Anda di halaman 1dari 32

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gastroenteritis Akut (Diare Akut)

3.1.1 Definisi

Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan

frekuensi yang tidak normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek

atau cair. Menurut definisi WHO, diare adalah pasase feses dengan konsistensi

lebih encer dan frekuensi lebih sering yaitu (lebih dari 3 kali dalam satu hari)

dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Definisi lain adalah pasase feses lebih

dari 200 g/hari pada dewasa atau lebih dari 10 ml/KgBB/hari pada bayi dan balita

dan berlangsung kuran dari 14 hari.

Diare infeksi adalah bila penyebabnya infeksi, sedangkan diare noninfektif

bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut. Diare organik

adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik, horomonal, atau

toksikologik. Diare fungsional apabila tidak ditemukan penyebab organic.

3.1.2 Epidemiologi

Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja di

negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Walaupun di negara

maju sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang tinggi dan sosial ekonomi yang

baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu penyakit yang mempunyai angka kesakitan

yang tinggi yang biasanya disebabkan oleh foodborne infection dan waterborn

infection yang disebabkan karena bakteri Shigella sp, Campylobacter jejuni,

Staphylococcus aureus, Basillus cereus, Clostridium prefingens, Enterohemorrhagic

Eschersia colli (EHEC).

21
22

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada 2 milyar kasus

diare pada orang dewasa di seluruh dunia setiap tahun. Di Amerika Serikat,

insidens kasus diare mencapai 200 juta hingga 300 juta kasus per tahun. Sekitar

900.000 kasus diare perlu perawatan di rumah sakit. Di seluruh dunia, sekitar 2,5

juta kasus kematian karena diare per tahun. Di Amerika Serikat, diare terkait

mortalitas tinggi pada lanjut usia. Satu studi data mortalitas nasional melaporkan

lebih dari 28.000 kematian akibat diare dalam waktu 9 tahun, 51% kematian

terjadi pada lanjut usia. Selain itu, diare masih merupa kan penyebab kematian

anak di seluruh dunia, meskipun tatalaksana sudah maju.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang

masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen

Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada

tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /

1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010

menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering

terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69

Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%).

Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,

dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB

diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang

(CFR 1,74 %.)


23

Berdasarkan hasil riskesdas tahun 2013 Insiden diare untuk seluruh

kelompok umur di Indonesia adalah 3.5 persen. Lima provinsi dengan insiden dan

period prevalen diare tertinggi adalah Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan

10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah

(4,4% dan 8,8%). Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok

pekerjaan (7,1%)

Adanya traveling (domestik atau internasional), kontak personal, adanya

sangkaan food-borne transmisi dengan masa inkubasi yang pendek. Jika tidak ada

demam, menunjukkan adanya proses mekanisme enterotoksisn. Sebaliknya, bila ada

demam dan masa inkubasi yang lebih panjang, ini karakteristik suatu etiologi infeksi.

Beberapa jenis toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme (seperti E.coli 0157:H7)

membutuhkan beberapa hari masa inkubasi

3.1.3 Klasifikasi Diare

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :

1) Diare akut

Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat

dan konsistensi tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya

dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002),

diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-

seling berhenti lebih dari 2 hari.

Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita,

gradasi penyakit diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:

(1) Diare tanpa dehidrasi, (2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan

yang hilang 2-5% dari berat badan, (3) Diare dengan dehidrasi sedang,
24

apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari berat badan, (4) Diare

dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%.

2) Diare persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari,

merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan

kronik.

3) Diare kronik

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama

dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten

atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari

30 hari. Menurut (Suharyono, 2008), diare kronik adalah diare yang

bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2 minggu lebih.

3.1.4 Etiologi diare

A. Infeksi

1. Virus

Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 80%). Beberapa

jenis virus penyebab diare akut :

Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9 : pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati

pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada

hewan.

Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne

atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to

person.
25

Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa

Adenovirus (type 40, 41)

Small bowel structured virus

Cytomegalovirus

2. Bakteri

Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang penting

yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit

pada usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST)

yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery

diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan brush border atau

menginvasi mukosa.

Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas.

Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan

dari membrane mikro vili yang akan mengganggu permukaan absorbsi dan

aktifitas disakaridase.

Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada mukosa

usus halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana

mekanisme timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin

memegang peranan.

Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan

Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi

didalam sel epitel kolon.

Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi verocytotoxin (VT)

1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema dan
26

perdarahan diffuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-

uremic syndrome.

Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon,

menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang

masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk : smooth

lipopolysaccharide cell-wall antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin

serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin)

yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery

diarrhea

Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi melalui

kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi)

atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperti

daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak

langsung person to person. C.jejuni mungkin menyebabkan diare melalui

invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan,

yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang

terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.

Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang

terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui

person to person jarang terjadi. V.cholerae melekat dan berkembang biak

pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan

diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari

ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang mempunyai

karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera enterotoxin (ACE) dan


27

zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi

cairan kedalam lumen usus.

Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus.

Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan

mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea

3. Protozoa

Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis

masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme

asam empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite

dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah

dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik,

diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan

endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 8 hari setelah terpapar

dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik dan

anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan faty stools,nyeri

perut dan gembung.

Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun

penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan

bertambahnya umur,dan teranak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi

asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar).

Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten

sampai disentri yang fulminant.

Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 15%

dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan
28

asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa

diare akut dengan tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited.

Pada penderita dengan gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada

penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan

diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.

Microsporidium spp

Isospora belli

Cyclospora cayatanensis

4. Helmints

Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing

dewasa dan larva, menimbulkan diare.

Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai

organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare

dan perdarahan usus

Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama

jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan gejala klinis

watery diarrhea dan nyeri abdomen.

Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan

appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri

abdomen.

B. Faktor Malabsorbsi
29

1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa),

monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan

anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.

2. Malabsorbsi lemak

3. Malabsorbsi protein

C. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan

D. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan

diare terutama pada anak yang lebih besar

E. Faktor Pendidikan

Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan

SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi

oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status

pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor

yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat

pendidikan orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.

F. Faktor pekerjaan

Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai

pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai

buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan

dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh

orang lain, sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar dengan

penyakit.
30

G. Faktor lingkungan

Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi

lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan

tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.

Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta

berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui

makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.

H. Faktor Gizi

Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu,

pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan

diare tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal

karena diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi

dilihat berdasarkan status gizi yaitu baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk = <70

dengan BB per TB.

I. Faktor sosial ekonomi masyarakat

Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor

penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari

keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak

mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan.

3.1.5 Patofisiologi

Diare dapat disebabkan karena salah satu atau beberapa mekanisme

dibawah ini :

1) Diare osmotic
31

Jika bahan makanan tidak dapat diabsorbsi dengan baik oleh usus halus, maka

tekanan osmotic intralumen sangat meningkat sehingga menarik cairan

plasma ke lumen. Jumlah cairan yang bertambah melebihi kemampuan

reabsorbsi kolon menyebabkan terjadinya diare yang cair. Diare akan berhenti

bila pasien puasa. Penyebabnya bisa terjadi akibat intoleransi laktosa,

konsumsi laksatif atau antasida yang mengandung magnesium. Diare osmotic

ditegakkan bila osmotic gap feses > 125 mosmol/kg (normal<50 masmol/Kg).

osmotic gap dihitung dengan cara osmolaritas serum (290 mosmol/kg)-[2 x

(konsentrasi natrium + kalium feses)]

2) Diare sekretorik

Akibat gangguan transport elektrolit dan cairan melewati mukosa

enterokolon, menyebabkan sekresi berlebihan atau absorbsi berkurang.

Penyebabnya biasa toksin bakteri (missal kolera), penggunaan laksatif

osmotic, reseksi usus, penyakit mukosa usus, dan lainnya. Karakteristiknya

berupa feses cair, banyak, tidak nyeri, dan tidak ada mucus, maupun darah.

Diare tetap berlangsung walaupun pasien puasa.

3) Diare eksudatif/inflamatorik

Terjadi akibat inflamasi dan kerusakan mukosa usus. Diare dapat disertai

malabsorbsi lemak, cairan dan elektrolit serta hipersekresi dan hiper motilitas

akibat pelepasan sitokin pro inflamasi. Penyebabnya (1) infeksi bakteri yang

bersifat invasive seperti campylobacter jejuni, shigella, salmonella, yersinia

entrocolica, enteroinvasive erchercia coli (EIEC), enterohemragic erchercia


32

coli (EHEC), colistridium difficile atau infeksi amoeb; (2) non-infeksi berupa

gluten sensitive enteropathy, inflammatory bowel disease, atau radiasi.

Karakteristik berupa feses dengan pus, mucus, atau darah, karena kerusakan

mukosa usus. Analisis feses menunjukkan leukosit, fecal lactoferin, dan

calciprotetin positif. Gejala biasanya disertai tenesmus, nyeri dan demam.

4) Diare dismotiliti

Disebabkan dismotilitas usus sehingga waktu transit di usus memendek dan

absorbsi berkurang, atau disebabkan neuropaty yang menyebabkan stasis atau

overgroeth bakteri. Karakteristiknya mirip feses diare sekretorik, namun

dapat disertai, steatorea ringan. Penyebab bisa karena hipertiroidisme,

sindrom karsinoid, obat-obatan prokinetik, diabetes mellitus, atau irritable

bowel syndrome.

3.1.6 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis tergantung kepada lokasi anatomi dan agen penyebab.

Infeksi di usus halus biasanya tidak invasive, sementara di kolon bersifat invasive.

Diare karena kelainan usus halus biasanya banyak, cair berhubungan dengan

malabsorbsi, dan sering ditemukan dehidrasi. Pemeriksaan penunjang mungkin

menunjukkan pH<5,5 dengan substansi reduksi kemungkinan positif, leukosit

serum normal, dan leukosit feses <5/lapangan pandang kecil.

Disisi lain diare diakibatkan kelainan kolon biasanya sedikit, frekuensinya

sangat meningkat, disertai mucus dan darah segar dan disertai nyeri perut dan

sensasi ingin BAB. Pemeriksaan penunjang akan menunjukkan pH >5,5 substansi


33

pereduksi negative, leukosit serum sering meningkat disertai leukosit feses

>10/lapangan pandang kecil.

Gejala diare akut dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :

1. Fase prodromal (sindroma pra-diare) : pasien mengeluh penuh di

abdomen, nausea, vomitus, berkeringat dan sakit kepala.

2. Fase diare : pasien mengeluh diare dengan komplikasi (dehidrasi, asidosis,

syok, dan lain-lain), kolik abdomen, kejang dengan atau tanpa demam,

sakit kepala.

3. Fase pemulihan : gejala diare dan kolik abdomen berkurang, disertai

fatigue.

3.1.7 Diagnosis

A. Anamnesis

Tanyakan konsistensi, volume, dan frekuensi BAB, adakah steatorea, pus,

mucus, atau darah segar pada feses, atau melena. Eksplorasi gejala penyerta

seperti mual, muntah, nyeri perut, demam, dan tenesmus. Muntah paling sering

ditemukan pada infeksi virus, sementara demam > 38,5C menunjukkan

prosesinflamasi yang dapat disebabkan oleh bakteri invasive, sitokin, amoeba,

virus, colitis, diverticulitis atau IBD. Tiga penyebab terkhir biasanya disertai nyeri

perut yang dominan.

Tanyakan pula mengenai awitan, durasi gejala, dan apakah gejala seperti ini

sering berulang sebelumnya. Durasi lebih dari beberapa hari cenderung

menyingkirkan infeksi virus, karena infeksi virus biasanya berlangsung singkat.

Nilai penurunan berat badan untuk mengetahui derajat dehidrasi sekaligus adanya
34

tanda bahaya. Indicator dehidrasi lain adalah rasa haus, volume dan kapan terakhir

kali buang air kecil, dan penurunan kesadaran.

Terakhir, tanyakan factor risiko seperti konsumsi makanan yang tidak dimasak

dengan baik, riwayat bepergian, ke daerah endemis, berenang di danau, atau

terminum airnya, keadaan imunokompromais, penggunaan obat-obatan yang

dapat memicu diare, riwayat kontak dengan orang lain yang diare, serta tinggal di

rumah penampungan atau perawatan di rumah sakit.

B. Pemeriksaan fisik

Nilai tanda vital dan derajat dehidrasi pasien. Keadaan bercak-bercak pada

kulit, ulserasi mulut, pembesaran tiroid, mengi, arthritis, ascites, massa

abdomen, tenderness dan defans muscular abdomen serta bising usus harus

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menilai adanya

komplikasi. Bila tidak yakin mengenai adanya darah di feses atau diare

berdarah pada pasien >50 tahun, lakukan pemeriksaan colok dubur.

C. Pemeriksaan penunjang

Analisis feses rutin pada setiap kasus bila sumber daya tersedia. Analisis feses

pada diare inflamatorik akan menunjukkan peningkatan jumlah leukosit feses, tes

darah samar tinja positif, laktoferin dan calciprotein positif. Pemeriksaan telur dan

parasit diindikasikan pada diare >14 hari, refrakter terhadap terapi antibiotic, atau

pasien imunokompromais.

Kultur feses perlu dilakukan pada pasien dengan dehidrasi, demam

>38,5C, diare berdarah, nyeri abdomen pada pasien > 50thn, atau setelah 3 hari

pengobatan dengan antibiotic tidak terjadi perbaikan klinis. Pemeriksaan shiga


35

toksin harus dilakukan pada pasien dengan riwayat hospitalisasi dan penggunaan

antibiotic.

3.1.8 Pencegahan diare

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:

pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi

kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary

Prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan

pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan

terhadap cacat dan rehabilitasi.

A. Pencegan primer

Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,

lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya

agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan

sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi

lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat

dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi.

1. Penyediaan air bersih

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%

tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum,

mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut

WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain

dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar

dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk diare.


36

Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya

penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang

insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang

tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes

sementara penyakit.

Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber

yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari

kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus

ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan

menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko

menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak

mendapatkan air besih.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

a. Ambil air dari sumber air yang bersih

b. Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus

untuk mengambil air.

c. Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-anak

d. Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)

e. Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih dan

cukup.

2. Tempat pembuangan tinja


37

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.

Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit

tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare. Keluarga yang tidak

memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar di jamban.

Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka

anggota keluarga harus membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak

bermain dan paling kurang sepuluh meter dari sumber air bersih.

Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan

kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat

kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah,

tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak

menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

a. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh

seluruh anggota keluarga.

b. Bersihkan jamban secara teratur.

c. Gunakan alas kaki bila akan buang air besar

3. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting

dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan

sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum

menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,


38

mempunyai dampak dalam kejadian diare (Menurunkan angka kejadian diare

sebesar 47%).

4. Status gizi

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan

penggunaan makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat

dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat

kekurangan gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah; 1)

konsumsi makanan; 2) pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri

dan 4) pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal

atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi

seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas

bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya

kecil.

5. Imunisasi

Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian

imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi

terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan.

B. Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita

diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini

dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat

samping dan komplikasi.


39

C. Pencegahan tersier

Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami

kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare

diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada

tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat

samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus

mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi

juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan

dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita

diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus

dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan

dengan teman sepermainan.

3.1.9 Tatalaksana diare akut

Indikasi rawat inap :

Dehidrasi sedang berat

Vomitus persisten

Diare yang progresif dan semakin berat dalam 48 jam

Lansia dan geriatric

Pasien imunocompromais

Diare akut disertai komplikasi

Terapi diare akut terdiri atas rehidrasi. Nutrisi, terapi simptomatik dan terapi

terhadap etiologi.

1. Rehidrasi
40

Pemberian cairan rehidrasi bergantung pada derajat dehidrasi pasien.

Metode pemberian terapi rehidrasi

Oral : diberikan pada pasien dengan diare akut tanpa komplikasi atau

dehidrasi ringan dan bisa minum, menggunakan larutan rehidrasi oral

(LRO) atau oralit yang direkomendasikan.

Enteral : pada pasien yang terus menerus muntah, dan tidakdapat

mentoleransi pemberian cairan per oral, cairan diberikan menggunakan

pipa nasogastrik.

Parenteral : diberikan pada diare akut dengan dehidrasi sedang-berat atau

komplikasi lain.

Jumlah cairan rehidrasi

Menghitung jumalah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat menggunakan

beberapa cara :

Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida,

2,5 gr am natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per

liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah

disiapkan dengan dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan

rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan 1/2 sendok garam, 1/2

sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau

1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan

tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika terapi

intravena diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan salin

normal atau ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan kimia darah.
41

Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda

vital, pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian

harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.

Berdasarkan derajat dehidrasi

a. Dehidrasi minimal (hilangnya cairan < 3% BB)

- Kebutuhan cairan (mL) : 103% x 30-40 cc/KgBB/hari

b. Dehidrasi ringan sedang (hilangnya cairan 3-9%)

- Kebutuhan cairan (mL) : 109% x 30-40 cc/KgBB/hari

c. Dehidrasi berat (hilangnya cairan >9% BB)

- Kebutuhan cairan (mL) : 112% x 30-40 cc/KgBB/haari

Berdasarkan jumlah cairan yang hilang

- Bila jumlah (volume) feses yang keluar dapat di kuantifikasi, pemberian

cairan rehidrasi dapat menggunakan rumus :

Kebutuhan cairan (mL) = pengeluaran [jumlah feses + insessible water

loss (10%BB)] + 30-40 cc/KgBB/hari

- Menggunakan berat jenis plasma

Kebutuhan cairan (mL) = (Bj plasma 1,0250)/0,001 x BB (Kg) x 4 mL

Cairan diberikan dengan cara 50% deficit diberikan dahulu dalam satu jam

pertama, setelah itu sisa deficit dilanjutkan dalam 3 jam berikutnya sambil

diberikan cairan kebutuhan rumatan. Rumus lain dapat digunakan

rumusdaldiyono.
42

2. Nutrisi

Pemberian makanan harus langsung dimulai dalam 4 jam setelah rehidrasi.

Makanan diberikan dalam bentuk small and fracuent feeding dibagi menjadi 6x

makan sehari. Diet terdiri dari menu tinggi kalori dan mikronutrien seperti nasi,

gandum, daging, buah dan sayur-sayuran. Susu sapi, kafein, alcohol dan buah-

buahan kaleng sebaiknya dihindari terlebih dahulu karena dapat memicu diare.

3. Simptomatik

Anti motilitas

Agen dipilih adalah loperamid 4 mg dosis awal, lalu dilanjutkan 2 mg tiap

diare, maksimal 16 mg/24 jam. Loperamid tidak boleh diberikan pada

diare berdarah atau dicurigai diare inflamatori (misalnya pada pasien yang

demam atau nyeri perut hebat).

Antisekretorik

Bismuth subsalisilat dan agen terbaru recacadotril aman digunakan pada

anak-anak, namun tidak menunjukkan bermanfaat pada dewasa dengan

kolera.

Antispasmodic

- Hyoscien-n-butilbromid 10mg, 2-3 x sehari

- Ekstrak belladonna 5-10 mg, 3 x sehari

- Papaverin 30-60 mg, 3 x sehari

- Mebeverin 35-100 mg, 3 x sehari

Antispasmodic tidak boleh digunakan pada ileus paralitik


43

Pengeras feses

- Attapulgite 2 tablet 360 mg tiap diare, maksimal 12 tablet/hari

- Smektit 9 g/24 jam dibagi 3 dosis

- Kaolin-pectin 2,5 tablet 550mg/20mg tiap diare, maksimal 15

tablet/24 jam.

3.1.10 Komplikasi

Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,

terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,

kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok

hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya

hipokalemia dan asidosis metabolic.

Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok hipovolemik

sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut ginjal dan

selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila

penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak

tercapai.

Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama oleh

EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni

12-14 hari setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi EHEC dengan

penggunaan obat anti-diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan antibiotic

masih kontroversial.

Sindrom Guillain Barre, suatu polineuropati demielinisasi akut, merupakan

komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni; 20-40% pasien


44

Guillain Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa mingg sebelumnya. Pasien

menderita kelemahan motorik dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis.

Mekanisme penyebab sindrom Guillain Barre belum diketahui.2 Artritis pasca-

infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena

Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.

3.1.11 Prognosis

Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,

dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik

dengan morbiditas dan mortalitas minimal. Seperti kebanyakan penyakit,

morbiditas dan mortalitas terutama pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di

Amerika Serikat, mortalitas berhubungan dengan diare infeksius < 1,0%.

Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2% yang berhubungan

dengan sindrom uremik hemolitik.

3.2 Scabies

3.2.1 Definisi

Istilah skabies berasal dari bahasa Latin yang berarti menggaruk (to

scratch). Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau

Sarcoptes scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal

pada malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan

produktivitas. Penyakit scabies banyak berjangkit di: (1) lingkungan yang padat

penduduknya, (2) lingkungan kumuh, (3) lingkungan dengan tingkat kebersihan


45

kurankg. Skabies cenderung tinggi pada anak-anak usia sekolah, remaja bahkan

orang dewasa.

3.2.2 Epidemiologi

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat menyerang semua ras dan

kelompok umur, yang tersering adalah kelompok anak-anak. Diperkirakan

terdapat sekitar 300 juta kasus skabies di seluruh dunia setiap tahun.

Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara

6 - 27% dari populasi umum. Skabies menyerang semua ras dan kelompok umur

dan yang tersering adalah kelompok anak usia sekolah dan dewasa muda (remaja).

Pada penelitian yang dilakukan Inair I dkk pada tahun 2002 terhadap 785 anak

sekolah dasar di Turki, diperoleh 17 anak (2,2%) menderita skabies. Penelitian

potong lintang yang dilakukan oleh Ogunbiyi AO dkk pada tahun 2005 terhadap

1066 anak sekolah dasar di Ibadan, Nigeria, diperoleh 50 anak (4,7%) menderita

skabies.

Berdasarkan pengumpulan data KSDAI tahun 2001 dari 9 rumah sakit di 7

kota besar di Indonesia, diperoleh sebanyak 892 penderita skabies dimana insiden

tertinggi yaitu pada kelompok usia sekolah (5-14 tahun) sebesar 54,6%. Depkes RI,

berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka

kejadian skabies adalah 5,6%-12,95%. Skabies di Indonesia menduduki urutan ke

tiga dari dua belas penyakit kulit tersering.

3.2.3 Etiologi

Penyebab skabies pada manusia adalah S. scabiei varietas hominis, yang

merupakan tungau dimana seluruh siklus hidupnya berada di kulit. Tungau ini
46

termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acari, famili Sarcoptidae, dan

genus Sarcoptes.

Tungau memiliki badan yang bulat, punggung cembung, bagian perutnya

rata dan berwarna putih kotor. Ukuran tungau betina berkisar antara 330-450 x

250-350 m, sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil yakni 200-240 x 150-

200 m. Bentuk dewasa memiliki empat pasang kaki, dua pasang kaki di depan

sebagai alat untuk melekat dan dua pasang kaki lainnya pada wanita berakhir

dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan

rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.

Infestasi tungau ini terjadi apabila seseorang tertular tungau betina yang

telah dibuahi, melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Penularan dapat

terjadi melalui kontak erat dan lama antara kulit dengan kulit (sekitar 20 menit),

ataupun melalui kontak seksual. Skabies juga dapat ditularkan melalui kontak

dengan tempat tidur, pakaian atau handuk dari orang yang terinfeksi.

3.2.4 cara penularan

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung, adapun cara penularannya adalah:

1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat

tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan

seksual merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat

dari orang tua atau temannya.


47

2. Kontak tidak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan

tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada

penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut

memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa

sumber penularan utama adalah selimut.

3.2.5 Patogenesis

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi

juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh

sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang

lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai

dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan

garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

3.2.6 Manifestasi klinis

Kelainan kulit dapat ditemukan papul, vesikel urtika. Selain itu akibat

garukan terdapat lesi berupa erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Pada

penyakit ini terdapat empat tanda cardinal yang harus dipenuhi minimal dua.

Empat tanda cardinal ini mencakup :

Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas tungau yang

lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas.

Mnyerang sekelompok orang, misalnya sekeluarga, atau satu asrama.

Terdapat terowongan atau kunikulus pada area predileksi. Terowongan

berbentik garis lurus dan berkelok dengan rata-rata panjang 1 cm dan berujung
48

papul atau vesikel. Area predileksi mencakup sela jari tangan, pergelangan

tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak depan, aerola mamae,

umbilicus, bokong, genetalia ekasterna, dan perut bagianbawah. Pada bayi

dapat ditemukan pada telapak tangan dan kaki.

Ditemukan tungau.

3.2.7 Diagnosis

Diagnosis pasti dibuat dengan menemukan tungau. Tungau dapat

ditemukan dengan cara :

a. Temukan terowongan dan cari ujung terowongan yang berupa papul. Pada

papul tersebut lakukan pencongkelan dengan jarum dan letakkan di atas kaca

objek. Hasil sediaan dilihat di bawah mikroskop

b. Menyikat lesi dengan sikat, ditampung di atas kertas putih, dan dilihat dengan

kaca pembesar.

c. Membuat biopsy irisan dengan cara lesi dijepit dengan dua jari dan dibuat

irisan tipis, irisan tersebut dilihat dengan menggunkan mikroskop.

d. Membuat biopsy eksisional dan berikan pewarnaan HE

3.2.8 Tatalaksana

Menurut Sudirman (2006), penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2

bagian :

a. Penatalaksanaan secara umum

Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara teratur

setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus

dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula
49

dengan anggota keluarga yang beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi

dan anak-anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu

menghindari terjadinya kontak langsung. Secara umum meningkatkan

kebersihan lingkungan maupun perorangan dan meningkatkan status gizinya.

Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan:

1) Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi

pengobatan secara serentak

2) Higiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila perlu

menggunakan sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang

akan dipakai harus disetrika.

3) Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal,

kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari

selama beberapa jam.

b. Penatalaksanaan secara khusus

Dengan menggunakan obat-obatan (Djuanda, 2010), obat-obat anti skabies

yang tersedia dalam bentuk topikal antara lain :

1) Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep

atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-

kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2

tahun.

2) Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan

setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi,

dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.


50

3) Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1% dalam

krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium,

mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Pemberiannya cukup sekali,

kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.

4) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,

mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari

mata, mulut, dan uretra.

5) Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan

gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10

jam. Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan pada bayi

di bawah umur 12 bulan.

3.2.9 Pencegahan

Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.

b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur

minimal 2 kali dalam seminggu.

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai

terinfeksi tungau skabies.

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.

Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan
51

penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini

hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun

penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah

dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah yang

dapat diambil adalah sebagai berikut :

a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan

antiseptik.

b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan

seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.

c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.

d. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab

Departemen Kesehatan RI (2007) memberikan beberapa cara pencegahan

yaitu dengan dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan

tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan

orang-orang yang kontak dengan penderita skabies, meliputi :

1. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. Laporan kepada

Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.

2. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai

dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi

sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi

serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam

48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem


52

pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini dapat membunuh

kutu dan telur.

Anda mungkin juga menyukai