemeriksaan
gsh

Etiolog
i MH Epide
Propinsi
molog
terbanyak
i
melaporkan
Gejal
penderita kusta
a
baru adalah
Maluku, Papua,
Kuman
Pengobat Sulawesi Utara
dpt
an dan Sulawesi
ditemuka

1. Kelemahan otot
2. Penebalan saraf
Rifampisin
tepi
3. Pembengkakan
kulit
4. Adanya bercak DDS 1. Kulit
2. Folikel
putih
5. Mati rasa pada rambut
3. Kelenjar
bercak putih
keringat
4. Sputum

Mind Mapping Morbus


Hansen
PITIRIASIS VERSICOLOR 8

DEFENISI

Pitiriasis versicolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur Robin adalah


penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan
subjektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat
hitam, pertama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat
paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit yang berambut.

SINONIM

Tinea versicolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava,


opitiriasis versicolor flava, dan panau.

EPIDEMOLOGI

Pitiriasis versicolor adalah penyakit universal dan terutama ditemukan di


daerah Tropis.

PATOGENESIS

Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya


pitiriasis versicolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau
Pytirosporum ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang
sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya, misalnya suhu, media, dan
kelembaban.

Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi


menjadi pathogen dapat endogen atau eksogen. Endogen dapat disebabkan
diantaranmya oleh defisiensi imun. Eksogen dapat karena faktor suhu,
kelembaban udara, dan keringat.

GEJALA KLINIS

Kelainan kulit pitiriasis versicolor sangat superfisial dan ditemukan


terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulovesicular
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga
adakalanya penderita tidak mengetahui penyakit tersebut.

Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan


berobat. Pseudoacromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan
pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan
penderita. Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang
dewasa tua tidak luput dari infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor
yang memepengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit kronik
atau yang mendapat pengobatan steroid dan malnutrisi.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan


fluoressensi, lesi kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung.

Gambaran klinis dapat dilihat diatas, fluoressensi lesi kulit pada


pemeriksaan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada sediaan langsung
kerokan kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa pendek dan spora-
spora bulat yang dapat berkelompok.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit ini harus dibedakan dengan Dermatitis seborroika, Eritrasma,


Sifilis II, Acromia parasitic dari PARDO-CASTELO dan DOMINIQUES, Morbus
HANSEN, Pitiriasis alba, serta Vitiligo.

PENGOBATAN

Harus dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Obat-obatan yang


dapat dipakai misalnya: suspense selenium sulfide (selsunt) dapat dipakai sebagai
shampo 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30
menit, sebelum mandi. Obat-obat lain yang berkhasiat terhadap penyakit ini
adalah : salilis spiritus 10%; derivate-derivat azol, misalnya mikonazole,
clotrimazole, isokonazole, dan ekonazole; sulfur presipitatum dalam bedak kocok
4-20%; tolsiklat; tolnaftat, dan haloprogin. Larutan Tiosulfas natrikus 25% dapat
pula digunakan; dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu. Jika sulit
disembuhkan ketokonazole dapat dipertimbangkan dengan dosis 1 X 250mg
sehari selama 10 hari.

PROGNOSIS

Prognosis baik buila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan


konsisten.pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoressensi negative
dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan langsung negatif.

VITILIGO 9

DEFENISI

Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan adanya


makula putih yang dapat meluas. Atau suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
sejumlah melanosit yang menyebabkan timbulnya bercak-bercak halus berwarna
putih di kulit. Zat melanin adalah zat yang melindungi kulit dari sengatan sinar
ultra violet matahari. Kondisi ini tidak terjadi secara alami dan dapat memburuk.
Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya
rambut dan mata.

EPIDEMOLOGI

Insidens yang dilaporkan bervariasi antara 0,1 % sampai 8,8 %. Dapat


mengenai semua ras dan kelamin. Awitan terbanyak sebelum umur 20 tahun. Ada
pengaruh faktor genetik. Pada penderita vitiligo, 5 % akan mempunyai anak
dengan vitiligo. Riwayat keluarga vitiligo bervariasi antara 20-40%.
ETIOLOGI

Penyebab belum diketahui, berbagai faktor pencetus sering dilaporkan,


misalnya krisis emosi dan trauma fisis serta diduga akibat gangguan sistem
kekebalan tubuh. Antibodi dan komponen lainnya dari sistem kekebalan tubuh
menyerang sel yang membuat melanin. Atau autoimun terhadap zat melanin atau
pigmen dalam tubuh itu sendiri.

PATOGENESIS

1. Hipotesis autoimun

Adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis Hashimoto,


anemia pernisiosa dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80 %
penderita vitiligo.

2. Hipotesis neurohumoral

Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor


neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin
dan katekol. Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk
selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada
beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons
transmitter saraf, misalnya asetilkolin.

3. Autositotoksik

Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke


DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi
berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh
penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, dopa,
dan dopakrom merupakan sitotoksis terhadap melanosit.
4. Pajanan terhadap bahan kimiawi

Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil


Eter Hidrokinon dalam sarung tangan atau detergen yang mengandung
fenol.

GEJALA KLINIS

Makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai


beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan
epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula
apigemantasi.

Didalam makula vitiligo dapat ditemukan dengan pigmentasi normal atau


hiperpigmentasi disebut repigmentasi perifolikular. Kadang-kadang ditemukan
tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal, disebut inflamator.

Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas
jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan
tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat sistemik atau asimetris. Pada area yang
terkena trauma dapat timbul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.

KLASIFIKASI

Ada 2 bentuk vitiligo :

1. Lokalisata yang dapat dibagi lagi :

a. Fokal : satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak segmental.

b. Segmental : satu atau lebih makula pada satu area, dengan distribusi
menurut dermatom, misalnya satu tungkai.
c. Mukosal : hanya terdapat pada membran mukosa.

Jarang penderita vitiligo vitiligo lokalisata yang berubah menjadi


generalisata.
2. Generalisata

Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo


generalisata dapat dibagi lagi menjadi :
a. Akrofasial : depigmentasi hanya terjadi dibagian distal ekstremitas dan
muka, merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata.

b. Vulgaris : makula tanpa pola tertentu dibanyak tempat.

c. Campuran : depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh


merupakan vitiligo total.

DIAGNOSIS

1 . Evaluasi klinis

Diagnosis vitiligo didasarkan atas namnesis dan gambaran klinis.


Ditanyakan pada penderita :

a. Awitan penyakit

b. Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini.

c. Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabete melitus, dan


anemia pernisiosa.

d. Kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan


pajanan bahan kmiawi.

e. Riwayat inflamsi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.


2. Pemeriksaan Histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) tampaknya normal kecuali
tidak diemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula.
Reaksi dopa untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi tetapi meningkat
pada tepi yang hiperpigmentasi.

3. Pemeriksaan biokimia

Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa


menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.

DIAGNOSA BANDING

Sebagai diagnosis banding ialah Piebaldisme, Sindrom Wardenburg, dan


Sindrom Woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan denga nervus depimentosus,
tubersklerosis, dan hipomelanosit. Lesi tunggal atau sedikit harus dibedakan
dengan tinea versikolor, pitiriasia alba, hipomelanosis gutata, dan hipopigmentasi
pasca inflamasi.

PENGOBATAN

Pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk


menggunakan kamuflase agar kelainan tersebut tertutup dengan cover mask.
Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan
gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang. Dosis psoralen adalah 0,6 mg/kgBB 2 jam sebelum
penyinaran selama 6bulan-1 tahun. Pengobatan dengan psoralen secara topikal
yang dioleskan 5 menit sebelum penyinaran sering menimbulkan dermatitis
kontak iritan. Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya
betametason varelat 0,1% atau klobetasol proprionat 0,05% efektif menimbulkan
pigmen.
Pada usia di bawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan losio
metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 spiritus dilutus. Cairan tersebut dioleskan
pada lesi. Setelah didiamkan selama 15 menit lalu dijemur selama 10 menit.
Waktu penjemuran kian diperlama, yang diinginkana ialah timbul eritema, tapi
jangan sampai timbul erosi, vesikel, atau bula.

Pada usis di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya generalisata,


pemgobtannya digabung dengan kapsul metoksalen (10mg). Obat tersebut
dimakan 2 kapsul (20mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi
lokalisata hanya diberikan pengobtan topikal. Kalau setelah 6 bulan tidak ada
perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal.

MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat digunakan untuk


pengobatan vitiligo yang luas lebih dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil
dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan
dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang normal. Depigmentasi dapat
terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1 tahun. Kemungkinan timbul
kembali pigmentasi yang normal pada daerah yang terpajan sinar matahari dan
pada penderita berkulit gelap sehingga harus dicegah dengan tabir surya.

Cara lain ialah cara pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh
epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit.

Daerah ujung jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberi hasil
pengobtan yang buruk. Dicoba melakukan repigmentasi dengan cra tato dengan
bahan ferum oksida dalam gliserol atau alkohol.

PROGNOSIS

Prognosis dari penyakit vitiligo ini tidak dapat diprediksi.


SKENARIO BERCAK MERAH

VARICELLA 10

DEFINISI

Varicella (cacar air) disebabkan oleh infeksi primer oleh virus


varicellazoster (VZV), anggota keluarga dari herpes.Virus ini sangat menular
danmenyebar melalui droplet pernapasan atau kontak langsung.

EPIDEMIOLOGI

Varicella dapat menginfeksi orang dewasa yang tanpa kekebalan


tubuh, penyakit ini dapat meningkat dengan tingkat keparahan oleh faktor usia, da
nsering menyebabkan keparahan yang serius dan mengakibatkan absen
dari pekerjaan.

Di Kanada 1987-1996, 70% dari yang dilaporkan kematian akibatvaricella


adalah kalangan remaja dan orang dewasa. Bila diperoleh selamakehamilan,
varicella dapat menyebabkan morbiditas perinatal yang serius.

Varicella terjadi di seluruh dunia.Insidensi terjadinya varicella


dipengaruhioleh iklim dan daerah yang telah mendapatkan vaksin varicella
sebelumnya. Didaerah yang beriklim sedang dan tidak mendapatkan vaksinasi
varicella, varicellaadalah endemik, dengan prevalensi yang cenderung teratur dan
berulang padamusim semi dan musim dingin.

Di Eropa dan Amerika Utara di era pra-vaksinasi,90% varicella terjadi


pada anak-anak dibawah 10 tahun dan kurang dari 5% padaindividu diatas usia 15
tahun.

Meluasnya penggunaan vaksin varicella telah nyata mengubah


epidemiologidari varicella. Di United States, tingkat cakupan vaksin di kalangan
anak-anakyang rentan meningkat dari nol persen pada tahun 1995, menjadi 88
persen padatahun 2004 saat vaksin varicella ini dilisensikan.

Setelah infeksi varicella, lebihdari 95% dari orang mengembangkan


antibodi terhadap varicella (VZV IgG).Antibodi ini dapat dideteksi dengan tes
serologi, mereka menunjukkan kekebalanseumur hidup terhadap varicella.

Varicella sangat menular, terjadi pada sekitar 87% diantara saudara


kandungyang tinggal dalam satu rumah dan hampir 70% diantara pasien rentan di
bangsalrumah sakit yang telah dilaporkan. Lebih dari 95% kasus varicella yang
klinis jelas, meskipun kadang- kadang exanthema mungkin sangat jarang dan
sementara berlalu tanpa diketahui dengan pasti.

Pasien khas menular selama 1-2 hari dan jarang pada 3-4 hari sebelum
exanthem muncul, dan untuk 4-5 hari setelahnya, yaitu sampai ketika vesikel
menjadi kering. Masa inkubasi varicella rata-rata adalah sekitar 14 atau 15 hari,
dengan kisaran antara 10-23 hari.

ETIOLOGI

Varicella Zoster Virus(VZV) merupakan jenis dari keluarga herpes


virus.Hanya ada satu serotip dari VZV, meskipun virus yang diisolasi dari kasus-
kasusindividu varicella atau herpes zoster di seluruh dunia pada dasarnya mirip,
variasikecil urutan nukleotida mereka memungkinkan seseorang untuk
membedakanwild-type dari strain virus vaksin dan dari sidik jari pasien yang telah
terisolasioleh virus.

PATOFISIOLOGI

Setelah infeksi primer dengan varicella zoster virus ,


virusmemasuki periode laten dalam ganglia akar dorsal dari sistem saraf . Virus lat
en dapatdiaktifkan dengan transfer saraf pada kulit herpes zoster mewujudkan
sebagaimekanisme varicella zoster virus reaktivasi kurang dipahami, namun
beberapafaktor risiko potensial telah diidentifikasi.

Insiden herpes zoster meningkat tajam dari usia 50-60 tahun, meningkat
berikutnya. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan tingkat yang lebih
tinggi dari reaktivasi untuk pasien immunocompromised.Laporan terbaru
menunjukkan bahwa herpes zoster dominan mempengaruhi imunologis orang
sehat.

Masuknya VZV adalah melalui dari saluran pernapasan atas dan


orofaring.Perkiraan awal masuknya adalah sebagai hasil dari diseminasi sejumlah
kecilvirus melalui darah dan limfatik ( primary viremia). Virus ini dibersihkan
oleh sel-sel sistem retikuloendotelial, tempat pertama dari replikasi virus selama
periodeinkubasi.

Infeksi inkubasi sebagian berasal dari pertahanan host inang (sebagai


contohinterferon, sel pembunuh alami) dan dengan mengembangkan respon imun
VZVyang spesifik. Pada kebanyakan orang, replikasi virus yang akhirnya
menguasai pertahanan inang, sehingga kira-kira 2 minggu
setelah infeksi, viremia yang jauhlebih besar (secondary viremia) dan gejala
terkait serta lesi terjadi. Lesi kulitmuncul secara beriringan, mencerminkan siklus
viremia, yang pada host
normal berakhir setelah sekitar 3 hari oleh respon imun humeral dan selular VZV
yang spesifk.Virus bersirkulasi dalam leukosit mononuclear, limfosit primer.

Bahkan pada varicella yang terkomplikasi, viremia sekunder menghasilkan


infeksisubklinik pada berbagai organ yang mendukung kulit. Respon imun host
yangefektif menghentikan viremia dan membatasi perkembangan lesi varicella di
kulitdan organ-organ lain.

Imunitas humeral pada VZV melindungi melawanvaricella.Orang-orang


yang terdeteksi antibodi serum biasanya tidak menjadisakit setelah terpapar secara
eksogen.Imunitas sel-perantara pada VZV
juga berkembang selama varicella terjadi, berlangsung selama beberapa tahun, da
nmelindungi melawan infeksi yang parah.

MANIFESTASI KLINIS

Periode inkubasi biasanya selama 14-17 hari dengan range antara 9-23
hari.Setelah demam atau malaise berlangsung sehari atau dua hari sebelumnya,
seringsedikit atau bahkan tidak terjadi pada anak-anak, eritema yang tidak
menetap dan berlangsung cepat diikuti oleh perkembangan papul yang sangat
cepat, , jelas, danvesikel unilokuler. Dalam beberapa jam papul dan vesikel
unilokuler tadi menjadikental dan pustule dikelilingi oleh areola merah. Dalam 2-
4 hari, krusta yangkering pecah dan menjadi dangkal.Vesikel muncul setelah 2-4
hari.Distribusivaricella terjadi secara sentripetal, dan pada tungkai terdapat lebih
banyak erupsidi bagian paha dan lengan atas daripada kaki bagian bawah dan
lengan.

Demam memiliki variasi yang berbeda tergantung pada tingkat


keparahandan durasi sertaerupsi yang meluas. Demam bisa mencapai 40 atau
41C selama4 atau 5 hari.Gejala konstitusional cenderung proporsional dengan
demam.Pada beberapa pasien, pruritus mungkin menjadi masalah.

Setelah sekitar 4 hari, tidak ada lesi baru yang muncul dan vesikel-
vesikelyang ada menjadi kering dan pecah. Sekitar 1 - 2 minggu sebelum menjadi
pecah,mungkin akan terdapat hipo-hiperpigmentasi selama beberapa minggu
dan berbentuk bulat, kecil, dan skar kemungkinan terjadi sekitar 18%.

Sementara itu, secara historis, diagnosis varicella dibuat secara


klinis,mengingat penampilan klasik yang khas pada varicella pada individu yang
tidakdivaksinasi (yaitu, ruam vesicular generalisata dengan lesi dalam berbagai
tahapdidahului dengan demam dan malaise), terobosan varicella biasanya
ringan,dengan lesi yang lebih sedikit, lebih sedikit atau tidak ada vesikel, dan
tidak adademam, dan biasanya tidak memiliki evolusi karakteristik dari ruam yang
berkumpul atau gelombang.

Akibatnya, ruam tersebut dapat membingungkangdengan kondisi lain


(misalnya, infeksi herpes simpleks, kudis, poison ivy,
dan bahkan gigitan serangga), dan yang lebih menantang untuk mendiagnosis seca
raklinis.

DIAGNOSIS

Varicella biasanya dapat didiagnosis langsung berdasarkan penampilan


dankarakteristik dari ruam yang tampak, terlebih bila terdapat riwayat paparan
selama2-3 minggu sebelumnya. Pada pemeriksaanTzanck smear dari vesikel
biasanyaakan menunjukkan gambaran sel giant multinukleat.

Jika dibutuhkan, pemeriksaan klinik yang menunjang ialah tes DFA,


dimana tes tersebut dilakukan dengan cepat dan akan mengkonfirmasi dua hal
sekaligus, yaitu infeksi dan tipe virus.Sejak VZV tumbuh dengan perlahan dan
kurang baik di dalam lab, kultur virus menjadi hal yang jarang untuk
diindikasikan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pengujian serologi disarankan, daripada vaksinasi dugaan, untuk mereka


yang memiliki riwayat negative atau tida pasti untuk varicella karena sebagian
besar orang-orang ini akan mengalami kekebalan.

Bagi mereka yang mengalami peningkatan resiko untuk terinfeksi


varicella, pengujian serum rutin, terlepas dari menyampaikan riwayat varicella
adalah dianjurkan.Untuk populasi berisiko rendah, sangat beralasan untuk
dianjurkan.Untuk populasi berisiko rendah, sangat beralasan untuk menerima
sejarah bahwa positif varicella sebagai indicator kekebalan.
MORBILI/MEASLES 11

DEFINISI

Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3
stadium yaitu (1)Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari setelah
pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tidak
bergejala, (2)Stadium prodromal yang menunjukkan gejala demam,
konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta ditemukannya enantem pada
mukosa (bercak Koplik), dan (3)Stadium erupsi yang ditandai dengan keluarnya
ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya suhu badan

ETIOLOGI

virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan genus


Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan
virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret nasofaring,
darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga beberapa saat setelah
ruam muncul.Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan
tinggi apabila berada di luar tubuh manusia.Pada temperatur kamar selama 3-5
hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam
pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu
dalam temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak aktif pada pH
rendah

PATOGENESIS

Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit


virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang.Lokasi
utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas nasofaring.Infeksi virus
pertama pada saluran nafas sangat minimal.Kejadian yang lebih penting adalah
penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik regional yang
menyebabkan terjadinya viremia primer.Setelah viremia primer, terjadi
multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik
regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh.Multiplikasi virus campak juga
terjadi di lokasi pertama infeksi. Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi
viremia sekunder yang ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak
secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas
terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga
14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai
puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga
3 hari. Selama infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel
epitel, monosit, dan makrofag.

Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan


memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus
dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak

MANIFESTASI KLINIS

Stadium inkubasi

Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 10 hari (8 hingga 12


hari).Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif,
penderita tidak menampakkan gejala sakit.

Stadium prodromal

Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium


prodromal yang berlangsung selama 2 hingga 4 hari.Biasanya terdiri dari gejala
klinik khas berupa batuk, pilek dan konjungtivitis, juga demam.Inflamasi
konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak
Koplik.Garis melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi
penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang
bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang Koplik spot yang merupakan
tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari ke-101 infeksi. Koplik spot
adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola tipis
berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada
mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada
bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah
dan karunkula lakrimalis. Muncul 1 2 hari sebelum timbulnya ruam dan
menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pada akhir masa
prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita
akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.

Stadium erupsi

Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi
yaitu pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan
pernafasan dan saat suhu berkisar 39,5C. Ruam pertama kali muncul sebagai
makula yang tidak terlalu tampak jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan
garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi makulopapular dan menyebar ke
seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam pertama.
Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan
terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di
kaki, ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai
dengan urutan munculnya (Phillips, 1983). Saat awal ruam muncul akan tampak
berwarna kemerahan yang akan tampak memutih dengan penekanan. Saat ruam
mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang tidak memudar bila
ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi
kecokelatan pada area konfluensi.Beratnya penyakit berbanding lurus dengan
gambaran ruam yang muncul.Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul
hingga menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah
penderita juga menjadi bengkak sehingga sulit dikenali
DIAGNOSIS

Diagnosis campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala


klinis.Pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan.Pada stadium prodromal dapat
ditemukan sel raksasa berinti banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi
dari virus campak dapat dilihat dengan pemeriksaan Hemagglutination-inhibition
(HI), complement fixation (CF), neutralization, immune precipitation, hemolysin
inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody (FA). Pemeriksaan
HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu serum akut pada masa
prodromal dan serum sekunder pada 7 10 hari setelah pengambilan sampel
serum akut.Hasil dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer sebanyak 4x atau
lebih.

Serum IgM merupakan tes yang berguna pada saat munculnya ruam.
Serum IgM akan menurun dalam waktu sekitar 9 minggu, sedangkan serum IgG
akan menetap kadarnya seumur hidup. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah sel
darah putih cenderung menurun. Pungsi lumbal dilakukan bila terdapat penyulit
encephalitis dan didapatkan peningkatan protein, peningkatan ringan jumlah
limfosit sedangkan kadar glukosa normal

DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding morbili diantaranya :

1. Roseola infantum.
Pada Roseola infantum, ruam muncul saat demam telah menghilang.
2. Rubella.
Ruam berwarna merah muda dan timbul lebih cepat dari
campak.Gejala yang timbul tidak seberat campak.
3. Alergi obat.
Didapatkan riwayat penggunaan obat tidak lama sebelum ruam
muncul dan biasanya tidak disertai gejala prodromal.
4. Demam skarlatina.
Ruam bersifat papular, difus terutama di abdomen. Tanda
patognomonik berupa lidah berwarna merah stroberi serta tonsilitis
eksudativa atau membranosa

PENATALAKSANAAN

Pengobatan bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat,


pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila terjadi
infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi kejang, antipiretik bila demam, dan
vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga 1 tahun dan 200.000 Unit
untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan untuk membantu pertumbuhan
epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak juga berguna
untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total (Cherry, 2004).Indikasi
rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit
atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit
yang timbul

PENCEGAHAN

Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi campak. Imunisasi


Campak di Indonesia termasuk Imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap
anak usia 9 bulan dengan ulangan saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke
dalam program pengembangan imunisasi (PPI). Imunisasi campak dapat pula
diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15 bulan. Anak yang
telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan pada usia 6
tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita kurang bermakna karena
transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari dan didiagnosis sebagai campak

PROGNOSIS

Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai


dengan penyulit maka prognosisnya baik
HERPES SIMPLEKS

ETIOLOGI

Penyebab herpes simpleks adalah virus herpes simpleks (VHS) yang


terdiri atas 2 tipe yaitu virus herpes simpleks tipe 1 yang menyerang selubung
saraf trigeminus atau ganglion saraf dan virus herpes simpleks 2 yang
menimbulkankerusakan pada vulvovaginal.

Morfologi

Virus herpes simpleks termasuk herpetovirus dari famili Herpetiviridae


dengan viron yang mempunyai diamete 110 nm dan mempunyai selubung virion.

EPIDEMOLOGI

Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan herpes simpleks.


Infeksi primer biasanya terjadi pada anak berusia di bawah lima tahun (balita),
yang berasal dari keluarga miskin pada populasi padat penduduk.

Penularan primer terjadi melalui kontak langsung secara genital melalui


jalan lahir waktu proses persalinan, melalui droplet, rongga mulut, atau sekret
konjungtiva. Penularan sekunder terjadi akibat provokasi atau rangsangan
penyakit demam, alergi, trauma mekanik atau psikis dan sinar matahari yang
berlebihan.

DIAGNOSIS

Separuh bayi yang menderita infeksi VHS akan lahir prematur. Herpes
pada kulit dan mulut dapat menyebar ke organ viseral atau otak. Keluhan dan
gejala klinis yang nampak pada penderita sesuai dengan tipe virus yang menjadi
penyebabnya.

Virus herpes simpleks 1 menimbulkan gejala klinis berupa :

1. Faringitis

2. Gingivostomatitis

3. Herpes labiales, herpes febriasis atau herpes fasialis

4. Herpetik keratokonjungtivitis

Virus herpes simpleks 2 menimbulkan gejala klinis berupa


1. Herpes genitalis atau

2. Herpes vulvovaginitis

Virus penyebab herpes simpleks dipastikan melalui identifikasi virologis


dan melakukan pemeriksaan sitologis pada jaringan organ yang mengalami
gangguan atau kerusakan.
Diagnosis laboratoris yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah
menentukan adanya antibodi (IgG dan IgM) melalui uji serologis netralisasi dan
penentuan tipe antigen dengan menggunakan antibodi monoklonal.
Pengobatan

Human gamma globulin dapat diberikan sebagai pengobatan umum pada


kasus-kasus herpes simpleks. Pemberian adenine intravenus dapat menurunkan
angka kematian bayi penderita infeksi VHS. Herpetik meningoensefalitis diobati
dengan asiklovir intravenous, cytrabin atau animetabolit lainnya. Pada penderita
dengan keratojunctivitis dapat diberikan asiklovir lokal atau 5-iodo-deoxyuridin.
Pengobatan paliatif diberika untuk mengurangi keluhan penderita.

Dosis : <2 tahun : 5 x 100mg

Anak diatas 2 tahun dan dewasa : 5 x 200 mg


Diberikan selama 5-10 hari

PENCEGAHAN

Belum ada vaksin untuk mencegah herpes simpleks. Ibu hamil yang
pernah menderita infeksi VHS pada genital haru diperiksa virologis mupun
sitologis pada trimester akhir kehamilannya untuk mencegah penularan VHS pada
bayinya. Operasi caesar dapat mencegah penularan herpes dari ibu ke bayinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo Aru W., Simadribata K, Setiyohadi Bambang,


Syam Ari Fahrial, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Edisi Kelima, Jilid
III, Hal.Hal 2773-2779.

2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo Aru W., Simadribata K, Setiyohadi Bambang,


Syam Ari Fahrial, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Edisi Keenam Jilid
I, Hal.541-556.

3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo Aru W., Simadribata K, Setiyohadi Bambang, Syam


Ari Fahrial, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Edisi Keenam Jilid I, Hal. 595-
611.

4. Partono, Felix dan Agnes Kurniawan. 2006. Wuchereria bancrofti.


Srisasi Gandahusada, Herry D. Ilahude, dan Wita pribadi. Parasitologi
Kedokteran edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.35-44.

5. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang


Setiyohadi, IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III
edisi IV. . Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.1767-1770.
6. Pohan, Herdiman T. 2007. Filariasis. Aru W. Sudoyo, Bambang
Setiyohadi, IdrusAlwi,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. .
Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.2938-2939.
7. Djuanda Adhi, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Halaman 73-87.
8. Djuanda Adhi, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Halaman 100-101.

9. Djuanda Adhi, Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Halaman 296-297.

10. http://www.scribd.com/doc/155300106.

11. Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan
(eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3.
Philadelphia. Saunders. p.2283 2298.

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh:: Catatan
    Contoh:: Catatan
    Dokumen4 halaman
    Contoh:: Catatan
    Zul Fajri
    Belum ada peringkat
  • Laporan Biologi
    Laporan Biologi
    Dokumen13 halaman
    Laporan Biologi
    Nur Sri Hardianty
    100% (1)
  • Second Hand
    Second Hand
    Dokumen10 halaman
    Second Hand
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Dokumen34 halaman
    Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • K
    K
    Dokumen12 halaman
    K
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Dokumen3 halaman
    Tugas PPKN 2 Semester 2 Virginia Kls X
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Dokumen14 halaman
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • KLDDDDF
    KLDDDDF
    Dokumen1 halaman
    KLDDDDF
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Dokumen2 halaman
    Kebhinekaan Bangsa Indonesia
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Lasik
    Lasik
    Dokumen12 halaman
    Lasik
    Latifa Sary
    Belum ada peringkat
  • Makalah: (Polio)
    Makalah: (Polio)
    Dokumen18 halaman
    Makalah: (Polio)
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Nhlsss
    Nhlsss
    Dokumen6 halaman
    Nhlsss
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Referat Syok Septik
    Referat Syok Septik
    Dokumen29 halaman
    Referat Syok Septik
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Acvfgh
    Acvfgh
    Dokumen1 halaman
    Acvfgh
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Asdre
    Asdre
    Dokumen1 halaman
    Asdre
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas Histo
    Tugas Histo
    Dokumen3 halaman
    Tugas Histo
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Martindale Fenobarbital Translate
    Martindale Fenobarbital Translate
    Dokumen12 halaman
    Martindale Fenobarbital Translate
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • TGS
    TGS
    Dokumen80 halaman
    TGS
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Aut
    Aut
    Dokumen5 halaman
    Aut
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • BAB II2a
    BAB II2a
    Dokumen19 halaman
    BAB II2a
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Bab II5
    Bab II5
    Dokumen11 halaman
    Bab II5
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • 5
    5
    Dokumen1 halaman
    5
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • CA Caput Pankreas
    CA Caput Pankreas
    Dokumen46 halaman
    CA Caput Pankreas
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • TP Farmako DDT
    TP Farmako DDT
    Dokumen7 halaman
    TP Farmako DDT
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Bab I - Referat SSJ
    Bab I - Referat SSJ
    Dokumen16 halaman
    Bab I - Referat SSJ
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • EKTIMA
    EKTIMA
    Dokumen8 halaman
    EKTIMA
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Tugas PBL
    Tugas PBL
    Dokumen80 halaman
    Tugas PBL
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • BAB Ii6
    BAB Ii6
    Dokumen11 halaman
    BAB Ii6
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Asma
    Lapsus Asma
    Dokumen23 halaman
    Lapsus Asma
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat
  • Rububiyah
    Rububiyah
    Dokumen1 halaman
    Rububiyah
    Nur Sri Hardianty
    Belum ada peringkat