Anda di halaman 1dari 2

Materi Khutbah Tarawih, disadur dari Buku Madrasah Ruhaniah, karangan Jalaluddin

Rahmat Assalamualaikum wa rahmatullahi wabarakatuh Ibu-Ibu, Bapak-bapak, adik-adik


dan hadirin sekalian yang saya muliakan. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta kesehatan kepada
kita semua sehingga kita masih bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan hingga memasuki
hari yang ke 14 ini. Mudah-mudahan kita tetap diberi kekuatan sehingga dapat
menyelesaikan ibadah shaum Ramadhan ini sampai selesai dengan sebaik-baiknya. Shalawat
dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah
memberikan suri tauladan kehidupan berahlak mulia kepada kita semua untuk mencapai ridha
Allah SWT. Pada kesempatan ini ijinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal yang
berkaitan dengan ibadah puasa yang sedang kita jalani in. Hadirin sekalian, Hakikat Puasa
adalah Tunduk pada Kehendak Illahi. Nabi Muhammad Saw bersabda : Semua amal anak
adam dilipat gandakan. Kebaikan dilipat gandakan sepuluh sampai seratus kali, kecuali
puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang
berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannnya hanya untuk Aku. Bagi orang yang
berpuasa ada dua kebahagiaan : kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia
berjumpa dengan Tuhannya (Al Bukhari dan Muslim) Jadi hakikat puasa, menurut Nabi
SAW adalah meninggalkan semua keinginannya selain untuk menjalankan perintah Tuhan,
menanggalkan kehendak dirinya dan menjalankan kehendak Ilahi. Dalam puasa,
kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan ditenangkan dan dijinakkan
melalui penaklukan kecenderungan secara sistematis pada kehendak Illahi. Setiap saat
merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Illahi,
gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya puasa tidak hanya menahan diri
dari makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan nafsu. Sebagai
akibat dari pengendalian sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak
bergantung pada lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia tetapi
bukan bagian darinya. Orang yang berpuasa dengan penuh keimanan segera menyadari
bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai mahluk yang ditakdirkan
mencapai tujuan di seberang wujud yang material ini. Lebih jauh lagi, sifat segala sesuatu
yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugerah Illahi. Makan dan minum
yang kita anggap sebagai hal yang biasa sepanjang tahun, pada waktu puasa tampak sebagai
karunia dari surga (nimah) dan mencapai makna ruhaniah seperti sebuah sakramen.
Berpuasa adalah memakai perisai kesucian dalam menghadapi hawa nafsu dunia. Alhasil,
hanya puasa dengan hakikatnya, puasa dengan ruhnya, yang akan menjadi sumber kekuatan
muslim dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni
menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Illahi, ia menyerap tenaga yang tak terhingga.
Puasa menjadi sumber energi untuk membersihkan jiwa dan raganya. Meniadakan diri dan
menenggelamkan diri pada yang Maha Kuasa adalah hakikat puasa. Sebelum mencapai
hakikat puasa, seorang muslim harus menjalankan tarekat puasa. Di sini dia mengendalikan
semua alat inderanya -yang lahir dan batin- dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki
Tuhan. Ia tidak saja mengendalikan mulutnya dari menyebarkan gossip, intrik, makian, dan
ancaman; tetapi juga ia mengendalikan daya khayalnya dari rencana jahat atau niat buruk. Ia
tidak saja menutup mata lahirnya dari pandangan yang dilarang Tuhan; tetapi juga menutup
daya pikirnya dari melakukan kelicikan, pengkhianatan, dan penyelewengan. Jauh sebelum
sampai ke tarekat puasa, seorang Muslim tentu saja harus memenuhi syariat puasa paling
tidak, menahan untuk makan, minum dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Pada tingkat syariatpun, para ahli fiqih menegaskan bahwa puasa harus disertai dengan niat
yang berdasarkan keimanan dan keinginan untuk mememperoleh ridha Tuhan. Tanpa imanan
wahti saban, puasa kita tidak sah. Jadi termasuk yang menentukan sah-tidaknya puasa adalah
niat. Sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niatnya, sabda Nabi Saw yang dikutip
Bukhari sebagai hadis pertama dalam kumpulan hadisnya. Berdasarkan niatnya ada dua
macam puasa. Pertama, puasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya di atas
kebutuhan untuk mendapatkan ridha dan ampunan Tuhan. Kedua, puasa yang dilakukan
untuk memperoleh Ridha Tuhan di atas kebutuhan dirinya. Secara syariat, yang pertama
dihitung tidak sah. Secara psikologis, ia juga dianggap sebagai sebuah cara beragama yang
tidak dewasa. Orang yang menikmati puasanya, hanyalah orang yang melakukan puasa
karena keimanan dan karena memenuhi kehendak Illahi imanan wahtisaban. Inilah puasa
yang difirmankan Tuhan : Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan
pahalanya. Artinya pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa, selain
Allah (dan dirinya sendiri). Seseorang tidak perlu khawatir kalau orang lain tidak mengetahui
bahwa dia berpuasa, karena Tuhan selalu mengetahuinya. Selanjutnya, Puasa yang dilakukan
bukan untuk Tuhan adalah puasa tanpa jiwa. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa.
Rasulullah SAW bersaba, Syariat itu ucapanku, tarekat perbuatanku, dan hakekat adalah
keadaanku. Dengan merujuk pada sabda-sabdanya, kita melakukan berbagai ketaatan. Kita
lakukan puasa kita dengan berpegang pada sabda nabi. Kita mengikuti petunjuk nabi dalam
bersahur, berpuasa, berbuka, dan berdoa di malam hari. Inilah ketaatan yang paling
mendasar, bagian terluar dari ajaran Islam. Inilah syariat. Ketika kita mencoba menerapkan
perilaku nabi dalam perilaku kita, ketia puasa Nabi juga menjadi puasa kita, kita memasuki
ketaatann yang lebih mendalam. Inilah tarekat. Ketika kita menyaksikan apa yang disaksikan
nabi Saw, ketika tirai yang menutup mata kita dibukakan, kita memasuki wilayah hakikat.
Syariat, tarekat, dan hakekat tidak bisa dipisahkan. Ketiganya berjalin berurutan. Tidak
mungkin mencapai hakikat tanpa tarekat. Tidak mungkin mempraktekkan tarekat tanpa
syariat. Demikian uraian singkat yang bisa saya sampaikan malah ini. Mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi kita semua. Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa ini dengan sebaik-
baiknya. Semoga dengan ibadah puasa ini kita dapat mencapai tujuan puasa yaitu mencapai
derajat taqwa yang setinggi-tingginya. Billahit taufi wal hidayah, wassalamualaikum wa
rahmatullah wa barakatuh.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai