Anda di halaman 1dari 7

Agama dan IPTEK

1. Pengertian
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia
untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak
mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori
menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam
waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan
Yahudi.
Dalam membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan
berbicara secara teoritik umum. Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam
konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam
konteks nasional pula. Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini
adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa Indonesia dari agama dalam
kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau
bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak
bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari
pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap
benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang
dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari
keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan
cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh
manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo
berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari
lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena
dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran
iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara
keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima
kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran
yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.
Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya
berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek
tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya
berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan
yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat
terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari
urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama
tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling
mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak
dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini
terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan
pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama.
Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah
terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama
bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena
tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara
komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.

2. Tinjauan Islam dalam Iptek


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak
positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri,
komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin
jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita
menjahit dengan tangan, hanya 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). dunia hanya perlu
waktu beberapa menit saja untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan
(Winarno), orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai
Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam.
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan membahayakan
kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di
Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim
bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang
tuanya yang asli, ternyata disimpan di bank dan kemudian baru dititipkan pada bibinya,
Elenna adik (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal sperma
dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). dapat digunakan untuk
mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya
mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa
menit saja (Bakry, 1996). Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga
diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. tidak sedikit yang memanfaatkan teknologi
internet sebagai sarana untuk kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses
pornografi, kekerasan, perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat
kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif
saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama
Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini
bertujuan menjelaskan peran dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi
yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal,
1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang iptek adalah terpisah satu
sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan
(fashl al-din an al tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur umum/publik. Paradigma ini memandang
agama dan iptek mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama
terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal),
epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh dan aksiologis (berkaitan dengan cara
menerapkan pengetahuan). Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di
Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme menafikan eksistensi
agama sama sekali. Agama itu tidak ada, hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek
bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip
dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama
berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, hanya dibatasi perannya
dalam hubungan vertikal manusia dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik,
yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan
pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam
yang terwujud dalam apa dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah
pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan.
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah sebagai dasar ilmu
pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan
kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan
aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang berakal. (Qs. Ali Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan
seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh
tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini
yang dapat dilihat kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 1400 M.

3. Solusi Islam dalam Iptek


Islam adalah satu-satunyanya agama samawi yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu
pengetahuan. Perhatian ini dibuktikan melalui turunnya wahyu pertama QS al-Alaq 1-5.
Sebagian mufasirin menyatakan bahwa ayat tersebut sebagai proklamasi dan motifasi
terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus memberikan skala prioritas yang
tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kita akan terus daitur, dijajah, dan di dekte oleh
bangsa lain yang lebih tinggi kemajuan ipteknya. Dengan kemajuan iptek kita dapat
menyejahterakan kehidupan umat manusia, dan mengelola alam dengan baik.
Menarik sekali apa yang dinyatakan oleh seorang cendekiawan Muslim, Ismail Raji Al-
Faruqi dalam bukuya yang berjudul Tauhid yang berbicara ilmu pengetahuan dari sudut
pandang tauhid. Menurutnya, sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip.
Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas/kenyataan.
Prinsip ini meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam dan menjadikan segala sesuatu dalam
agama terbuka untuk diselidiki. Penyimpangan dari realita sudah cukup untuk membatalkan
suatu item dalam Islam, apakah itu tentang hokum, etika, atau pernyataan tentang dunia.
Prinsip ini melindungi kaum Muslimin dari opini dan pernyataan yang tidak teruji dan tidak
bisa dikonfirmasikan baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun yang lainnya. Oleh karena
itu, seorang muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali
kebenaran sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyembunyikan dan
mencampuradukkan kebenaran dan kesesatan dalam Islam sangat dibenci dan juga dikutuk.
Prinsip kedua adalah penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini melindungi kaum
Muslimin dari kontradriksi di satu pihak dan dari paradox di pihak lain. Islam mengajarkan
bahwa pasti ada jalan keluar dari kontradiksi dan sebaik-baik solusi adalah solusi yang
ditawarkan oleh Alloh SWT dalam wahyu-Nya. Hal yang sama berlaku jika terjadi
kontradiksi antara wahyu dan akal. Jika kasusnya demikian, Islam menyatakan bahwa
kontradiksi tersebut tidaklah ultimat. Dalam hal ini Islam menyarankan agar penyelidik
meninjau kembali pemahamannya atas wahyu, atau penemuan-penemuan ilmiyahnya atau
kedua-duanya.
Adapun prinsip yang ketiga adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan
bukti yang baru atau yang bertentangan. Prinsip ini mendorong kaum Muslimin kepada sikap
rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk menyantumkan dalam penegasan atau
penyangkalannya ungkapan Wallohualam (Alloh yang lebih tahu) karena dia yakin bahwa
kebenaran adalah milik Alloh dan lebih besar dari yang dapat dikuasainya. Alloh adalah
pencipta alam yang mana manusia memperoleh pengetahuannya. Obyek pengetahuan adalah
pola-pola alam yang merupakan hasil karya-Nya. Alloh mengetahui secara pasti, sebab Dia-
lah penciptanya dan sumber wahyu. Dia memberikan kepada manusia sebagian dari
pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah mutlak dan universal.
Membahas masalah ilmu pengetahuan dalam Islam berarti kita membicarakan kedudukan
ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam serta pemberdayaan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dakwah Islam. Islam mengajarkan kepada kita memikirkan ayat-ayat Allah baik
ayat Qouliyah (Al Quran dan Sunnah) maupun ayat-ayat Kauniyah (fenomena alam semesta),
dimana di dalamnya syarat muatan multi iptek. Dalam Al-Quran juga banyak kita jumpai
ayat-ayat yang menyuruh kita untuk mempelajari, meneliti, dan memperhatikan ilmu
pengetahuan. Imam Al Ghazali telah melakukan penelitian terhadap dalil dalil Al-Quran dan
Sunnah sebagai hukum formal, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa, dalam kitab Al
Quran terdapat 250 ayat tentang masalah legislatif, dan terdapat 763 ayat atau 12 % dari
jumlah ayat Al Quran yang langsung berhubungan dengan ilmu pengetahuan (Sidi Gazalba:
1970, hlm. 155).Belum lagi tentang Hadits-hadits yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Terdapat banyak Hadits yang diriwayatkan dari berbagai sumber tentang
perlunya menuntut ilmu serta manfaat-manfaatnya.
Demikian pula kita diperintahkan untuk mengamati bagaimana langit ditinggikan. Artinya,
kita harus mempelajari ilmu tentang kosmologi, ilmu alam, astronomi, fisika, dan lain-lain.
Kemudian kita juga disuruh memikirkan tentang bagaimana gunung-gunung ditegakkan.
Maknanya kita juga diperintahjkan untuk mempelajari ilmu bumi, geofisika, geologi, dan
lain-lain yang kesemuanya itu termasuk dalam sains modern.
Di dalam Al-Quran juga disebutkan kata ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak
854 kali. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang luar biasa
dalam Islam. Sebagai bukti bahwa Al Quran mempunyai muatan ilmu pengetahuan, antara
lain: teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) Qs. Adz Dzariyat/51:4.
Matahari adalah planet yang bercahaya, sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya
matahari (QS Yunus/10:5). Zat hijau daun (Chlorofil) yang berperan mengubah tenaga radiasi
matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis, sehingga menghasilkan energy
(Qs Yasin/36:30). Bahwa manusia diciptakan dari sari tanah berupa sperma laki laki dan
setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (Qs At Thoriq/86:6-7, dan QS Al
Lail/92:2). Disamping itu masih banyak lagi paradigma sains yang diungkap dalam Al Quran
sebagaimana ditulis Prof. Dr. Syeikh Thanthawi Jawhari dalam bukunya Al Quran Wa
Ulumul Asyriyyah ( AlQuran dan ilmu Pengetahuan Modern). Oleh karena itu, Dr Maurice
Bucale dalam bukunya La Bible Le Coran et La Science (Al Quran, Bibel, dan sains Modern)
dalam kesimpulannya menyatakan bahwa Al Quran mempunyai pernyataan-pernyataan
ilmiyah.
Dalam perkembangan sejarah Islam, Al Quran juga mempunyai pengaruh yang luar biasa
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini terbukti dengan prestasi spektakuler yang
diraih oleh ilmuwan Islam di masa silam. Disebutkan bahwa selama 3,5 abad berturut-turut
dari abad ke 8 sampai 12 M, para ilmuwan Islam telah berhasil menempati jenjang terhormat
dan menciptakan dasar-dasar ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam,

4. Solusi Islam dalam menghadapi perkembanga Iptek


Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai
bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-
bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya.
Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi
sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah
mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan
nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya
hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini
hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar
doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.] Dalam perkembangannya mengalami
perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan
tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang
berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :

Paradigma Konservatif
Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang
memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama
yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial
selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan
mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah
diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang
dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan
solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan
dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, ketidakberubahan (unchangingness)
merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi
hakikat manusia dan lingkungannya. Ketidakberubahan merupakan asumsi berpengaruh
luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.
Doktrin ketidakberubahan, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula
dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham
bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia
tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat,
lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi
perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan.
Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan nenek moyang
sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak
menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan
membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang
terjadi pada dirinya. 2.

Paradigma Liberal
Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif.
Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-
unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi
acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang
dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme.
Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner,
melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas
dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang
terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun
Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak
dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan
yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi
yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran
yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan
pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis
larangan demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini
mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga
terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama.
Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Quran
dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan
paradigma liberal.
Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide
demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas
paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita
dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama,
kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar
agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.
Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial
yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal.
Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2)
Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama
berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari
Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi
kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai
suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara
Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada
penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan
pemerintahan.
Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya
dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua
pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak
kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi
final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam
tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan
adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan
pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan
kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif
yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan
yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha
mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga
tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor
penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek
kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing
tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara,
bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan
mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan
kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai
ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai
tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural.
Dalam arti nilai tauhid harus membumi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi
syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi
berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh
kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan
pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik
maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena
istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-
kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai
agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat
menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam
terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama
adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai