Anda di halaman 1dari 29

Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

REFERAT

RHINITIS ALERGI
DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS DAN MELENGKAPI SYARAT
DALAM MENEMPUH PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

Disusun oleh :
Ivo Ariandi
Clement Drew
Jennifer Santosa

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 25 APRIL 2011 21 MEI 2011

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 i
Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ivo Ariandi


Clement Drew ( 406107045 )
Jennifer Santosa
Universitas : Tarumanagara
Fakultas : Kedokteran Umum
Tingkat : Program Studi Profesi Dokter
Diajukan : 14 Mei 2011
Bagian : Ilmu Penyakit THT - KL
Judul : Rhinitis Alergi

Bagian Ilmu Penyakit THT - KL


RSUD Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 ii
Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

Kepala SMF Ilmu Penyakit THT KL


RSUD Kota Semarang Pembimbing

dr. Djoko Prasetyo Adi Nugroho, Sp. THT dr. Lukman Musat, Sp.THT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh bimbingan dan kasih karunia-
Nya, sehingga penulis sanggup menulis referatnya dengan judul RHINITIS ALERGI, sehingga
referat ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Ilmu Penyakit
THT KL Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang periode 21 Maret 2011 sampai dengan 23 April 2011. Selain itu, besar harapan
dari penulis bilamana referat ini dapat membantu proses pembelajaran dari pembaca
sekalian.
Dalam penulisan referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan, dan
kerjasama dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada :
1. dr. dr. Jhoni Abimanyu, MM. selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
2. dr. Djoko Prasetyo Adi Nugroho, Sp.THT, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit THT - KL Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Semarang dan selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
3. dr. Lukman Musat, Sp.THT, selaku pembimbing kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit THT KL Rumah Sakit Umum Daerah Kota semarang
4. Bapak Wahyuri selaku staf Poliklinik THT - KL di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 3
Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

5. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit THT - KL Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Semarang periode 25 april 2011 sampai dengan 21 mei 2011.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 4
Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan kritik dan saran yang bermanfaat untuk mencapai referat yang sempurna.
Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Semarang,Mei 2011

Penulis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 5
Rhinitis Alergi Ivo Ariandi ( 40610700 ) Clement Drew ( 406107045 ) Jennifer Santosa ( )

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG...........................................................2
II.1 ANATOMI HIDUNG.................................................................................2
II.1.1 HIDUNG BAGIAN LUAR..................................................................2
II.1.2 HIDUNG BAGIAN DALAM..............................................................4
II.2 VASKULARISASI HIDUNG........................................................................5
II.3 FISIOLOGI HIDUNG.................................................................................5
BAB III RHINITIS ALERGI.......................................................................................7
III.1 DEFINISI.................................................................................................7
III.2 EPIDEMIOLOGI......................................................................................7
III.3 FAKTOR RESIKO.....................................................................................8
III.4 ETIOLOGI...............................................................................................8
III.5 PATOFISIOLOGI.....................................................................................9
III.6 KLASIFIKASI.........................................................................................13
III.7 MANIFESTASI KLINIS...........................................................................14
III.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................16
III.9 DIAGNOSA...........................................................................................17
III.10 DIAGNOSA BANDING........................................................................18
III.11 PENATALAKSANAAN.........................................................................20
III.12 KOMPLIKASI......................................................................................23
III.13 PROGNOSIS.......................................................................................23
III.14 PENCEGAHAN....................................................................................23
BAB IV RINGKASAN............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................25

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Periode 25 April 2011 21 Mei 2011 6
BAB I

PENDAHULUAN
Rhinitis alergi merupakan penyakit immunologi yang paling sering ditemukan.
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10%-
20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir. 1
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impacy on
Asthma) tahun 2001, Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantarai oleh IgE.2
Rhinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada
3
kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada penderitanya.
Biasanya rhinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Pada usia remaja/
dewasa, prevalensi rhinitis alergi adalah sama banyak antara laki-laki dan perempuan.
Keluarga atopi memiliki prevalensi lebih besar daripada neonatopi. 4
Penyakit alergi THT terutama rhinitis alergi umumnya diterapi dengan cara
menghindari allergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui
alergen penyebab tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel matosit, menetralisir
mediator amine vasoaktif (terutama mediator histamine) dan menghilangkan gejala-gejala
pada organ target ( pilek dan buntu hidung). 5 tetapi cara yang paling efektif untuk
mengontrol penyakit-penyakit alergi adalah dengan menghindari paparan allergen
penyebabnya.6
Dalam referat ini penulis akan mencoba untuk membahas mulai dari definisi,
epidemiologi, faktor resiko, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan,
diagnosis & diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis dan pencegahannya.
Namun sebelumnya, penulis akan membahas anatomi dan fisiologi hidung terlebih dahulu
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tenang
anatomi dan fisiologi hidung. Anatomi hidung dibagi menjadi dua bagia, yaitu hidung bagian
luar dan hidung bagian dalam. Sedangkan Fisiologi hidung terdapat limja fungsi, yaitu fungsi
respirasi, fungsi penghidu, fungsi fonetik, fungsi staris dan mekanik, serta fungsi sebagai
reflex nasal. Pertama-tama akan dibahas mengenai anatomi hidung.

II.1 Anatomi Hidung1

II.1.1 Hidung bagian Luar

Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
adalah sebagai berikut :

Pangkal hidung ( bridge)


Batang hidung (dorsum nasi)
Puncak hidung (tip)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak samping


Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Kerangka tulang terdiri dari:

1. Tulang hidung (os nasal)


2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang yaitu:

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau yg disebut juga alaris mayor
3. Kartilago alaris minor
4. Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 3. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung

II.1.2 Hidung bagian dalam1


Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian dari tulang adalah:

1. Lamina perpendikularis os etmoid


2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina.

Bagian Tulang rawan adalah:

1. Kartilago septum ( lamina kuadrangularis)


2. Kolumela.

Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis.
Konka nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter.

Gambar 4. Konka dan Sinus Hidung

II.2 Vaskularisasi hidung1


Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan
memasuki ringga hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( littles
area). Pleksus kisselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma
sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

III.3 Fisiologi Hidung1

Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,


humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
meknisme imunologik lokal.
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir
udara ubtuk menampung stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetiik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
5. Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks
bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
BAB III
RHINITIS ALERGI

III.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama
serta dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis
and its Impacy on Asthma) tahun 2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.2

III.2 Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden


rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis
alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%. 7 Dari sumber lainnya, didapatkan
prevalensi penyakit Rinitis Alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3%
dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan satu diantara deretan atas
penyakit umum yang sering dijumpai. 7

Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya
mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria
dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic
kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan
sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan
diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya. 7

III.3 Faktor Resiko


Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 8:

1. Riwayat keluarga yang atopi


2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun
3. Sosioekonomi menengah keatas
4. Paparan terhadap allergen dalam ruangan (binatang dan debu)
5. Skin prick test positif

III.4 Etiologi

Rinitis alergi adalah disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung, yang
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan allergen (reaksi
hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). 9

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi pada setiap orang dapat
berbeda alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994). 10

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya


debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,


misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

III.5 Patofisiologi

Pada dasarnya, rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi yang
bersifat cepat dan merupakan hasil dari sensitisasi sel-sel mast yang ada pada
jaringan oleh IgE.

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang terbagi menjadi 2


fase, yakni IPAR ( Immediate Phase Allergic Reaction ) yang berlangsung dalam kurun
waktu sampai 1 jam setelah terpapar oleh allergen, dan LPAR ( Late Phase Allergic
Reaction ) dimana manifestasinya muncul 2-4 jam setelah terpapar dengan puncak
manifestasinya pada jam ke 6-8 dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Mukosa dari nasal memiliki kemampuan untuk menangkap partikel-partikel


yang ikut terhirup ketika bernafas, partikel-partikel tersebut kemudian akan
dipindahkan ke faring dengan bantuan silia-silia yang ada pada permukaan mukosa.
Namun pada rhinitis alergi, antigen dari partikel-partikel tertentu akan dipecahkan
oleh enzim yang terdapat pada mukosa hidung dan melepaskan alergen yang
kemudian akan memicu sel mast , yang sudah tersensitisasi dan memiliki IgE pada
reseptornya, yang ada dalam jaringan mukosa dan memicu terjadinya reaksi
hipersensitivitas terhadap alergen tersebut.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit
juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil
dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan


pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
III.6 Klasifikasi

Sekarang ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi


WHO initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan lama terjadinya gejala serta
berdasarkan keparahan dan kualitas hidup, dapat dilihat sebagai berikut:11
Tabel 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi menurut guideline ARIA (2001)

Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi berdasarkan waktunya,


terdapat tiga golongan rhinitis alergi, yaitu :11

Seasonal allergic rhinitis (SAR)


Terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya, misalnya pada saat musim
bunga, dikarenakan banyak serbuk sari yang beterbangan.
Perrenial allergic rhinitis (PAR)
Terjadi setiap saat dalam setahun, penyebab utamanya adalah debu, animal
dander, jamur, kecoa
Occupational allergic rhinitis
Rhinitis alergi yang terkait dengan pekerjaan

III.7 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pada rhinitis alergi, adalah:

o Bersin berulangkali
o Hidung berair (rhinorrhea)
o Tenggorokan, hidung, kerongkongan gatal
o Mata merah, gatal, berair
o Post-nasal drip
Gambar 5. Gejala Rhinitis Alergi

Berikut adalah perbedaan tanda dan gejala pada intermiten dan persisten rhinitis
alergi,

Tabel 2. Pebedaan Gejala Rhinitis Alergi Intermiten dan Persisten

III.8 Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. 1 Keuntungan SET, selain alergen
12
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

III.9 Diagnosa

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah
keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien.1 Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan,
hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna


pucat,m atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Gejala spesifik lain,
terutama pada anak ialah garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).

III.10 Diagnosa Banding

Rhinitis alergika harus dibedakan dengan:13

1. Rhinitis vasomotor
Adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh
iritan spesifik.14 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-
alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. 1
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara,
perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal
faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 1

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT


serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis
lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya
gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

Tabel 3. Perbedaan Rhinitis Alergi dengan Rhinitis Vasosmotor

2. Rhinitis virus
Rhinitis yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan
rhinitis virus adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus
coxsackie, dan virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul
sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh, Pada
stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang, hidung
tersumbat, dan ingus encer yang biasanya disertai demam dan nyeri
kepala.Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Tidak ada terapi spesifik
selain istirahat dan pemberian obat-obat simptomatis, seperti analgetika,
antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika diberikan hanya jika ada infeksi
sekunder oleh bakteri
3. Rhinitis bacterial
Rhinitis yang terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri. Rhinitis bacterial dapat
terjadi sebagai infeksi primer ataupun infeksi sekunder pada rhinitis virus.
Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan rhinitis bacterial adalah
Corynebacterium diphteriae yang menyebabkan rhinitis dipteri, Treponema
palidum yang menyebabkan rhinitis sifilis, infeksi ekstra pulmonal oleh
mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan rhinitis tuberkulosa.

III.11 Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang


bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada
SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik
golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu


dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage,
Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi


dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan
(Mulyarjo, 2006).
III.12 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah: 1

1. Polip hidung
2. Otitis Media Akut
3. Sinusitis Paranasal

Komplikasi lainnya yang dapat disebabkan rhinitis alergi adalah:

1. Asma
2. Obstruksi tuba Eustachius dan efusi telinga bagian tengah
3. Hipertrofi tonsil dan adenoid
4. Gangguan kognitif

III.12 Prognosis

Secara Umum baik. Penyakit rhinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang
seiring bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat (
Becker, 1994 ). Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu
5-7 tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekusensinya dibandingkan
dengan rhinitis alergi perenial ( Rusmono, 1993 ).

III.13 Pencegahannya

Pencegahan dari rhinitis alergi adalah dengan menghindari paparan dengan


allergen pencetus rhinitis alergi, selain itu juga dengan menjaga keadaan imunitas
tubuh dalam keadaan yang baik.
BAB IV RINGKASAN

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang dicetuskan oleh reaksi
hipersensitivitas sistem pertahanan tubuh terhadap alergen-alergen tertentu. Penyakit ini
dapat timbul secara musiman atau sepanjang tahun. Penyakit ini dapat dikaitkan dengan
suatu kelainan atopik.

Tanda dan gejala yang khas dari rhinitis alergi adalah rinorrhea, bersin-bersin,
obstruksi jalan nafas pada cavum nasi, lakrimasi, dan rasa gatal pada hidung dan
konjungtiva. Selain itu pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan mukosa nasal berwarna pucat
dan nampak basah, konjungtiva bisa didapatkan kongesti dan edem, pada faring tidak
ditemukan suatu tanda yang spesifik. Pembengkakan mukosa cavum nasi dapat
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder memlalui oklusi ostium sinus maupun tuba
eustachius.

Diagnosis rhinitis alergi terutama berdasarkan pada anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan fisik yang menunjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat membantu
dalam penegakan diagnosa, seperti foto x-ray, skin prick test, cell diff count, dan sebagainya.

Penatalaksanaan untuk kasus rhinitis alergi berupa pencegahan kontak dengan


alergen. Untuk simptomatis dapat diberikan obat-obatan anti histamin, simpatomimetik,
kortikosteroid, anti kolinergik. Bila terapi dengan medikamentosa tidak memuaskan dan
penyakit pasien menyebabkan disfungsi pada pasien, dapat dilakukan tindakan operatif
seperti konkotomi. Selain itu dapat dilakukan imunoterapi yang merupakan usaha
desensitisasi terhadap alergen pencetus rhinitis alergi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suprihati,dr.,Sp.THT. Patofisiologi dan Prosedur Diagnosis Rhinitis Alergi.


Bagian THT FK Undip/RSUP Dr. Kariadi semarang: 1 -10

2. Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK


Undip/SMF kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54

3. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Ed 14


Jilid I. Binarupa Aksara, Jakarta, 1994 : 176 8

4. Ballenger J.J. Diseases of The Nose, Throat, and Ear. 11 thed. Philadelphia :
Lea & Febrigger, 1987 : 93 6

5. Boyes LR, Higgler JA, Priest RE. Fundamental of Otolaryngology A Textbook


of Ear, Nose, and Throat Diseases. 4 thed. London : WB Saunders Company,
1984 : 303 9

6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi. Buku Ajar
Ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher Edisi keenam FKUI.
Balai Penerbit FK UI, 2007 : 128 34

7. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta,
1997 : 196-7

8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrisons


Principles of Internal Medicine. 17thedition. USA : McGraw-Hill Companies,
2008 : 2068 - 70

Anda mungkin juga menyukai