Anda di halaman 1dari 3

Cegah DM Dengan Mengenali Faktor Resiko

April 1st, 2012

Diantara penyakit degeneratif, diabetes mellitus (DM) adalah salah


satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. WHO
menaksir bahwa lebih dari 180 juta orang di seluruh dunia mengidap penyakit diabetes
melitus. Diperkirakan 1,1 juta orang-orang meninggal akibat diabetes pada tahun 2005.

Hampir 80% kematian diabetes terjadi di negara-negara yang mengalami peningkatan


kemakmuran akibat dari peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup
terutama di kota-kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit diabetes melitus.
Hampir separuh kematian diabetes terjadi pada penduduk yang berusia di bawah 70 tahun,
55% diantaranya adalah wanita.

Di Indonesia peningkatan jumlah penderita diabetes melitus bahkan lebih cepat dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya. WHO menyimpulkan bahwa di Indonesia,
penderita diabetes melitus menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah dengan prevalensi
8,6% dari total penduduk, sedangkan urutan diatasnya India, China dan Amerika Serikat.
Beberapa penelitian di Bali, 2005 menunjukkan bahwa insiden DM di masyarakat mencapai
lebih dari 13,5% dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan perubahan
gaya hidup dan pola makan masyarakat. Temuan tersebut semakin membuktikan bahwa
penyakit diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius
(Depkes.go.id, 2005).

Terdapat dua jenis penyakit diabetes melitus yaitu diabetes melitus tipe 1 (insulin-dependent
diabetes mellitus) yaitu kondisi defisiensi produksi insulin oleh pankreas. Kondisi ini hanya
bisa diobati dengan pemberian insulin. Diabetes melitus tipe-2 (non-insulin-dependent
diabetes mellitus) yang terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk berespons dengan wajar
terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak
tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah. Diabetes melitus tipe-2 ini lebih banyak
ditemukan dan diperkirakan meliputi 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia
(Depkes.go.id, 2005).

Diabetes tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, dengan rajin mengontrol kadar
gula darah. Kontrol yang ketat ini bisa mencegah terjadinya komplikasi pada pasien diabetes.
Penyakit diabetes melitus dapat dihindari apabila setiap individu melakukan tindakan
pencegahan, antara lain mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit
diabetes yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi, diantaranya obesitas, merokok, stres,
hipertensi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu usia di atas 45 tahun keatas,
faktor keturunan, ras, riwayat menderita diabetes gestasional, pernah melahirkan bayi dengan
berat lebih dari 4,5 kg dan jenis kelamin.
Namun dalam hal ini, khususnya di Indonesia, faktor risiko terbesar penyebab diabetes adalah
obesitas (Depkes.go.id, 2005). Analisis yang dilakukan di Jakarta melihat adanya korelasi
yang bermakna antara obesitas dengan kadar gula darah. Obesitas secara tersendiri tidak
sampai menimbulkan diabetes, walaupun jelas dapat menaikkan kadar gula darah.
Mekanisme hubungan antara obesitas sebagai faktor risiko diabetes, sampai saat ini masih
belum jelas benar. Yang sudah diketahui adalah bahwa diabetes melitus mempunyai etiologi
multifaktorial dengan obesitas sebagai salah satu faktornya (Sarwono, 1996).

Faktor risiko kedua yang dapat dimodifikasi yaitu merokok. Merokok merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena merokok dapat menimbulkan kematian.
Bila pada tahun 2000 hampir 4 juta orang meninggal akibat merokok, maka pada tahun 2010
akan meningkat menjadi 7 dari 10 orang yang akan meninggal karena merokok. Di Indonesia,
70% penduduknya adalah perokok aktif. Dilihat dari sisi rumah tangga, 57 persennya
memiliki anggota yang merokok yang hampir semuanya merokok di dalam rumah ketika
bersama anggota keluarga lainnya. Artinya, hampir semua orang di Indonesia ini merupakan
perokok pasif (Depkes.go.id, 2005).

Di negara maju kebisaaan merokok semakin menurun, sebaliknya di negara berkembang


cenderung meningkat. Hal ini menurut WHO berkaitan dengan intelektualitas suatu
masyarakat yang pada hakekatnya mendasari pengetahuan tentang risiko merokok bagi
kesehatan. Menurut penelitian, di Indonesia pun terdapat kecendrungan meningkatnya jumlah
perokok terutama pada kaum remaja. Walaupun telah banyak dokumentasi mengenai akibat
buruk dari merokok dan kematian yang disebabkannya, sampai saat ini prevalensi merokok di
Indonesia makin tinggi, umur mulai merokok makin muda, dan perokok yang berasal dari
golongan ekonomi kurang mampu makin banyak. Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh
adiksi dari nikotin, disamping pengetahuan mengenai akibat merokok pada kesehatan masih
kurang, serta dampak merokok tidak langsung dirasakan, akan tetapi setelah jangka waktu
yang cukup lama.

Faktor risiko ketiga yang dapat dimodifikasi yaitu stres. Stres memang faktor yang dapat
membuat seseorang menjadi rentan dan lemah, bukan hanya secara mental tetapi juga fisik.
Penelitian terbaru membuktikan komponen kecemasan, depresi dan gangguan tidur malam
hari adalah faktor pemicu terjadinya penyakit diabetes khususnya di kalangan pria. Para ahli
dari Karolinska Institute Swedia menemukan, pria yang memiliki tingkat stres psikologisnya
tinggi tercatat memiliki risiko dua kali lipat menderita diabetes tipe-2 dibandingkan mereka
yang tingkat stres psikologisnya rendah.

Seperti yang dimuat dalam jurnal Diabetic Medicine pria dengan tingkat stres psikologisnya
paling tinggi tercatat hingga 2,2 kali lipat memiliki kemungkinan atau risiko mengidap
diabetes daripada yang tingkatnya rendah. Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa
hubungan tersebut tidak terpengaruhi oleh faktor lain seperti usia, indeks masa tubuh, riwayat
diabetes dalam keluarga, merokok, aktivitas fisik dan latar belakang sosial-ekonomi
(Kompas.com, 2008). Dalam penelitian lainnya juga telah disimpulkan bahwa sekitar 30%
pasien dengan DM mempunyai riwayat depresi. Data yang bermakna telah menunjukkan
adanya hubungan antara depresi dengan hiperglikemia pada DM tipe 1 dan tipe 2
(kalbe.co.id, 2008).

Faktor keempat adalah hipertensi. Di Amerika telah meneliti hubungan antara tekanan darah
dengan diabetes tipe 2 dan menemukan bahwa wanita yang memiliki tekanan darah tinggi
berisiko 3 kali terkena diabetes dibandingkan dengan wanita yang memiliki tekanan darah
rendah. Dari beberapa studi ditemukan adanya hubungan yang erat antara hipertensi dengan
diabetes tipe 2, namun hanya ada sedikit infomasi mengenai hubungan antara tingkat tekanan
darah dan diabetes tipe 2 yang terjadi sesudahnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
wanita yang memiliki hipertensi, berisiko 3 kali lipat menjadi diabetes dibandingkan dengan
wanita yang memiliki tekanan darah optimal (Escardio, 2007).

Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%.
Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta,
menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada
pria adalah 13,6% (1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi
mencapai 16% (1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000). Survei di pedesaan Bali (2004)
menemukan prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita (depkes.go.id, 2007)

Diabetes adalah masalah kesehatan yang harus ditanggulangi dengan melibatkan berbagai
pihak, baik secara medis maupun non medis, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sesuai
dengan porsinya masing-masing. Dengan adanya upaya penyebarluasan informasi tentang
diabetes, dapat membantu para penderita untuk hidup nyaman dan produktif (Depkes.go.id,
2005).

Untuk lebih mengoptimalkan lagi usaha pencegahan terhadap penyakit diabetes mellitus
maka sangat penting untuk menganalisis faktor risiko obesitas dan merokok, stres dan
hipertensi dalam hubungannya dengan diabetes mellitus tipe-2 sehingga dapat diberikan
anjuran kepada masyarakat untuk menghindari faktor tersebut, dan kemungkinan terjadinya
penyakit diabetes mellitus dapat diperkecil. Tindakan pencegahan yang dimaksud meliputi
tindakan pencegahan secara primer maupun sekunder.

Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya diabetes melitus pada individu yang
berisiko melalui modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, aktivitas fisik, penurunan berat
badan) dengan didukung program edukasi yang berkelanjutan. Meskipun program ini tidak
mudah, tetapi sangat menghemat biaya. Oleh karena itu dianjurkan untuk dilakukan di
negara-negara dengan sumber daya terbatas. Sedangkan pencegahan sekunder, merupakan
tindakan pencegahan terjadinya komplikasi akut maupun jangka panjang. Programnya
meliputi pemeriksaan dan pengobatan tekanan darah, perawatan kaki diabetes, pemeriksaan
mata secara rutin, pemeriksaan protein dalam urine program menurunkan atau menghentikan
kebisaaan merokok (Depkes.go.id, 2007).

Selain dokter, peran perawat sangat penting untuk mengoptimalkan pencegahan primer
maupun sekunder bagi penderita diabetes maupun orang yang berisiko terkena penyakit
diabetes. Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan tentang penyakit diabetes mellitus dan
faktor-faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit diabetes.

Anda mungkin juga menyukai