Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap

pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa

efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan

gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa

(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang

menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak

iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun

kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, sehingga

kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis

kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu

alergen.

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya

rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat

lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis

dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya

potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,

suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya

keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status

imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).


Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk

menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis yang

disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau

terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya berhubungan dengan pekerjaan

tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita) dapat menyebabkan prognosis

menjadi kurang baik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah

kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada semua umur dan pria maupun wanita memiliki

frekuensi yang sama untuk terkena. Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan,

jumlah penderita dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang

keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif) 1,3.

Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika

Serikat3. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA

dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu. Pada penelitian epidemiologi di St Spiridion,

Romania tahun 200-2009 bahwa wanita lebih sering terkena dermatitis kontak dibanding

laki-laki, yaitu 1.83: 1 dan 64.46% berusia di atas 45 tahun. Akan tetapi, usia dan jenis

kelamin sendiri sebenarnya bukan merupakan faktor risiko DKA, tetapi berhubungan dengan

paparan alergen ketika beraktivitas di luar maupun ibu rumah tangga

2.3 Etiologi dan Predisposisi

Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia

dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana.

Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan

luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).


Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan

puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus

Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron

mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols.

Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen,

pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),

mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan

kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).

Predisposisi

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya

antara lain:

a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):

1) Potesi sensitisasi allergen

2) Dosis per unit area

3) Luas daerah yang terkena

4) Lama pajanan

5) Oklusi

6) Suhu dan kelembaban lingkungan

7) Vehikulum

8) pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):

1. Keadaan kulit pada lokasi kontak

Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.

2. Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3. Genetik

Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada

kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen, 2009).

4. Status higinie dan gizi

Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing masing

dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan imunologik

seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup,

maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga

sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan

dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah. Selain hal hal diatas, faktor

predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan

integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

2.4 PATOISIOLOGI

Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh suatu

alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan seringkali

mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit

dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan

membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk

diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-

limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier

yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang

sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung

dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).


Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang

akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-mediator

inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap

pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan

menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA

ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar

berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).

Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan penebalan kulit

yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada

daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau

ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis

yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian

kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

2.5 GEJALA KLINIS

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan

dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti

edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi

dan eksudasi (basah)1,2. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi

dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas1,2. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis

kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.1,2


Tabel 1. Erupsi akut, sub akut, atau kronis6
Akut Subakut Kronis
- Vesikel atau bula yang - Eritem bertambah - Kemerahan dan bengkak

terisi cairan jernih multiple - Edema mengurang - Lebih menonjolkan sisik,

dan berat. Bila terjadi - Papul menggantikan hyperkeratosis, dan

vesikel/berair, timbul erosi vesikel likenifikasi di daerah

dan eczema yang terkena

- Edema, eritem

- Infeksi sekunder dengan

bakteri gram (+)

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak1 :

A. Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di

tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis

kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena bahan

iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman,

semen, dan pestisida1.

Gambar 2. DKA pada Tangan, Subakut2


B. Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan

(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh

bahan pengharum1.

Gambar 3. DKA pada Lengan2

C. Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, obat

topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya

mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis di

kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, eyeshadows, dan obat

mata1.

Gambar 4. DKA pada Wajah2


D. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada

cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut,

hearing-aids1.

E. Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum,

alergen di udara, zat warna pakaian1.

Gambar 5. DKA pada Leher2


F. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna,

kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen1.

G. Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut

wanita, dan alergen yang ada di tangan1.

H. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh pakaian,

dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya anestesi lokal,

neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.1

2.6 DIAGNOSA

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang

teliti1,2,7.

1. Anamnesis

Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada peningkatan insiden

dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien terkena penyakit ini yang pada akhirnya
akan dievaluasi sebagai DKA merupakan standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai

dengan diskusi tentang penyakit ini dan fokus pada tempat timbulnya masalah dan agen

topikal yang digunakan untuk mengobati masalah. Riwayat penyakit kulit, atopi, dan

kesehatan umum juga secara rutin diselidiki. Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis

alergen yang menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi

penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi. Dalam anamnesis riwayat pasien, penting untuk

mempertimbangkan pekerjaan, rumah tangga, dan kemungkinan paparan terhadap alergen

saat bepergian, dan juga tentu saja waktu, lokalisasi, alergen sebelumnya diidentifikasi,

diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan obat topikal maupun sistemik 1,2,7.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit

seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di

pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya

dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain

karena sebab-sebab endogen.4

Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan durasi. Pada

kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula dan papula eritema, vesikel, atau bula,

tergantung pada intensitas dari respon alergi. Namun, dalam DKA akut di daerah tertentu dari

tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi

dibandingkan vesikel. Batas-batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada wajah dapat

mengakibatkan pembengkakan periorbital yang menyerupai angioedema. Pada fase subakut,

vesikel kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa saja terjadi.

Pada DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling, lichenifikasi, dermatitis yang pecah-
1,2,7
pecah (membentuk fisura), dengan atau tanpa papulovesikelisasi yang menyertainya .

DKA tidak selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup lichenoid kontak,
eritema multiformis (EM), hipersensitivitas kontak kulit seperti selulitis, leukoderma kontak,

purpura kontak, dan erythema dyschromicum perstans8.

Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam kemudahan tersensitisasi. Tekanan,

gesekan, dan keringat merupakan faktor yang tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak

mata, leher, dan alat kelamin adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan

telapak tangan, telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten1.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji Tempel

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat

menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.

Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan

ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis

tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara rutin dan

dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel,

dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai

dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu.

Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak

mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila

diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai

penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang

direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di

kulit dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat

bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk

menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).


Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel :

1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat

terjadi reaksi angry back atau excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan

penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik

dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian

prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat

menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi

hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.

3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada

hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar

(tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga

dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu

kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.


5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai

riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan

urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes

dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama

dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang

atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark) patch-
test.

A. Hasil uji positif terhadap


picaridin (KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif terhadap


methyl glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72

atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan
antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif

alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan

kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi

(Sularsito, 2010).

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah

pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan

kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan

respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

4. Pemeriksaan Histopalogi

Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:

1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi

dengan pisau atau plong/punch.

2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu

diikutsertakan.

3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum

mengalami garukan atau infeksi sekunder.

4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.

5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi lebih

dari satu.

6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis.

7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin 10%

atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.

8) Lalu dikirim ke laboratorium

9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula yang

menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.


10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan

11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal jaringan kira-

kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan

fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis dan

epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan

ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).

1) Epidermis (Sularsito, 2010):

a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.

b) Hiperplastik, akantosis yang luas.

c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan penonjol

dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.

2) Dermis (Sularsito, 2010):

a) Limfosit perivesikuler

b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi

c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi


Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis sedang dan

elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang

berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito, 2010).

5. Gold Standard Diagnosis

Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji tempel.

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel

diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E

Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia

murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau

tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit,

atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila

menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali.

Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).

2.7 Penatalaksanaan

1. Non medikamentosa

a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak

menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)

b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak

alergi

c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang bersentuhan

dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)

d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,

pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi


2. Medikamentosa

a. Simptomatis

Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari

2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak anak untuk

menghilangkan rasa gatal.

b. Sistemik

1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali

2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau

eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari

c. Topikal

1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama

Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang

berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit

sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula

menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan

kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

2.9 Pencegahan

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). :

a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak

alergi

b. Menghindari substansi allergen


c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen

d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada sabun

bilas dengan air

e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen

f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain

g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen

h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko

terhadap paparan allergen

2.10 Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat

disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis

yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)

(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah

pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan

tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).


BAB III

KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.

2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia

dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia

sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,

derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan

bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel,

vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,

likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.

4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel (patch

test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.

5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta nonmedikamentosa.

Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim imun

dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan

terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk

nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA and Djuanda S. Dermatitis; in: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2009, pp 148-150.

2. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.

Jakarta : EGC.

3. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
4. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November
2012.
5. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for care of contact dermatitis. British
Journal of Dermatology 2001; 145: 877-885
6. Bonamonte D, Foti C, Vestita M, Angelini G. Noneczematous contact dermatitis.
Allergy Hindawi 2013, p 1-10
7. Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D, Wilkinson M. U.K. standards of care
for occupational contact dermatitis and occupational contact urticaria. British Journal
of Dermatology 2013, 168, pp11671175
8. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch PJ, Fuchs T,
Geier J, Hillen U, Lffler H, Mahler V, Richter G, Szliska C. Patch testing with
contact allergens. JDDG 92008. P 770-775

Anda mungkin juga menyukai