Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Congestive Heart Failure Fc III dan Nonvalvular Atrial Fibrilasi-


Normoventrikular respon

Disusun Oleh:
Mario Hedianto Tedjo
I11111033

Pembimbing:
Letkol (CKM) dr. Prihati Pujowaskito, Sp. JP (K), MMRS

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG


RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:


Congestive Heart Failure Fc III dan Nonvalvular Atrial Fibrilasi-
Normoventrikular respon
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, 17 Maret 2017
Pembimbing Penulis

dr. Prihati Pujowaskito, Sp. JP (K), MMRS Mario Hedianto Tedjo

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

Nama Penderita : Ny. K.


Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Jabatan/Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Jln. Cibeber RT/RW 01/02 Giri Asih
Ruang : Ruang III
Tanggal MRS : 13/03/2017

1.1. Anamnesa
Keluhan Utama:
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak yang mulai dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu. Keluhan sesak dirasakan terutama ketika pasien beraktivitas seperti berjalan ke
kamar mandi, dan keluhan sesak berkurang ketika pasien beristirahat. Pasien
mengatakan biasa tidur malam menggunakan 2 bantal. Pasien juga mengatakan
pernah terbangun karena sesak pada malam hari ketika sedang tidur. Keluhan sesak
tidak dipengaruhi oleh udara dingin. Keluhan sesak disertai dengan rasa tidak nyaman
di dada seperti ditimpa benda berat, keluhan tersebut dirasakan tidak menjalar.
Keluhan rasa tidak nyaman didada dirasakan 10 menit, diperberat ketika beraktivitas
dan diperingan ketikan pasien beristirahat. Keluhan berdebar (-), pusing (-), nyeri ulu
hati (-), mual (-), muntah (-), demam (-).

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit jantung dan hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, hipertensi
tidak terkontrol, riwayat diabetes mellitus, asma, stroke atau kolesterol disangkal.
Riwayat nyeri sendi (+).
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes, atau stroke pada keluarga
disangkal.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien mengaku jarang mengonsumsi makanan-makanan bersantan maupun
berlemak tinggi. Pasien tidak memiliki riwayat merokok. Pasien mengaku jarang
beraktivitas fisik.

1.2. Pemeriksaan Fisik


1.2.1.Status Generalis
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15: E4M6V5)
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 164 cm
IMT : 20,08 kg/m2

Tanda-tanda vital IGD


Tekanan darah 140/90 mmHg
Denyut nadi 88 x/menit, irreguler
RR 25 x/menit
T 36,5 oC
SpO2 97%

4
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), diameter 3 mm/3 mm, reflex cahaya langsung (+/+),
reflex cahaya tak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-), aurikula hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-),mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-)
Hidung : Sekret (-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-/-), tonsil T1/T1hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), hepatojugular reflex (-), JVP 5+2
cmH2O
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis,retraksi(-)
Palpasi : Fremitus taktil paru kanan dan kiri sama, massa (-), nyeri
tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, trhill (-)
Perkusi : Batas jantung atas pada ICS II linea parasternalis sinistra,
batas jantung kanan pada ICS V linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri pada ICS VI linea axillaris anterior
Auskultasi : SI/SII irreguler, murmur (-), gallop (-), ekstrasistol (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 8 kali per menit
Palpasi : Soepel, massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba

5
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat, pitting edem pada tungkai +/+, CRT <2 detik

Skor Farmingham untuk pasien ini :

Kriteria mayor Kriteria minor


Paroxysmal nocturnal dyspneu (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi vena leher (-) Batuk malam hari (-)
Ronkhi paru (-) Dispneu on effort (+)
Kardiomegali (+) Hepatomegali (-)
Edema paru akut (-) Efusi pleura (-)
Gallop S3 (-) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal (-)
Peninggian tekanan vena jugularis (-) Takikardi (>120 x/menit) (-)
Refluks hepatojugular (-)

CHA2DS2-VASc
CHA2DS2-VASc Skor
Gagal jantung kongestif 1
Hipertensi 1
Umur 75 tahun 0
Diabetes Mellitus 0
Stroke/TIA/TE 0
Penyakit vaskular (Riwayat MI, PAD, atau aortic plaque) 0
Umur 65-74 tahun 0
Jenis kelamin perempuan 1
Skor total 3

6
HAS-BLED
HAS-BLED Skor
Hipertensi ( Tekanan Darah Sistolik > 160 mmHg) 0
Fungsi ginjal dan hepar yang abnormal (masing-masing 1 poin) 0
Stroke 0
Kemungkinan perdarahan/predisposisi 0
Labile INRs (jika dalam konsumsi warfarin) 0
Usia lanjut ( umur >65 tahun) 0
Penggunaan obat-obatan dan alkohol (masing-masing 1 poin) 0
Skor total 0

1.2.2.Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (14/03/2017)
Hemoglobin : 13.5g/dL
Leukosit : 7.900/L
Eritrosit : 4.6 x 106/L
Hematokrit : 39.7 %
Trombosit : 290.000/L

Kimia Klinik (14/03/2017)


GDS : 91 mg/dL
Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 3.40 mmol/L
Klorida : 103 mmol/L
Ureum : 61 mg/dL
Creatinin : 0.6 mg/dL
Asam urat : 4.9 mg/d

7
Elektrokardiografi

Irama : Atrial
Frekuensi : 90x/menit, irreguler
Axis : Normoaxis
Kelainan gelombang :
Gelombang P tidak jelas/(-)
Kesimpulan: Atrial Fibrilasi, Normo Ventrikular Respon

8
1.2.3.Saran Pemeriksaan Penunjang
Echocardiography
BNP
Fungsi tiroid

1.2.4.Resume
Perempuan, usia 55 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 bulan
SMRS. Keluhan sesak dirasakan terutama ketika pasien beraktivitas seperti berjalan
ke kamar mandi, sesak nafas dirasakan berkurang saat pasien beristirahat.
Paroxsysmal Nocturnal Dispneu (+), dan ortopnea (+). Pasien memiliki riwayat
keluhan yang sama 6 tahun yang lalu, hipertensi (+) tapi jarang kontrol ke poli
jantung,.
Pasien datang dengan keadaan kompos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg,
frekuensi nadi 88x/menit irreguler (dalam batas normal), frekuensi nafas 25x/menit
(takipneu), dan saturasi oksigen 97%. Pada perkusi jantung didapatkan pergeseran
batas jantung kiri ke SIC V linea axilaris anterior sinistra dan ditemukan pula pada
pemeriksaan fisik, berupa pitting edem pada ekstremitas bawah.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin, didapatkan adanya leukositosis dan tanda-
tanda hemokonsentrasi serta adanya peningkatan kadar creatinin dan Troponin I
dalam darah. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya
tanda atrial fibrilasi.. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks pada tahun 2012
menunjukkan kardiomegali.

1.2.5.Diagnosis
Diagnosis klinis : CHF Fc III, Nonvalvular AF-NormoVR
Diagnosis anatomis : Kardiomegali
Diagnosis etiologi : Hipertensi

9
1.2.6.Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
Tirah baring (1/2 duduk) untuk membatasi kerja jantung
Diet rendah garam untuk mencegah retensi cairan yang dapat meningkatkan
beban preload
Edukasi penggunaan obat, kontrol ulang
Medikamentosa
O2 Nasal Canule 3-5 L/m
IV line
Kateter urin
Inj. Lasix 3x1 amp
P.O. Ramipril 1x5mg
P.O. Dabigatran (Pradaxa) 2x110mg
P.O. Spironolactone -0-0

1.2.7.Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

10
BAB II
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny. K, 55 tahun mengeluh sesak napas sejak 1 bulan SMRS,
sesak terutama dirasakan saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, dan sesak
napas dirasakan berkurang saat beristirahat. Keluhan dispnea atau sesak napas adalah
perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar.
Penyebab dari sesak nafas dapat dibagi menjadi 4 tipe. Tipe kardiak yaitu Gagal
jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard, kardiomiopati, disfungsi katup,
hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi asimetrik septum, pertikarditis, aritmia. Tipe
Pulmoner yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Asma, Penyakit paru restriksi,
Gangguan penyakit paru, herediter, pneumotoraks. Tipe Campuran kardiak dan
pulmoner yaitu PPOK dengan hipertensi, pulmoner, emboli paru kronik, trauma Tipe
Non kardiak dan non pulmoner yaitu Kondisi metabolik, nyeri, gangguan
neuromuskular, gangguan panik, hiperventilasi, psikogenik, gangguan asam basa,
gangguan di saluran pencernaan (reflux, spasme oesophagus, tukak peptik). 1,2,3
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan dan gagal jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan
kanan.4
Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu deffort, kelelahan, orthopnea,
paroksismal nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi derap
S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena pulmonalis.
Gagal jantung kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema, ascites,
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung kanan, irama
derap atrium kanan, murmur dan bunyi P2 mengeras, sedangkan gagal jantung
kongestif terjadi manifestasi gejala gabungan keduanya. 4

11
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan
pemeriksaan penunjang. Yang termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal
paroksismal atau orthopneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak
nyaring, kardiomegali, edema paru akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm
H2O dan refluks hepatojugular. Kriteria minor yakni: edema pergelangan kaki, batuk
pada malam hari, dispneu deffort, hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital
berkurang menjadi 1/3 maksimum dan takikardi (>120x/menit). Foto rontgen toraks
dapat mengarah ke kardiomegali dengan corakan bronkovaskuler yang meningkat. 4
Adanya sesak yang memberat/dipengaruhi saat beraktivitas merupakan ciri khas
dari gagal jantung kongestif (congestive heart failure; CHF) yang merupakan salah
satu dari kriteria minor Framingham criteria untuk CHF. Sesak yang timbul saat
beraktivitas diakibatkan adanya hipoksia jaringan sebagai akibat dari payahnya
pompa jantung untuk menyuplai kebutuhan oksigen jaringan. Oleh karena status
tersebut, tubuh melakukan kompensasi dengan mempercepat laju pernapasan dan
kemudian menyebabkan sesak pada pasien.
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
dispneu on effort, dispneu nokturnal paroksismal, ortopnea, takipneu, dan pitting
edema pada kedua ekstremitas. Dari berbagai temuan klinis ini, dapat ditegakkan
diagnosis gagal jantung kongestif karena kriteria Framingham yang biasa digunakan
sudah memenuhi syarat.
Edem pada tungkai dapat terjadi karena ekstravasasi cairan ke jaringan tubuh
diakibatkan adanya peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengakibatkan cairan bocor dan masuk ke dalam jaringan interstisial. Ortopnea
(sesak yang timbul apabila pasien berada dalam posisi datar/berbaring) disebabkan
adanya gaya fisika cairan yang terjadi di paru. Pada posisi berbaring, cairan akan
bergerak ke bawah oleh karena gaya gravitasi, sehingga akan semakin banyak luas
permukaan paru yang terhalang oleh cairan dan membuat pasien semakin sesak
dibandingkan saat pasien dalam posisi tegak/duduk.

12
Pembagian New York Heart Association berdasarkan fungsional jantung yaitu:
Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 3 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan
harus tirah baring.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan timbulnya sesak napas ketika melakukan
aktivitas sehari-hari berupa sesak timbul menuju kamar mandi. Dari keluhan tersebut
dapat diklasifikasikan dalam NYHA fungsional ke III.
Pada kasus ini, pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun. Hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya gagal jantung pada pasien. Hipertensi
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi perifer sehingga beban kerja jantung
menjadi bertambah dan apabila terjadi secara terus menerus, maka akan berujung
pada hipertrofi miokard.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan EKG. Hasil EKG menunjukkan
adanya irama atrial dengan frekuensi 90 x/menit irreguler, normoaxis, gelombang
p yang tidak ada, dan interval QRS yang masih dalam rentang normal (2 kotak kecil ~
0,08 mV). Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan berupa atrial fibrilation (AF)
dengan normo ventrikular respon.
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut
jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan
suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan
deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya
proses mekanik atau pompa darah jantung.5
AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan
abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal elektrik

13
yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa diakibatkan oleh
gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa gangguan dari keduanya.
Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan irama jantung dan peningkatan
denyut jantung. Secara umum, gangguan AF dapat dikatakan sebagai takikardi,
karena denyut jantung pada AF mencapai lebih dari 100x/menit. Takikardi sendiri
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu takikardi supraventrikuler dan takikardi
ventrikuler. AF merupakan takikardi supraventrikuler, dimana gangguan potensial
aksi ataupun konduksi berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi
nodus SA, nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih
disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran takikardi
supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler. 5,6
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol atium,
flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme terjadinya melalui
2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry. Pada aktivasi lokal lebih
didominasi karena adanya fokus ektopik pada vena pulmonalis superior, sedangkan
multiple wavelets reentry lebih cenderung disebabkan oleh pembesaran atrium,
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Selain itu,
sebenarnya masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak
jantung prematur, aktivitas saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan
peningkatan usia. 5,6
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan
ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan berpengaruh pada penurunan
cardiac output, karena kontraksi jantung tidak sempurna walaupun terjadi proses
depolarisasi yang berulang. Hilangnya koordinasi proses mekanik lebih disebabkan
karena cepat dan seringnya depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada
AF mempunyai sifat yang tidak sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga
tidak bisa maksimal. Selain itu, peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada
atrium akan direspon secara fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan denyut

14
jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan potensial aksi pada atrium
yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut pada ventrikel. Penurunan
denyut pada ventrikel terjadi karena proses fisiologis yang diperankan oleh sistem
nodus AV. Nodus AV akan memperantarai proses ini dengan meningkatkan kinerja
sistem saraf parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem
konduksi AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang
diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara
berulang-ulang. 5,6
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung dan
peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang berbahaya
pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari 3 faktor, yaitu
statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini terjadi dari statis dan
kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran darah yang tidak sempurna.
Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan adanya proses bekuan darah yang
merupakan bagian penyebab dari tromboembolisme. 5,6
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu5:
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya
dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis
ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu
kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF

15
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan
dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen
AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit
untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan laju respon ventrikel, dibagi menjadi :
a. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit
b. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60
kali permenit
c. Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali
permenit.
Pada kasus pasien merupakan jenis AF normo ventricular respond dan AF
paroxsysmal karena pada tahun 2013 pasien sudah menderita AF, dimana hasil
EKGnya telah membaik kurang dari 7 hari tanpa penggunaan kardioversi.
Pada kasus ini kejadian atial fibrilasi bersifat persisten karena telah
berlangsung bertahun-tahun. Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi
beberapa faktor : 7
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac

16
b. Proses infiltratif dan inflamasi yaitu Pericarditis/miocarditis, Amiloidosis dan
sarcoidosis, Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi yaitu Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin yaitu Hipertiroid, Feokromositoma
e. Neurogenik yaitu Stroke, Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium yaitu Infark miocardial
g. Obat-obatan yaitu Alkohol, Kafein
h. Keturunan/genetik
Faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah : Diabetes Melitus,
Hipertensi, Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Katup Mitral, Penyakit Tiroid,
Penyakit Paru-Paru Kronik, Post. Operasi jantung, Usia 60 tahun, Life Style. Pada
kasus ini faktor risiko berupa hipertensi, usia lebih dari 60 tahun, hipertensi.
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal
atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan
adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA. 6
Multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan
melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal
ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor
tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan
depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF. 2,6

17
A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets Reentry
Atrial Fibrilasi

Gambar CHA2DS2-VASc and HAS-BLED8


Pada kasus skor CHA2DS2-VASc adalah 4. Skor HAS-BLED adalah 1.
Terapi yang diberikan adalah furosemide 3 x 3 ampule di mana pemberian
furosemide pada kasus CHF bertujuan untuk mengurangi beban jantung melalui
pengurangan preload. Furosemide merupakan loop diuretic yang menghambat
reabsorpsi dari ion sodium (Na) dan klorida (Cl) pada tubulus renalis proksimal dan
distal dan loop of Henle sehingga cairan tubuh akan ikut terbuang melalui ginjal yang
menyebabkan diuresis pada pasien. Restriksi cairan yang diberikan pada pasien juga
membantu untuk mengurangi beban preload sehingga pada pasien, hanya diberikan

18
cairan infus sebanyak 500 cc dalam 24 jam, berikut pula edukasi untuk mengurangi
konsumsi garam dan air.
Pemberian valsartan yang adalah golongan angiotensin receptor blocker
bertujuan untuk mencegah konstriksi pembuluh darah, sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa angiotensin II merupakan vasokonstriktor poten, sehingga dengan
dicegahnya konstriksi pembuluh darah, resistensi perifer menurun yang juga akan
menurunkan beban pemompaan jantung (menurunkan besar tegangan ventrikel).
Warfarin diberikan untuk mencegah koagulasi dengan menurunkan sintesis hepatik
dari vitamin K-dependent clotting factors II, VII, IX, dan X, dan juga protein C dan
S. Warfarin menurunkan cadangan vitamin K fungsional sehingga menurunkan juga
sintesis dari active clotting factors, yang dapat mencegah koagulasi trombosit pada
vaskuler yang pada kemungkinan terburuknya, koagulasi trombosit dapat membentuk
trombus yang kemudian menyebabkan oklusi di vaskularisasi otak. Nattokinase
merupakan enzim yang didapat dari produk makanan Natto (kacang kedelai yang
telah direbus, difermentasi dengan menggunakan bakteri Bacillus subtilis) yang dapat
digunakan sebagai agen fibrinolitik untuk melisiskan bekuan darah yang secara
sinergis dapat bekerja dengan warfarin pada pasien ini. Atorvastatin merukan obat
dari golongan HMG-CoA reductase inhibitor yang dapat mencegah ruptur dari plak
arterosklerosis. Ruptur plak arterosklerosis dapat menyebabkan pembentukan
trombus pada vaskuler akibat agregasi platelet.
Penggunaan digoxin pada kasus, Digoksin meningkatkan influks kalsium ke
dalam sel-sel miokardial. Digoksin adalah glikosida jantung yang paling sering
digunakan, terutama untuk alas an farmakokinetik. Bila membandingkan obat-obat ini
sangat berguna untuk mengaitkan digitoksin dengan lebih banyak dan lebih
lama(Digitoksin mempunyai huruf lebih banyak disbanding digoksin, membuatnya
menjadi kata yang lebih panjang).
Mekanisme kerjanya menghambat Na+ / K + ATPase (pompa natrium) dan
tinggi aliran Ca++ ke dalam. Kontraksi ditingkatkan dengan naiknya Ca++ intrasel.
Naiknya curah jantung dan berkurangnya ukuran jantung, aliran balik vena dan

19
volume darah, menyebabkan diuresis dengan meningkatnya perfusi ginjal.
Memperlambat kecepatan ventrikel pada fibrilasi atau fluter atrium dengan
meningkatnya sensitivitas nodus AV terhadap penghambatan vagal. Tingginya
resistensi vascular perifer. Indikasinya gagal jantung, fibrilasi atrium, flutter atrium,
takikardi poroksimal, juga diindikasikan untuk hipoventilasi, syok kardiogenik dan
syok tirotoksik, sering diberikan dahulu dosis muatan untuk mencapai kadar
terapeutik lebih cepat. Efek yang tak diinginkan digoksin intoksikasi digitalis (tanda-
tanda toksisitas terjadi pada 10-25% pasien yang mendapat digitalis. Toksisitas sering
kali fatal dan terjadi lebih sering pada pasien yang mendapat tiazid/diuretic boros-
kalium lain), bradikardi, blok nodus AV/SA, aritmia. Juga anoreksia, mual, muntah,
diare, sakit kepala, kelelahan, malaise, gangguan visual dan ginekomastia.
Peningkatan resistensi perifer dapat meningkatkan beban kerja jantung, memperburuk
kerusakan iskemik.
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).6
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis
antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi
mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta
cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah
pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah :
1. Warfarin

20
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai
puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas
100%. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi
(bentuk D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX 2
ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di
dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi
dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan
darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, -blocker dan antagonis kalsium.
Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.
2. -blocker
Obat -blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut

21
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler
melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri
adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama
dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia) yaitu Amiodarone, Dofetilide,
Flecainide, Ibutilide, Propafenone, Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a) Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung
kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
b) Maze operation

22
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu labirin yang
berfungsi untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
c) Artificial pacemaker Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung
yang ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.

23
BAB III
KESIMPULAN

Perempuan, usia 55 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 bulan
SMRS. Keluhan sesak dirasakan terutama ketika pasien beraktivitas seperti berjalan
ke kamar mandi, sesak nafas dirasakan berkurang saat pasien beristirahat.
Paroxsysmal Nocturnal Dispneu (+), dan ortopnea (+). Pasien memiliki riwayat
keluhan yang sama 6 tahun yang lalu, hipertensi (+) tapi jarang kontrol ke poli
jantung,.
Pasien datang dengan keadaan kompos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg,
frekuensi nadi 88x/menit irreguler (dalam batas normal), frekuensi nafas 25x/menit
(takipneu), dan saturasi oksigen 97%. Pada perkusi jantung didapatkan pergeseran
batas jantung kiri ke SIC V linea axilaris anterior sinistra dan ditemukan pula pada
pemeriksaan fisik, berupa pitting edem pada ekstremitas bawah.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin, didapatkan adanya leukositosis dan tanda-
tanda hemokonsentrasi serta adanya peningkatan kadar creatinin dan Troponin I
dalam darah. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya
tanda atrial fibrilasi.. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks pada tahun 2012
menunjukkan kardiomegali.
Telah ditegakkan diagnosa pada pasien ini yaitu CHF FC III dan Nonvalvular
AF-NVR . Kepada pasien telah diberikan terapi:
Akses intravena
Kateter Urin
Inj. Lasix 3x1 amp
P.O. Ramipril 1x5mg
P.O. Dabigatran (Pradaxa) 2x110mg
P.O. Spironolactone -0

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall JE. Textbook of medical physiology, 13th Ed.


Philadelphia. 2010.
2. Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta; EGC. 2006.
3. Rahmatullah, Pasian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th Ed Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata
Laksana Gagal Jantung. 2015.
5. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-
12-04. Archived from the original on 2009-03-28.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata
Laksana FIbrilasi Atrium. 2014.
7. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003).
Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus in
patient with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter.
Circulation Journal 67.
8. Lane, DA; dan Lip, GYH. Use of the CHA2DS2-VASc and HAS-BLED Scores
to Aid Decision Making for Thromboprophylaxis in Nonvalular Atrial
Fibrillation. UK: Circilation. 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai