Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

RHINITIS ALERGI

Pembimbing :

dr. Erwinantyo, Sp.THT

Disusun Oleh:

Triani Martio (112016319)

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

KOAS THT RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR.CIPTO

Periode 19 Juni 2017 s/d 22 Juli 2017


BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis alergi merupakan penyakit immunologi yang paling sering ditemukan.


Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10%-20%
dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.1 Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan allergen yang sama serta dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen.
Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari
individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.2
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Alergen yang
paling umum diantaranya adalah debu, binatang peliharaan, jamur dan serbuk sari.3
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus
meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya
produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial walaupun
rhinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal.4,5
Biasanya rhinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Prevalensi
rhinitis alergi adalah sama banyak antara laki-laki dan perempuan.6 Insidensi tertinggi terdapat
pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis
alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40%
merupakan kondisi kronik tersering dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja
rinitis alergi jarang ditemukan.7 Keluarga atopi memiliki prevalensi lebih besar daripada
neonatopi.6
Rhinitis alergi umumnya diterapi dengan cara menghindari allergen penyebab,
imunoterapi, mencegah degranulasi sel matosit, menetralisir mediator amine vasoaktif (terutama
mediator histamine) dan menghilangkan gejala-gejala pada organ target (pilek dan buntu
hidung).8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.4
Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila
dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.4
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum membagi kavum nasi menjadi dua
ruang kanan dan kiri. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian posterior dibentuk
oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior adalah tulang rawan oleh kartilago
septum (lamina kuadrangularis), dan kolumela; bagian posterior dan inferior oleh os vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina.4
Dinding inferior hidung (dasar) dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Dinding superior hidung (atap) terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian
teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.4
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar
diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis
dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.4
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila bagian superior dan palatum.,
lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.4
Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior.4
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan
yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus
frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.4
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Kelompok sel-sel etmoid posterior
bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi.
Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,
tempat bermuaranya sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 4
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian
bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas
oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di bagian atap dan
lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan
sphenoid. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang
berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.4

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa
celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM
terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.4
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar
dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke
rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus
frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret
dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media.4

Vaskularisasi Rongga Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.4
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media.4
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
terutama pada anak.4
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.4
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan
menyebabkan epistaksis anterior.4

Persarafan Rongga Hidung


Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari n.nasalis
anterior cabang dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksilaris n.trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri
etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum.4
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut
sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit
di atas ujung posterior konka media.4
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4
Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior &
superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical
superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi.
Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel
pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir
meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.4

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. 4
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 4
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 4
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. 4
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak
pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal.
Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel.
Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang
lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan
kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan
vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.4

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi fisiologis
hidung adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal,
2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu
proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi statis dan
mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas, 5)
refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti,
rangsang bau tertentu juga akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.1,4,9
Fungsi Respirasi
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti
jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.4
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara: 4
a. Mengatur kelembaban udara/humidikasi. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi
oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung
secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari partikel debu, virus, jamur
dan bakteri yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh: 4
Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
Silia
Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan
ke nasofaring oleh gerakan silia.
Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

Fungsi Penghidu
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius
berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6
mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS.4
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
napas dengan kuat.4
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis
yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang
atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 4

Fungsi Fonetik
1. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau/rinolalia.4
2. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.4

Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan
nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.4

Histologi Mukosa
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung
terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana
basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.9
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis
semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia.
Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau
kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior dan
terendah di septum nasi. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan
epitel ini tidak semuanya memiliki silia.9 Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka
inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke
belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi. 9
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada
tiap sel. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan
pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang
letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke
salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak
mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan
demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak
bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu
area arahnya sama. 9
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase.
Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia
memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel
panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan
membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan
dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan
sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng. 9
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih
kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada
cairan perisiliar dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,
protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan
silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh
gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan
virus yang terperangkap. 9
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya
pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial
yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. 9
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini
terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih
tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui
ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi. 9
Transportasi Mukosiliaris
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut
lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi
mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem
yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem
ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa
mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri.
Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat
imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga
ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam
keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia
dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum
diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk
kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap
oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia
lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke
belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-
celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh
dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada
daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit. 9
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang
berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui
anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal
dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian
melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring
mukus turun kebawah oleh gerakan menelan. 9
BAB III
RHINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.10
Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini
diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja.
Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis
dan rhinosinusitis.11
Alergi merupakan manifestasi klinis respon imun yang merugikan setelah kontak
berulang dengan zat biasanya tidak berbahaya seperti serbuk sari, spora jamur, bulu binatang,
tungau debu, makanan, dan serangga menyengat. Rhinitis alergi adalah peradangan pada selaput
lendir hidung yang disebabkan oleh reaksi IgE-mediated untuk satu atau lebih alergen.12,13

Klasifikasi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan jadi 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu10:
Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau
rino konjuntivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata
merah, gatal disertai lakrimasi).10 Rhinitis alergi sepanjang tahun (parennial). Gejala pada
penyakit ini timbul intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergi inhalan, terutama pada orang dewasa,
dan alergi ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen
diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.10
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:10 Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu
atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi: 10
Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur,gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang meganggu. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari
gangguan tersebut diatas.

Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Dimana dalam dekade terakhir ini peningkatan
prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia sekitar 6%-8%. Namun, prevalensi ini bisa menjadi
lebih tinggi, dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke
dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survei resmi. Disebutkan bahwa di Indonesia
pravalensi rhinitis alergi pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.14 Rhinitis alergi
telah menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh
penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat
ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien
yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak
terhitung pada survey resmi.15
Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden rinitis
alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi di Jakarta
cukup tinggi antara 10-20%.7 Dari sumber lainnya, didapatkan prevalensi penyakit Rinitis Alergi
pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika,
merupakan satu diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. 16
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Beberapa penelitian
menunjukan hubungan gambaran polimorfik pada kromosom 5q pada penderita atopi. Peran
lingkungan dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.9
Perkembangan atopi dapat dipengaruhi oleh hal berikut : Kerentanan genetik (yaitu,
riwayat keluarga); Faktor lingkungan (misalnya, debu dan paparan cetakan); Paparan alergen
(misalnya, serbuk sari, bulu binatang, dan makanan); Paparan asap tembakau pasif (terutama
pada anak usia dini); dan Partikel gas buang diesel (di perkotaan) diantara faktor lainnya.13
Pada masa bayi dan kanak-kanak, alergen makanan seperti susu, telur, kedelai, gandum,
tungau debu, dan alergi inhalan seperti bulu hewan peliharaan adalah penyebab utama alergi
rhinitis dan komorbiditas dermatitis atopik, otitis media dengan efusi, dan asma. Pada anak yang
lebih tua dan remaja, alergen serbuk sari menjadi lebih dari faktor penyebab.13
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.17 Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas10 :
1) Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit/bulu binatang, rerumputan, serta jamur (Aspergillus,
Alternaria).
2) Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3) Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4) Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
Patofisiologi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self" yang
berpasangan dengan memory. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan
limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem
kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell
dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek
imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama
jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di
berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang
hal tersebut.18
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.10
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan
sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4
(LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain.. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).10
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan sel
mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine
merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga
terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).10
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi. 10

Gambaran Histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.10

Gejala Klinis
Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler), hidung tersumbat, mata
merah berair gatal, palatum tenggorokan hidung kerongkongan gatal, post nasal drip, rasa
sumbatan pada telinga serta bersin berulang, bersifat reversibel secara spontan atau sebagai
akibat pengobatan. Rhinitis mempunyai jenis yang bervariasi, hampir semua jenis rhinitis yang
non infeksi disebut alergi.9,16

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa
dan hampir 50% dengan anamnesis diagnosis dapat ditegakkan. Faktor genetik menentukan
kemungkinan seseorang menjadi peka dan memproduksi antibodi IgE (yaitu, menjadi atopik).
Sebuah riwayat keluarga alergi, eksema, atau asma yang meningkat kemungkinan untuk
menderita rhinitis alergi. Anak-anak dengan orang tua yang memiliki alergi telah terbukti
memiliki >50% kesempatan untuk menjadi alergi. Jika hanya salah satu orang tua atau saudara
memiliki alergi, angka ini lebih rendah namun masih signifikan.4
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore
(cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali
serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau
daerah langit-langit/tenggorok, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia
(penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman), sekret belakang hidung (post nasal drip) dan
batuk kronik. Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi
hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh terhadap
kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan
rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan
hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan.4
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang
pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat
atopi pada pasien.4
Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin, gatal,
rinore dan kadang-kadng hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat, gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia.
Riwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi akuratnya diagnose rhinitis
alergi, pengukuran tingkat beratnya penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rhinitis sering juga
dibagi menjadi tipe sneezers and runners dan tipe blockers. Pasien rhinitis alergi biasanya tipe
tipe sneezers and runners. WHO initiative ARIA (2000) membedakan kedua tipe rhinitis
sebagai berikut:
Sneezers and Runners Blockers
Sneezing (sering bersin) Little or no sneezing (jarang atau tidak bersin)
Watery mucus anterior (lendir yang cair Thick nasal mucus (lendir yang kental pada
pada hidung) hidung)
Itchy nose (hidung terasa gatal) No itch (hidung tidak terasa gatal)
Nasal blockage variable (hidung tersumbat)
Nasal blockage often severe (hidung tersumbat
lebih parah)
Diurnal rhythm, worse during day and Constant day and night but maybe worse at night
improving during night (buruk pada siang (menetap sepanjang hari dan dapat memburuk saat
hari dan memberat pada malam hari) malam hari)

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaan telinga, tenggorokan, dan saluran hidung (termasuk setelah decongesting
dengan dekongestan topikal). Temuan khas di hidung pada pasien dengan rinitis alergi musiman
termasuk kebiruan, pucat, basah, mukosa bengkak, sumbatan hidung. Alergi tahunan dengan
hidung tersumbat adalah tanda dominan, tetapi pemeriksaan hidung mungkin tampak normal.
Temuan fisik lain yang mungkin termasuk konjungtivitis, eksema, dan, mungkin, mengi asma.
Gejala spesifik pada anak adalah adanya bayangan gelap di kelopak mata bawah akibat sumbatan
vena di daerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat bocornya hemosiderin
(Allergic shiners), Dennie-Morgan liners adalah garis pada kulit di kelopak bawah mata, Allergic
salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan telapak tangan
kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (
Allergic crease). Pada anak dengan sumbatan hidung kronik dapat menimbulkan fasies adenoid
karena sering bernafas lewat mulut.9,16
Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi
(facies adenoid) sehingga terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Pasien sering mengerak-
gerak mulut dn gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa penuh di
telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang ditemukan adanya krusta dan kulit yang kasar di
daerah nostril/ lubang hidung. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). 9,16
Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media pucat/livid, dilipuri secret hidung
seromukoid, udema ( boggy) atau hipertrofi. Perhatikan juga daerah septum nasi ( lurus, deviasi,
spina/ krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan nasoendoskopi,
apakah ada gambaran konka bulosa atao polip kecil di daerah meatus medius serta keadaan
kompleks osteomeatal. 9,16
Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tounge (permukaan
lidah sebagian licin dan sebagian kasar) yang bsanya akibat alergi makanan adenoid yang
membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (cobble stone appereance) dan penebalan
lateral pharyngeal bonds akibat secret mengalir ke tenggorok yang kronik. 9,16

Pemeriksaan Penunjang
1. In Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang
tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).4
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.4

2. Pemeriksaan IgE total serum


Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada
penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi. Pada orang
normal, kadar IgE meningkat dari lahir ( 0-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara
bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 kU/L
dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60 % penderita rhinitis alergi dan 75%
penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit,
penyakit kulit ( dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada
imunodefisiensi serta multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga
pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini
masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk
menegakkan diagnostik.19,20

3. Pemeriksaan IgE spesifik serum ( dengan metode RAST)


Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu allergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik ( >85%), akurat dapat diulang dan bersifat
kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan
tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan allergen terstandarisasi. Hasil
baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain adalah
Modified RAST dengan system scoring.21,22

4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan diagnosis,
tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang
mempengaruhi timbulnya gejala klinik.
1) Hitung jenis sel darah tepi
Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel eosinofil darah
tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderia rhinitis alergi tetapi kurang bermakna
secara klinik.
2) Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan), kerokan, bilasan
dan biopsy mukosa. Pengambilan sediaan untuk pemeriksan ini sebaiknya dilakukan pada
puncak RAFL pasca pacuan allergen atau saat bergejala berat. Apabila pada pemeriksaan
sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari 10% eosinofil maka dapat diindikasikan rhinitis
alergi. Namun kadangkala adanya eosinofil dalam sekret hidung dapat dijumpai pada non-
rhinitis alergi. Eosinofil tidak dapat ditemukan pada penderita yang mengalami perbaikan,
infeksi, dan mendapat terapi kortikosteroid fokal atau sistemik.
3) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI (bila fasilitas tersedia) tidak
dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk menyingkirkan
adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi terutama bila respon pengobatan
tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan penebalan mukosa sinus
(gambaran khas sinusitis akibat alergi) perselubungan homogeny serta gambar batas udara
cairan di sinus maksila. 23

5. Tes Kulit
Tes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : tes gores, tes kulit cukit, tes
suntik intradermal dan skin endointiration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus
dilaksanakan setelah terlampaui massa wash out untuk kortikosteroid berkisar antara 2-3
bulan.19
Tes kulit telah digunakan sebagai salah satu untuk menegakkan diagnosis alergi terhadap
allergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang
relative murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Tes
kulit cukit dapat mendiagnosis rhinitis alergi berderajat sedang sampai berat, tetapi pada
penderita dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi
dengan gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit
negatif. Tindakan yang perlu dilakukan adalah : 19
1) Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes
2) Periksa adakah penyebab hasil negative palsu
3) Observasi pasien selama adanya paparan allergen yang tinggi
4) Lakukan tes provokasi atau tes intradermal.
Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol ke dalam
kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada kulit dan lebih disukai
dalam primer care karena nyaman, aman, dan luas, dapat diterima. Kadang-kadang test
intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti dan subspesialis alergi), adalah lebih sensitif
tetapi kurang spesifik daripada tes percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih unggul, namun
terdapat peningkatan kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit intradermal. 9,16
Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit (Skin test) dapat
ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama skin test adalah untuk mendeteksi
langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh pelepasan sel mast atau basofil mediator spesifik
Ig E. yang mana menyebabkan reaksi setelah 15 menit. Pada respon delayed terjadi empat
sampai delapan jam setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang berguna dalam diagnos
klinis. 9,16

Diagnosis Banding
Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan oleh selain
alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis,
tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini dapat bermacam-macam
bergantung dari penyebabnya, antara lain:
1. Rhinitis vasomotor
Adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor
mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan.1,9
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan
sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh
individu tersebut.1,9
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta
beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya.
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas
tindakan konservatif dan operatif.1,9

Tabel 1. Perbedaan Rhinitis Alergi dengan Rhinitis Vasosmotor


2. Rhinitis virus
Rhinitis yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan rhinitis virus
adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie, dan virus ECHO.
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau
menurunnya daya tahan tubuh, Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam,
didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang,
hidung tersumbat, dan ingus encer yang biasanya disertai demam dan nyeri kepala.Mukosa
hidung tampak merah dan membengkak. Tidak ada terapi spesifik selain istirahat dan pemberian
obat-obat simptomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika
diberikan hanya jika ada infeksi sekunder oleh bakteri.1

Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi. 1
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 1,4
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik)
dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik
dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi
menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi
jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.1
Tabel berikut merupakan jenis anti histmain antagonis H-1 generasi kedua yang sering
digunakan untuk terapi rhinitis alergi :
Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa kerja Aktivitas Keterangan
dewasa (mg) (jam) antikolinergik
Piperidine
Fexofenadine 60 12 - Resiko rendah dari
(allegra) aritmia
Loratadine (claritin) 10 12 - Aksi yang lebih lanjut
Cetirizine (Zyrtec) 5-10 12-24 -
Desloratadine 5 24 - Aksi yang lebih lanjut
(Clarinex) Syr

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal
jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa
bila digunakan dalam jangka waktu lama.4
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan
Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis
obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia
dan iritabilitas. 4
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. 1
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya. Contohnya
adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya terutama bagi
penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap
rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat
topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan
mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis. 1
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 1
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa
pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. 8

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 1

Komplikasi 1
1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal. Kedua komplikasi diatas bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase.
4. Konjuntivitis
5. Asma bronchial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar.

Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Hanya pasien yang mendapat imunoterapi untuk alergen spesifik yang
dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik
saja secara intermiten dengan baik. Rhinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3
tahun setelah pemberhentian imunoterapi. Gejala rhinitis alergi akan menurun pada pasien bila
mencapai umur 4 dekade. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi
bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka
panjang.
BAB IV
KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan
alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Gejala
utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air
bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal. RA merupakan
penyakit umum dan sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute dan allergic
crease.
Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin dapat
menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin diperlukan tes
alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik). Pemeriksaan
terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang
terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suprihati,dr.,Sp.THT. Patofisiologi dan Prosedur Diagnosis Rhinitis Alergi. Bagian THT
FK Undip/RSUP Dr. Kariadi semarang: 1 -10
2. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2013. P. 210-7.
3. Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK Undip/SMF
kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Ed 14 Jilid I.
Binarupa Aksara, Jakarta, 1994 : 176 8
6. Ballenger J.J. Diseases of The Nose, Throat, and Ear. 11thed. Philadelphia : Lea &
Febrigger, 1987 : 93 6
7. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi
Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6.
8. Boyes LR, Higgler JA, Priest RE. Fundamental of Otolaryngology A Textbook of Ear,
Nose, and Throat Diseases. 4thed. London : WB Saunders Company, 1984 : 303 9
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu
kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher Edisi keenam FKUI. Balai Penerbit
FK UI, 2007 : 128 34.
10. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007. p. 128-32.
11. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
12. Allergic Rhinitis and its Impact in Asthma. ARIA at a Glance Pocket reference 2007. 1 st
edition.
13. Lalwani Anil. Current Diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery.
Second edition. New york America. McGrawHill Lange. 2007.
14. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
15. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.
2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
16. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta, 1997 :
196-7
17. Soepardi E, Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2010.
18. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck Surgery:
Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
19. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and
Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital
Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.
20. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy, Asthma &
Immunology 2001; 86; 494-508
21. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.
22. Javed Sheikh, MD. Allergic Rhinitis [Online] [Accessed 2015]. Avaliable from:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview
23. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
2010.

Anda mungkin juga menyukai