ABSTRAK
Kajian ini bertujuan menghasilkan informasi dan masukan, guna menyempurnakan
kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan bagi penduduk miskin. Kajian
dilakukan di sembilan propinsi, yaitu Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi
Selatan, Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Banten; mencakup
18 kabupaten/kota. Pemilihan propinsi didasarkan kepada kekayaan sumberdaya alam,
sumberdaya manusia kesehatan, dan kesulitan geografis. Metode yang digunakan adalah
deskriptif analitis, dengan menggunakan desain cross sectional study. Data primer dan
sekunder dikumpulkan dari DPRD, Dinas Kesehatan, BKKBN, Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD), Puskesmas, bidan di desa, pasien, serta berbagai literatur dan data
terbitan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penentuan keluarga miskin (Gakin) yang umum
dipergunakan selama ini di banyak daerah, ternyata cukup baik dan efektif. Paket
pelayanan kesehatan dasar untuk penduduk miskin, sudah sesuai dengan rekomendasi
pertemuan regional di Tokyo tahun 1998. Sistem penyaluran dana yang berlaku saat ini
masih bersifat supply side approach, sementara sistem demand side approach
seperti memberi kupon berobat gratis kepada Gakin, belum bisa diterapkan. Kajian ini
juga menunjukkan bahwa potensi daerah untuk membantu pendanaan pada pelayanan
kesehatan bagi Gakin ternyata cukup besar.
Rekomendasi yang dapat disajikan antara lain: (1) diperlukan studi untuk
menemukan kriteria operasional yang lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan
kriteria Gakin; (2) pemberian makanan tambahan agar tetap dilaksanakan dalam paket
pelayanan kesehatan Gakin, khususnya untuk ibu dan bayi Gakin, karena sangat potensial
meningkatkan daya tahan ibu dan anak; (3) revitalisasi Posyandu harus tetap dilakukan,
karena Posyandu merupakan bagian dari pengembangan sistem kesehatan daerah dan
terbukti efektif dalam beberapa program kesehatan dan partisipasi masyarakat; (4)
pencairan dana operasional untuk Puskesmas dan rumah sakit, sebaiknya melalui sistem
klaim dengan bukti-bukti pelayanan, karena pencairan dengan bukti pelayanan lebih
menjamin akuntabilitas; (5) pengintegrasian dana kesehatan penduduk miskin
memerlukan perhitungan aktuarial yang teliti diperkirakan jumlahnya jauh lebih besar
dari yang tersedia sekarang ini; (6) perlu dilakukan pemetaan kemampuan fiskal daerah
untuk menetapkan kontribusi daerah; (7) penerapan kontribusi hendaknya dilakukan
dengan sistem matching grant, yaitu keharusan daerah untuk memberikan kontribusi
sebagai syarat alokasi dana dari pusat.
1
1. LATAR BELAKANG
Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah lama diterapkan di
Indonesia. Pelayanan gratis bagi penduduk yang membawa surat miskin dari Rukun
Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa dan pembagian kartu sehat, adalah contoh
kebijakan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan strategi individual
targeting. Berbagai program Instruksi Presiden (Inpres), secara tidak langsung juga
mempunyai aspek kebijakan membantu penduduk miskin, misalnya Inpres Obat dan
Inpres Samijaga, merupakan contoh kebijakan dengan strategi geographic targeting.
Sebetulnya, kebijakan subsidi tarif pelayanan kesehatan pemerintah, juga
merupakan program melayanani kesehatan penduduk miskin. Tarif Rp 500 Rp 1.000
untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp 2.000 Rp 5.000 untuk rawat inap kelas III di
Rumah Sakit Umum (RSU), membantu penduduk yang kemampuannya terbatas. Contoh
lainnya program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yaitu
pemberian suplemen gizi bagi anak sekolah yang berada di daerah miskin.
Sejak 1998 muncul kebijakan lebih sistematis dan berskala nasional untuk
melayani kebutuhan kesehatan penduduk miskin, yakni program Jaringan Pengamanan
Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Tahun 2003, pemerintah menyediakan biaya untuk
rujukan ke rumah sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan
subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang disebut dana Penanggulangan Dampak
Pemotongan Subsidi Energi (PDPSE), kemudian diubah namanya menjadi Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Dana PDPSE
langsung diberikan kepada RSU. Baik JPSBK dan PDPSE adalah contoh supply side
approah dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin.
Seluruh pendanaan program-program di atas bersumber dari pemerintah dan
bersifat proyek, karena itu tidak ada jaminan kesinambungannya. Sumber dana dari
pemerintah daerah belum dipadukan untuk program pengentasan kemiskinan umumnya
dan pembiayaan kesehatan khususnya. Sementara itu, sulit bagi penduduk miskin jika tidak
lagi mendapat jaminan seperti yang pernah diperolehnya. Dana masyarakat selama ini juga
telah tersedia melalui berbagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi cukup besar.
Tanpa suatu program berkelanjutan, akan sulit mengangkat penduduk miskin dari
lingkaran kemiskinan.
2. TUJUAN
Tujuan studi ini adalah menghasilkan informasi dan masukan untuk
menyempurnakan kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin. Dari masukan tersebut diharapkan muncul kebijakan yang lebih
sustainable dan efektif untuk pemerataan dan perbaikan mutu pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin
Sasaran studi ini adalah sebagai berikut:
1. Mencari instrumen yang sensitif untuk mengidentifikasi penduduk miskin.
2. Menggambarkan efektifitas program JPSBK/PDPSE dalam mencapai target program
tersebut serta dalam memberi pelayanan bermutu.
3. Merumuskan jenis-jenis pelayanan kesehatan dan gizi yang esensial bagi penduduk
miskin.
2
3. METODOLOGI
3.1 KERANGKA ANALISIS
Sejumlah studi untuk menilai efektifitas berbagai program pemeliharaan kesehatan
bagi penduduk miskin sudah dilakukan. Beberapa diskusi terbuka dan diskusi di media
masa, sudah dilaksanakan untuk menilai kebijakan dan program-program tersebut. Dari
kegiatan tersebut, diidentifikasi beberapa masalah kebijakan tentang pelayanan dan
pembiayaan kesehatan bagi peduduk miskin. Masalah itu dikelompokkan menjadi enam
masalah kebijakan pokok yang bersifat normatif, yaitu: efektifitas, efisiensi,
kesinambungan pembiayaan, alternatif sistem pembiayaan, pelayanan kesehatan dan gizi
yang esensial untuk penduduk miskin, serta pembagian tanggung jawab antara Pemerintah
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat.
Atas dasar kajian literatur dan tinjauan pelaksanaan JPS-BK di Indonesia, maka
untuk keperluan teknis studi ini, isu-isu kebijakan normatif tersebut diuraikan lebih lanjut
menjadi tujuh masalah kebijakan operasional.
peningkatan gizi; promosi kesehatan; dan pelayanan rujukan di RSU (untuk kasus
KIA/persalinan dan penyakit menular). Data utilisasi pelayanan kesehatan oleh penduduk
miskin selama pelaksanaan program JPS-BK dan PKPS-BBM cukup baik untuk
mengetahui apa kebutuhan utama pelayanan kesehatan penduduk miskin. Dari informasi
tersebut juga dapat dianalisis untuk memilah pelayanan kesehatan yang betul-betul
dibutuhkan (esensial) bagi penduduk miskin, yang at all cost harus disediakan.
Tabel 1
Lokasi Studi
Adapun propinsi dan kabupaten/kota yang menjadi lokasi studi ini adalah,
Kalimantan Timur (Balikapapan, Kutai), DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Selatan), Riau
5
(Indragiri Hulu, Kota Pekanbaru), Sulawesi Selatan (Kota Makassar, Jeneponto), Bali
(Klungkung, Tabanan), Jawa Timur (Kota Malang, Probolinggo), Nusa Tenggara Timur
(Kupang, Timor Tengah Utara), Jawa Tengah (Salatiga, Jepara), dan Banten (Serang,
Pandeglang)
3.3 DATA
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan sekunder yang
dikumpulkan dari 11 sumber informasi, yaitu: Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/kota, DPRD, Bappeda, BKKBN, RSUD, tiga Puskesmas terpilih di setiap
kabupaten/kota, tiga bidan di desa (satu bidan di setiap Puskesmas), pasien rawat jalan
Puskesmas (sampel 12 pasien per Puskesmas), pasien rawat inap RSUD (sampel 22 pasien
kasus rawat inap di RS yang bersangkutan), dan data sekunder dari buku Profil Kesehatan
Kabupaten dan Kabupaten dalam Angka. Pengumpulan data dilakukan dengan
mengunjungi semua sumber data di atas. Periode program JPS-BK/PKPS-BBM yang
diteliti mencakup kegiatan tahun 2001, 2002 dan 2003
4. HASIL KAJIAN
4.1 IDENTIFIKASI DAN PENENTUAN KELUARGA MISKIN (TARGETING THE
POOR)
Dua isu penting dalam identifikasi ini menyangkut kriteria yang dipakai dan
pelaksanaan kriteria tersebut di lapangan.
4.1.1 Kriteria Operasional Penentuan Gakin
Untuk menentukan keluarga miskin, hampir semua responden menggunakan kriteria
standar sesuai dengan pedoman JPS-BK, yaitu berdasar pada kriteria penentuan peringkat
kesejahteraan keluarga dari BKKBN, ditambah beberapa kriteria lain, seperti: tidak
mempunyai pekerjaan tetap atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK); tidak bisa
makan dua kali sehari; memiliki pakaian hanya dua pasang; ada anak yang gagal
melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi; ada anggota keluarga yang sakit dan tidak
bisa berobat karena alasan ekonomi.
Semua responden menganggap kriteria tersebut cukup baik, kendati belum sempurna.
Alasannya adalah up dating data dilakukan secara teratur setahun sekali oleh Pelaksana
Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan petugas di lapangan terbiasa dengan kriteria
tersebut. Namun dinilai beberapa responden belum sempurna karena pendapatan keluarga
belum terwakili dalam kriteria tersebut dan orang yang mempunyai pekerjaan tetap bisa
saja miskin.
Tabel 2.
Perkembangan Gakin Menurut Kabupaten/Kota Diurutkan
Berdasar Data Tahun 2003
dari yang Terendah hingga yang Tertinggi
Persentase Gakin
No Kab/Kota 2001 2002 2003
% % %
1 Jakarta Selatan 2,9 2,6 2,4
2 Jakarta Utara 5,0 5,0 4,3
3 Balikpapan 8,9 7,1 6,5
4 Salatiga 38,3 11,5 8,0
5 Tabanan 9,0 8,9 8,6
6 Malang 11,9 11,9 11,7
7 Makassar 9,4 27,0 11,9
8 Pekanbaru 9,4 9,2 16,5
9 Klungkung 13,6 17,6 17,6
10 Serang 26,3 25,6 19,5
11 Jepara 26,0 25,7 26,2
12 Kutai 29,2 20,4 28,5
13 Indragiri Hulu 32,8 32,2 33,6
14 Probolinggo 45,1 37,7 36,6
15 Kupang 38,1 40,5 37,6
16 Jeneponto 21,2 23,1 41,8
17 Timor Tengah Selatan 36,9 31,8 44,9
18 Pandeglang 47,4 42,7 46,9
Pada tingkat kabupaten/kota, pada tabel di atas tampak variasi daerah dalam
persentase keluarga miskin. Di antara 18 kabupaten/kota lokasi penelitian, terdapat sebaran
yang cukup merata antara daerah dengan persentase Gakin rendah, sedang, hingga tinggi.
7
Perubahan persentase Gakin di lokasi penelitian bervariasi: ada yang naik, turun atau
berfluktuasi. Tetapi secara umum urutan persentase Gakin di antara 18 kabupaten/kota
lokasi penelitian tidak banyak berubah dari tahun 2001 hingga tahun 2002.
Tabel 3.
Utilisasi Pelayanan Kesehatan oleh Gakin di Sembilan Propinsi
Tahun 2002
Jumlah gakin
pemegang KS
yang
Jumlah gakin mengunjungi Persen
pemegang Kartu fasilitas kunjungan gakin Jumlah Total Intensitas
No Propinsi Sehat (KS) kesehatan KS* kunjungan kunjungan (**)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Riau 138,029 49,164 35.6 85,782 1.74
2 Banten 411,521 201,682 49.1 352,464 1.75
3 DKI Jakarta 135,986 38,350 28.2 111,739 2.91
4 Jateng 1,798,433 546,093 30.4 1,233,646 2.26
5 Jatim 1,773,346 388,564 21.9 1,069,406 2.75
6 Bali 74,090 25,274 34.1 50,007 1.96
7 NTT 330,733 147,281 44.5 311,206 2.11
8 Kaltim 68,518 27,415 40.0 54,646 1.99
9 Sulsel 412,651 195,749 47.4 568,592 2.90
Rata-rata 36,8 2,26
Sumber: Laporan Sekretariat JPS-BK, DepKes RI
Catatan: (*) persentase jumlah gakin pemegang kartu sehat yang mengunjungi fasilitas kesehatan (4)
terhadap jumlah gakin pemegang katu sehat (3)
(**) jumlah kunjungan per gakin per tahun yaitu (6)/(4)
Dari tabel di atas terlihat bahwa intensitas kunjungan Gakin ke fasilitas kesehatan
berkisar antara 1.74 sampai 2.91 kunjungan per Gakin per tahun. Adapun rata-rata
intensitas kunjungan di sembilan propinsi tersebut adalah 2,26 kunjungan/Gakin/tahun.
Jika di asumsikan rata-rata jumlah anggota setiap keluarga Gakin adalah 4,5 orang, maka
contact rate per penduduk miskin adalah 2,26/4,5 = 0,5 kunjungan per orang per tahun.
Angka ini kurang lebih sama dengan contact rate penduduk secara umum (atas dasar
analisis data Susenas). Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa program
JPS-BK/PKPS-BBM paling tidak bisa mempertahankan akses penduduk miskin kepada
pelayanan kesehatan, sama dengan akses penduduk secara umum.
8
Tabel 4
Gambaran Utilisasi Dana Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin
di Daerah Kajian Tahun 2002
Ja-karta Utara
Kota Ma-lang
Pan-deg-lang
Kotamad-ya
Jene-ponto
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Pekanbaru
Kota Ma-
kassar
Kota
Indragiri Hulu
Ja-karta Utara
Kota Ma-lang
Pan-deg-lang
Kotamad-ya
Jene-ponto
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Pekanbaru
Kota Ma-
kassar
Kota
Bayi 12-23 bulan 42,1 90,5 5.6 100.0 100.0 9.7 62.7
Bayi 24-59 bulan 27,8 98,5 3.7 100.0 100.0 52.8 4.95
Posyandu Aktif 100 100,0 83.8 100.0 100.0 85.0 100.0
Dana yang disalurkan 100 100 80.2 98.0 100.0 85.0 100.0
Tabel 5
Proporsi Tenaga Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan di Daerah Studi
Tahun 2003
Dengan menggunakan angka rata-rata 6,3 Posyandu per desa sebagai dasar,
terdapat 11 dari 18 daerah yang secara relatif memiliki Posyandu di bawah rata-rata.
Dengan demikian penyebaran Posyandu kurang merata. Empat daerah yaitu Serang, TTU,
Kutai dan Jeneponto mengalami kekurangan sangat parah (kurang dari 50 persen rata-rata
seluruh daerah).
Angka ini menunjukkan bahwa peranan Posyandu memang sudah menurun drastis
di sebagian besar daerah. Angka ini menunjukkan bahwa peranan Posyandu memang
menurun drastis di sebagian besar daerah. Kalau dipercayai bahwa Posyandu cukup sukses
11
di masa lalu dalam mencapai target beberapa jenis pelayanan dasar, maka temuan ini
menunjukkan betapa pentingnya untuk melakukan revitalisasi Posyandu.
dengan bukti pelayanan, seorang bidan bisa menghabiskan ongkos transportasi yang lebih
besar dari pada jumlah dana yang akan diklaimnya dari kantor pos. Kasus ini terjadi kalau
jumlah persalinan yang ditanganinya dalam sebulan hanya sedikit.
Pekanbaru, Makasar, Malang dan Balikpapan mempunyai porsi tenaga kerja sektor formal
agak tinggi, yaitu di atas 70% dari semua tenaga kerja. Di daerah lain, angka tersebut
bervariasi di bawah 50%. Sedikitnya penduduk yang bekerja di sektor formal akan
menyulitkan pengembangan sistem asuransi, khususnya dalam pengumpulan premi.
Dengan demikian pada masa sekarang, mengintegrasikan dana JPS-BK/PKPS-BBM ke
dalam sistem asuransi kesehatan belum memungkinkan, karena asuransi kesehatan belum
berkembang.
terarah, mengingat perannya sangat penting (dan terbukti efektif) dalam program
immunisasi, diare, peningkatan gizi dan KIA/KB, serta mobilisasi peran serta masyarakat.
5. Kebutuhan Dana
Kekurangan dana terutama dihadapi Rumah Sakit. Atas dasar pengalaman empiris,
pihak RS menyarankan untuk menaikkan alokasi dana, dua sampai tiga kali lipat dari
alokasi dana tahun 2003. Untuk Puskesmas, dana yang dialokasikan selama ini sudah
cukup untuk membiayai pelayanan langsung. Akan tetapi ada keluhan dari bidan tentang
kurangnya dana kegiatan non-pelayanan, yaitu biaya transportasi kegiatan di lapangan.
5.2 REKOMENDASI
1. Perlu dilakukan studi untuk menemukan kriteria operasional yang lebih sensitif dan
spesifik. Studi tersebut dilakukan di berbagai kelompok masyarakat miskin yang
berbeda. Prioritas hendaknya diberikan pada masyarakat industri, petani, nelayan, dan
masyarakat di daerah perkotaan.
4. Penyaluran dana langsung ke rekening bidan perlu tetap dipertahankan dan bidan
diberikan kemudahan mencairkannya. Untuk Puskesmas dan RS, pencairan akan lebih
baik melalui sistem klaim dengan bukti-bukti pelayanan.
6. Perlu dilakukan pemetaan kemampuan fiskal daerah dan kemudian membagi daerah
(400 kabupaten/kota) menjadi beberapa strata. Informasi tersebut, ditambah dengan
informasi jumlah Gakin dan kebutuhan dana kesehatan Gakin, dipergunakan untuk
menetapkan persentase kontribusi daerah.
DAFTAR PUSTAKA