Anda di halaman 1dari 13

NUTRISI DAN DIET UNTUK ODHA

Penatalaksanaan nutrisi sekarang sudah menjadi bagian integral dalam


pengobatan pasien dengan HIV/AIDS. Semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa perbaikan nutrisi akan memperbaiki juga kondisi kesehatan odha (orang
dengan HIV/AIDS).
Odha perlu memperoleh pendidikan kesehatan yang terkait dengan nutrisi
mengenai beberapa aspek, antara lain (a) prinsip diet sehat, (b) bagaimana
menjaga agar kondisi otot tubuh tetap normal, dan bagaimana prinsip pengobatan
wasting syndrome, (c) manajemen interaksi obat dan makanan, (d) managemen
gejala gastrointestinal yang mempengaruhi asupan jumlah dan jenis makanan, (e)
bagaimana menyikapi dengan benar masalah suplemen herbal dan suplemen
nutrisi, (f) budaya yang berhubungan dengan makanan, (g) nutrisi sewaktu odha
hamil, (h) susu formula untuk bayi baru lahir, (i) timbulnya hiperglikemia dan
kelainan lipid yang dapat meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung dan
stroke.
Nutrisi yang baik diperlukan untuk menjaga sistem imun odha tetap kuat.
Selain itu nutrisi yang baik juga dapat membantu proses tubuh dalam
memetabolisir obat-obatan yang dikonsumsi odha. Pemberian nutrisi yang baik,
dengan demikian, akan meminimalisir penyakit-penyakit yang terkait dengan
HIV/AIDS, sehingga frekuensi dan lama rawat inap di rumah sakit akan jauh
berkurang dan kualitas hidup odha pun meningkat. Selain membantu pemulihan
sel-sel kekebalan tubuh dan mendukung ketahanan tubuh dalam menghadapi
pengobatan, makan juga memiliki efek psikologis, yaitu odha akan merasa
nyaman dan berpikiran positif. Jika makan bersama teman akan baik untuk
kesehatan emosinya. Karena itu, nutrisi merupakan salah satu faktor yang
berperan penting dalam penatalaksanaan orang dengan HIV/AIDS.
1. Malnutrisi Pada Odha
Sebagian besar pasien HIV/AIDS di Indonesia mengalami malnutrisi.
Bahkan sebagian sudah masuk dalam kategori wasting syndrome, yaitu suatu
keadaan di mana pasien kehilangan berat badan > 10% atau mempunyai indeks
massa tubuh <20kg/m2 sejak kunjungan terakhir atau kehilangan berat badan >5%
dalam waktu enam bulan dan kondisi ini bertahan selama satu tahun.
Infeksi HIV mempunyai implikasi bermakna terhadap status nutrisi odha. Infeksi
HIV di antaranya menyebabkan ketidakmampuan mengabsorpsi zat gizi dan
makanan, perubahan metabolisme, serta berkurangnya asupan makanan akibat
gejala-gejala yang terkait HIV. Sebaliknya, nutrisi yang buruk meningkatkan
kerentanan dan derajat berat infeksi oportunistik. Nutrisi yang buruk juga akan
mengurangi efikasi mengobatan dan kepatuhan minum obat, dan dapat
mempercepat progresivitas penyakit.
Selain masalah nutrisi klasik, sejak diberikannya terapi antiretroviral (highly
active antiretroviral therapy, HAART) pada odha, mulai timbul masalah-masalah
nutrisi baru, yang akan dibahas kemudian. Keberhasilan terapi antiretroviral
terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas pada odha. Namun, seperti mata
uang, pengobatan juga selalu mempunyai dua sisi. Masalah-masalah dalam bidang
gizi adalah mulai munculnya lipodistrofi (pengumpulan lemak di tempat yang
tidak wajar), hiperlipidemia, resistensi insulin, serta obesitas. Sebuah studi kohort
pada lebih dari 600 odha melaporkan bahwa 5% odha laki-laki dan 20% odha
perempuan mengalami obesitas. Walaupun terapi antiretroviral telah
memperlihatkan hasil yang sangat baik dalam menurunkan angka infeksi
oportunistik sehingga memperpanjang masa tanpa gejala dan memperbaiki
kualitas hidup odha, wasting syndrome tetap menjadi masalah dalam
penatalaksanaan HIV/AIDS.
2. Defisiensi Nutrisi
Masalah nutrisi pada odha dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yang
bekerja sendiri-sendiri atau saling mempengaruhi. Pada dasarnya, masalah nutrisi
tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan yang akan diubah
menjadi energi, serta kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh. Faktor
penyebab timbulnya kondisi gizi yang buruk pada odha adalah: 1) penurunan
asupan makanan, 2) malabsorbsi gastrointestinal, 3) peningkatan jumlah
kebutuhan asupan makanan atau katabolisme jaringan akibat berbagai infeksi
oportunistik yang biasa dialami odha, seperti TB, radang paru atau pnemonia,
toksoplasma otal, sariawan karena infeksi jamur, dan sebagainya.
Keempat, adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar odha, dan
masalah penyalahgunaan obat. Untuk diingat, pencegahan malnutrisi dilakukan
dengan cara memberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein. Tapi pada
kenyataannya protein dan seratyang berasal dari sayuran dan buah-buahan
jarang terpenuhi dalam menu harian pasien HIV. Umumnya mereka masih
mengutamakan konsumsi karbohidrat yang memang lebih cepat menimbulkan
rasa kenyang dan kenyamanan sesaat.
Konsumsi nutrien yang tidak adekuat adalah salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kondisi gizi yang buruk. Beberapa faktor dapat menyebabkan
asupan makanan yang abnormal. Misalnya, inflamasi dan ulkus pada saluran
pencernaan bagian atas (dari mulut hingga esofagus) dapat menyebabkan
anoreksia akibat timbulnya rasa nyeri saat menelan atau nyeri perut saat makan.
Sebuah studi melaporkan bahwa sekitar 70% dari saluran pencernaan bagian atas
yang diperiksa dengan endoskopi menunjukkan gambaran histologi yang
abnormal. Lesi ini dapat disebabkan karena iritasi oleh asam lambung atau
infeksi, misalnya oleh jamur kandida, virus sitomegalo, atau virus herpes
simpleks. Ulserasi di mukosa mulut akibat virus atau idiopatik juga sering terjadi
sehingga menyebabkan nyeri sewaktu makan. Penyakit pada pankreas dan saluran
empedu juga menyebabkan mual-muntah dan nyeri perut, sehingga asupan
makanan menjadi berkurang. Anoreksia primer, yang sering terjadi pada pasien
kanker dan penyakit kanker lainnya, pada akhirnya juga dapat berkontribusi
terhadap asupan makanan yang tidak adekuat.
Malabsorbsi dapat menyebabkan perubahan pada status gizi odha, sehingga
meskipun makanan yang dimakan sudah mencukupi, namun tidak semua zat gizi
dapat diserap oleh tubuh dengan efektif. Malabsorbsi dapat terjadi dengan atau
tanpa diare. Penyebabnya multifaktorial, termasuk di antaranya adalah
abnormalitas mukosa gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh infeksi HIV-nya
sendiri, atau merupakan akibat sekunder dari infeksi usus oleh agen lain. Apabila
malabsorbsi tersebut disertai dengan diare kronik, yang sering kali terjadi, maka
jika tidak ditangani dengan baik dapat menjadi predisposisi terjadinya malnutrisi
yang berat. Diare juga dapat merupakan efek samping dari obat-obatan, seperti
beberapa obat antiretroviral dan antibiotika.
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya gangguan absorbsi karbohidrat,
protein, dan lemak pada odha, namun beratnya malabsorbsi ternyata tidak
berhubungan dengan derajat malnutrisi. Malabsorbsi nutrien lain juga terjadi,
seperti vitamin B12, asam folat, tiamin, seng, selenium, kalsium, dan magnesium.
Juga dapat terjadi malabsobsi vitamin yang larut dalam lemak, terutama vitamin A
dan D.
Peningkatan kebutuhan nutrisi dan laju katabolisme jaringan juga dialami
oleh sebagian odha, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Beberapa faktor
yang dapat menyebabkannya adalah tingginya jumlah virus HIV dalam darah,
infeksi sekunder, serta gejala konstitusional seperti demam dan keringat malam.
Infeksi virus kronik dapat berpengaruh terhadap penggunaan energi, dan dapat
menjadi predisposisi terhadap infeksi sekunder yang akan mengubah pola
penggunaan energi. Infeksi-infeksi tersebut dapat meningkatkan atau mengubah
pola penggunaan energi yang efektif pada orang sehat menjadi abnormal. Oleh
karena itu, pada odha peningkatan penggunaan energi terutama terkait dengan
jumlah virus HIV di dalam darah serta adanya koinfeksi dan komorbiditas.
3. Nutrisi Dan Arv
Obat antiretroviral yang diduga dapat menimbulkan masalah nutrisi
terutama adalah golongan penghambat protease. Obat golongan penghambat
protease yang selama ini beredar di Indonesia adalah nelvinafir, dan baru-baru ini
telah beredar atanazavir (Reyataz).
Pemberian obat antiretroviral golongan penghambat protease dapat
menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang abnormal (lipoatrofi dan lipodistrofi),
resistensi insulin perifer, serta kenaikan kolesterol, trigliserida, dan glukosa darah.
Distribusi lemak yang abnormal juga ditemui pada pasien yang mendapat terapi
non-penghambat protease seperti golongan Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI), yaitu stavudin dan zidovudin. Lipodistrofi lebih banyak terjadi
pada odha yang diberi stavudin (63%) dibandingkan zidovudin (18,75%).
Sayangnya hingga saat ini, studi-studi yang meneliti mengenai efek obat
antiretroviral terhadap peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler masih
melaporkan hasil yang saling berlawanan. Obat penghambat protease diduga
dapat berinteraksi dengan beberapa protein sel yang terlibat pada metabolisme
lipid karena adanya homologi asam amino parsial antara protein-protein tersebut
dan HIV-1 protease.
Obat golongan penghambat protease juga dapat berinteraksi dengan obat
antihiperlipidemik golongan statin. Ritonavir, dapat meningkatkan kadar
simvastatin serum sehingga dapat meningkatkan toksisitas yang terkait dengan
statin seperti mialgia, rhabdomiolisis, gagal ginjal, dan kerusakan hati. Obat
golongan penghambat protease sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan
simvastatin dan lovastatin. Pravastatin adalah statin yang paling aman digunakan
bersama dengan penghambat protease. Atorvastatin dan fluvastatin harus
digunakan secara hati-hati dan dengan dosis yang lebih rendah bila diberikan
bersama-sama dengan penghambat protease.
Karena penghambat protease dapat menyebabkan resistensi insulin dan
peningkatan kadar glukosa darah, maka obat golongan ini dapat memperberat
diabetes pada odha yang juga menderita diabetes mellitus. Seperti pengobatan
diabetes mellitus pada umumnya, terapi non-medikamentosa seperti diet, olah
raga, dan menurunkan berat badan sangat dianjurkan. Jika diperlukan dapat
diberikan obat hipoglikemik oral.
4. Penatalaksanaan Diet
Karena orang dengan HIV/AIDS sering mengalami masalah nutrisi, maka
sebaiknya mereka tidak berpantang makanan apapun, kecuali memang sangat
diperlukan. Bahkan untuk odha yang mengalami malnutrisi, apalagi wasting
syndrome, diberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein: susu, telur, daging, ikan,
sangat dianjurkan.
Sebaiknya odha tidak perlu terlalu takut kelebihan kalori apalagi protein,
karena odha sangat memerlukannya. Sebuah studi pada 871 odha perempuan
melaporkan bahwa odha yang memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi
akan lebih lambat mengalami kadar CD4 di bawah 200 sel/mm3salah satu
kriteria AIDSdibandingkan odha dengan indeks massa tubuh yang lebih rendah.
Selain itu, indeks massa tubuh yang tinggi atau kenaikan indeks massa tubuh
selama perjalanan penyakit, ternyata berkaitan dengan lambatnya progresivitas
HIV.Untuk diketahui, rasa makanan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak.
Akibatnya jika pasien emikian juga odha yang mulai minum antiretroviral
sebaiknya tidak pantang lemak.
Kalau pasien hanya makan sedikit dan kebutuhan nutrisi tidak tercukupi,
efek samping obat akan lebih berat dan kondisinya bisa semakin menurun. Karena
itu pasien seperti ini justru memerlukan diet tinggi lemak dan tinggi protein.
Namun sebaiknya hindari lemak untuk sementara waktu jika ada diare, karena
justru akan memperberat masalah.
Saat ini untuk meningkatkan nafsu makan memang sudah tersedia beberapa
jenis obat, misalnya siproheptadin. Namun obat ini tak banyak menolong pada
odha. Berbeda halnya dengan obat megestrol acetat, dipasarkan dengan nama
Tracetat atau Megace sirup atau tablet yang cepat sekali meningkatkan nafsu
makan dan membuat pasien merasa lebih nyaman dan membuat banyak pasien
merasa lebih nyaman dan merasa lebih enak. Perlu diketahui bahwa obat tersebut
hanya mempertahankan, dan tidak menambah, massa otot. Penggunaan megestrol
acetat untuk pasien kanker dan odha telah disetujui sejak 10 tahun lalu oleh badan
pengawasan obat dan makanan Amerika (FDA), dan telah menolong banyak
orang. Sayangnya, harga obat ini masih cukup mahal, yakni sekitar 850 ribu
hingga 1,2 juta rupiah. Seharusnya obat yang sudah cukup lama masa patennya ini
kini bisa diperoleh dalam bentuk generik.
Yang menjadi pertanyaan sekarang: bagaimana dengan odha (dan
pasien kanker) yang berasal dari kelompok ekonomi menengah-bawah bisa
memenuhi kebutuhan nutrisinya tanpa bantuan obat yang harganya di luar
jangkauan mereka? Prinsipnya yang harus diingat adalah pasien tidak perlu
kaya, tapi akses terhadap obat harus dibuka seluas-luasnya. Tapi seandainya
masih ada hambatan, maka beberapa hal yang bisa dilakukan oleh keluarga
adalah menyusun menu yang variatif setiap hari, yang disesuaikan dengan
keinginan pasien. Harus diingat bahwa karena penyakitnya, tingkat
kekebalan odha menurun atau lebih rendah dibanding non-odha. Karenanya
yang terbaik adalah makan makanan yang dimasak sendiri di rumah karena
kebersihannya relatif lebih baik. Jika sesekali ingin makan di luar, pilihlah
makanan yang panas (nasi goreng yang langsung dimasak begitu dipesan,
bakso, soto, dan sebagainya) serta hindari makanan pelengkap seperti aneka
sambal atau acar. Sayuran harus diberikan dalam bentuk matang, bukan
mentah (lalap), untuk menghindari masuknya kuman ke dalam tubuh.
Cara lain untuk menyiasati nafsu makan yang rendah atau mual adalah
dengan menerapkan prinsip small-frequent feeding. Artinya jadwal makan pasien
diberikan dalam 5 sampai 6 kali, tapi dalam porsi yang lebih kecil. Cara ini, meski
mungkin sedikit merepotkan, juga mestinya bisa diterapkan di rumah sakit.
Karena odha seringkali mengalami defisiensi mikronutrien seperti vitamin
B12, asam folat, tiamin, seng, selenium, kalsium, magnesium, serta vitamin yang
larut dalam lemak, terutama vitamin A dan D, maka dapat diberikan suplemen
untuk mengatasi kekurangan zat gizi yang terjadi. Sebagai penutup, olahraga
aman dilakukan oleh odha dan banyak manfaatnya. Latihan beban merupakan
metode yang dapat secara langsung meningkatkan massa otot. Untuk odha yang
mengalami wasting syndrome, olahraga dapat meningkatkan massa tubuh dan
berat badan secara keseluruhan jika dikombinasikan dengan asupan makanan yang
adekuat.
MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAM
BAGI ODHA
Mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS menyuburkan stigmatitasi
(pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha.
Akibatnya, Odha sering mengalami pelanggaran etika, hukum dan hak asasi
manusia (HAM). Perlakuan yang diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering
dialami Odha antara lain penolakan di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan
klaim asuransi, pemulangan pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan pekerja
seks yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar operasi,
serta skrining terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung.
Salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait Odha puncaknya terjadi ketika
RS Medistra Jakarta menolak seorang pasien dr. Sjamsurizal Djauzi, DSPD, yang
positif HIV (Agustus 1996). Begitu pula dengan yang dialami oleh Cici (bukan
nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 23 tahun, seorang Odha di
Kab. Karawang, Jabar, yang dipulangkan dari Riau (1993). Di desanya dia
menjadi tontonan masyarakat karena digiring oleh aparat keamanan ke
Puskesmas. Rupanya, Cici menolak diambil darahnya di Puskesmas untuk tes
HIV karena dia hanya mau dites di RSCM. Tapi, tim dari dinas kesehatan
setempat tetap memaksanya agar darahnya diambil di Puskesmas itu.
1. Pelanggaran HAM
Begitu pula dengan Cece (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika
itu berumur 22 tahun. Dia juga penduduk Kab. Karawang yang dipulangkan
bersama Cici. Status HIV-nya diketahui penduduk karena dibeberkan aparat desa
dan wartawan pun datang bersama aparat ke rumahnya. Akibatnya, penduduk
mengucilkan keluarga Cece. Keluarga ini pun terpaksa pindah dari satu desa ke
desa lain karena masyarakat mengucilkan mereka. Tidak ada yang mau membeli
kueh ibu Cece. Tidak ada pula yang memberikan pekerjaan kepada ayah Cece
sebagai buruh tani. Masyarakat mendapat informasi yang salah tentang HIV dan
AIDS dari aparat dan media massa. Pemberitaan mengesankan HIV menular
melalui pergaulan sehari-hari sehingga penduduk menghindari mereka.
Aparat di sebuah desa di Kab. Sumedang, Jabar, juga tidak lagi melihat
perkawinan sebagai hak asasi Onah (bukan nama sebenarnya), 24, seorang Odha
di sana. Mereka mau memberikan izin menikah hanya karena menganggap Onah
tinggal menunggu ajal. Onah pun dikucilkan. Ada petugas Puskesmas yang
mengatakan penyakit Onah bisa menular melalui udara. Bahkan, ketika itu status
HIV Onah pun belum dikonfirmasi dengan Western blot karena tes yang
dilakukan dalam sebuah serosurvei baru tes ELISA. Tapi, jajaran pemda dan
instansi terkait di sana sudah memvonis Onah sebagai Odha. Akibatnya, semua
gejala (penyakit) yang dialaminya langsung dikaitkan penduduk dengan AIDS
dan kematian.
Pasangan Odha di Ujungpandang, Sulsel, juga harus berpindah-pindah
karena diusir pemilik rumah ketika mereka dikenali sebagai pasangan Odha.
Anik (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal), salah satu dari pasangan itu
sepuluh kali pindah rumah karena pemilik rumah yang dikontraknya
mengenalinya sebagai pasangan Odha. Rupanya, pemilik rumah mengingat-
ingat wajah Anik sebagai pasangan Odha. Soalnya, ketika Anik menikah media
massa memberitakannya lengkap dengan foto pernikahannya. Selama hidupnya
Anik selalu was-was karena ia takut ada yang mengenalinya, sehingga ia pun
tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai penata rambut.
Akibatnya, Anik hanya bisa mengemis kepada teman atau orang yang
dikenalnya. Kalau saya tidak ditangkap saya tidak ngemis ke Abang, kata
Anik kepada penulis dalam berbagai kesempatan. Rupanya, Anik merupakan
korban penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengikuti standar prosedur
operasi. Dia ditangkap di Jalan Vagina Raya (julukun untuk nama sebuah jalan
di dekat pelabuhan laut Makassar yang merupakan tempat mangkal pekerja seks).
Tanpa konseling langsung dites. Hasil tes dan identitasnya pun tersebar luas
melalui media massa.
Perlakuan yang diskriminatif terhadap Odha merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM. Stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan pelanggaran
HAM. Selain melanggar HAM perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi terhadap
Odha juga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Dalam UU HAM disebutkan: Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya.Ironis, memang. Yang melecehkan HAM
Odha justru yang melek hukum, tapi di sisi lain banyak pula Odha, seperti Cici,
Cece, Onah, Anik, dan lain-lain yang tidak memahami hak-hak mereka sebagai
warga negara.
Seharusnya, jajaran pemda dan instansi-instansi pemerintah lebih
memahami hak, perlindungan hukum dan HAM bagi Odha. Dalam Strategi
Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia (Keputusan Menko Kesra No.
KEP/MENKO/KESRA/VI/1994) disebutkan: Setiap kebijakan, program,
pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari pada
pengidap HIV/penderita AIDS dan keluarganya. Selain itu disebutkan pula: Setiap
pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan
yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent).
Sebelum dan sesudah tes HIV harus diberikan konseling yang memadai dan hasil
pemeriksaan wajib dirahasiakan.
2. Kondisi Rentan
Berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM ini praktisi hukum peduli
HIV/AIDS di Bali mengeluarkan Pernyataan Sanur (8/5-1998) yang antara lain
menyebutkan: Diperlukan perlindungan hukum atas hak privasi, perlindungan
terhadap Odha dan keluarganya sampai Odha meninggal dunia, perlindungan
terhadap pemaksaan untuk menjalani tes HIV, perlindungan atas kebebasan dan
keamanan Odha, perlindungan atas kebebasan dari perlakuan yang tidak
manusiawi, serta perlindungan atas hak untuk mendapatkan pengobatan dan
perawatan.
Perlakuan diskrimatif dan pemberian stigma terhadap Odha terjadi karena
selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS dibalut
dengan norma, moral dan agama sehingga penularan HIV dikaitkan dengan
perilaku (negatif). Akibatnya, ada kesan bahwa orang-orang yang tertular HIV
karena ulah mereka sendiri. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan seks
bebas. Selain ngawur istilah ini pun mengesankan perilaku yang tidak bermoral.
Seks bebas adalah terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal
dalam kosa kata Bahasa Inggris. Istilah ini muncul di tahun 1970-an yang merujuk
ke perilaku sebagian remaja ketika itu. Memakai seks bebas dalam kaitan
dengan penularan HIV akan mendorong masyarakat untuk memberikan cap buruk
dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.Kalau seks bebas
diartikan sebagai zina dalam berbagai bentuk maka sama sekali tidak ada kaitan
langsung antara seks bebas dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui
hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah. Tapi, karena informasi
yang menyesatkan akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa penularan HIV
terjadi karena seks bebas. Kondisi ini lagi-lagi menyuburkan stigma dan
diskriminasi terhadap Odha. Akan jauh lebih arif kalau istilah seks bebas
dihapus dari meteri KIE HIV dan AIDS dan diganti dengan seks tidak aman atau
seks berisiko.
Tanpa perlindungan hukum dan HAM yang konsisten maka kian banyak
orang yang berada pada posisi rentan tertular HIV. Misalnya, bias gender yang
menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Perempuan, seperti
ibu-ibu rumah tangga, berada pada posisi yang rentan tertular HIV karena mereka
tidak bisa memaksa suaminya memakai kondom ketika mereka mengetahui
perilaku seks suaminya di luar rumah. Begitu pula dengan pekerja seks komersial
(PSK) yang tidak bisa memaksa tamunya untuk memakai kondom. Hal yang sama
juga dialami oleh anak-anak dan perempuan yang diperdagangkan sebagai budak
seks. Mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks. Anak-anak jalanan juga
berada pada posisi yang sangat rentan tertular HIV karena mereka menjadi objek
bagi penguasa jalanan.Itu semua terjadi karena tidak ada perlundungan hukum
dan HAM bagi kalangan yang berada pada posisi rentan.
Mereka tidak bisa mewujudkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Kondisi ini merupakan salah satu aspek yang menghambat penanggulangan
epidemi HIV. Untuk itulah hak hukum dan HAM, terutama bagi Odha, perlu
diwujudkan agar mereka bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga tidak ada lagi Odha yang menjadi korban stigmatisasi dan
diskriminasi.
3. HAM dan HIV/AIDS
Memajukan hak asasi manusia dalam konteks HIV dan AIDS berarti ikut
mendorong orang agar menghormati hak masing-masing, dan memperlakukan
orang lain dengan cara mereka ingin diperlakukan sendiri. HAM menjamin bahwa
penyuluhan dan akses terhadap layanan kesehatan tersedia untuk semua
membimbing orang untuk membantu mereka mengatasi rasa takut, ketidaktahuan
dan prasangka yang akan mendorong mereka menginjak hak orang lain
Melindungi hak asasi manusia pada penderita HIV berarti ikut mendukung
dan membela orang yang haknya terancam atau terinjak. HAM pada HIV juga
ikut memperbaiki dan mengimbangi pelanggaran apabila terjadi. Selain itu dapat
mengupayakan mengubah kondisi kemiskinan, ketidakberdayaan dan
ketergantungan yang membuat orang rentan terhadap pelanggaran hak mereka
a) Hak asasi manusia yang diakui pada tingkat internasional
Hak asasi manusia yang tercantum di bawah ini adalah pelanggaran yang
umumnya terjadi berkaitan dengan Odha atau kelompok rentan:
b) Kebebasan, keamanan dan kebebasan gerak
tes HIV yang dipaksakan karantina, pengasingan/isolasi dan pemisahan
c) Kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau penghinaan
Isolasi, misalnya pada narapidana yang HIV-positif
keterlibatan dalam uji coba klinis tanpa persetujuan berdasarakan
informasi yang lengkap
d) Perlindungan oleh hukum yang sama
tidak diberikan nasihat atau layanan hokum
e) Hak pribadi
hasil tes tidak dirahasiakan atau diumumkan tanpa persetujuan
nama Odha wajib dilaporkan ke instansi kesehatan yang berwenang
(yang membuat HIV penyakit yang wajib dilaporkan)
f) Penentuan nasib sendiri
orang yang rentan terhadap atau terpengaruh oleh HIV dilarang berkumpul
g) Hak untuk menikah, mempunyai keluarga dan menjalin hubungan
aborsi atau sterilisasi yang dipaksakan
tes HIV yang diwajibkan sebelum menikah
diskriminasi terhadap hubungan sesama jenis
h) Ketersediaan yang sama terhadap layanan kesehatan
kekurangan obat yang sesuai, kondom dll.
penolakan untuk merawat atau mengobati Odha
i) Pendidikan
tidak tersedianya informasi yang memungkinkan orang membuat
pilihan yang berdasarkan informasi lengkap
penolakan untuk memberikan pendidikan karena status HIV
j) Kesejateraan sosial dan perumahan
penolakan ketersediaan perumahan atau layanan social
k) Pekerjaan
pemecatan dari, atau diskriminasi di tempat kerja
asuransi atau tunjangan lain yang terbatas atau tidak tersedia sama
sekali
tes HIV sebagai prasyarat untuk pekerjaan

Anda mungkin juga menyukai