Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global


secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan
aliran darah otak. Stroke terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-
tiba terganggu, menyebabkan sebagian sel-sel otak mengalami kematian akibat
gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak.
Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan
jaringan tersebut. Patofisiologi stroke iskemik terjadi karena penyumbatan
pembuluh darah yang menyuplai oksigen di otak, sedangkan stroke hemoragik
terjadi akibat pecahnya pembuluh darah akibat aterosklerosis maupun peningkatan
tekanan darah yang tidak terkontrol.1
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke
baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian
berdasarkan umur adalah: sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur
55-64 tahun) dan 23,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar
51,6/100.000 penduduk dan kecacatan;1,6% tidak berubah; 4,3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia
dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65
tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut yang
berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara
nasional di kemudian hari.2
Salah satu penatalaksanaan umum suportif yang dapat diberikan pada
pasien dengan stroke akut adalah terapi cairan. Mayoritas stroke terjadi pada
orang tua, yang lebih rentan terhadap gangguan dari homeostasis cairan.
Homeostasis cairan bervariasi pada stroke, dimana beberapa pasien datang dengan
dehidrasi ataupun overhidrasi. Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan
penurunan total air di dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis,
asupan air tidak adekuat, atau kombinasi keduanya.3 Pada dehidrasi terjadi
keseimbangan negatif cairan tubuh akibat penurunan asupan cairan dan

1
meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat ginjal, saluran cerna atau insensible
water loss/IWL), atau karena adanya perpindahan cairan dalam tubuh.
Berkurangnya volume total cairan tubuh menyebabkan penurunan volume cairan
intrasel dan ekstrasel. Manifestasi klinis dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi
volume cairan intravaskuler.4 Diperlukan terapi hidrasi yang tepat pada pasien
stroke agar dapat diberikan penatalaksanaan yang optimal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Cairan Tubuh


Dalam tubuh manusia mengandung 40%-80% air. Rata-rata 60%,
tergantung tiap kandungan lemak dalam tubuh seorang individu. Jumlah air
dan lemak dalam tubuh berbanding terbalik, bila semakin banyak lemak
maka kandungan air akan cenderung lebih rendah misalnya pada perempuan
yang normalnya memiliki lemak lebih banyak dari laki-laki maka
kandungan air dalam tubuh perempuan cenderung lebih sedikit ketimbang
laki-laki. Hal ini terjadi karena pengaruh hormonal. Perempuan memiliki
hormon seks estrogen yang menyebabkan pengendapan lemak di bagian
tertentu seperti bokong, payudara dan tempat lain. Air sebanyak 2/3 terdapat
dalam CIS dan sisanya dalam CES. Air dalam CES terbagi lagi yaitu 1/5
terdapat sebagai plasma dalam darah dan 4/5 dalam cairan interstisium yang
merendam dan melakukan pertukaran dengan sel. Ada juga cairan CES
minor yaitu cairan limfa dan cairan trans-selular (cairan serebrospinal,
intraokular, sinovium, intrapleura dll), tetapi dapat dikategorikan tidak
dihitung.5

Gambar 2.1: Keseimbangan Cairan Tubuh6

3
a. Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan
pengaturan konsentrasi ion H+ bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata
darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35.Jika pH darah
< 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45 dikatakan alkalosis.
Ion H+ terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H+
secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3
sumber, yaitu5:
1. Pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi
menjadi ion H+ dan bikarbonat.
2. Katabolisme zat organik
3. Disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya
pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat,
sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H+.

Fluktuasi konsentrasi ion H+ dalam tubuh akan mempengaruhi


fungsi normal sel, antara lain5:
1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi
susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi
hipereksitabilitas.
2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. Mempengaruhi konsentrasi ion K+.

Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha


mempertahankan ion H+ seperti nilai semula dengan cara5:
1. Mengaktifkan sistem dapar kimia.
2. Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan.
3. Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan.

4
Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu5:
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel
terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan
intrasel.
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit
untuk perubahan asamkarbonat.
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan
cairan intrasel.

Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-


basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki
ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akandilanjutkan oleh paru-
paru yang berespons secara cepat terhadap perubahan kadar ion H+
dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernapasan,
kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan
ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi
ketidakseimbangan ion H+ secara lambat dengan mensekresikan ion H+
dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki
dapar fosfat dan ammonia.5

b. Elektrolit dan nonelektrolit di dalam tubuh


Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit
dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai
dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti: protein, urea, glukosa,
oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik. Sedangkan elektrolit
tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+), Kalsium (Ca++),
magnesium (Mg++), Klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42),
sulfat (SO42-). Konsenterasi elektrolit dalam cairan tubuh bervariasi
pada satu bagian dengan bagian yang lainnya, tetapi meskipun
konsenterasi ion pada tiap-tiap bagian berbeda, hukum netralitas listrik

5
menyatakan bahwa jumlah muatan-muatan negatif harus sama dengan
jumlah muatan-muatan positif.5

c. Keseimbangan cairan tubuh


Jika pemasukan total suatu bahan ke dalam tubuh sama dengan
pengeluaran totalnya maka tercipta keseimbangan stabil. Ketika
penambahan suatu bahan melalui pemasukan melebihi pengeluarannya
maka tercipta keseimbangan positif. Hasilnya adalah peningkatan jumlah
total bahan tersebut di dalam tubuh. Sebaliknya, ketika pengurangan
suatu bahan melebihi penambahannya maka terbentuk keseimbangan
negatif dan jumlah total bahan tersebut di tubuh berkurang. 5

Gambar 2.2: Keseimbangan Cairan Tubuh6

6
2.2 Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu7:
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh,
sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan
pula untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki
perfusi jaringan.
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.
Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk7:
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine,
IWL, dan feses
Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, jenis cairan yang digunakan didasarkan pada7:
Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam)
Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Caitran pengganti (replacement)

Gambar 2.3: Target Terapi Cairan8

7
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik,
maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain:
aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan
kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk
tetap berada dalam ruang intravaskular.9

Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline
dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial. Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah
yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik,
sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat
menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan
produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Larutan dekstrose 5% sering
digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah atau memiliki kadar
natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan
karena komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas-
hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.9

Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau
biasa disebut plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler. Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih

8
efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid
mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada
larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh
darah dan hanya 1/4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.9
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan
karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian
besar akan menetap dalam ruang intravaskular. Meskipun semua larutan
koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular, namun koloid yang
mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik pula
cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma,
sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang
diberikan.9

Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam
untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus
imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam,
dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah
pemberian.9

Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial
dibuat dari sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan
menggunakan enzim dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi
yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan
fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran
BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam
dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan
garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.Dekstran 70 6 % digunakan pada
syok hipovolemik dan untuk profilaksis tromboembolisme dan mempunyai

9
waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk
mengganti volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5
gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal.9
Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.Sekitar 70% dosis
dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam 24 jam.
Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan
oleh sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat
mengganggu hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan
faktor VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi
alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi
anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan
dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan
mengakibatkan gagal ginjal akut.9

Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang
umum dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin
dengan pelarut NaCl isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin
( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan
Ca 6,25 mmol/ L. Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan
reaksi alergik daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan
pireksia sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut
berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek
langsung gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama
diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat
menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat
usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak
ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan
adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan

10
fungsi ginjal bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi
gelatin: Penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi
perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih
baru terjadi, gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.9

Hydroxylethyl Starch (HES)


Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok
koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural.
Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk pengantian volume
paling mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang
menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang
memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan
perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat
HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel
HES adalah 17 hari.
Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan
dengan reaksi anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %.
Indikasi npemberian HES adalah: Terapi dan profilaksis defisiensi volume
(hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan dengan
pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok
septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah:
Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan
>177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang
mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.9

2.3 Stroke
Berdasarkan definisi dari World Health Organization (WHO), stroke
adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat gangguan
otak fokal (atau global) dengan gejala- gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain

11
yang jelas selain vaskular. Karakteristik yang timbul dapat berupa serebral
infark, perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid.10

Penatalaksanaan Umum Stroke


A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat2
1) Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat
pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,
sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan,
aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala,
mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan
visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke
(hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi,
oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher
(misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis,
dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan toraks (jantung dan paru), abdomen,
kulit dan ekstremitas.
Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan
neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang
selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks,
koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health
Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B).
2) Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis,
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen

12
dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95% (ESO, Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring
pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C).
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak
mernerlukan terapi oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B).
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal
Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02
<60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka
dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari
pernberian cairan hipotonik seperti glukosa).11
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter),
dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai
sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi. Usahakan CVC
5 - 12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik <120
mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin

13
dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan
target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan
selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsultasi Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan
aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema
serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan
gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah
serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena
kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP
>70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan
intrakranial meliputi:

14
i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena
jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target 310
mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari
selama pemberian osmoterapi.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial
1 mg/kgBB iv.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan
vena akibat batuk, suction, bucking ventilator
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen
nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium
yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada
ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV,
Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning
atau lidokain sebagai alternatif.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi
edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke
iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada

15
kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence
A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut
akibat stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence B).
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik
sereberal yang menimbulkan efek masa, merupakan
tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan
memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi
perdarahan asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of
evidence B).1 Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama
dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki
perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial
secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-
20mg dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg
bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke
iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence C).
Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan
profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian
diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

16
g. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati
dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C).
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC
(AHA/ASA Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).
Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus
dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan
diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa
cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis.
Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi
antibiotik (AHA/ASA Guideline).

h. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal
hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah,
dan elektrolit)
Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan
punksi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan radiologi
i. Foto rontgen dada
ii. CT Scan

B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat2


1) Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12
mmHg.

17
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin
sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan
(produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan
yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius
pada penderita panas).

18
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai
nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa
gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah
dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2) Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48
jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi
menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun
makanan, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-
55 %);
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-
2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8
g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan
>6 minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara
parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-
obatan yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang
banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat
warfarin.

19
3) Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi
subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam,
emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur)
perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes
kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai
dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau
memakai kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena
dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH
atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence
A). Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral
perlu diperhatikan. Pada pasien imobilisasi yang tidak bisa
menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau
aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena
dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4) Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan.
Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke
akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA,Class I,
Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati
dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor
dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau
propofol bias digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.

20
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan
lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan
laboratorium, MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial
Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah
sakit).

DAFTAR PUSTAKA
1. Nabyl RA. Deteksi Dini, Gejala dan Pengobatan Stroke, Solusi Hidup
Sehat Bebas Stroke. Yogyakarta: Aulia Publishing; 2012.
2. Perdossi. Guideline Stroke. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI); 2011.
3. Mentes JC, Kang S. Hydration management. J Gerontol Nurs. 2013; 39
(2):11-9.
4. Leksana E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Cermin Dunia
Kedokteran. 2015; 42(1): 70-3.
5. Sherwood L. Human Physiology From Cells to System: The Urinary
System. 8th Edition. Canada: Brooks/Cole Cengage Learning; 2013.
6. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 14th
edition. John Wiley & Sons Inc; 2014.
7. Miller RD, Pardo MC. Basics of Anesthesia. Sixth edition. USA:
Saunders; 2011.

21
8. Nobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic Concepts of Fluid and
Electrolyte Therapy. Germany: Bibliomed - Medizinsche
Veriagsgesselschaft Melsungen; 2013.
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. McGrawHill; 2013.
10. Misbach J. Stroke Aspek Diagnosis, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2011.
11. Jauch EC, et al. Guidelines for the Early Management of Patients with
Acute Ischemic Stroke. AHA Journals; 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai