Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang

kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium

akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan

distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan

kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.1

Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis

atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja /

dewasa. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-

episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu.

Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian

kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.1

Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah

yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai

kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika,

dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika. Pada penderita DA 30 % akan

berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi rhinitis alergi.

Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi

gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun

pertama bervariasi yakni kurang dari 2%.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,

sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi

pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale,

dan konjungtivitis alergika).1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A makin meningkat

sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa,

Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi D.A pada anak mencapai

10-20%, sedangkan pada kira-kira 1-3 %. Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa

Timur, Asia Tengah, prevalensi D.A jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak

menderita D.A daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan

berpengaruh terhadap prevalensi D.A misalnya jumlah keluarga kecil,pendidikan

ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan

meningkatnya penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita

DA.1

2
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah

keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil,

akan melindungi kemungkinan timbul D.A pada kemudian hari.1

D.A cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu

yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa kehidupan tiga bula

pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak

akna mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79%

bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi D.A lebih tinggi bila ibu

yang menderita D.A dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A yang dialami

berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya

sama saja yaitukira-kira 50%1.

2.3 ETIOLOGI

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor

intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit,

disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan

sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat

iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan

temperatur, dan trauma.1

Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus :1,2

faktor pencetus lain diantaranya

a) Makanan

3
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge

(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai

riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya

disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai

macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan

tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut,

oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap

makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya.1

Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan

dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain

susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut.1,2

b) Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat

dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat

inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu

binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim.

c) Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang

berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik.

Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita

DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus

dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada

kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan

4
salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan

merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain

dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah

adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang

dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit,

sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat

sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan

makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus

aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi

pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus,

tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi

antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap

enterotoksin Staphylococcus aureus.1,2

2.4 PATOGENESIS

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor

genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan

faktor lingkungan.1,2,3

a. Genetik

Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,

kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang

independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan

HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma

5
dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya

menderita DA adalah 86%.1,2,3

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga

akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang

tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi

sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita

atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan

dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka

risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.1,2,3

b. Sawar kulit

Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama

pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab

kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan

metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan

transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port dentry

untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien

DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering.1,2,3

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang

diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti

mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan

dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut

didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh

6
ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.
1,2,3

Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah

CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk

mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah

perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan

petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+).

Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi

penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena

mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T

tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes

dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit

diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada

di microenvironment. 1,2,3

c. Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada

DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan

virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut

mendukung teori Hygiene Hypothesis. 1,2,3

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem

imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya

kerentanan terhadap penyakit atopik. 1,2,3

7
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum

semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri

sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf

C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus

kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial

dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan

berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat

dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik. 1,2,3

d. Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan

menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi

sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai

kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi

ekzematosa. kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema,

mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien

dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan

secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi

sel ini menyebabkan produksi berlebih igE. 1,2,3

Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik

alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-

13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE. 1,2,3

8
Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya

seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak

dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di

dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut

dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan

semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. 1,2

Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada

reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai

dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis

disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF

(granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi

dibandingkan pada DA akut. 1,2,3

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan

(makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi

hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi

hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA,

akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T

sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat

kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. 1,2,3

9
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada

pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien,

prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam

penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya

tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat

para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan)

akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang

selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema. 1,2

e. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai

afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI

pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit

Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan

Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi. 1,2,3

f. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain

adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering

akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan

yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan

mengakibatkan rasa gatal. 1,2,3

g. Autoalergen

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE

terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein

10
intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan

dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi

tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga

dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan

autoimunitas. 1,2,3

Gambar 1. Mekanisme Alergi

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan

pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2)

dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen

selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta

pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic

responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa

menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami

degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly synthesized

11
pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien

dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan

produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel

inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan

sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,

termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,

eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin),

dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan

granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga

berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi. 1,2,3

Gambar 2: Patogenesis DA

2.5 GEJALA KLINIS

Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopic, yaitu bentuk infantile, bentuk

anak, dan bentuk dewasa.2

12
A. Bentuk infantile (2 bulan 2 tahun)

Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah

muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekskremitas. Bentuk ini berlangsung

sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih

muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sudah merangkak.

Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan

yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan

gejala yang mencolok membuat bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang

terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur.2

GAMBAR 3. Dermatitis Bentuk infantile

B. Bentuk anak (2 10 tahun)

Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantile, walaupun

diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering

(xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti,

poplitea, tangan, kaki dan periorbita.2

13
GAMBAR 4. Dermatitis pada Anak

C. Bentuk remaja dan dewasa

DA bentuk dewasa terjadi pada usia 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah

lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan eksremitas. Lesi berbentuk dermatitis

kronik dengan gejala utama likenifikasi yang gatal dan plak papul-erimatosa

berskuama.2

GAMBAR 5. Dermatitis pada Dewas

14
2.6 DIAGNOSIS

1. Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Rajk.

Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3

kriteria minor.2,3

Untuk bayi kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :2,3

Tiga kriteria mayor berupa:

Riwayat atopi pada keluarga

Dermatitits di muka atau ekstensor

15
Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:

Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris

Aksentuasi perifolikular

Fisura belakang telinga

Skuama di skalp kronis

2. Kriteria diagnosis Dermatitis Atopik menurut william

Harus mempunyai kondisi kult gatal atau dari laporan orang tuanya bahwa

anaknya suka menggaruk atau menggosok. :2,3

Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut :2,3

1) Riwayatan terkena lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut,

bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak

usia dibawah 10 tahun)

2) Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat

penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak dibawah 4 tahun)

3) Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir

4) Adanya dermatitis yang tampak dilipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi

dan anggota badan bagian luar anak dibawah 4 tahun)

5) Awitan dibawah usia 2 tahun ( tidak digunakan bila dibawah 4 tahun)

16
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Telah dilaporkan pelbagai hasil laboratorium penderita DA, walaupun

demikian sulit untuk menghubungkan hasil laboratorium ini dengan defek yang

ada :3

Dermatografisme putih

Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-

turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna

merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit.

Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak

disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit,

sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.3

Percobaan asetil kolin

Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan

hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul

vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam3.

Imunoglobulin

IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada

penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang

rendah, dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar

IgE meningkat pada 80-90% penderita DA dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan

rinitis alergika. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat

ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi

baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan

17
prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah

terjadi remisi.3

Uji kulit dan IgE-RAST

Pemeriksaan uji tusuk dapat memperlihatkan allergen mana yang berperan,

namun kepositifannya harus sejalan dengan derajat kepositifan IgE RAST (

spesifik terhadap allergen tersebut). Khususnya pada alergi makanan, anjuran diet

sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati setelah uji tusuk, IgE RAST dan uji

provokasi. Cara laim adalah dengan double blind placebo contolled food

challenges (DPCFC) yang dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis alergi

makanan.3

Peningkatan kadar IgE pada sel langerhans

Hasil penelitian danya IgE pada sel langerhans membuktikan mekanisme

respon imun tipe I pada dermatitis atopik, adanya pajanan terhadap allergen luar

dan peran IgE di kulit.3

Jumlah eosinofil

Peningkatan jumlah eosinofil di perifer maupun di jaringan kulit umumnya

seirama dengan beratnya penyakit dan lebih banyak ditemukan pada keadaan yang

kronis. 3

Faktor imunogenik HLA

Walaupun belum secara bermakna HLA-A9 diduga berperan sebagai factor

predisposisi intrinsic pasien atopik. Pewarisan genetiknya bersifat multifactor.

Dugaan lain adalah kromosom 11q13 juga diduga ikut berperan pada timbulnya

dermatitis atopik. 3

18
Kultur dan resistensi

Mengingat adanya kolonisasi Stapylococcus aureus pada kulit pasien atopik

terutama yang eksudatif (walaupun tidak tampak infeksi sekunder), kultur dan

resistensi perlu dilakukan pada dermatitis atopik. 3

2.8 DIAGNOSIS BANDING

liken simpleks kronis/neurodermatitis sirkumskripta.

ke 2 nya sama-gatal ,letak lesi pada dermatitis atopik di lipat siku dan lipat

lutut (fleksor), sedangkan liken simpleks kronis di siku dan punggung kaki

(ekstensor) ada pula tempat predileksi yang sama yaitu di tengkuk.

Dermatitisatopik biasanya sembuh setelah usia 30 tahun, sedangkan

neurodermatitis sirkumskripta dapat berlanjut sampai tua. Pemeriksaan pembantu

yang menyokong dermatitis atopik hasil negatif pada neurodermatitis

sirkumskripta.4

Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik pada muka mirip dengan dermatitis atopik.

Dermatitisseboroik berlokasi di tempat-tempat seboroik yakni kulit kepala yang

berambut, muka terutama alis mata dan lipatan nosolabial, ketiak, dada di atas

sternum, interskapular, daerah genitalis eksterna dan perianal. Kulit pada

dermatitis seboroik, berskuama kekuningan dan berminyak. Tidak terdapat

stigmata atopi, eosinofilia,peninggian kadar IgE, tes asetilkolin negatif maupun

dermografisme putih. .4

19
Skabies

ada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai

telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang

relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki,

dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat

dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang

baik terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida. Diagnosis ditegakkan

dengan adanya riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas, dengan

lesi primer yang patognomonik berupa adanya kutu pada pemeriksaan

mikroskopik.4

Dermatitis kontak

Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki.

Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu. .4

2.9 PENATALAKSANAAN

Prinsip perawatan kulit

prinsipr utama dari manajemen DA adalah perawatan kulit yang tepat

setiap hari. Pembersih yang direkomendasikan yang mengandung moisturizer

,sementara sabun yang beraroma harus dihindari karena dapat mengiritasi kulit.

Setelah mandi, kulit pasien harus dikeringkan dengan handuk (sehingga tetap

sedikit basah), dengan pelembab dan emolien (misalnya, petroleum jelly, Eucerin,

minyak mineral, minyak bayi) dan harus diterapkan secara berkala untuk

membantu mencegah hilangnya kelembaban dan kulit yang kering.5,6

20
PENGOBATAN TOPIKAL

Hidrasi kulit.

Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak se-

hingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan

alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim

hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila

memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih

dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi

kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai

beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. 5,6

Kortikosteroid topikal.

Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering

digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada

karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. 5,6

Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya

hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi

menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid

berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah

genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya

fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara

intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;

sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah. 5,6

21
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,

misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus

1:5000. 5,6

Imunomodulator topikal

Takrolimus.

Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam

bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%.

Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A. yaitu: sel

Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang

dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek

samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit

seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak

mata. 5,6

Pimekrolimus.

Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu

imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil

fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat

mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis,

walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-

drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.

Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada

makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu

molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga

22
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.

Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek

imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak

alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,

tidak seperti takrolimus dan siklosporin. 5,6

Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi

1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%

(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4

minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada

muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari

2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati

untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut

berpotensi menimbulkan kanker kulit. 5,6

Preparat ter.

Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit.

Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap

hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %,

atau crude coal tar 1 % sampai 5%.

Antihistamin.

Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena ber-

potensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi

topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi

23
gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area

yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. 5,6

PENGOBATAN SISTEMIK

Kortikosteroid.

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan

eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-

seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti

dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai

efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali. 5,6

Antihistamin.

Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,

terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin

yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau

difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid

yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan

H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa. 5,6

Anti-infeksi.

Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten

dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang

sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama

sefalosporin. 5,6

24
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid

dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari

selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. 5,6

Interferon.

IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi

sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis,

karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. 5,6

Siklosporin.

D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pe-

ngobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang

dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif

kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu

protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin

sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin

dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang

mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi

penurunan fungsi ginjal dan hipertensi. 5,6

2.10 KOMPLIKASI

Infeksi sekunder akibat bakteri

Merupakan komplikasi yang paling sering pada dermatitis atopik.

Biasanya disebabkan oleh bakteri kelompok Strptococci B-hemolytic, studi lain

mengungkapkan Staphylococcus merupakan 93% penyebab infeksi sekunder pada

lesi dermatitis atopik. Infeksi tersebut menyebabkan timbulnya folikulitis atau

25
impetigo. Pioderma yang berhubungan dengan dermatitis atopik biasanya

ditemukan lesi eritema dengan eksudasi dan krusta, skuama berminyak dan

jerawat kecil pada ujungnya.7

Infeksi jamur kulit

Adanya gangguan epidermal barrier function, kelembaban dan maserasi

mempengaruhi timbulnya kepekaan terhadap infeksi jamur. Faktor individu dan

lingkungan sehari-hari juga berperanan penting pada timbulnya komplikasi ini,

seperti kaus kaki serta olahragawan.. Pytiriosporum ovale akhir-akhir ini dianggap

meningkat pada kulit pasien dermatitis atopik.7

Infeksi virus

Kutil karena virus dan moluscum kontagiosum ditemukan lebih sering

pada dermatitis atopik, sedangkan infeksi herpes simpleks dapat menimbulkan lesi

yang menyebar luas. Erupsi Varicelliform Kaposis adalah komplikasi lain

dermatitis atopi, ini disebabkan oleh virus herpes simpleks dan vaccinia. Kelainan

dikenal sebagai Eksim herpetikum atau eksim vaksinatum. Perkembangan erupsi

vesicular yang meningkat pada orang yang atopik dapat menungkatkan

kemungkinan terjadinya erupsi Kaposis variceliform.7

Eritroderma

Terjadi pada 4-14% kasus dermatitis atopik. Keadaan tersebut dapat terjadi

akibat adanya efek withdrawl pemakaian kortikosteroid sistemik pada kasus

dermatitis atopik berat. Komplikasi ini cenderung dapat mengancam hidup pasien

bila terdapat kegagalan fungsi jantung, sepsis, hipotermi dan hipoalbuminemia.7

26
2.11 PROGNOSIS

Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 %)

sembuh spontan,sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Sulit

meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan

dengan prognosis kurang baik, adalah :2.3

- DA yang luas pada anak.

- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.

- Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.

- Awitan (onset) DA pada usia muda.

- Anak tunggal.

- Kadar IgE serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi

asma bronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk

mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.2,3

27
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadappengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Dermatitis atopik

merupakan penyakit peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada kulit

atopik, ditandai rasa gatal, disebabkan oleh hiperaktivitas kulit yang secara klinis

bermanifestasi sebagai lesi eksematosa dengan distribusi lesi yang khas.

Dermatitis atopik disebut juga sebagai multifactorial disease dan setiap individu

memiliki faktor-faktor pencetus yang berbeda. Walaupun penyebab yang pasti

belum diketahui, namum dermatitis atopik dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan makanan

Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus (gatal) hilang timbul

sepanjang hari, akibatnya penderita menggaruk-garuk sehingga timbul bermacam-

macam ruam berupa papul, likenifikasi, dan lesi ekzematosa berupa eritema,

papulo-vesikel, erosi, eskoriasi, eksudasi dan krusta. Dermatitis atopik dapat

terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa.

Tatalaksana dermatitis atopik pada bayi dan anak meliputi tatalaksana

umum dan khusus. Talalaksana umum meliputi tindakan untuk tindakan menjaga

kelembaban kulit dan mencegah supaya tidak terjadi kekeringan kulit, dengan cara

hidrasi dan penggunaan pelembab. Dalam tatalaksana khusus, tindakan yang

dilakukan meliputi pemberian anti inflamasi, anti pruritis, dan antibiotika,

pencegahan terjadinya kekambuhan (relaps).

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Dermatitis actopic. Dalam, Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,

2009; 138-147.

2. Bakhtiar. Faktor Risiko, Diagnosis, dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada

Bayi dan Anak diunduh dari: http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal

kedokteran/article/view/832/pdf

3. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), dr. Dermatitis Atopik. Diunduh

dari:http://ocw.usu.ac.id/course/download/1110000112-

dermatomusculoskeletal-system/dms146_slide_dermatitis_atopik.pdf

4. Scott Murray, MD, FRCP(C), BSc . atopik dermatitis.Diunduh dari:

http://www.stacommunications.com/journals/pdfs/cme/cmenov2003/dermat

itis.pdf

5. Hywel C. Williams, Ph.D. Atopik Dermatitis. Diunduh dari:

http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp042803

6. Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis

Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M.,

Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-

20.

7. Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam

Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).

Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

29

Anda mungkin juga menyukai