Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang terdapat
pada saluran nafas atas maupun saluran nafas bagian bawah. Penyakit infeksi ini
dapat menyerang semua umur, tetapi bayi dan balita paling rentan untuk terinfeksi
penyakit ini. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan
seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun
demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan
antibiotik dapat mengakibat kematian.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan
yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan
oleh virus, sering terjadi pada cuaca dingin. ISPA yang berlanjut dapat menjadi
pneumonia. Hal ini sering terjadi pada anak-anak terutama apabila terdapat gizi
kurang dan keadaan lingkungan yang kurang bersih.
Karena banyak gejala ISPA yang tidak spesifik dan tes diagnosis cepat
tidak selalu tersedia, maka etiologi kadang sering tidak diketahui dengan segera.
Dengan demikian fasilitas pelayanan kesehatan, terutama Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) sebagai lini pertama, menghadapi tantangan untuk
memberikan pelayanan kepada pasien ISPA dengan etiologi dan pola penularan
yang diketahui atau pun tidak diketahui. Penting bagi petugas kesehatan untuk
melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat saat menangani
pasien ISPA untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya penyebaran infeksi
kepada diri sendiri, petugas kesehatan yang lain, pasien maupun pengunjung.
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih
dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah
frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung,
nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh

1
viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat
ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen
dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986). WHO (1986), juga
mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan
mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan
distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak
ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus influenza A & B.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian
balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada usia
balita.
Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada
tahun 2007, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi
tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%). Jumlah balita dengan ISPA di
Indonesia pada tahun 2011 adalah lima diantara 1.000 balita yang berarti
sebanyak 150.000 balita meninggal pertahun atau sebanyak 12.500 balita
perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita perjam atau seorang balita perlima
menit. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi penderita ISPA di Indonesia adalah
9,4% ( Depkes, 2012). Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun
2013 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi 2 terbesar
di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh kematian balita), sedangkan
di Jateng 28 % (2012), 27,2 % tahun 2013(DepKes, 2013)
Di Kabupaten Bulukumba yang berpenduduk sekitar 391.593 jiwa
merupakan daerah yang memiliki jumlah penderita ISPA yang cukup banyak di
Sulawesi Selatan yakni di tahun 2009 terdapat sekitar 19.304 (16%) jiwa, tahun
2010 sebanyak 27.163 (21,17%) jiwa, tahun 2011 sebanyak 20.373 (13,76),
kemudian pada tahun 2012 sebanyak 25.681 (14,1%) dan pada akhir tahun 2013
penderita ISPA di Kabupaten Bulukumba sebanyak 25.551 (10,64%).
Tingginya kasus ISPA dapat menyebabkan burden of disease, dalam hal
ini penurunan tingkat ekonomi dan disabilitas fungsional dapat terjadi di

2
masyarakat. Beberapa kasus ISPA dapat juga menyebabkan Kejadian Luar Biasa
dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga menyebabkan
kondisi darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah internasional.
Beberapa faktor tersebut yang mempengaruhi tingginya angka kejadian
penyakit ISPA di masyarakat adalah faktor lingkungan dan juga faktor perilaku,
persepsi serta pengetahuan masyarakat. Pentingnya pencegahan untuk terhindar
dari penyakit dapat dilakukan dengan pemberian informasi dan pengetahuan
tentang penyakit ISPA tersebut sehingga masyarakat dapat melakukan pola hidup
sehat. Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis melakukan sebuah
penelitian tentang faktor penyebab penurunan kasus penyakit ISPA di Kabupaten
Bulukumba.

B. Rumusan Masalah
Menurunnya kasus ISPA di Kabupaten Bulukumba secara drastis dapat
memberikan motivasi terhadap kabupaten lain untuk dapat menurunkan juga
kasus penyakit ISPA yang merupakan penyakit yang paling endemik di hamper
setiap daerah, maka dari itu dengan adanya kasus yang terjadi di Kabupaten
Bulukumba memberikan dorongan kepada peneliti untuk melakukan penelitian
tentang faktor penyebab penurunan kasus penyakit ISPA di Kabupaten
Bulukumba.

C. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian, patokan dugaan
sementara yang akan dibuktikan dalam suatu penelitian. Jadi hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara kondisi perumahan penduduk ( Tingkat hunian,
ventilasi, kelembaban ruangan) dengan kejadian penyakit ISPA di
Kabupaten Bulukumba.
2. Ada hubungan antara faktor risiko lingkungan luar rumah (perilaku,
pembakaran, transportasi) dengan kejadian penyakit ISPA di Kabupaten
Bulukumba.

3
D. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Pengukuran Kategori Skala
Variabel
Dependen
1. Kejadian Orang yang menderita Pemeriksaan 1. Kasus Nominal
ISPA ISPA berdasarkan data berdasarkan 2.Kontrol
dari Dinas Kesehatan gejala klinis.
Kabupaten Bulukumba.

Kontrol Orang yang bebas dari


penyakit ISPA yang
berada di wilayah
Kabupaten Bulukumba
2. Variabel
Independen
Tingkat Yaitu kondisi keadaan 1.Pengamatan 1. Tidak Nominal
Hunian jumlah penghuni setiap Langsung padat
rumah 2. Pengisian 2. Padat
kuesioner

Ventilasi Yaitu tempat keluar 1.Pengamatan 1. Tidak Nominal


masuknya udara ke Langsung ada
dalam rumah 2. Pengisisan 2. Ada
kuesioner

Kelembaban Yaitu tingkat 1.Pengamatan Nominal


kelembaban diluar rumah Langsung
2. Pengisian
kuesioner

Umur Yaitu usia responden


yang diukur berdasarkan 1.Pengamatan Tahun/ Ordinal
dengan tahun pada Langsung Bulan
tempat penelitian 2. Pengisian
kuesioner

Pendidikan Jenjang pendidikan 1.Pengamatan 1. Tidak


terakhir responden Langsung tamat SD Nominal
2. Pengisisan 2. Tamat
kuesioner SD
3. Tamat
SMP
4. Tamat
SMA
5. Tamat
Perguruan
Tinggi

Pekerjaan Yaitu jenis pekerjaan 1.Pengamatan 1. Petani


responden waktu Langsung 2. Nelayan Nominal
dilakukan wawancara 2. Pengisian 3. Pegawai

4
kuesioner 4. Wira-
swasta
5. Buruh
6. Ibu
Rumah
Tangga
Perilaku Yaitu sikap atau tindakan 1.Pengamatan
yang dapat memicu Langsung Nominal
terjadinya penyakit ISPA 2. Pengisian
kuesioner
Pembakaran Yaitu pembakaran
sampah yang dapat 1.Pengamatan 1.Tidak
mencemar lingkungan Langsung ada Nominal
2.Pengisian 2.Ada
kuesioner
Transportasi Yaitu asap kendaraan 1.Pengamatan 1.Tidak
yang dapat mencemari Langsung ada Nominal
lingkungan serta memicu 2. Pengisian 2.Ada
terjadinya ISPA kuesioner

2. Ruang Lingkup
a. Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015.
b. Lingkup Lokasi
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Bulukumba yang mencakup 10 Kecamatan.

E. Kajian Pustaka
Penelitian ini dilakukan oleh Ribka Rerung Layuk pada tahun 2013.
Penelitian ini berjudul Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA Pada
balita di Lembang Batu Sura.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel
dependen dan independen. Variabel dependen yaitu penyakit ISPA dan variabel
independen terdiri dari perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam rumah tangga, status
imunisasi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan umur.
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain cross
sectional study. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh balita yang
berusia 12-59 bulan di Lembang Batu Sura yang pernah berkunjung ke

5
Puskesmas Batu Sura selama tahun 2012 yaitu 96 balita. Analisis data dilakukan
dengan CI=95% secara univariat dan bivariat serta menggunakan uji Chi Square
dengan =0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi balita ISPA sebesar
59.4%, perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah sebesar 49.0%,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam rumah tangga sebesar 78.1%,
status imunisasi lengkap sebesar 95.8%, balita BBLR sebesar 13.5%, dan umur
berisiko tinggi 50%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku merokok
anggota keluarga dalam rumah (p=0,000) dan penggunaan kayu bakar sebagai
bahan bakar dalam rumah tangga (p=0,000) berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita, sedangkan status imunisasi (p=0,144), BBLR (p=0,436), dan umur
(p=0,061) tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita.

F. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi menurunnya kasus
penyakit ISPA di Kabupaten Bulukumba.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui karakteristik responden meliputi umur, pendidikan,
pekerjaan di Kabupaten Bulukumba.
b. Mengetahui kondisi perumahan penduduk seperti Tingkat hunian,
ventilasi, kelembaban ruangan dengan kejadian penyakit ISPA di
Kabupaten Bulukumba.
c. Mengetahui hubungan faktor risiko lingkungan luar rumah (perilaku,
pembakaran, transportasi) dengan kejadian penyakit ISPA di Kabupaten
Bulukumba.

G. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Berguna bagi Dinas Kesehatan Kabupaten yang memiliki angka kejadian
ISPA yang tinggi dalam melaksanakan Program penurunan kasus ISPA.

6
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian berguna bagi masyarakat yang tinggal di wilayah
Kabupaten Bulukumba untuk mengetahui lebih jelas tentang faktor-faktor
apa saja penyebab penyakit ISPA.
3. Bagi Peneliti Lain
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan lebih dalam
tentang pengetahuan penyakit ISPA, pengendaliannya serta
penangulanganya dalam menurunkan kasus ISPA.

7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian ISPA
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernafasan atas,
yang benar ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut.
Istilah ini didapati dari istilah dalam Bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory
Infection (ARI). Dalam lokarya Nasional ISPA terdapat dua pendapat berbeda,
pertama memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan kedua
memilihb istilah ISPA (Infeksi Saluran Nafas Akut) namun pada akhir lokarya
di putuskan untuk memakai istilah ISPA dan sampai sekarang istilah ini sering
digunakan (Depkes RI, 2002). Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan
suatu penyakit yang meliputi tiga unsur yakni; infeksi, pernafasan dan akut
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005). Infeksi adalah kolonisasi yang
dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang dan bersifat
membahayakan inang.
Organisme penginfeksi atau patogen, menggunakan sarana yang
dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan
inang. Patogen menganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka
kronik, gangren, kehilangan organ tubuh dan bahkan kematian. Respon inang
terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya
dikatagorikan sebagai organisme miskroskopik, walaupun sebenarnya
definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungsi dan virus. Simbiosis
antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak
dirugikan, digolongkan sebagai parasitisme.
Secara lebih singkatnya yang dinamakan infeksi adalah suatu
peradangan atau masuknya kuman yang menyebabkan peradangan karena
perlawanan tubuh kita. Jika daya tahan tubuh kita mampu melawan kuman
yang masuk maka infeksi akan teratasi (tidak jadi sakit) dan jika daya tahan
tubuh kita dapat melawan kuman yang masuk maka terjadilah infeksi. Kuman

8
yang masuk dapat berupa virus ataupun bakteri dan bisa juga jamur tapi ini
jarang. Jika terinfeksi oleh virus umumnya lebih sebentar daripada bakteri.
Infeksi oleh virus lebih singkat keparahannya tergantung daya virulensi atau
tingginya daya masuk yang menimbulkan parahnya penyakit (Depkes RI,
2005).
Menurut pendapat Dinkes DKI Jakarta (2004), adalah penyakit
infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh
masuknya kuman mikrooganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari.Infeksi saluran pernafasan akut
adalah penyakit yang menyerang saluran pernafasan terutama paru-paru,
termasuk penyakit tenggorokan dan telinga (Depkes RI, 1990). Menurut
pendapat Dinkes DKI Jakarta (2004), ISPA adalah penyakit infeksi pada
saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya
kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ saluran pernafasan
yang berlangsung selama 14 hari.
Menurut Myrnawati (2000); Infeksi Saluran Pernafasan Akut
mengandung 3 unsur:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung alveoli, beserta organ
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan plura dengan definisi ini,
secara anatomi ISPA mencakup :
- Saluran pernafasan bagian atas
- Saluran pernafasan bagian bawah (termasukjaringan paru)
- Organ adneksanya saluran pernafasan
3. Infeksi Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari (batas
14 hari untuk menunjukkan proses akut, walaupun proses ISPA dapat
berlangsung lebih dari 14 hari). Tambayong Jan (2000) menyatakan; Infeksi
Saluran Akut adalah Proses infeksi yang dapat mencakup saluran pernafasan
atas atau bawah atau keduanya, yang disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia,
fungsi, atau protozoa dan bersifat ringan, sembuh sendiri atau menurunkan

9
fungsin individu. Contohnya ISPA adalah nasofaringitis, influenza (virus)
yaitu radang nasofarings, farings, larings, disertai pembengkakan membrane
mukosa dan keluarnya eksudat serosa mukopurulen (infeksi sekunder).
Elizabeth J Corwin (2000) menyebutkan; ISPA adalah infeksi-infeksi
yang disebabkan oleh mikroorganisme, infeksi-infeksi tersebut pada struktur-
struktur saluran pernafasan termasuk rongga hidung, faring, dan laring. Infeksi
saluran nafas atas mencakup masuk angin atau (Commond Cold), faringitis
atau radang tenggorokan (Sore Throat) laryngitis dan influenza tanpa
komplikasi, sebagian besar saluran disebabkan oleh virus, walaupun bakteri
terlihat baik sejak awal atau yang terlihat sekunder terhadap infeksi virus.
Martin (2007) menyatakan bahwa ISPA adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak akibatnya
timbul gejala penyakit.

B. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri atas bakteri, virus dan ricketsia. Penyebab
ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Bakteri penyebabnya antara lain
dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus,
Bordotella dan Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan
Herpesvirus. Sekitar 90-95% penyakit. ISPA disebabkan oleh virus
(Depkes R.I, 2008b). Keanekargaman penyebab ISPA tergantung dari
umur, kondisi tubuh dan kondisi lingkungan. Di Amerika Serikat anak
yang berumur 1 bulan hingga 6 tahun penyebab terbesarya adalah
Streptococus pneumonia dan heamapilus influenza serotype B. Sedangkan
khusus anak 4 bulan hingga 2 tahun kejadian ISPA antara 60-70%
disebabkan oleh bakteri (Wattimena, 2004). Penyakit ISPA khususnya
penumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan
kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai
kondisi yang melatar belakanginya seperti malnutrisi juga kondisi

10
lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan
sebagainya (Depkes R.I, 2006).

C. Klasifikasi ISPA
Rasmaliah 2004 dalam Mubarak, 2008, penyakit ISPA terbagi dalam 2
golongan yaitu: Pnemonia (infeksi saluran pernafasan bawah), dan Bukan
Pneumonia (infeksi saluran pernafasan atas). Infeksi saluran pernafasan bawah
adalah nama lain dari pneumonia. Terdiri dari beberapa macam yaitu:
a. Pneumonia Viral
Pnaeumonia yang disebabkan virus biasanya ditandai oleh batuk-
batuk kering. Keluhan lain yang sering menganggu adalah sakit kepala,
sakit di otot-otot atau di sendi dan kadang-kadang pilek. Pneumonia viral
potensial berbahaya oleh karena dapat menyebabkan kegagalan pernafasan
serta mungkin terdapat gangguan jangka panjang pada saluran nafas
sesudah sembuh.
b. Pneumonia Bakterialis
Pneumonia bakterialis adalah suatu peradangan parenkhim paru
dengan eksudasi dan konsulidasi, disebabkan oleh mikroorganisme.
Dinjau dari bakteri yang menjadi penyebab infeksi pasien, pneumonia
bakterialis terbagi 2 macam yaitu:
1. Pneumonia sebab kuman gram positif. Kuman gram positif penyebab
pneumonia yaitu: bakteri pneomokokos dan bakteri stafilokokos.
2. Pneumonia sebab kuman gram negative. Kuman gram negatif
penyebab pneumonia yaitu: bakteri hemofilus influenza dan bakteri
pseudomonas. Menurut Lidianti 2007 dalam Mubarak 2008 infeksi
saluran pernafasan atas digolongkan ke dalam penyakit bukan
pneumonia yang terdiri antara lain:
a. Rhinitis
Rhinitis dapat di sebabkan oleh bakteri ataupun virus, tapi lebih
banyak rhinitis dikarenakan adanya suatu alergi yang kemudian
dapat diikuti dengan bakteri atau rhinitis allergy atau pilek alergi

11
adalah gejala alergi yang terjadi pada bagian hidung. Umumnya
timbul penyakit ini pada musim hujan karena cuaca dingin.
b. Faringitis
Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang
tenggorok atau faring. Kadang juga disebut sebagai radang
tenggorok. Infeksi saluran napas atau akut seperti faringitis
merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai.
Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman, disebabkan daya
tahan yang lemah. Dan penyebab tersering adalah virus sehingga
pengobatan antibiotic tidak diperlukan.
c. Laringitis
Laringitis adalah peradangan pada laring (pangkal tenggorok).
Laring terletak di puncah saluran udara yang menuju ke paru-paru
(trakea) dan mengandung pita suara. Laringitis juga bisa menyertai
bronchitis, pneumonia, influenza, pertusis, campak dan difteri.
Laringitisbisa terjadi akibat:
1. Penggunaan suara yang berlebihan
2. Reaksi alergi
3. Menghirup iritan (misalnya asap rokok)
Laringitis juga dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti demam,
flu dan pneumonia. Sementara, penyebab umum laringitis kronik
termasuk iritasi yang berkelanjutan, seperti konsumsi alkohol,
perokok berat dan bakteri gastroesophageal reflux. Gejala umum dari
laringitis adalah suara serak, iritasi di tenggorokan, demam batuk dan
tenggorokan terasa buntu.

D. Tanda dan Gejala Klinis Penyakit ISPA Secara Umum


Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan pada anak dapat
menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan
bernafasan, sakit tenggokan, pilek, demam dan sakit telinga. Sebagian besar
dari infeksi saluran pernafasan hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek dan

12
tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian anak akan
menderita radang paru bila tidak dengan antibiotika sehingga dapat
mengakibatkan kematian.
Tanda dan gejala ISPA dapat dibagi 2 klasifikasi penyakit (Depkes RI,
2003) Yaitu:
1. ISPA non Pneumonia
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA Non Pneomonia jika di temukan
satu atau lebih dari tanda-tanda / gejala berikut ini:
a. Batuk
b. Serak : anak bersuara parau pada waktu menangis atau pada waktu
berbicara
c. Anak mengeluarkan ingus dari hidung
d. Demam
2. ISPA Pneomonia
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA Pneumonia jika ditemukan
gejala:
a. Pernafasan cepat
- Lebih dari 50 kali per menit pada anak umur kurang 1 tahun
- Lebih dari 40 kali permenit pada anak umur 1 tahun atau lebih
b. Suhu lebih dari 39%C
c. hulu tenggorokan atau tonsil (amandel) berwarna merah
d. Pernafasan berbunyi mencuit-cuit
e. Telinga sakit atau mengeluarkan cairan
f. Bibir atau kulit tanpak membiru (sianosis)

E. Faktor Resiko ISPA


Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA
(Maryunani, 2010) yaitu :
1) Faktor Lingkungan
a) Pencemaran udara dalam rumah Asap rokok dan asap hasil pembakaran
bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak

13
mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya
ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya
kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur,
ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Dosis pencemaran tentunya
akan lebih tinggi karena kemungkinan bayi dan anak balita lebih lama
berada di rumah bersama sama ibunya (Maryunani, 2010)
Banyak penelitian yang menyatakan adanya hubunyan antara
ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis,
pneumonia pada anak anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi,
dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 10 tahun
(Maryunani, 2010). Sementara itu, merokok diketahui mengganggu
efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Produk asap
rokok diketahui merangsang produksi mukus dan menurunkan
pergerakan silia. Dengan demikian terjadi akumulasi mukus yang
kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan
napas, yang dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan
resiko pertumbuhan mikroorganisme. Batuk batuk yang terjadi pada
para perokok (smokers cough) adalah usaha untuk mengeluarkan mukus
kental yang sulit didorong keluar dari saluran napas. Infeksi saluran
napas bawah lebih sering terjadi pada perokok dan mereka yang
perokok pasif, terutama bayi dan anak (Elizabeth, 2009). Bayi dan anak
yang terpajan asap rokok sebelum atau sesudah kelahiran
memperlihatkan peningkatan angka ISPA. Infeksi saluran napas bawah
misalnya pneumonia, dan asma pada masa kanak kanak
dibandingkan dengan bayi dan anak anak dari orang tua bukan
perokok. Keluaran urine yang mengandung metabolit nikotin meningkat
drastis pada anak anak dari orangtua perokok dibandingkan dengan
anak anak dari orang tua bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin
diketahui bersifat karsinogenik dan mengiritasi paru. (Elizabeth, 2009).
b) Ventilasi rumah Menurut Maryunani(2010) ventilasi yaitu proses
penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik

14
secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar
oksigen yang optimum bagi pernapasan.
2. Membebaskan udara ruangan dari bau bauan, asap ataupun debu
dan zat zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
3. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
4. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
5. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi
tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
6. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
c) Kepadatan hunian Menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu
orang minimal menempati luas rumah 8 m. Dengan kriteria tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya penyakit dan melancarkan
aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan
faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan
adanya hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara,
tingkat sosial, dan pendidikan memberikan korelasi yang tinggi pada
faktor ini. Selain ketiga faktor lingkungan diatas masih ada faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA yaitu
keadaan dinding dan lanatai rumah. Keadaan dinding dan lantai rumah
yang memenuhi syarat kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah
sebagai berikut :
1. Keadaan dinding rumah, yaitu salah satu bahan bangunan rumah
untuk mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori: Baik : permanen
atau tembok Tidak baik : semi permanen, bambu, kayu atau papan
2. Keadaan lantai rumah yaitu salah satu bahan bangunan rumah untuk
melengkapi sebuah rumah. Dengan kategori: Baik : kedap air atau

15
tidak lembab, keramin, ubin. Tidak baik : menghasilkan debu dan
lembab, semen dan tanah
2) Faktor Individu Anak
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor diantara faktor
faktor biologis yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Anak
berjenis kelamin laki laki lebih sering mengalami kesakitan
dibandingkan dengan anak perempuan, tetapi belum diketahui secara
pasti mengapa terjadi seperti itu (Soetjiningsih, 1995).
b. Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak anak dan
tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 12
bulan (Maryunani, 2010).
c. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan, perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan
dengan berat badan lahir normal terutama pada bulan bulan pertama
kelahiran. Karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
akan menyebabkan bayi lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
d. Vitamin A
Vitamin A adalah merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan
organik yang semuanya mengandung gelang beta ionon di dalam struktur
molekulnya. Ikatan kimia yang memiliki aktivitas vitamin A disebut
preformed vitamin A, sebagai lawannya ialah provitamin A atau disebut
juga prekusor vitamin A. Preformed vitamin A terdapat khusus di dalam
bahan makanan hewani, sedangkan provitamin A terdapat di bahan
makanan nabati yang disebut juga ikatan karoten (Sediaoetama, 2004).
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000

16
IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun.
Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit
maupun yang tidak pernah mendapatkannya akan memiliki resiko
terjadinya suatu penyakit yang lebih tinggi daripada yang mendapatkan
vitamin A sesuai waktunya (Maryunani, 2010). Pemberian Vitamin A
yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tetap berada dalam nilai
yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit
dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, maka dapatlah
diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang
bersangkutan untuk jangka waktu yang tidak terlalu singkat. Oleh
karena itu pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala untuk
anak pra sekolah seharusnya bukanlah suatu kegiatan yang dipandang
untuk dilakukan secara terpisah. (Maryunani, 2010).
e. Status Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian imunisasi dasar kepada bayi dan
balita sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Imunisasi adalah
perlindungan yang paling ampuh untuk mencegah terjadinya penyakit
berhaya karena imunisasi dapat merangsang kekebalan tubuh bayi
sehingga dapat melindungi dari berbagai macam penyakit berbahaya
(Depkes RI, 2009). Sebagian besar kematian akibat penyakit ISPA
berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit seperti difteri,
pertusis, campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan
sangat besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Sehingga untuk
mengurangi faktor yang dapat meningkatkan mortalitas ISPA
diupayakan agar melakukan imunisasi lengkap (Maryunani, 2020).
Terdapat Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIL) untuk bayi dibawah 1
tahun menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), yaitu :
1) Imunisasi Hepatitis B, diberikan 1 kali saat bayi berusia 7 hari.
Manfaat dari Imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan
hepatitis B dan kerusakan hati.

17
2) Imunisasi BCG, diberikan 1 kali saat bayi berusia 1 bulan. Manfaat
dari imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan TBC dalam hal
ini adalah Tuberkulosis yang berat.
3) Imunisasi DPT HB, diberikan 3 kali saat bayi berusia 2, 3, 4 bulan.
Manfaat dari imunisasi ini adalah mencegah penularan difteri yang
menyebabkan penyumbatan jalan nafas, Batuk rejan atau yang
disebut juga batuk 100 hari, tetanus, dan hepatitis B.
4) Imunisasi Polio, diberikan 4 kali saat bayi berusia 1, 2, 3, 4 bulan.
Manfaat dari imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan polio
yang dapat menyebabkan lumpuh layuh pada tungkai dan atau
lengan.
5) Imunisasi Campak, diberikan 1 kali saat bayi berusia 9 bulan.
Manfaat dari imunisasi ini adalah untuk mencegah penularan
campak yang dapat menyebabkan komplikasi radang paru, radang
otak, dan kebutaan. Melihat dari berbagai macam manfaat pada
setiap jenis imunisasi tersebut maka imunisasi sangatlah penting
untuk dilakukan terutama untuk imunisasi dasar. Maka dalam hal ini
status imunisasi diukur dengan lengkap atau tidak lengkapnya
pelaksanaan lima imunisasi dasar lengkap yang telh ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang telah disebutkan
diatas.
f. Status Gizi Maryunani (2010) dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Kesehatan Anak Dalam Kebidanan menyebutkan tentang pengertia
gizi yaitu Gizi berasal dari kata bahasa arab Gizawi yang berarti
pemberian zat zat makanan kepada sel sel jaringan tubuh, sehingga
memungkinkan pertumbuhan yang normal dan sehat. Sedangkan
keadaan gizi (status gizi) adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai
konsekuensi dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang
diperlukan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 Gizi kurang dan Gizi buruk adalah status
gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

18
yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely
underweight (gizi buruk). Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai
faktor resiko terjadinya ISPA yang cukup penting. Balita dengan gizi
yang buruk akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan
balita yang bergizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara
gizi buruk dan infeksi paru yang mana anak dengan gizi buruk lebih
sering terkena pneumonia.
g. ASI Eksklusif
ASI Eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI eksklusif
adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti
susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan
makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi,
dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka
waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan.
Rekomendasi terbaru UNICEF memberikan klarifikasi tentang jangka
waktu pemeberian ASI Eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF
bersama World Health Assembly (WHA) dan banyak negara lainnya
adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI Eksklusif selama 6
bulan. Pemberian makanan padat/tambahan yang terlalu dini dapat
mengganggu pemberian ASI Eksklusif serta meningkatkan angka
kesakitan pada bayi. Selain itu, tidak ditemukan bukti yang menyokong
bahwa pemberian makanan padat/tambahan pada usia 4 atau 5 bulan
lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai
dampak negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak positif
untuk perkembangan pertumbuhannya (Roesli, 2000).
Terdapat beberapa keuntungan pemberian ASI secara Eksklusif
yaitu Nutrisi yang optimal bagi bayi dari segi kualitas maupun kuantitas,
dapat meningkatkan kesehatan bayi, meningkatkan kecerdasan bayi
serta dapat meningkatkan jalinan kasih sayang (Maryunani, 2010).

19
Dengan demikian maka pemberian ASI secara Eksklusif sangatlah
penting melihat dari beberapa keuntungan tersebut.
i. Faktor Perilaku
Menurut Skinner (1938) yang diacu oleh Notoatmodjo (2003)
menegaskan bahwa perilaku itu merupakan respons atau reaksi orang
terhadap rangsangan atau stimulus dari luar. Sedangkan menurut Green
(1971) yang dikutip oleh Ircham (1988) bahwa perilaku adalah kegiatan
manusia atau makhluk hidup lain yang dapat dilihat secara langsung pada
waktu tertentu di satu tempat tertentu. Perilaku merupakan salah satu dari
faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Dalam
penanggulangan penyakit ISPA faktor perilaku menjadi sangat penting
terutama dalam pencegahan dan penanggulannya. Orangtua merupakan
seseorang yang berperan penting didalamnya. Sehingga dengan demikian
perilaku orangtua inilah yang menjadi salah satu faktor resiko terjadinya
ISPA. Pada dasarnya perilaku seseorang ini dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan yang mereka dapat.
Machfoedz dan Suryani (2009) dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Bagian Dari Promosi Kesehatan menyebutkan bahwa proses
belajar atau pengalaman belajar seseorang juga menentukan bentuk
perilaku orang. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya berbeda jauh
dalam perilakunya dengan mereka yang berpendidikan rendah. Sehingga
dalam hal ini, pendidikan merupakan faktor pendukung terbentuknya
perilaku.

F. Diagnosa ISPA
ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Ada 3 cara pemeriksaan yang
lazim dikerjakan (Alsagaff;Amin; dan Saleh, 1989) :

20
1) Biakan virus
2) Reaksi serologis yang dipergunakan antara lain reaksi pengikatan
komplemen, reaksi hambatan hemadsorpsi, reaksi hambatan
hemaglutinasi, reaksi netralisasi, RIA, serta ELISA.
3) Diagnostik virus secara langsung
Selain ketiga cara tersebut dapat juga dilakukan cara yang
sederhana walaupun tidak khas. Pemeriksaan darah tepi, jumlah
leukosit, dan hitung jenis dapat pula membantu. Jarang sekali terjadi
lekositosis, paling sering jumlahnya normal atau rendah. Lekopenia
yang rendah bilangan angkanya menunjukkan gambaran klinik yang
berat. Pada hitung jenis dapat dijumpai eosinofilia, limfofenia,
netrofilia. Beberapa infeksi dengan bakteri dapat pula memberikan
lekopenia (tifus abdominalis). Lekositosis dengan peningkatan sel
PMN yang juga ditemukan dalam sputum menandakan adanya infeksi
sekunder bacterial

G. Cara Penularan ISPA


ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC, droplet dan
melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan
faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada
sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus
yang dapat menghasilkan superfinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkan
bakteri patogen masuk kedalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008).

H. Cara Pencegahan ISPA


Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA diantaranya (Depkes RI, 2008b):
1. Menghindarkan diri dari penderita ISPA
2. Hindari asap, debu dan bahan lain yang menganggu pernafasan

21
3. Imunisasi lengkap pada balita di Posyandu.
4. Membersihkan rumah dan lingkungan tempat tinggal.
5. Rumah harus mendapatkan udara bersih dan sinar matahari yang cukup
serta memiliki lubang angin dan jendela.
6. Menutup mulut dan hidung saat batuk.
7. Tidak meludah sembarangan.

2. Kerangka Konsep

Lingkungan di
dalam rumah
- Tingkat Hunian
- Ventilasi
- Kelembaban
Ruangan Kejadian
Kasus
ISPA
Lingkungan di luar
rumah
- perilaku
- pembakaran
- Transportasi

Karakteristik
- Umur
- Pendidikan
- Pekerjaan

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian


Dilihat dari tujuan penelitian yang akan dicapai, penelitian ini
menggunakan mix methode, yaitu kombinasi antara penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Dimana penelitian ini mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi penurunan kasus ISPA di Kabupaten Bulukumba pada tahun
2013.
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana penelitian tersebut akan
dilakukan. Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bulukumba,
yaitu mencakup seluruh wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Bulukumba.

B. Pendekatan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu menggunakan rancangan
case control (kasus kontrol). Rancangan kasus kontrol dilakukan dengan cara
menentukan terlebih dahulu kelompok yang sakit (kasus) sebagai subyek
dengan atribut efek positif, dan tidak sakit (kontrol) yaitu sebagai subyek
dengan atribut efek negatif. Kemudian ditelusuri kebelakang (retrospektif)
untuk mencari faktor penyebab menurunnya kasus tersebut.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik
tertentu yang akan di teliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita penyakit
ISPA di Kabupaten Bulukumba Tahun 2013 yang berjumlah 25.551 orang
2. Sampel
Sampel adalah bagian daripopulasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi.(Stang, 2004).

23
a. Besar Sampel
Besar sampel saat penarikan sampel pada penelitian ini di
peroleh dengan menggunakan rumus pengambilan sampel, yakni:


=
1 + ()2

Keterangan:
n = Besar sampel secara keseluruhan
N = Besar populasi
d = Derajat ketepatan atau tingkat ketelitian 1 % (0,1)

Berdasarkan rumus di atas, hasil perhitungan untuk besar


sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

=
1 + ()2

25.551
=
1 + 25.551 (0.1)2

n= 99,61
n= 100

Jadi, besar sampel yang diteliti pada penelitian ini adalah 100
responden.
b. Tehnik Penarikan Sampel
Dalam penelitian ini sampel diperoleh dengan menggunakan
metode simple random sampling, di mana besar sampel yang
diinginkan pada penelitian ini yaitu sebanyak 100, sehingga untuk
mendapatkan jumlah sample yang telah di tetapkan responden di pilih

24
secara acak dengan melakukan undian seperti arisan dan menggunakan
tabel acak

D. Metode Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner
kepada sampel. Setelah itu, sampel kemudian dipersilahkan untuk mengisi
kuesioner tersebut sampai selesai. Dimana sampel tersebut didapatkan dari
laporan Dinas Kesehatan Bulukumba tentang penderita penyakit ISPA selama
tahun 2013.
Selain itu dilakukan proses wawancara mendalam kepada beberapa
petugas kesehatan yang terkait mengenai langkah-langkah penurunan kasus
malaria.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peniliti dalam mengumpulkan data. Alat yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu kuesioner dan tape recorder.
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang tersusun
secara baik yang siap diberikan kepada sampel agar diisi untuk melengkapi
data. Tape recorder merupakan salah satu alat untuk merekam pembicaraan
agar dapat menyimpan hasil pembicaraan.
Kuesioner diberikan kepada sampel untuk mengumpulkan data dan
informasi yang dibutuhkan. Sedangkan, tape recorder merupakan alat yang
digunakan untuk merekam pembicaraan saat melakukan wawancara dengan
petugas kesehatan mengenai langkah-langkah yang dilakukan dalam
menurunkan kasus malaria.

F. Validasi dan Reliabilitas Instrumen


Validasi data merupakan melihat data dan kemudian membaginya sesuai
dengan tingkatannya, yaitu menempatkan atau membagi data sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan, misalnya membagi antara kelompok penderita

25
ISPA dengan bukan penderita ISPA dan menempatkannya sesuai dengan
kelompoknya masing-masing. Validasi data dapat diukur berdasarkan tingkat
sensitivitas dan spesifitas data tersebut.
Sedangkan reliabilitas instrumen yaitu keadaan dimana jika kita
melakukan pengolahan data, maka data yang telah diperoleh hasilnya akan
tetap sama meskipun dilakukan secara berulang-ulang.
G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan menggunakan program SPSS dan Epidata.
Teknik pengolahan data dilakukan sebagai berikut:
a. Editing
Yaitu memeriksa data atau kebenaran data yang diperoleh dari hasil
pengumpulan data.
b. Coding
Yaitu pemberian kode pada data untuk memudahkan dalam proses
penginputan data.
c. Data Entry
Yaitu memasukkan data ke dalam master tabel yang selanjutnya
dibuatkan frekuensi dari hasil data tersebut.
2. Analis Data
Yaitu melakukan analisis data dengan membaca hasil yang diperoleh
dan menyesuaikannya berdasarkan tujuan yang ingin dicapai.

H. Penyajian data
Data yang diperoleh dan telah diolah disajikan dalam bentuk tabel disertai
dengan penjelasan tabel dalam bentuk narasi.

26
Daftar Pustaka

Akadinata, A., Dewi, S., Hadi, D.P., Nugroho, D.K & Johana, F.,2011. Sistem
Informasi Geografis : Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya
Alam.Malang : Penerbit PT.Bumi Pertiwi

Alsagaff, H., Amin, M & Saleh, W.T.,1989.Pengantar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya : Penerbit Airlangga University Press

Banyaknya penderita ISPA, 2007. http://www.dinkes-medan.go.id.

Budiarto, Metodologi Penelitian Kedokteran, Jakarta: EGC, 2003.

Corwin, Elizabeth J, Buku Saku Patosiologi, Jakarta: EGC, 2000.

Chairuddin, Lubis. Usaha Pelayanan Kesehatan Anak dalam Membina Keluarga


Sejahtera. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2004.

Markum. A. H. Buku Ajar: Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.

Mubarak, Pneumonia: Penyakit ISPA pada Balita, 2008. http:knolBeta.com


(28 Maret 2009).

Myrnawati, Epidemiologi, Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kedokteran Universitas YARSI, 2000.

Notoatmodjo, Soekidjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka


Cipta, 2003.

, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

file:///D:/Metodologi%20Penelitian/Faktor%20Penyebab%20Penyakit%20ISPA.h
tm

27
28

Anda mungkin juga menyukai