Anda di halaman 1dari 9

Proses Inflamasi Atau Peradangan

Inflamasi / Radang

by: Sunanto,SKM
Definisi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan
atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
radang (Rukmono, 1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah
kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis
sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi
sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi
ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang
disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda
radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi,
sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan
hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa
sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir
yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran,
2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang
mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi
lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut
hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula
oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke
permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan
sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono,
1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa
merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam
mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang
menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama
dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta
emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan
memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal
dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera
(Mitchell & Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi
singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah
berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya
anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang
sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh
perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-
unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari
segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam
beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins
& Kumar, 1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke
dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-
mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang
bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang
berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam
ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi
protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik
kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit
cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik.
Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton
(Robbins & Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan
seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.
Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan
protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa
rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan
aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat
asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya
membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti
(Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah
menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri.
Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran
aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih
bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat
tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins &
Kumar, 1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah.
Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins &
Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas.
Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat
berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor
kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa
jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau
eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit
dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas,
tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang
terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat
pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada
pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih
terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum
menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan
melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar
mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang
berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan,
dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan
vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai
oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan
perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell &
Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut,
atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik
berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik
sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah
dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar
yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti
basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang
tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih
lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif
tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara
radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara
terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak
endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera,
pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di
dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang
dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang.
Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab
pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh.
Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang
memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator
kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar,
1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari
respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang
diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi
golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen,
dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk
leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal
bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995;
Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam
granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh.
Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan
histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang
dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi
imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment
komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan
histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell
& Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan
pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-
reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam
fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase.
Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu
diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan
permeabilitas vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada
peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin
ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin
difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang
pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator
pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling
berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh
aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik).
Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif
hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium.
Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul
tinggi, faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat
membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell &
Cotran, 2003).
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin
merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK.
Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal
dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin,
bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot
polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan
rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel
dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang
terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan
permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang
kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor
Xa menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin
memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida
(selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai
kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik.
Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian
melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem
pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen
activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein
plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu
plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas
maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen
ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut jalur klasik yang tercetus oleh
pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA
teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan
D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor
akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa
faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003;
Robbins & Kumar, 1995).
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada
fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin)
meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi
sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada
endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang
lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan
memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada
permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid)
yang utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk
esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari
fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik,
atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung
melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur
siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat
memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?, PGI2
(prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh
pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir
biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu.
Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah
TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain,
endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin
sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi
trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama
dengan PGE2 dan PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema.
Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran,
2003).
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi
yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil.
Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-
hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil
dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk
neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE
adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen
kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4
menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell
& Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur
transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4),
tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin
mempunyai aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan
antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis
neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).
b. Produk leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator
inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama
pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan
permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan
pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk
sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk
proses radang. Pelepasannya penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah
peka terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan
penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang kronik
(Robbins & Kumar).
c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki
lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan
permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion superoksida dan
hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan
dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).
Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena
menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan
makrofag juga dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular,
adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).
Daftar Pustaka
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja,
A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli
diterbitkan 2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins
& V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium
patologi anatomik

Pemulihan Jaringan

Sjamsuhidajat (1997) mendefinisikan luka sebagai hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.
Sedangkan Mansjoer (2002) mendefinisikan luka sebagai keadaan hilang/terputusnya kontinuitas
jaringan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa luka adalah rusak/terputusnya kontinuitas
jaringan. Yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah luka laserasi jalan lahir terutama
perinium baik luka yang spontan karena persalinan maupun karena tindakan episiotomi.
Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang mati/rusak dengan
jaringan baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka dikatakan sembuh apabila
permukaannya dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal.
Penyembuhan luka meliputi 2 kategori yaitu, pemulihan jaringan ialah regenerasi jaringan pulih
seperti semula baik struktur maupun fungsinya dan repair ialah pemulihan atau penggantian oleh
jaringan ikat (Mawardi-Hasan,2002).
Penyembuhan luka dapat terjadi secara:
1. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan.
2. Per Sekundem yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam. Proses
penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan, terkontaminasi/terinfeksi.
Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan pembentukan jaringan granulasi.
3. Per Tertiam atau Per Primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, tetapi luka dipertautkan (4-7 hari).
Proses penyembuhan luka yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Fase Inflamasi; Berlangsung sampai hari ke-5. Akibat luka terjadi pendarahan, tubuh akan
berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang terputus
(retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena keluarnya trombosit, trombosit
mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang
mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis
terhadap leukosit. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah
luka secara kemotaksis. Sel Mast mengeluarkan serotinin dan histamin yang meningkatkan
permiabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan oedema. Dengan demikian akan timbul tanda-tanda
radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan memakan kotoran dan kuman.
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga disebut
fase tertinggal (lag phase). Berat ringannya reaksi radang ini dipengaruhi juga oleh adanya
benda-benda asing dari luar tubuh, misalnya: benang jahit, infeksi kuman dll. Tidak adanya
serum maupun pus/nanah menunjukkan reaksi radang yang terjadi bukan karena infeksi kuman
tetapi karena proses penyembuhan luka.
2. Fase Proliferasi atau Fibroplasi: Berlangsung dari akhir masa inflamasi sampai kira-kira
minggu ke-3. Pada fase ini terjadi proliferasi dari fibroblast yang menghasilkan
mukopolisakarida, asamaminoglisin dan prolin yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini
terbentuk jaringan granulasi. Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh
permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka, pengaturan
kembali dan penyerapan yang berlebih.
3. Fase Remodelling/Fase Resorbsi/Fase penyudahan: Pada fase ini terjadi proses pematangan
yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya
gravitasi dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini berakhir bila
tanda radang sudah hilang.
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa luka dapat sembuh secara alami tanpa pertolongan
dari luar, tetapi cari alami ini memakan waktu cukup lama dan meninggalkan luka parut yang
kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka


1. Koagulasi; Adanya kelainan pembekuan darah (koagulasi) akan menghambat penyembuhan
luka sebab hemostasis merupakan tolak dan dasar fase inflamasi.
2. Gangguan sistem Imun (infeksi,virus); Gangguan sistem imun akan menghambat dan
mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Bila sistem daya
tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, maka pembersihan kontaminasi dan
jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik.
3. Gizi (kelaparan, malabsorbsi), Gizi kurang juga: mempengaruhi sistem imun.
4. Penyakit Kronis; Penyakit kronis seperti TBC, Diabetes, juga mempengaruhi sistem imun.
5. Keganasan; Keganasan tahap lanjut dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang akan
mengganggu penyembuhan luka.
6. Obat-obatan; Pemberian sitostatika, obat penekan reaksi imun, kortikosteroid dan sitotoksik
mempengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan sintesis kolagen.
7. Teknik Penjahitan; Tehnik penjahitan luka yang tidak dilakukan lapisan demi lapisan akan
mengganggu penyembuhan luka.
8. Kebersihan diri/Personal Hygiene; Kebersihan diri seseorang akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka, karena kuman setiap saat dapat masuk melalui luka bila kebersihan diri
kurang.
9. Vaskularisasi baik proses penyembuhan berlangsung; cepat, sementara daerah yang memiliki
vaskularisasi kurang baik proses penyembuhan membutuhkan waktu lama.
10. Pergerakan, daerah yang relatif sering bergerak; penyembuhan terjadi lebih lama.
11. Ketegangan tepi luka, pada daerah yang tight (tegang) penyembuhan lebih lama
dibandingkan dengan daerah yang loose.

Anda mungkin juga menyukai