Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Jantung Koroner

Definisi penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade

arteri yang mensuplai oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat

disebabkan aterosklerosis yaitu akumulasi zat lemak pada bagian dalam arteri

yang menyebabkan keterbatasan aliran darah ke jantung (Alwi I, 2016).

Penyakit jantung koroner adalah suatu kondisi dimana ketidakseimbangan

antara kebutuhan dan suplai oksigen pada miokardium sehingga menyebabkan

miokardium mengalami hipoksia, sering disebabkan oleh penyakit aterosklerosis

pada pembuluh arteri koroner (biasanya disebut penyakit arteri koroner) (Lilly,

2016).

2.2 Anatomi dan Pendarahan Arteri Koroner

Setiap kali berkontraksi, jantung akan memompakan darah sebanyak 70 ml

ke aorta. Bila frekuensi denyut jantung berkisar 80 kali per menit, berarti dalam

satu menit 5 6 L darah di pompakan. Dalam sehari semalam saja, jantung

manusia memompa 7000 8000 liter darah. Berbeda dengan otot otot lain

dalam tubuh yang lebih banyak beristirahat, otot jantung tidak pernah berhenti

berdenyut. Arteri koroner mendistribusikan darah untuk memenuhi kebutuhan

oksigen dan nutrisi otot jantung. Ada 2 arteri koroner utama yang keluar dari

aorta, yaitu arteri koroner kiri dan arteri koroner kanan (Rilantono, 2015).

15
Gambar 1 : Arteri koroner terlihat di permukaan jantung, keluar dari
pangkal aorta sebagai arteri koroner kiri utama dan arteri koroner kanan.
Left Main/ left coronary artery (LCA), Left anterior descending (LAD), diagonal
branches (D1, D2), septal branches (S). Left Sircumflex (LCx), Marginal
branches (M1,M2). Right coronary artery (RCA), Sinoartrial (SA) node branch,
Acute marginal branch (AM), AV (Atrioventricular) node branch, Posterior
descending artery (PDA).
Sumber: http://www.radiologyassistant.nl/en/p48275120e2ed5/coronary-anatomy-
and-anomalies.html

Arteri Koroner Kiri Utama / Left Main (LM)

Arteri koroner kiri utama yang lebih populer dengan sebutan Left Main, keluar

dari sinus aorta kiri; kemudian segera bercabang dua menjadi arteri Left Anterior

Descending (LAD) dan Left Circumflex (LCx). Arteri LM berjalan diantara alur

keluar ventrikel kanan (right ventricle outflow tract) yang terletak didepannya,

dan atrium kiri dibelakangnya; baru kemudian bercabang menjadi arteri LAD dan

arteri LCx (Rilantono, 2015).

16
Arteri Left Anterior Descending (LAD)

Arteri LAD berjalan di parit interventrikular depat sampai ke apeks jantung, men-

suplai: bagian depan septum melalui cabang-cabang septal dan bagian depan

ventrikuler kiri melalui cabang-cabang diagonal sebagian besar ventrikel kiri dan

juga berkas atrio-ventrikular. Cabang-cabang diagonal keluar dari arteri LAD dan

berjalan menyamping menyuplai dinding antero lateral ventrikel; cabang diagonal

bisa lebih dari satu.

Arteri Left Circumflex (LCx)

Arteri LCx berjalan di dalam parit atrioventrikular kiri dimana atrium kiri dan

ventrikel kiri dan memperdarahi dinding samping ventrikel kiri melalui cabang-

cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M1, M2, dst).

Pada umumnya arteri LCx berakhir sebagai cabang obtuse marginal, namun pada

10% kasus yang mempunyai sirkulasi dominan kiri maka arteri LCx juga men-

suplai cabang posterior descending artery(PDA).

Arteri Koroner Kanan / Right Coronary Artery (RCA)

Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam parit

atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan menuju ke

bagian bawah dari septum. Pada 50-60% kasus, cabang pertama dari RCA adalah

cabang conus yang kecil yang mensuplai alur keluar ventrikel kanan. Pada 20-

30% kasus, cabang conus muncul langsung dari aorta. Cabang sinus node pada

60% kasus keluar sebagai cabang kedua dari RCA dan berjalan ke belakang

17
mensuplai SA-node. (Pada 40% kasus cabang ini keluar dari arteri LCx). Cabang

cabang berikutnya adalah cabang-cabang yang berjalan diagonal dan mengarah

ke depan dan mensuplai dinding depan ventrikel kanan. Selanjutnya adalah

cabang acute marginal (AM) dan berjalan ditepi ventrikel kanan atas diafragma.

RCA berlanjut kebelakang didalam parit atrioventrikular dan bercabang arteri AV

node.

Pada 65% kasus, cabang Posterior Descending Artery (PDA) keluar dari RCA

(sirkulasi dominan kanan). Cabang PDA mensuplai dinding bawah ventrikel kiri

dan bagian bawah septum (Rilantono, 2015).

2.3 Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah suatu proses dimana terjadi penimbunan lemak dan

matriks tunika intima, yang diikuti oleh pembentukan jaringan ikat pada dinding

pembuluh arteri. Felix Marchand adalah orang pertama yang memperkenalkan

istilah aterosklerosis pada tahun 1904 dan menunjukkan bahwa aterosklerosis

yang bertanggung jawab terhadap semua proses penyumbatan di arteri. Pada

tahun 1908, A.I. Ignatowshi di Rusia melaporkan ada kaitan antara makanan kaya

kolesterol dengan kejadian aterosklerosis. Kemudian Windaus melaporkan bahwa

lesi ateroma mengandung 6 kali lebih banyak kolesterol bebas dan 20 kali lebih

banyak kolesterol teresterifikasi dibandingkan arteri normal. Pada tahun 1913,

Nikolai Anichkow mendemonstrasikan bahwa aterosklerosis dapat diinduksi pada

kelinci percobaan yang diberik makanan kaya kolesterol. Walaupun multifaktor

selain kolesterol, dalam hal ini faktor generik berperan menentukan alur terjadinya

18
proses tersebut, lokasi arteri yang terkena, gradasi aterosklerosis dan

akselerasinya sehingga tidak sama untuk semua orang (Kabo, 2012).

Aterosklerosis adalah kelainan pada dinding pembuluh darah yang

berkembang menjadi plak yang dapat menganggu aliran pembuluh darah apabila

cukup besar. Aterosklerosis sudah berkembang sejak usia muda pada saat belum

ada plak dan diawali dengan disfungsi endotel. Disfungsi ini berlangsung terus

meskipun plak sudah membesar (Rilantono, 2015).

Pembuluh arteri terdiri dari 3 lapisan yaitu tunika intima, tunia media,

tunika adventitia. Sel endotelium yang terdapat pada tunika intima merupakan

permukaan yang berhubungan langsung dengan aliran darah. Sel endotelium

tersebut berperan dalam menjaga keseimbangan antara mekanisme yang bersifat

prokoagulan seperti faktor von Willebrand, faktor jaringan (tissue factor),

penghambat aktivator plasminogen (plasminogen activator inhibitor atau PAI)

dan mekanisme yang bersifat antikoagulan, antara lain prostasiklin,

trombomodulin, heparansulfat dan aktivator plasminogen jaringan (Rilantono,

2015).

2.3.1 Pembentukan Lesi Ateroskletotik

Seperti yang dikemukakan oleh Virchow lebih dari 100 tahun yang lalu,

terjadinya trombosis tergantung dari 3 hal yaitu substrat dinding pembuluh darah

itu sendiri, sifat hemoreologi aliran darah melalui pembuluh arteri tersebut dan

beberapa faktor sistemik di dalam aliran darah.

19
Faktor risiko kardiovaskular, antara lain hipertensi, diabetes mellitus,

dislipidemia dan merokok dianggap memegang peranan penting bagi terjadinya

proses aterosklerosis. Namun, tahap pertama terjadinya proses aterosklerosis pada

manusia hingga saat ini masih belum jelas. Pengamatan dari beberapa sampel

histologi yang diperoleh dari orang dewasa muda dan diintergrasikan dengan

beberapa penelitian aterogenesis pada hewan telah memberikan sedikit

pencerahan tentang terjadinya proses aterogenesis. Adanya aktivasi platelet dan

trombosis serta disfungsi endotel akan memicu proses aterogenesis. Disamping

itu, diet yang kaya kolesterol dan lemak jenuh akan mengakibatkan terkumpulnya

partikel lipoprotein pada permukaan lapisan intima untuk kemudian masuk

kedalam lapisan intima. Di dalam lapisan intima, partikel liporotein tersebut akan

mengalami proses oksidasi dan glikasi. Stress oksidatid yang terjadi akan memicu

terbentuknya sitokin yang akan meningkatkan ekspresi molekul perekat (adhesion

molecules). Adanya molekul perekat tersebut akan mengakibatkan leukosit

menempel pada lapisan endotelium, dan melalui kerja molekul kemoatraktan

(chemoattractant molecules), leukosit akan bermigrasi kedalam lapisan intima.

Reseptor pemangsan (scavenger receptors) yang terdapat didalam tunika intima

akan memakan lipoprotein yang telah mengalami oksidasi dan glikasi dan

terbentuklah sel busa. SMC (smooth muscle cells) yang terdapat pada tunika

media akan mengalami proliferasi dan bermigrasi dari tunika media ke tunika

intima.

20
Gambar 2: Patogenesis plak aterosklerosis
Sumber: http://herni-septiani.blogspot.co.id/2014/09/hipertensi-vs-kolesterol.html

2.3.2 Peranan Proses Inflamasi Pada Aterogenesis

Baik bukti klinis maupun dari penelitian di bidang ilmu dasar telah

menunjukkan adanya proses inflamasi pada aterogenesis. Seperti telah diuraikan,

sel busa yang terbentuk dari makrofag merupakan sumber yang kaya akan

mediator proinflamasi seperti sitokin, kemokin, dan platelet-activating factor

(PAF). Sel-sel fagosit tersebut dapat menghasilkan beberapa spesies oksidan

21
seperti anion superoksida dalam jumlah yang besar dan bersama mediator

inflamasi yang lain akan mengakibatkan progresivitas plak aterosklerotik.

2.3.3 Migrasi Dan Proliferasi Sel Otot Polos

Tahap awal terjadinya ateroma adalah adanya perubahan fungsi

endotelium disertai recruitment dan akumulasi leukosit. Sel otot polos yang

terdapat pada tunika media pembuluh arteri normal sangat berbeda dengan sel otot

polos yang terdapat pada tunika intima ateroma yang sedang berkembang. Begitu

teraktivasi oleh suatu jejas, faktor pertumbuhan, atau sitokin, maka sel otot polos

akan mengalami perubahan fenotip dan menjadi migratory dan secretory cells

yang bermigrasi ke neointima. Sel otot polos pada ateroma berasal dari tunika

media yang bermigrasi ke tunika intima. Zat kimia yang memungkinkan proses

migrasi tersebut adalah faktor kemoatraktan (chemoattractan factors), antara lain

platelet-derived growth factor (PDGF) yang dihasilkan oleh makrofag. Adanya

ruptur plak aterosklerotik disertai tombosis akan mengakibatkan terpaparnya sel

otot polos terhadap beberapa mitogen yang poten sehingga terjadi proliferasi sel

otot polos (Rilantono, 2015).

2.4 Angina Pektoris Stabil

Angina pektoris stabil adalah nyeri dada akut yang didasari oleh aktivitas

fisik atau peningkatan emosional, dan hilang ketika istirahat beberapat menit.

Pada umumnya disebabkan oleh, sumbatan plak ateromatosa pada satu atau lebih

di arteri koroner. Gejala yang ditimbulkan berdasarkan derajat stenosis pada arteri

koroner. Patofisiologi yang ditunjukkan sebagai berikut, ketika aterosklerotik

22
menyumbat di lumen arteri koroner dengan diameter lebih dari 70%, kapasitas

aliran berkurang, biasanya hanya cukup mensuplai kebutuhan jantung pada saat

istirahat, tetapi tidak cukup untuk mengkompensasi peningkatan yang signifikan

saat beraktivitas (Lily L, 2016).

Angina pektoris (AP) adalah nyeri dada yang timbul karena iskemik

miokard, terjadi bila suplai oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan miokard.

Meskipun penyebab paling sering iskemia miokard adalah aterosklerosis,

sumbatan pada arteri koroner dapat pula disebabkan oleh faktor lain yang bukan

aterosklerosis, misalnya kelainan bawaan pada pembuluh koroner, jembatan

miokard (myocardial bridging), arteritis koroner yang terkait vaskulitis sistemik,

dan penyakit koroner akibat radiasi. Iskemia miokard dan angina pektoris dapat

pula terjadi tanpa adanya sumbatan koroner seperti pada stenosis katup aorta

kardiomiopati hipertropik dan kardiomiopati dilatasi idopatik.

Angina pektoris stabil (APS) merupakan sindrom klinis yang ditandai

dengan rasa tidak nyaman di dada atau substernal agak di kiri yang menjalar ke

leher,rahang, bahu/ punggung kiri sampai dengan lengan kiri dan jari jari bagian

ulnar. Keluhan ini dipresipitasi oleh stress fisik ataupun emosional atau udara

dingin; hilang dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin (Rilantono, 2015)

Kualitas nyeri pada APS biasanya tumpul seperti rasa tertindih/berat di

dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, diremas-

remas atau seperti dada mau pecah. Nyeri tidak berhubungan dengan gerakan

pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan ke kanan, pada APS keluhan khas nyeri

23
dada berlangsung kurang dari 20 menit. Biasanya ditemukan sumbatan kronis

plak ateroma pada sekurang-kurangnya satu pembuluh koroner epikardial. Angina

sebagai tampilan klinis paling awal dapat ditemukan pada sekitar 50% penderita

APS. Namun demikian, tidak semua angina khas sesuai gambaran tersebut diatas,

sehingga disebut angina atipikal. Tampilan lain bisa juga timbul keluhan tidak

nyaman di epigastrium, rasa lelah atau seperti mau pingsan, terjadi terutama pada

kelompok lanjut usia; gejala seperti ini disebut angina aquivalent.

Diagnosis banding nyeri dada:

Kardiovaskuler: angina pektoris (aterosklerosis, spasme, stenosis katup

aorta, kardiomiopati hipertrofik atau dilatasi), infark miokard, perikarditis

akut, diseksi aorta, emboli paru, hipertensi pulmonal.

Gastrointestinal: gangguan esofagus (esofagitis, spasme, hiatus hernia),

ulkus peptikum, gastritis, kolesistitis.

Neuromuskuloskeletal: kostokondritis (sindrom Tietze), sakit dinding

dada, gangguan radix sevikal atau torakal, artropati bahu.

Thorakal: pneumothorax, mediastinitis, pleuritis, keganasan intra thorakal

Psikologis atau fungsional (Rilantono, 2015).

Terdapat 3 kriteria untuk membantu menentukan jenis angina: 1. Nyeri dada

substernal, 2. Dicetuskan oleh aktivitas/ emosi, 3. Membaik dengan istirahat atau

NTG. Pasien disebut non anginal chest pain bila hanya ada 1 gejala, disebut

angina atipik bila terdapat 2 gejala, dan angina tipikal bila ada 3 gejala.

24
Kemungkinan penyakit arteri koroner berdasarkan kombinasi usia, jenis kelamin

dan gejala dapat dilihat pada tabel berikut (Alwi I, 2016).

Tabel 1: Probabilitas Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan Usia dan Gejala

(Alwi, I, 2016: 556)

1 Gejala 2 Gejala 3 Gejala


Usia
(Tahun) Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

30-39 4% 1% 34% 12% 76% 26%

40-49 13% 3% 51% 22% 87% 55%

50-59 20% 7% 65% 31% 93% 73%

60-69 27% 14% 72% 51% 94% 86%

2.4.1 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik penderita APS, seringkali tidak ditemukan

kelainan berarti. Namun demikian pencarian adanya penyakit-penyakit seperti

hipertensi, penyakit paru kronis (akibat rokok), xanthelasma (dislipidemia), dan

bukti adanya penyakit aterosklerosis bukan koroner (pulsasi nadi lemah, bruit

carotis atau renal, aneurisma aorta abdominalis) penting sekali. Adanya temuan

penyakit-penyakit tersebut berguna dalam penentuan risiko dan manfaat suatu

strategi pengobatan dan kebutuhan akan pemeriksaan tambahan lainnya. Pada

auskultasi jantung, khususnya sewaktu sakit dada berlangsng bisa terdengar suatu

jantung tiga (S3) atau empat (S4) karena adanya disfungsi sementara ventrikel

kiri. Bisa juga terdengar murmur regurgitasi mitral akibat disfungsi otot papillaris

25
sewaktu iskemia miokard terjadi. Adanya ronki basah dibasal kedua paru

mungkin saja mengindikasikan adanya gagal jantung kongestif.

2.4.2 Elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG dilakukan pada semua pasien dengan kecurigaan angina

pektoris. Perubahan EKG yang paling sering ditemukan adalah: depresi segmen

ST, kadang-kadang dijumpai elevasi atau normalisasi segmen ST/ gelombang T.

Adanya perubahan segmen ST-T atau hipertrofi ventrikel kiri (walaupun tidak

spesifik), menyokong diagnosis angina. Tanda infark sebelumnya seperti

gelombang Q juga sangat menunjang adanya PJK. Berbagai gangguan konduksi

dapat terjadi, paling sering left bundle branch block (LBBB) dan left anterior

fascicular block. Gangguan konduksi sering kali berhubungan dengan fungsi

ventrikel kiri yang terganggu dan menggambarkan penyakit multivessel atau

adanya kerusakan miokard yang terjadi sebelumnya. Pada waktu angina

berlangsung, 50% pasien APS memperlihatkan EKG istirahat normal.

Elektrokardiografi latihan atau treadmill adalah penunjang diagnostik yang

penting, terutama pada pasien dengan EKG istirahat yang normal dan pasien

mampu melakukan uji latih jantung (Rilantono, 2015).

Bagi pasien yang tidak bisa melakukan uji latih jantung seperti pada

kelompok lanjut usia, penyakit arteri perifer, penyakit paru, artritis, halangan

ortopedik, obesitas, dan pasca stroke ada pilihan pencitraan farmakologis seperti

ekokardiografi stress (dobutamin stress ekokardiografi) dan nuklir stress

(menggunakan adenosin atau dipiridamol). Pemeriksaan ini juga dianjurkan bila

26
EKG tidak normal, seperti LBBB, sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW), irama

pacu jantung, depresi segemen ST 1mm tetapi hasil treadmill sulit dinilai. Ada

pula alat atau modalitas pencitraan stress yang lebih baru, yaitu magnetic

resonance imaging (MRI).

2.4.3 Tatalaksana

Nyeri dada dan iskemia pada APS terjadi karena adanya ketidakseimbangan

antara suplai dan kebutuhan oksigen akibat sumbatan kronis plak ateroma

(aterosklerosis) pada arteri koroner. Karena itu, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah mengenali dan mengobati setiap penyakit jantung yang dapat

mencetuskan angina. Misalnya takikardia atau hipertensi yang akan meningkatkan

kebutuhan oksigen miokard atau gagal jantung, penyakit paru, anemia yang

membuat suplai oksigen ke miokard berkurang. Selanjutnya adalah penanganan

faktor-faktor risiko PJK dengan perbaikan pola hidup serta pengobatan

farmakologis.

Aktivitas fisik: lakukan 30-45 menit/hari, 7 hari/minggu (minimal 5

hari/minggu). Rehabilitasi pasien berisiko (pasien dengan infark miokard

atau gagal jantung sebelumnya).

Sesuaikan berat badan: usahakan mencapai indeks massa tubuh (body

mass index, BMI) 18,5 24,9 kg/m3 dan ukuran lingkar pinggang < 80 cm

untuk wanita dan < 90 cm untuk pria.

Berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok.

27
Kendalikan tekanan darah (TD): upayakan modifikasi pola hidup

(kendalikan berat badan, aktivitas fisik, konsumsi alkohol seperlunya,

batasi asupan garam tidak melebihi satu sendok teh per hari, konsumsi

buah-buahan segar dan sayuran 5 porsi per hari, dan produk susu rendah

lemak). Kendalikan TD sesuai panduan Joint National Conference (JNC)

VII (TD < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg untuk penderita diabetes

atau penyakit ginjal kronis). Awali pengobatan dengan penyekat beta dan/

penghambat ACE, dengan menambahkan obat-obat lain sesuai kebutuhan

pencapaian target TD.

Manajemen lipid: diet rendah lemak jenuh (< 7% dari kalori total, asam

lemak trans, dan kolestrol (< 200 mg/hari). Aktivitas fisik harian dan

pengaturan berat badan. Konsumsi plant stanol/sterol (2 g/hari) serta

viscous (> 10 g/hari), untuk menurunkan kadar kolesterol LDL; serta

konsumsi asam lemak Omega-3 (1 g/hari) untuk menurunkan risiko.

Terapi dengan obat penurun lipid (pilihan pertama: statin) harus diberikan

bila kadar kolesterol LDL 100 mg/dl dengan tujuan penurunan 30-40%

sampai target < 70 mg/dl. Bila kadar awal kolesterol LDL antara 70-100

mg/dl, maka cukup beralasan untuk mengobati sampai tercapai kadar

kolesterol LDL < 70mg/dl. Bila kadar trigliserida > 200mg/dl, maka kadar

kolesterol non HDL harus < 130 mg/dl (dan penurunan lebih lanjut sampai

< 100mg/dl cukup beralasan) dengan obat niacin atau fibrate.

Manajemen diabetes; ditujukan pada target HBA1c < 7% dengan pola

hidup dan terapi obat.

28
Obat antiplatelet: mulai dengan aspirin (75-162 mg/hari) seumur hidup

kecuali ada kontraindikasi. Clopidogrel (75 mg/hari) sebagai pengganti

aspirin bila ada kontraindikasi mutlak pada aspirin. Pasca Non- ST Elevasi

Miokard Infark (NSTEMI) akut, clopidogrel 75 mg/hari harus diberikan

selama 1 tahun. Pasca CABG, aspirin (162-325 mg/hari) harus diberikan

selama 1 tahun, dan selanjutnya aspirin (75-162 mg/hari) diteruskan untuk

selamanya. Bagi pasien yang dilakukan PCI dan mendapat Drug Eluting

Stent (DES), clopidogrel (75 mg/hari) harus diberikan untuk sekurang-

kurangnya 12 bulan, kecuali bila pasien berisiko tinggi mengalami

perdarahan. Untuk diberikan minimal 1 bulan dan idealnya sampai 12

bulan.

Penyekat beta dimulai dan dilanjutkan untuk selamanya pada penderita

pasca infark miokard, sindroma koroner akut, atau penderita dengan

disfungsi ventrikel kiri, kecuali ada kontraindikasi. Berikan penyekat beta

pada pasien angina, hipertensi dan gangguan irama. Kontraindikasi pada:

bradikardia berat, blok-AV derajat dua atau derajat tinggi, sindrom sick

sinus dan asma berat.

Inhibitor ACE dan Angiotensin-receptor blocker (ARB): mulai dengan

inhibitor-ACE dan teruskan selamanya pada semua pasien dengan fraksi

ejeksi (ejection fraction, EF) ventrikel kiri 40% pasien dengan

hipertensi, diabetes, atau penyakit ginjal kronis, atau pada pasien yang

berisiko tinggi, kecuali ada kontraindikasi. Pertimbangkan inhibitor-ACE

pada semua pasien PJK kecuali ada kontraindikasi. ARB dapat dipakai

29
pada pasien yang tidak cocok inhibitor ACE. Antagonis aldosteron

direkomendasikan pada pasien pasca infark miokard tanpa disfungsi ginjal

berat atau hiperkalemia, dan telah mendapat dosis terapi inhibitor-ACE,

penyekat beta, EF ventrikel kiri 40% dan dengan diabetes atau gagal

jantung.

Nitrat-nitroglycerin sublingual atau spray dipakai untuk mengatasi angina

dengan cepat, dapat diberikan sebelum latihan fisik untuk mencegah

angina. Nitrat khasiat jangka panjang diberikan bila pengobatan dengan

penyekat beta saja tidak dapat mengatasi angina atau menjadi

kontraindikasi.

Antagonis-Calcium: diberikan bila pengobatan dengan penyekat beta saja

tidak dapat mengatasi angina atau menjadi kontraindikasi; sebagai obat

pilihan pada kasus spasme koroner (Rilantono, 2015).

2.5 Sindrom Koroner Akut

Pengertian SKA merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang

sesuai dengan iskemia miokardium akut. Sindrom koroner akut merupakan suatu

spektrum dalam perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosis

koroner) (Karo-karo S, 2012).

Sindrom koroner akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan

gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut.

Berbeda dengan angina pektoris stabil, gangguan yang statis namun terutama

akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya dinamis.

Sehingga gejala yang timbul berupa nyeri dada dengan intensitas nyeri yang

30
dinamis sesuai dengan derajat penyempitan yang dipengaruhi oleh komponen

vasospasme arteri koroner dan terutama oleh ukuran trombusnya. Trombus

terbentuk karena adanya ruptur/erosi plak aterosklerotik. Trombus tersebut

bersifat dinamis, dengan episode pembentukan, pembesaran dan lisis terjadi

secara bersamaan namun tidak seimbang. Pada keadaan ini pembentukan trombus

lebih dominan dari proses lisis, sehingga terjadi episode peningkatan penyempitan

atau bahkan oklusi arteri koroner dengan dampak iskemia hingga infark jaringan

miokard (Rilantono, 2015).

2.5.1 Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard Tanpa Elevasi

Segmen ST (Non ST Elevation Miocard Infarction/ NSTEMI)

Angina pektoris tidak stabil (unstable angina) adalah angina pektoris

setara dengan ischemic discomfort dengan 1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat

istirahat (atau latihan ringan), biasanya berlangsung > 10 menit, 2. Gejala berat

dan baru pertama kali timbul dan atau 3. Muncul dengan pola crescendo (lebih

berat, panjang dan sering daripada sebelumnya) (Alwi I, 2016).

Angina pektoris tidak stabil (APTS) adalah keadaan pasien dengan

simptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi peningkatan enzim petanda jantung

(CK-MB, troponin) dengan atau tanpa perubahan EKG yang menunjukkan

iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang T dan elevasi segmen ST yang

transien).

31
Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI) adalah keadaan

pasien dengan manifestasi sama seperti APTS, tetapi disertai peningkatan enzim

petanda jantung (Rilantono, 2015).

Sebagian besar pasien SKA datang dengan keluhan nyeri dada (angina

pektoris), rasa berat atau rasa seperti ditekan, atau rasa seperti dicengkam

dibelakang sternum, bisa menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau lengan. Kalau

pada angina pektoris stabil keluhan nyeri dada ini hanya berlangsung kurang dari

15 menit, pada SKA berlangsung lebih lama. Namun pada populasi lanjut usia ( >

75 tahun), wanita dan diabetes, keluhan tidak khas. Pada pasien lanjut usia lebih

sering terjadi NSTEMI, dan presentasinya sering atipikal, seperti sinkop, lemas

atau delirium, dan sering disertai gagal jantung.

Keluhan angina pada SKA biasanya disertai dengan keringat dingin karena

respons simpatis, mual dan muntah karena stimulasi vagal, rasa lemas tidak

bertenaga.

Ada 3 presentasi angina pada sindrom koroner akut, yaitu:

Angina saat istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit

Angina pertama kali sehingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas

Angina progresif: pada pasien dengan angina pektoris stabil, terjadi

perburukan keluhan dimana angina terjadi lebih sering, durasi lebih lama

atau dengan aktivitas yang lebih ringan (Rilantono, 2015).

32
Diagnosa SKA merupakan rule out diagnosis, yang didasarkan atas hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG dan enzim petanda jantung. Atas dasar unsur-

unsur tersebut, maka dapat dikategorikan dalam tiga tingkat kemungkinan suatu

keadaan SKA.

Tabel 2: Panduan dalam menegakkan diagnosis SKA (Rilantono, 2015)

A B C
Kemungkinan besar Kemungkinan Kemungkinan
sedang kecil
Didapatkan salah satu Tidak didapatkan Tidak didapatkan
temuan berikut: temuan pada kolom temuan pada
A, tetapi didapatkan kolom A atau B,
salah satu temuan tetapi didapatkan
berikut: salah satu temuan
berikut:
Anamnesis Keluhan utama berupa Keluhan utama - Keluhan iskemik
nyeri atau rasa tidak berupa nyeri atau rasa tidak jelas
nyaman di dada atau tidak nyaman di dada - Riwayat
lengan kiri, ditambah: atau lengan kiri, pemakaian
Riwayat nyeri dada ditambah: kokain
sebelumnya, dan - Usia > 70 tahun
pasien dikenal sebagai - Laki-laki
pengindap PJK, - Diabetes
termasuk riwayat IMA
Pemeriksaan - Regurgitasi Mitral Penyakit vaskular Rasa tidak nyaman
Fisik transien ekstra-kardiak di dada akibat
- Hipotensi berdebar-debar
- Keringat dingin
- Edema paru atau
ronki basah halus
EKG Deviasi segmen ST - Gel. Q EKG normal atau
( 0,5 mm transien - Abnormalitas gel.T mendatar
atau baru atau segmen ST atau atau terbalik pada
inversi gel. T ( 2 gel. T lama sadapan dengan
mm) dengan keluhan gel.R yang
dominan
Enzim - Peningkatan Normal Normal
jantung Troponin I atau T
- Peningkatan CKMB

33
Angina pektoris tidak stabil/ NSTEMI paling sering disebabkan oleh

kurangnya pasokan oksigen dan/atau bertambahnya kebutuhan oksigen di

miokardium yang memperburuk lesi yang menyebabkan obstruksi arteri, biasanya

karena plak aterotrombotik di arteri koroner. Empat proses patofisiologi yang

mungkin berperan pada terjadinya APTS/NSTEMI yaitu: 1. Ruptur atau erosi plak

dengan lapisan trombus non oklusif, diyakini sebagai penyebab paling sering;

pada pasien seperti ini, NSTEMI dapat terjadi karena embolisasi aliran hilir oleh

agregat trombosit dan/atau debris aterosklerosis; 2. Obstruksi dinamis (misalnya

spasme koroner, seperti pada angina varian prinzmetal); 3. Obstuksi mekanis

progresif misalnya, aterosklerosis yang cepat berkembang atau restenosis setelah

intervensi koroner perkutan (PCI); 4. APTS sekunder akibat peningkatan

kebutuhan oksigen jantung dan/atau berkurangnya pasokan oksigen (misalnya,

takikardia, anemia). Pada seseorang, mungkin saja terjadi lebih dari satu proses

tersebut (Loscalzo J, 2016).

Diantara semua pasien dengan APTS/ NSTEMI yang diperiksa dengan

angiografi, sekitar 5% memiliki stenosis di arteri koroner kiri, 15% mempunyai

CAD di tiga pembuluh, 30% di dua pembuluh, 40% di satu pembuluh, dan 10%

tidak ditemukan stenosis arteri koroner; beberapa pasien dari kelompok tanpa

stenosis mungkin memiliki obstruksi di sirkulasi-mikro koroner. Lesi pelaku atau

culprit lesion melekuk (scalloped) atau menggantung (overhanging) dan leher

sempit pada angiografi. Angioskopi dilaporkan dapat menunjukkan trombus

putih (kaya-trombosit), kebalikan dari trombus merah (kaya-fibrin dan sel).

34
Trombus merah lebih dengan APTS/ NSTEMI sering kali memiliki beberapa plak

yang berisiko ruptur (plak rapuh) (Loscalzo J, 2016).

Gambar 2: Patofisiologi APTS/ NSTEMI


Sumber : https://www.slideshare.net/vidurangae/pathogenesis-of-acute-coronary-
syndromes, diakses tanggal 25 April 2017

35
2.5.1.1 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik biasanya normal. Adanya tanda-tanda kongesti dan

hemodinamik instabilitas memerlukan penanganan secepatnya. Penting untuk

segera dilakukan upaya untuk menyingkirkan nyeri dada non kardiak atau

kelainan kardiak yang non iskemia (seperti emboli pulmonal, diseksi aorta,

perikarditis, tamponade perikardial) dan kelainan pulmonal akut (seperti

pneumothorax, pneumonia).

2.5.1.2 Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan EKG 12 sadapan merupakan alat diagnostik lini pertama

untuk menegakkan diagnosis kerja dalam 10 menit setelah pasien bertemu tenaga

medis. Gambaran EKG berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T dan

elevasi segmen ST yang transien. Pada keadaan tertentu gambaran EKG 12

sadapan bisa normal, terutama pada iskemia posterior (sadapan V7-9) atau

ventrikel kanan (sadapan V3R V4R) yang terisolasi.

Keadaan iskemia yang dinamis hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan

EKG 12 sadapan secara kontinu dan saat pasien mengalami angina. Oleh karena

itu, dianjurkan untuk mengulang pemeriksaan EKG setiap 6 jam (serial) atau bila

pada saat pemantauan terjadi perubahan simptom, dan hasilnya dibandingkan

dengan EKG saat pertama kali datang.

36
Gambar 3: Pasien nyeri dada disertai perubahan EKG berupa T inversi di
dinding anterior ventrikel kiri (V1-V6)
Sumber: http://www.ems12lead.com/2014/11/18/anterior-t-wave-inversions-and-
pe/, diakses tanggal 25 April 2017

2.5.1.3 Pemeriksaan Biomarka atau Enzim Petanda Jantung

Perbedaan antara angina pektoris tidak stabil (APTS) dengan infark

miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemia. Pada

NSTEMI, iskemia yang terjadi cukup berat sehingga mengakibarkan kerusakan

miokard ditandai dengan peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin).

Pada pasien yang datang dalam 4 jam setelah awitan simptom, diagnosis APTS

dan NSTEMI sulit dibedakan karena peningkatan troponin T dan/atau CK-MB

baru terdeteksi 4-6 jam setelah awitan simptom (Rilantono, 2015).

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis

NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam

waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus

digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG.

Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui

nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka

jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam

37
menentukan awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal

tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar

troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 4

jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan

kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi

nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai

ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal

yang ditetapkan oleh laboratorium setempat. Perlu diingat bahwa selain akibat

STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:

1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat

2. Miokarditis

3. Dissecting aneurysm

4. Emboli paru

5. Gangguan ginjal akut atau kronik

6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid

7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat

digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai

puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari (PERKI 2015).

38
Gambar 4: Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung
(Dikutip dari Bertrand ME, et al. Eur Heart J 2002;23:18091840) dalam
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015, diakses tanggal 25 April
2017

2.5.1.4 Penilaian Stratifikasi Risiko

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA.

Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In

Myocardial Infarction) , dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary

Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina

patients Suppress ADverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA

guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan.

Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan penggunaan

antitrombotik.

Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan

selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing

39
masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia 65 tahun,

3 faktor risiko, stenosis koroner 50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2

kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan

penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis

koroner 50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah

skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko

menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi

(risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi

untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA

termasuk UAP/NSTEMI.

Tabel 3: Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI

Parameter Skor

Usia 65 tahun 1
3 faktor risiko PJK (hipertensi, riwayat PJK dalam keluarga, 1
hiperkolestrolemia, diabetes, perokok aktif)
Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir 1
2 episode angina dalam 24 jam terakhir 1
Peningkatan enzim jantung (CK-MB, Troponin) 1
Deviasi segmen ST 0,5 mm, yaitu depresi segmen ST 0,5 mm 1
atau ST elevasi 0,5 mm yang transien (< 20 menit)
Diketahui menderita PJK 1
(Angiogram koroner sebelumnya menunjukkan stenosis > 50%)
Sumber: Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015

40
Tabel 4: Statifikasi risiko berdasarkan skor TIMI

Skor TIMI Risiko Risiko Kejadian Kedua


0-2 Rendah < 8,3%
3-4 Sedang < 19,9%
5-7 Tinggi < 41%
Sumber: Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko

berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut

dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.

Tabel 5: Mortalitas 30 hari berdasarkan klasifikasi KILLIP

Kelas Temuan Klinis Mortalitas


Killip
I Tidak terdapat tanda gagal jantung (tidak terdapat 6%
ronchi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan 17%
ronchi basah pada setengah lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai dengan ronchi basah 38%
seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan 81%
darah sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi
jaringan
Sumber: Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015

41
2.5.1.5 Penatalaksanaan APTS/NSTEMI

Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan keluhan nyeri dada

bertujuan untuk menegakkan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih

tatalaksana yang tepat. Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan

pemeriksaan fisik terarah serta gambaran EKG, pasien dikelompokkan menjadi

salah satu dari: STEMI, NSTEMI dan kemungkinan diagnosis SKA rendah

(Rilantono, 2015).

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk

dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif

melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat

risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan

berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).

Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very

high risk)

2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)

Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu

kriteria risiko tinggi (high risk) primer

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)

Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau

dengan gejala berulang

4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif

(Kelas III-A)

42
Tabel 5: Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi untuk strategi invasif

Kelompok Risiko Kriteria


Sangat tinggi Angina refrakter
Gagal jantung akut
Aritmia ventrikel yang mengancam nyawa
Keadaan hemodinamik tidak stabil
Sumber: Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015

Tabel 6: Kriteria stratifikasi risiko tinggi untuk strategi invasif

Kelompok Risiko Tinggi Kriteria


Primer Kenaikan atau penurunan troponin yang relevan.
Perubahan gelombang T atau segmen ST yang
dinamis (simptomatik maupun tanpa gejala)
Sekunder Diabetes mellitus
Insufisiensi ginjal (eGFR <60
mL/menit/1,73m2)
Penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi
<40%)
Pasca infark baru
Riwayat IKP dalam 1 bulan
Riwayat CABG
Skor GRACE menengah hingga tinggi
Sumber: Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut PERKI 2015

Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan

dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

Nyeri dada tidak berulang

Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga

9)

Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)

Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

43
Terapi anti-iskemia dan analgesik

Oksigen dianjurkan bila saturasi O2 perifer < 90%

Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual dan dilanjutkan

dengan pemberian kontinu melalui intravena, manfaat nitrogliserin antara lain:

- Dilatasi arteri koroner

- Dilatasi sistem vena/ venodilator akan menurunkan preload volume

ventrikel dan tekanan baji arteri pulmonalis, sehingga berguna pada pasien

dengan kongesti pulmonal.

- Dilatasi arteri sistemik, mengurangi afterload sehingga konsumsi oksigen

turun

- Terminasi angina variant/angina prinzmetal/ angina vasospasme

- Meningkatkan aliran darah melalui kolateral

Pemberian nitrat bentuk apapun harus dihindari pada keadaan dibawah ini:

- Tekanan darah sistolik 90 mmHg atau penurunan tekanan > 30 mmHg

dari baseline. Hipotensi pada iskemia miokard dapat mengakibatkan

kerusakan miokard yang lebih luas.

- Dicurigai terdapat infark miokard ventrikel kanan

- Pasien masih dalam pengaruh penyekat diesterase inhibitor (seperti

sildenafil), karena dapat menyebabkan hipotensi berat.

- Kardiomiopati hipertropik dengan obstruksi alur keluar ventrikel

- Stenosis katup aorta yang berat

44
Dosis dan cara pemberian

- Sublingual nitrogliserin 0,4mg atau isosorbide dinitrat (ISDN) 5mg setiap

5 menit

- Nitrogliserin intravena digunakan bila angina tidak teratasi dengan

pemberian sublingual. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5

mcg/menit ditingkatkan secara titrasi sebesar 5mcg/menit setiap 3-5 menit.

Bila tidak ada respons pada dosis 20 mcg/menit dapat ditingkatkan dengan

sebesar 10-20 mcg/menit hingga dosis maksimal 400mcg/menit. ISDN

diberikan dengan dosis awal 1 mg/jam ditingkatkan secara titrasi sebesar 1

mg/jam setiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 10 mg/jam.

Morfin diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis awal

2-4 mg, dapat ditingkatkan hingga 8 mg dan diulang setiap 5-15 menit. Namun

efek samping depresi nafas harus di antisipasi pada dosis tinggi.

Penyekat beta secara kompetitif menghambat efek katekolamin terhadap

miokard dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan

darah, sehingga konsumsi oksigen oleh miokard menurun (Rilantono, 2015).

Agen Antiplatelet

Peran aktivasi dan agregasi platelet sangat besar pada propagasi trombus,

sehingga merupakan target utama pada penanganan pasien SKA. Pemberian

antiplatelet harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi risiko komplikasi

iskemia akut dan kejadian aterotrombosis berulang.

Saat ini ada tiga kelas antiplatelet, yaitu:

- Penghambat Siklo oksigenase (COX 1): Aspirin

45
- Penyekat reseptor P2Y12: Clopidogrel, Prasugrel dan Ticagrelor

- Penyekat reseptor GPIIBIIIA: (Abxicimab, eptifibatide, dan tirofiban)

Rekomendasi penggunaan Antiplatelet pada pasien dengan APTS dan

NSTEMI:

Semua pasien tanpa kontraindikasi, dosis awal 150-300 mg dan dosis

pemeliharaan 75-100mg untuk jangka panjang.

Penyekat reseptor P2Y12 diberikan secepatnya dan diberikan untuk 12 bulan,

kecuali ada kontraindikasi, seperti perdarahan.

Penyekat pompa proton (PPI) dikombinasikan dengan pemberian dual

antiplatelet (DAPT) pada pasien dengan riwayat perdarahan gastrointestinal.

Pemberhentian penyekat reseptor P2Y12 sebelum 12 bulan sejak kejadian

ACS, perlu di hindari kecuali ada indikasi klinis.

Ticagrelor (loading 18 mg, dosis pemeliharaan 2 x 90 mg) untuk semua pasien

dengan risiko sedang dan berat (peningkatan enzim petanda jantung)

Prasugrel* (loading 60 mg, dosis pemeliharaan 1 x 10 mg) pada pasien yang

anatomi koroner telah diketahui dan dilakukan PCI, kecuali mempunyai faktor

risiko untuk terjadi perdarahan masif dan kontraindikasi lainya. *Saat artikel

ini ditulis Prasugrel tidak tersedia di Indonesia.

Clopidogrel (loading 300mg, dosis pemeliharaan 1 x 75mg) untuk pasien yang

tidak mendapatkan ticagrelor dan prasugrel.

Loading clopidogrel 600mg dianjurkan untuk pasien yang menjalani strategi

invasif dan tidak mendapat ticagrelor dan prasugrel.

46
Pada pasien dengan penyekat reseptor P2Y12 dan perlu menjalani operasi

mayor (termasuk coronary arterial bypass graft, CABG), bila memungkinkan

ditunda selama 5 hari (clopidogrel dan ticagrelor) atau 7 hari (prasugrel).

Kombinasi aspirin dengan NSAID tidak dianjurkan (Rilantono, 2015).

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor

glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik

dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein

IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan

risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko

perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin

sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang

diterapi secara konservatif (Kelas III-A) (PERKI, 2015).

Antikoagulan

Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya.

Banyak studi telah memnbuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet

sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat trombosis. Kombinasi

kedua agen akan lebih efektif dari pada hanya pemberian salah satu agen saja.

Ada beberapa macam antikoagulan, yaitu:

- Penghambat thrombin indirek unfractionated heparin (UFH), low

molecular weight heparin (LMWH)

- Penghambat faktor Xa indirek: LMWH dna Fondaparinux

47
- Penghambat faktor Xa direk: Bivalirudin

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.

1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan

terapi antiplatelet (Kelas I-A).

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan

berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).

3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko

yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara

subkutan (Kelas I-A).

4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan

bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang

mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas

I-B).

5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko

perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin

berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)

diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-

C).

48
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu

dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).

8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Tabel 7: Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

JENIS DOSIS
Fondaparinux 2,5 mg subkutan
Enoxaparin 1 mg/kg, dua kali sehari
Unfractionated Heparin (UFH) Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal
4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam
dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2 2 x kontrol
Sumber: Pedomana tatalaksana Sindrom Koroner Akut PERKI, 2015

Revaskularisasi Koroner

Pasien dengan NSTEMI mempunyai spektrum yang luas dan heterogen

mulai dari risiko rendah hingga risiko tinggi; sehingga stratifikasi risiko menjadi

penting. Pada pasien dengan risiko rendah pendekatan terbaik dengan

medikamentosa (strategi konservatif). Namun pada pasien dengan risiko tinggi

mengalami kematian dan kejadian kardiovaskular, pemeriksaan angiografi

koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi (strategi invasif) telah terbukti

mengatasi simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis.

Penilaian stratifikasi risiko menjadi bagian penting untuk menentukan strategi

yang optimal untuk setiap pasien.

49
Pasien dinyatakan berisiko sangat tinggi dan membutuhkan pendekatan

invasif mendesak (dalam 2 jam), bila ditemukan salah satu tanda dibawah ini:

- Angina pektoris yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa

- Gagal jantung yang berat

- Instabilitas hemodinamik

- Aritmia ventrikular maligna

Metode revaskularisasi yang dipilih antara metode PCI (percutaneous coronary

intervention) dan metode bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft,

CABG) tergantung banyak faktor, yaitu: kondisi pasien adanya gambaran risiko

tinggi, penyakit komorbid dan berat serta banyaknya lesi berdasarkan hasil

angiografi koroner (Rilantono, 2015).

Sekitar setengah pasien NSTEMI memperlihatkan hasil angiografi koroner

penyempitan pada satu pembuluh darah (lesi culprit). Pada keadaan ini

angiografi dilanjutkan dengan tindakan PCI menggunakan stent. Namun, 50%

dari pasien NSTEMI memperlihatkan penyempitan arteri koroner yang multiple,

sehingga keputusan untuk menggunakan metode revaskularisasi PCI atau CABG

menjadi lebih kompleks.

Intervensi Koroner Perkutan (PCI)

Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya menggunakan stent/ cincin

untuk mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba (abrupt closer) dan penyempitan

kembali. Tipe cincin dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: stent bersalut obat

(DES: drug eluting stent) dan cincin tanpa salutan obat (BMS: bare metal stent).

50
Drug eluting stent lebih unggul dalam menurunkan kejadian restenosis,

namun memerlukan dual antiplatelet (DAPT), yaitu aspirin dan penghambat

P2Y12 selama minimal 12 bulan. Penghentian DAPT secara prematur

meningkatkan risiko in stent trombosis dengan manifestasi SKA. Kejadian

restenosis lebih tinggi pada penggunaan BMS, DAPAT dapat diberikan minimal 1

bulan. Pemilihan tipe cincin hendaknya mempertimbangkan kepatuhan pasien

minum DAPT jangka panjang dan memungkinkan untuk menggunakan DAPT

selama 12 bulan (tidak ada riwayat perdarahan gastrointestinal atau tidak

membutuhkan operasi mayor lainnya).

intervensi Bedah: Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Pemilihan waktu untuk CABG dipertimbangkan berdasarkan simptom,

hemodinamik, anatomi koroner dan iskemia. Seperti diuraikan terdahulu,

menekan proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan antikoagulan,

sehingga bila pasien menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi

perioperatif lebih tinggi. Secara umum bila memungkinkan, CABG dilakukan

setelah minimal 48-72 jam (Rilantono, 2015).

51
Gambar 5: Alogaritme penanganan SKA

Sumber: Pedomana Tatalaksana Sindrom Koroner Akut PERKI, 2015

2.5.2 Infark Miokard Dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)

STEMI merupakan bagian dari spektrum SKA yang menggambarkan cedera

miokard transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus. Bila tidak

dilakukan revaskularisasi segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang

berhubungan linear dengan waktu. Maka dikenallah paradigma time is mucle,

yang berarti bila tidak dilakukan reperfusi segera, maka otot jantung tidak akan

bisa diselamatkan. Paradigma ini menekankan perlunya reperfusi sedini mungkin.

52
Pasien yang datang dengan STEMI biasanya memiliki riwayat angina atau

penyakit jantung koroner, usia lanjut dan kebanyakan laki-laki. Kejadian sebagian

besar timbul pada pagi hari, berhubungan dengan aktivitas neurohormonal dan

sistem saraf simpatis.

Presentasi klinis STEMI beragam, namun biasanya timbul tiba-tiba nyeri

dada prekordial atau sesak nafas. Pasien baisanya menggambarkan sebagai sensasi

dihimpit, diremas atau ditekan, di retrosternal, dengan atau tanpa penjalaran ke

leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri dada umumnya cukup hebat

sehingga terjadi aktivasi simpatis berupa mual, muntah dan keringat dingin.

Dokter harus waspada pada beberapa pasien dengan gejala atipikal seperti nyeri

pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkop atau aritmia. Pasien dengan

elevasi segmen ST tanpa gejala, harus dicurigai sebab lain elevasi ST selain

cedera miokard. Kematian sebagian besar terjadi pada jam-jam pertama setelah

STEMI, oleh karena gangguan irama ventrikular fibrilasi; kejadian ini sering

terjadi sebelum pasien mencapai fasilitas kesehatan. Tanpa adanya defibrilator

maka peluang untuk mengembalikan ke sirkulasi spontan sangat kecil (Rilantono,

2015).

2.5.2.1 Diagnosis Banding

Terdapat tiga tipe utama diagnosis banding STEMI. Pertama, ada beberapa

masalah yang dapat menimbulkan STEMI sebagai kondisi komorbid, sebagai

contoh diseksi aorta akut dimana flap diseksi meluas ke pembuluh darah koroner

kiri yang utama atau lebih sering koroner kanan. Kelompok kedua terdapat

53
kondisi dengan EKG mencurigakan namun bukan STEMI seperti perikarditis

akut, dengan elevasi ST difus dan depresi PR menyerupai STEMI. Akhirnya, ada

kondisi yang menimbulkan nyeri dada tanpa iskemia miokardial, seperti emboli

paru. Anamnesis penting untuk diagnosa yang akurat.

Tabel 8: Diagnosis Banding Infark Miokard dengan ST elevasi

Kondisi dengan Kondisi dengan elevasi Kondisi dengan nyeri


komorbid iskemik ST tanpa iskemia dada tapi tanpa
koroner iskemia
Diseksi Aorta akut Repolarisasi awal Diseksi aorta akut
Emboli Arteri sistemik Hipertrofi ventrikel kiri Mioperikarditis
Atrial fibrilasi LBBB Pleuritis
Endokarditis Hiperkalemia Emboli paru
Foramen ovale paten Sindrom brugada Kostokondritis
Krisis hipertensi Gangguan
Stenosis Aorta gastrointestinal :
Penggunaan kokain Reflux esofagitis
Arteritis Spasme esofaeal
Gastritis
kolesistitis
Sumber: Rilantono, 2015

EKG 12 Sadapan

Pemeriksaan EKG 12 sadapan sangat penting untuk pengenalan STEMI,

LBBB baru pada kondisi klinis yang sama dapat dianggap setara. Elevasi ST

menunjukkan berapa milimeter lebih besar voltase pada segmen ST dibandingkan

segmen TP. EKG yang diagnostik dipertimbangkan pada elevasi segmen ST 1

54
mm pada dua atau lebih sadapan ekstremitas dan prekordial bersebelahan sesuai

dengan regio dinding ventrikelnya (Rilantono, 2015).

Tabel 9: Hubungan antara sadapan yang terlibat dengan area at risk

Sadapan Area at risk


V1 V2 Septal
V3 V4 Anterior
V1 V4 Anteroseptal
V5 V6 Lateral
V1 V6 Anterolateral (Anterior luas)
II, III, AVF Inferior
V3R, V4R Ventrikel kanan
V7 V9 Posterior
Sumber: Pakpahan H, 2012

Perlu diingat EKG pada pasien dengan STEMI merupakan EKG yang

berevolusi berawal dari suatu cidera dengan gambaran EKG pada jam pertama

hiperakut T diikuti dengan elevasi segmen ST. Kemudian dalam 2-8 jam ST

elevasi akan semakin tinggi disertai inversi gelombang T dan terbentuknya

gelombang Q bersamaan dengan penurunan amplitudo QRS (Rilantono, 2015).

55
Gambar 5: Evolusi STEMI
Sumber: http://www.medicinesia.com/wp-content/uploads/2013/11/Evolusi-EKG-
pada-STEMI.png, diakses tanggal 29 April 2017

2.5.2.2 Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan

untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi

segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)

baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila

terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,

bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan

perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap

pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki

fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan

waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit

tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih

dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai

diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP

(PERKI, 2015).

56
Intervensi koroner perkutan primer

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan

dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120

menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien

dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila

diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang

dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan

angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP

secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan

gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum

diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi

antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh

terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare

metal stents (BMS) (PERKI, 2015).

Sekitar 50% kasus STEMI mempunyai penyempitan lebih dari satu arteri

koroner (multivessel). Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan

pada lesi culprit, yaitu lesi di arteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada

syok kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk diintervensi.

Kelebihan PCI primer, dapat mengidentifikasi lesi culprit terkait infark dan

anatomi koroner yang lainnya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan

stent, guna menurunkan kejadian trombosis.

Rescue PCI, angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi dilakukan

segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil. Rescue PCI dilakukan bila

57
terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis (nyeri dada berulang atau perubahan

segmen ST) atau kapasitas latihan rendah atau stress test farmakologi

memperlihatkan tanda-tanda iskemia (Rilantono, 2015).

Terapi Bedah

Tindahkan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi awal

dan segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun, setelah upaya awal dengan

PCI atau reperfusi fibrinolitik telah dilakukan, nyeri dada menetap/berulang, atau

anatomi koroner risiko tinggi (stenosis left-main atau triple-vessel disease pada

diabetes) atau terjadi komplikasi mekanis (ruptur septum ventrikel, ruptur

muskulus papilaris) intervensi bedah patut dipertimbangkan. Pada kondisi seperti

ini, sebaiknya menunggu paling sedikit 24 jam setelah STEMI dan setelah

hemodinamik stabil. Topangan mekanik dengan intra-aortic-ballon pump (IABP)

dibutuhkan sebagai jembatan unutk pembedahan pada kasus nyeri dada menetap ,

aritmia, dan hemodinamik tidak stabil (Rilantono, 2015).

Terapi Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik diketahui bermanfaat, tetapi juga mengandung risiko.

Terapi ini juga mengubah konsep tatalaksana SKA dengan elevasi ST dalam 3 hal

yaitu:

1. Terapi fibrinolitik menjadi fokus utama

2. Keputusan untuk fibrinolisis tergantung kepada ketepatan diagnosis

IMA di instalasi gawat darurat (IGD), karena harus ditimbang manfaat

dan risikonya dengan memperhatikan kontraindikasi fibrinolisis

58
3. Karena manfaat fibrinolisis menurun bila terlambat diberikan,

penekanan terhadap waktu mempengaruhi pengambulan keputusan

oleh dokter di IGD.

De Wood et al tahun 1980 dalam penelitiannya membuktikan bahwa, agen

trombolitik yang diberikan pada IMA dapat menurunkan mortalitas. Pada

penelitian ini, total oklusi trombus koroner ditemukan pada 87% dari 126 pasien

yang menjalani angiografi koroner 4 jam setelah timbulnya simptom IMA. Ini

adalah penelitian klinis pertama yang membuktikan trombosis koroner sebagai

penyebab kejadian IMA, sehingga obat trombolitik bisa memegang peranan dalam

terapi IMA.

Obat Fibrinolitilk ada 2 jenis, yaitu:

Fibrin non spesifik: Streptokinasi (SK) enzim ini diproduksi oleh

beberapa strain Streptokokus Hemolitikus dan mengandung asam amino

Fibrin spesifik: Alteplase ( tPA) merupakan produk sintetis

Streptokinase merupakan fibrinolitik yang terluas dipakai di dunia, dan juga yang

termurah (Rilantono, 2015).

Cara pemberian dan dosis:

Streptokinase (SK): 1,5 juta unit dilarutkan dalam 100 ml D5% atau NaCl

0,9% diberikan selama 30-60 menit, tanpa heparin

atau dengan heparin I.V selama 24-48 jam.

59
Alteplase (tPA) : 15 mg I.V bolus dilanjutkan 0,75 mg/kgBB selama 30

menit, kemudian 0,5 mg/kgBB selama 60 menit.

Dosis total tidak boleh melebihi 100 mg. Diberikan

dengan heparin 24-48 jam I.V.

Gambar 6: Langkah-langkah reperfusi


Sumber: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut PERKI, 2015.

60
Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam

dengan tanda dan gejala iskemik)

Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis

Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang

mampu melakukan IKP (< 120 menit)

Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi

invasif untuk kasus tersebut Bila pasien < 3 jam sejak serangan dan IKP dapat

dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.

Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat

halangan untuk strategi invasif

Strategi invasif tidak dapat dilakukan

Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai

Kesulitan mendapatkan akses vaskular

Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu

melakukan IKP dalam waktu <120 menit

Halangan untuk strategi invasif

Transportasi bermasalah

Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit

Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih

dari 90 menit

61
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:

Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan

Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang

dari 90 menit

Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam

Risiko tinggi STEMI

Syok kardiogenik

Kelas Killip 3

Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan

dan perdarahan intrakranial

Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala

Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tabel 10: Indikasi Kontra Terapi Fibrinolitik

INDIKASI KONTRA ABSOLUT INDIKASI KONTRA RELATIF


Stroke hemoragik atau stroke yang Transient ischemic attack (TIA) dalam
penyebabnya belum diketahui, dengan 6 bulan terakhir
awitan kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1 minggu post
neoplasma partum
Trauma operasi/trauma kepala yang Tempat tusukan yang tidak dapat
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi

Perdarahan saluran cerna dalam 1 Resusitasi traumatik


bulan terakhir
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
Sumber: Pedoman Tatalaksan Sindrom Koroner Akut PERKI, 2015.

62
2.5.3 Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik akibat depresi

indeks jantung berat (< 2,2 [L/menit]/m2) dan hipotensi arteri sistolik terus

menerus (< 90mmHg) meskipun terjadi peningkatan tekanan pengisian (tekanan

baji kapiler pulmonal [pulmonary capillary wedge pressure, PCWP] >18 mmHg).

Kegagalan sirkulasi yang disebabkan disfungsi jantung dapat disebabkan oleh

gagal miokardium primer, paling sering disebabkan oleh infark miokardium akut

dan jarang oleh kardiomiopati atau miokarditis, tamponade jantung atau penyakit

jantung katup kritis (Loscalzo J, 2016).

2.5.3.1 Patofisiologi

Syok kardiogenik ditandai dengan lingkaran setan: pada kondisi ini,

depresi kontraktilitas miokardium, biasanya akibat iskemia, menyebabkan

penurunan curah jantung dan tekanan darah, sehingga miokardium mengalami

hipoperfusi dan selanjutnya memperparah iskemia serta depresi curah jantung.

Disfungsi sistolik miokardium menurunkan volume sekuncup dan bersama-sama

dengan disfungsi diastolik, menyebabkan peningkatan tekanan diastolik akhir

ventrikel kiri dan PCWP serta kongesti paru. Penurunan perfusi koroner

memperburuk iskemia dan disfungsi miokardium progresif sehingga menurunkan

kerja jantung secara drastis, yang jika tidak tertangani, sering berakibat fatal.

Sindrom respons peradangan sistemik dapat menyertai infark luas dan syok.

Sitokin inflamatoris, nitrogen monoksida sintase yang dapat diinduksi, dan

kelebihan nitrogen monoksida serta peroksinitrit mungkin berperan dalam

63
terjadinya syok kardiogenik sama seperti yang terjadi pada bentuk lain. Asidosis

latat akibat perfusi jaringan yang buruk dan hipoksemia akibat edema paru dapat

disebabkan oleh kegagalan pompa dan berperan dalam lingkaran setan dengan

memperburuk iskemia miokardium dan hipotensi. Asidosis berat (pH <7,25)

mengurangi efektivitas katekolamin endogen dan yang diberikan secara eksogen.

Takiaritmia atrium atau ventrikel kronis yang refrakter dapat menyebabkan atau

mengeksaserbasi syok kardiogenik.

Gambar 7: Patofisiologi Syok Kardiogenik


Sumber: Loscalzo J, 2016 dalam http://anakfk.weebly.com/cardiogenic-
shock.html, diakses tanggal 30 April 2017

64
2.5.3.2 Gejala Klinis

Sebagian besar pasien mengalami nyeri dada berkelanjutan dan dispneu

seta tampak pucat, gelisah dan diaforetik. Kondisi mental dapat terganggu,

disertai somnolen, kebingungan, dan agitasi. Denyut jantung biasanya lemah dan

cepat, sering berkisar 90-110x/menit, atau terjadi bradikardia berat akibat blokade

jantung tingkat tinggi. Tekanan darah sistolik menurun (< 90 mmHg) dengan

tekanan nadi sempit (< 30 mmHg), tetapi kadang-kadang tekanan darah dapat

dipertahankan jika resistensi vaskular sistemik sangat tinggi. Takipneu,

pernapasan Cheyne-Stokes, dan distensi vena jugularis dapat terjadi. S1 biasanya

pelan, dan gallop S3 dapat terdengar. Ronki dapat didengar pada sebagian besar

pasien dengan gagal LV yang menyebabkan syok kardiogenik. Oligouria (output

urin < 30 ml/jam) sering terjadi (Loscalzo, 2016).

2.5.3.3 Penatalaksanaan

Pada syok kardiogenik (TD sistolik < 100 mmHg), pemberian furosemid

dan nitrat adalah kontraindikasi. Dalam kondisi demikian, maka obat pilihan

adalah inotropik per intravenous yaitu dobutamin dan dopamin yang mampu

meningkatkan cardiac output. Perlu ditekankan disini bahwa indikasi kedua obat

ini adalah syok kardiogenik dan bukan pada pasien hipotensi. Dopamin dan

dobutamin adalah obat athrenergik yang sebaiknya diberikan pada dosis sekecil

mungkin dan dalam waktu sesingkat mungkin.

65
Dobutamin

Dobutamin adalah derivat isoprenalin (agonis adrenoseptor-). Obat ini

merupakan obat inotropik prioritas pertama untuk diberikan pada penderita syok

kardiogenik akibat infark miokard.

Dobutamin hidriklorida diberikan secara infus (dilarutkan dalam glukosa

5% atau NaCl 0,9%) dengan dosis 2,5-5 g/ KgBB/ menit meningkatkan cardiac

index dan menurunkan PCWP. Apabila dosis dobutamin sudah mencapai 5

g/KgBB/menit belum terjadi perbaikan hemodinamik, maka sebaiknya

dikombinasi dengan dopamin mulai dosis 2,5 g/KgBB/menit dan ditingkatkan

sampai 5 g/KgBB/menit. Pemberian dobutamin > 5g/KgBB/menit harus hati-

hati karena pada dosis ini terjadi penurunan tahanan sistemik yang dapat

menyebabkan refleks takikardi yang memperburuk prognosis.

Karena dobutamin adalah simpatomimetik sehingga meningkatkan

automatisasi dan kecepatan konduksi. Maka kontra-indikasi pemberian obat ini

pada penderita hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOM), fibrilasi atrium

respon cepat, hipertensi dan ibu hamil.

Dopamin

Infus dopamin dosis rendah (2 5 g/KgBB/menit) hanya merangsang

reseptor dopamin (DA) di ginjal meningkatkan diuresis, dosis sedang (5 10

g/KgBB/menit) merangsang adrenoseptor-1 sedangkan dosis > 10 g/KgBB/

menit mempengaruhi adrenoseptor- menyebabkan vasokonstriksi. Dengan

66
demikian dopamin dosis rendah merupakan inotropik pilihan pada syok

kardiogenik akibat infark miokard akut, karena efek diuresis pada dosis ini

menurunkan preload, menurunkan wall stress, memperbaiki perfusi miokard yang

akhirnya meningkatkan kontraktilitas miokard.

Dosis dopamin sebaiknya tidak > 5 g/KgBB/menit. Apabila pada dosis

ini belum ada perbaikan, maka dianjurkan kombinasi bersama dobutamin.

Pemberian dosis rendah selama 2 3 hari biasanya cukup aman dengan ketentuan

bahwa volume darah yang beredar tetap adekuat, dan penderita tidak berada

dalam keadaan syok hipovolemik. Obat ini harus diberhentikan secara bertahap

untuk mencegah hipotensi.

Dopamin adalah precursor intermediate dari noradrenaline, maka

pemberiannya di kontra-indikasikan pada penderita feokromasitoma, tiroksikosis,

aritmia, dan pada penyakit-penyakit perivaskular terlebih bila ada tanda-tanda

gangren. Karena dopamin sangat iritatif, maka infus dopamin harus dilakukan

melalui central line.

67
Gambar 8: Skema Penanganan Syok Kardiogenik

Sumber: Loscalzo, 2016 dalam http://documents.tips/documents/referat-syok-


kardiogenik.html, diakses 2 Mei 2017

2.5.4 Gagal Jantung

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang

pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang

tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda

retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif

dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat (PERKI, 2015).

Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai:

Gagal jantung akut

68
Gagal jantung menahun

Acute on Chronic Heart Failure

Tabel 11: Manifestasi Klinis Gagal Jantung

GEJALA TANDA
TIPIKAL SPESIFIK
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal dyspnoe - Suara jantung S3 (gallop)
- Toleransi aktifitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke lateral
- Cepat lelah - Bising jantung
- Begkak di pergelangan kaki
KURANG TIPIKAL KURANG TIPIKAL

- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer


- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah > 2 - Suara pekak di basal paru pada
kg/minggu perkusi
- Berat badan turun (gagal jantung - Takikardia
stadium lanjut) - Nadi ireguler
- Perasaan kembung/ begah - Nafas cepat
- Nafsu makan menurun - Heaptomegali
- Perasaan bingung (terutama pasien - Asites
usia lanjut) - Kaheksia
- Depresi
- Berdebar
- Pingsan
Sumber: Pedoman Tatalaksan Gagal Jantung PERKI, 2015

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan

gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.

69
Tabel 12: Klasifikasi Gagal Jantung Menurut AHA (American Heart

Association) dan NYHA (New York Heart Association)

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas


struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
Tidak terdapat gangguan struktural fisik sehari-hari tidak menimbulkan
atau fungsional jantung, tidak terdapat kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
tanda atau gejala
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
struktural jantung yang mendasari tetapi aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktifitasfisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna saat istrahat walaupun istrahat. Keluhan meningkat saat
sudah mendapat terapi medis melakukan aktifitas
maksimal (refrakter)
Sumber: Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung PERKI, 2015.

Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya gejala sesak napas

secara cepat (< 24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik

atau diastolik atau irama jantung atau kelebihan beban awal (preload), beban

akhir (afterload), atau kontraktilitas dan keadaan ini dapat mengancam jiwa bila

tidak ditangani dengan tepat (Rilantono, 2015).

70
Beberapa terminologi yang telah digunakan sebagai istilah acute heart

failure pada referensi adalah Acute Heart Failure Syndrome (AHFSs),

Acute(ly) Decompensated Heart Failure (ADHF), Acute Decompensation of

Chronic Heart Failure (ADCHF), Hospilatization for Heart Failure (HHF)

(Felker et all, 2015).

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute

Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute

decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.

Tabel 13: Gejala dan Tanda Acute Decompensated Heart Failure

Volume Overload
- Dispneu saat melakukan kegiatan
- Orthopnea
- Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
- Ronchi
- Cepat kenyang
- Mual dan muntah
- Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali
- Distensi vena jugular
- Reflex hepatojugular
- Asites
- Edema perifer

Hipoperfusi
- Kelelahan
- Perubahan status mental
- Penyempitan tekanan nadi
- Hipotensi
- Ekstremitas dingin
- Perburukan fungsi ginjal

Sumber: www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.

71
Tatalaksana Acute Decompensated Heart Failure

Gambar 9: Alogaritma Penatalakanaan ADHF

Sumber: www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.

72
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pasien Tn.AD mengalami nyeri dada tipikal yang dialami os 6 jam

sebelum masuk rumah sakit. Pada gambaran EKG: Q Patologis V1-V3,

kesan OMI Anteroseptal. Faktor risiko riwayat merokok sejak remaja

sebanyak 1-2 bungkus/hari. Pasien di diagnosis dengan PJK/OMI

Anteroseptal.

Pada hari-2 os dirawat, pemeriksaan TD 80/60mmHg, nyeri dada masih

dirasakan os, sesak napas. Pasien didiagnosis mengalami syok

kardiogenik. Akibat dari infark miokard, sehingga menyebabkan

penurunan curah jantung dan terjadi hipoperfusi. Maka diberikan terapi

dopamin dan dobutamin.

Os juga didiagnosis dengan acute decompensated heart failure disebabkan

oleh gejala yang dialami os yaitu sesak napas. Selama perawatan os juga

tidur dengan posisi 450. Maka terapai yang diberikan Furosemide jika TD

> 100mmHg, Digoxin.

3.2. Kritik

Tidak terdapat mesin EKG di setiap ruang perawatan (RPP, RPW).

Adapun kondisi mesin EKG yang diruangan mengalami kerusakan, kertas

EKG yang habis, elektroda rusak.

73
Obat-obat kardiovaskuler tidak tersedia di apotik rumah sakit, sehingga

pasien dianjurkan untuk membeli obat diluar apotik rumah sakit. Hal ini

menyebabkan waktu pemberian obat lebih lama, sehingga memperburuk

kondisi dan prognosis pasien.

Fasilitas Cath-Lab (Laboratorium Kateterisasi), dokter ahli (Sp.JP),

perawat kardiovaskuler, radiografer tidak tersedia sehingga tidak dapat

dilakukan terapi invasif pada pasien sindrom koroner akut.

IGD RSUD Abepura tidak mencantumkan lembaran status (follow up)

pasien Tn.AD ke status map kuning, padahal pasien Tn.AD telah dirawat 3

hari di ruang IGD. Sehingga data perjalanan penyakit dan terjadinya syok

tidak lengkap.

3.3 Saran

Penyediaan fasilitas EKG disetiap ruangan perawatan, sehingga

mempermudah dalam melakukan pemeriksaan EKG secara berkala.

Penyediaan fasilitas pemeriksaan enzim jantung (CK-MB, Troponin I)

Pelatihan dan kursus EKG pada dokter dan perawat terutama yang

bertugas pada bagian gawat darurat sehingga dokter dapat melalukan

diagnostik dengan pembacaan EKG.

Penyediaan Angiografi Koroner (Cath-Lab), dokter ahli, perawat

kardiovaskuler dan radiografer sehingga dapat melakukan diagnostik dan

terapi invasif pada kasus-kasus kardiovaskuler.

Penyediaan obat-obat kardiovaskuler seperti Fibrinolitik (Streptokinase,

Alteplase), ISDN Injeksi, Amiodaron injeksi dll.

74

Anda mungkin juga menyukai