Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan
oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada
paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yangabnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya.
2.2 EPIDEMIOLOGI.
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53%
pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang
berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat
sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-
5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi
Universitas Sumatera Utara ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%,
dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam
sebesar 6,7%.
Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990. Indonesia sendiri belumlah memiliki
data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI
1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat
ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. 1,2,7 Tingkat morbiditas dan mortalitas
PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian
rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat8 juta penderita PPOK rawat
jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat
inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun
2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara
berurutan.Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000 populasi.
2.3. Faktor Risiko.
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologidari
PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan
perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
2.3.1 Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik
yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah
defisiensi 1 antitripsin,yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi 1 antitripsinadalah emfisema paru yang Universitas Sumatera
Utaradapat muncul baik pada perokok maupunbukan perokok, tetapi memang akan diperberat
oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis
PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya.
Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusiterhadap
perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akanterintegrasi secara langsung
terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dariberbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia
yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka
yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain
environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang
muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika
ibunya perokok aktif atau bapaknya perokokaktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain
didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran
pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga
amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah
terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat
berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% (95% CI 39,1-54,6)yang
mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui
bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan
pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga
mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita
PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan
pekerjaan ( occupational dusts) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak
terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi
debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANESIII didapati
hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan.
American Thoracic Society (ATS)sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan
memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayukayuan, kotoran hewan, sisa-sisa
serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK
khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan
progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan
bermotor. Kadar sulfur dioksida(SO2) dan nitrogen Universitas Sumatera Utara dioksida
(NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang
semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.
2.3.3 Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya
PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam
kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar
didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
2.3.4 Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-
paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara
enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan
yang penting terhadap patogenesis PPOK.
2.3.5 Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada
beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada
Priadi bandingkan pada wanita, tetapi penelitian daribeberapa negara maju menunjukkan
bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat
beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap
rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih
banyak yang merupakan perokok saat ini.
2.3.6 Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada
PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran
nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.
2.3.7 Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor
maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status
sisioekonomi.
2.3.8 Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risikoterhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu
penelitian padaTucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggirisiko menderita PPOK.
2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan
unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang
ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal
bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata Penyempitan
saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh
perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel
saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia
mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan
terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan
merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang
pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Gambaran Epitel saluran nafas pada
PPOK dan orang sehat. Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah
alveolar dan septal dari alveolus yangrusak, dapat terbagi atasemfisema sentrisinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular ) yang
sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang
dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya
pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-
paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi. Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK
merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi
dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit
akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada
saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini
meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti
merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang
berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotacticfactors seperti
CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi
netrofil dan makrofagserta aktivasifaktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga
terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi
mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses
ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas
yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trappingpada emfisema paru. Proses ini
kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi: perfusi yang pada
tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini
berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah
terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan
remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary
capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.
2.5 INFLAMASI PADA PPOK.
2.5.1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar
sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahuiluas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan
eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga
menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen. Hambatan aliran
udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan struktural pada
PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok
diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T,
neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran
akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+ dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan
menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar
bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi
mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4yang mengekspresikan sejumlah
besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret. TNF
yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan menyebabkan
peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1dan IL-6yang kemudian akan menginduksi
angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga
beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas
sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel
inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah
tepi. Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi
terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme
pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok.
Mekanisme Inflamasi Pada PPOK.
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik
melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya
kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun.
Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa
respon inflamasi lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFRdan IL8pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada
sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada
orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi,lipopolisakarida
memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh,
reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana memang
inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek
yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga
adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang
terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang
menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer. Lingkaran terjadinya
proses kerusakan pada PPOK.
2.5.2 TNF Alpha pada PPOK.
TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectinadalah sitokin inflamasi
pleotropik. Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun secara in vivo sudah di ketahui
sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A
Granger dari University of California melaporkan adanya faktor sitotoksik yang dihasilkan
oleh lymphocyte dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesudah itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd
J. Old dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York, melaporkan faktor
sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor Necrosis Factor
(TNF). Tumor Necrosis Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang memiliki efek yang
bermacam-macam, seperti growth promotion, growth inhibition, angiogenesis, cytotoxicity,
inflammation, danimunomodulation yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi.
Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapijuga oleh sistim imun yang
lainnya meliputi : lymphocytes, natural killer cells, mast cellsdan jaringan stromal meliputi :
endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNFdi sintesis oleh monomeric Type-2
transmembrane protein (tmTNF)berada didalam membran homotrimerdan membelah menjadi
matrix metalloprotease TNF-converting enzyme (TACE) dan untuk soluble circulating
trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNFdan solTNFmerupakan bentuk biologi yang
aktif. Keseimbangan antara tmTNFdan solTNFmenberikan signal yang dapat mempengaruhi
tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan
ekspresi dari endogenous TACE inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF
mediatedpada kelangsungan hidup sel. Alveolar macrophages memainkan peranan yang
penting sebagai imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan patogen
terhadap paru-paru, pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar
macrophages memiliki tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara
penghubung yaitu udara dan jaringan paruparu, dan bertindak sebagai pertahan pertama
terhadap pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages
berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan hanya
1% neutophil, ini adalah alasannya bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel
phagositosis dari sistem imun bawaan pada paruparu. Sel ini memegang peranan sebagai
poros dari proses inflamasi pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10
kali) pada saluran nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada
penderita PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag ini juga berhubungan
dengan tingkat keparahan dari PPOK. Paparan asap rokok memang merupakan penyebab
tersering dari PPOK, di mana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag
untuk melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya adalah TNF. TNF di percaya
memerankan peranan yang sangat penting terhadap patofisiologi dari PPOK. TNFdi
perlihatkan pada binatang percobaan yang dapat menginduksi perubahan patologi pada
PPOK, termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru, fibrosis parudan emphisema. Secara
In vivo peninggian kadar TNFjuga dapat di jumpai pada darah perifer, biopsi bronkhial,
induksi sputum dan BAL dari pasien-pasien PPOK stabil yang dibandingkan dengan kontrol.
2.6 DIAGNOSIS.
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi
sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai
PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator.
Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang
dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik
hambatanaliran udara biasanyatidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari
fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada
inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barel-shaped, takhipneu, edema
tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu
diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan
menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat
dengan disertai adanya mengi. Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang
wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih
memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini
merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible
akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP)
Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan,
jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska
bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian
VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK. Gambaran foto dada yang abnormal
jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang
mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume
udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru.
Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung.
Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.

Anda mungkin juga menyukai