Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan
oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh
(immunologi) menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Probowo, 2012).
Secara global, tingkat kematian balita mengalami penurunan sebesar 41%, dari tingkat
estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2011(WHO, 2012a). World Health Organization (WHO)
memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara
industri 0,05% (5 juta jiwa) (WHO, 2012b). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang
diderita pada kelompok bayi dan balita di Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia adalah
25,5% dengan morbiditas pneumonia pada bayi 2,2% dan pada balita 3%, sedangkan
mortalitas pada bayi 23,8% dan balita 15,5% (Depkes, 2007).
Insidensi ISPA di Sulawesi Selatan menunjukkan angka berfluktuasi setiap
tahun. Insidensi pneumonia pada bayi dan balita di Sulawesi Selatan pada tahun 2010
sebanyak 8,5/1000 bayi dan balita dengan angka Case Fatality Rate (CFR) pneumonia
0,00059, tahun 2011 sebanyak 10,5/1000 bayi dan balita dengan angka CFR 0,001. Adapun
insidensi bayi dan balita penderita batuk bukan pneumonia tahun 2010 sebanyak 30,5/100
bayi dan balita tahun 2011 sebanyak 26,7/100 bayi dan balita. Insidensi ISPA di Kabupaten
Enrekang tahun 2010 sebanyak 61,4/100 bayi dan balita, tahun 2011 sebanyak 25,1/100 bayi
dan balita (Bagian P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2010 dan 2011).
Penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 jenis penyakit rawat jalan di
Puskesmas Baraka. Penemuan balita penderita ISPA pada tahun 2012, Puskesmas Baraka
termasuk empat besar dari 13 puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Enrekang.
Kejadian ISPA di Puskesmas Baraka termasuk 10 penyakit utama pada bayi dan balita bulan
Januari 2012 hingga Januari 2013 terdapat 653 kasus. Adapun desa yang berada dalam
wilayah kerja Puskesmas Baraka yang memiliki balita penderita ISPA terbanyak setiap bulan
yaitu di Desa Bontongan berdasarkan rekapitulasi kasus dari bulan Januari 2012 hingga
Januari 2013 sebanyak 104 kasus (Puskesmas Baraka, 2012).

1
2

Penyakit ISPA dipengaruhi oleh kualitas udara dalam rumah. Berdasarkan penelitian
Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, ventilasi ruangan mempunyai pengaruh
terhadap kejadian ISPA pada balita. Selain itu, pencemaran udara di dalam rumah dilihat
dari paparan asap rokok. Berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika
mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak anak berusia 1 sampai 5 tahun menderita
bronchitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang di
sekitarnya terutama ayah dan ibunya (Karlinda dan Warni, 2012). Penelitian Winarni, dkk
(2010), ada pengaruh perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal
dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sempor
II.

1.2 Tujuan Umum


Menerapkan dan mengembangkan pola piker secara ilmiah ke dalam proses asuhan
keperawatan nyata serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah ISPA pada
anak.
1.3 Tujuan Khusus
Untuk melakukan asuhan keperawatan anak dengan diagnosa medis ISPA
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar ISPA


a. Definisi
Infeksi saluran pernapasan adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan
nafas dalam menghadapi organisme asing. Infeksi pernapasan akut (ISPA) adalah proses
inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikoplasma), atau aspirasi subkutan
asing, yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Donna, 2003: 458).
Menurut Widoyono (2008), penyakit saluran pernapasan akut (ISPA), dengan perhatian
khusus pada radang paru (pneumonia).
Sedangkan menurut Suryana (2005: 57), infeksi saluran pernapasan akut adalah
infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan penyakit ISPA.
b. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus,
Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus dan
lain-lain.
Faktor-faktor resiko yang berperan dalam kejadian ISPA pada anak adalah sebagai
berikut:
a) Faktor host (diri)
- Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada
usia yang lebih lanjut (Koch et al, 2003).
- Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama
dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan
predisposisi yang lainnya (Tupasi, 1985). Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan

3
4

virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu


dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam
mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak.
- Status imunisasi
Tupasi (1985) mendapatkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan
dengan peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan
penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan
peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Koch et al, 2003).
- Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya,
daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus
dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Koch et al, 2003).
- Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan
pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi
juga sebagai sumber zat anti mikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa
faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat
memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel
imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Koch et al, 2003).
c. Faktor lingkungan
a) Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat
berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan,
perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya
yang baik untuk keluarga dan individu. Anak-anak yang tinggal di apartemen
memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak-anak yang tinggal
di rumah culster (Koch et al, 2003).
b) Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al
(2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara
bermakna prevalensi ISPA berat.
c) Status sosial ekonomi
5

Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosial ekonomi yang
rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status
keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan
tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan
rendahnya status sosial ekonomi (Koch et al, 2003).
d) Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan
terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak
merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali
lipat akibat orang tua merokok (Koch et al, 2003).
e) Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan
lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara
biologis, fisik maupun kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat
penelitian kesehatan Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran udara
terhadap gangguan saluran pernafasan pada siswa sekolah dasar (SD) dengan
membandingkan antara mereka yang tinggal di wilayah pencemaran udara tinggi
dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran udara rendah di Jakarta.
Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian baru atau
insiden penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah
pencemaran udara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak
berbeda dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi
tempat yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran
pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit ISPA. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap
tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah
terjadinya ISPA anak (Mishra, 2003).
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut tingkat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga
golongan yaitu (Suyudi, 2002):
a) ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut:
6

- Batuk
- Serak, yaitu bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu
berbicara atau menangis).
- Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
- Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan
punggung tangan terasa panas (Suyudi, 2002).
b) Gejala ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala ISPA ringan
dengan disertai gejala sebagai berikut:
- Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau
lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
- Suhu lebih dari 390C.
- Tenggorokan berwarna merah
- Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
- Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
- Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit
(Suyudi, 2002).
c) Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau
sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
- Bibir atau kulit membiru
- Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernapas
- Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
- Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah
- Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
- Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
- Nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak teraba
- Tenggorokan berwarna merah (Suyudi, 2002).
e. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
7

tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering.
Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling
menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas
seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang
mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-
faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa
dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan
gizi akut pada bayi dan anak.
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang saluran nafas
bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan
atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri.
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang
sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar,
merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA
memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah.
Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran nafas (Siregar, 2003).
8

Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan
reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi
lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia
(Siregar, 2003).
9

Pathway ISPA
Virus, Bakteri

Invasi saluran nafas atas

B1 B2 B3 B5 B6
Kuman Berlebih Infeksi Saluran Infeksi saluran Kuman Terbawa Kuman Terbawa
di Bronkus nafas napas Kesaluran Cerna Kesaluran Cerna
Proses inflamasi

Proses Peradangan Dilatasi Pembuluh Darah


Dilatasi Pembuluh Darah Infeksi Saluran
Infeksi Saluran
Hipertermi Cerna
Cerna
Akumulasi Sekret Eksudat Masuk Alveoli Eksudat Masuk Alveoli
di Bronkus Peristaltik usus
Peristaltik usus
meningkat
meningkat
Gangguan Difusi Gas Gangguan Difusi Gas
Bersihan Jalan
Nafas Tidak Efektif Gangguan Pertukaran Gas Malabsorsi
Malabsorsi
Gangguan Pertukaran Gas

Frekuensi BAB >


Suplai oksigen dlm darah Frekuensi BAB >
3x/hari
menurun 3x/hari

Gangguan Keseimbangan
Hipoksia Gangguan Keseimbangan
Cairan Tubuh
Cairan Tubuh
Penurunan kesadaran
Kelemahan tubuh
10

f. Komplikasi
Menurut Kapita Selekta Kedokteran 2002, komplikasi dari ISPA adalah meningitis
yaitu peradangan pada selaput meningen yang menyelumbungi otak yang disebabkan oleh
bakteri atau virus dan OMA yaitu peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah. Dan jika tidak ditangani dengan cepat maka akan menyebabkan kematian.
g. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman,
b) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia.
c) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Siregar, 2013).
h. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan adanya
kongesti hidung, pergunakanlah slang dalam melakukan pengisapan lender baik melalui
hidung maupun mulut. Terapi pilihan adalah dekongestan dengan pseudoefedrin hidroklorida
tetes pada lubang hidung, serta obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik. Antibiotik
tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret. Penatalaksanaan pada bayi
dengan pilek sebaiknya dirawat pad posisi telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir
dengan lancar sehingga drainase secret akan lebih mudah keluar.
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak memberikan
makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan, misalnya minuman dingin,
makanan yang mengandung petsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan
yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter (PD PERSI,
2003).
11

a) Pengobatan Pada Ispa:


- ISPA Berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui jalur infus.
- ISPA ringan: diberi obat antibiotik melalui mulut. Pilihan obatnya Kotrimoksasol,
jika terjadi alergi/tidak cocok dapat diberikan Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.
- ISPA ringan: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah,
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu
parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah
bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss
dan harus diberi antibiotik selama 10 hari (PD PERSI, 2003).
b) Perawatan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.
a) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan samapai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera
dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan
diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada
air (tidak perlu air es).
b) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk
nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh , diberikan tiga kali
sehari.
c) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu
lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang
menyusu tetap diteruskan.
d) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak
dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
12

e) Lain-lainnya
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat,
lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung , yang berguna
untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak
berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan
untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan (PD PERSI, 2003).

1. Manajemen Keperawatan
a. Pengkajian
a) B1 (Breathing)
1) Inspeksi:
Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan, tonsil tampak kemerahan dan
edema, tampak batuk tidak produktif, tidak ada jaringan parut pada leher, tidak tampak
penggunaan otot- otot pernapasan tambahan, pernapasan cuping hidung, tachypnea, dan
hiperventilasi (Benny, 2010).
2) Palpasi
Adanya demam, teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher nyeri
tekan pada nodus limfe servikalis, tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
(Benny, 2010).
3) Perkusi
Menurut Benny (2010) suara paru normal (resonance).
4) Auskultasi
Suara napas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru (Benny,
2010).
b) B2 (Blood): kardiovaskuler Hipertermi (Benny, 2010).
c) B3 (Brain): penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga, terjadi
gangguan penciuman (Benny, 2010).
d) B4 (Bladder): perkemihan Tidak ada kelainan (Benny, 2010).
e) B5 (Bowel): pencernaan nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis, minum
sedikit, nyeri telan pada tenggorokan (Benny, 2010).
f) B6 (Bone): Warna kulit kemerahan (Benny, 2010).
13

b. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Khaidir, 2008) diagnosa yang muncul pada penderita ISPA antara lain:
a) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
b) Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.
c) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
d) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, intake inadekuat
e) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.

c. Intervensi dan Rasional Keperawatan


Diagnosa 1: Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan: Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria Hasil: Hipertermi/peningkatan suhu dapat teratasi dengan proses infeksi hilang
Intervensi:
1. Kaji peningkatan suhu tubuh yang dialami oleh klien
Rasional: sebagai dasar dalam menentukan intervensi selanjutnya
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan
perawatan selanjutnya.
3. Berikan dan anjurkan keluarga untuk memberikan kompres dengan air pada daerah
dahi dan ketiak
Rasional: Dengan memberikan kompres maka akan terjadi proses
konduksi/perpindahan panas dengan bahan perantara.
4. Anjurkan keluarga untuk mempertahankan pemberian cairan melalui rute oral sesuai
indikasi
Rasional: Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
5. Anjurkan keluarga untuk menghindari pakaian yang tebal dan menyerap keringat
Rasional: Proses hilangnya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak
akan menyerap keringat.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiuretik
Rasional: Untuk mengontrol panas.
14

Diagnosa 2: Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada membrane mukosa dan faring.
Tujuan: Nyeri terkontrol atau menghilang
Kriteria Hasil: Nyeri terkontrol ditandai dengan klien melaporkan nyeri menghilang, ekspresi
wajah rileks, klien tidak gelisah dan rewel
Intervensi:
1. Kaji nyeri yang dirasakan klien, perhatikan respon verbal dan nonverbal
Rasional: sebagai indicator dalam menentukan intervensi selajutnya
2. Anjurkan keluarga memberikan minum air hangat
Rasional: Mengurangi nyeri pada tenggorokan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional: meningkatkan kenyamanan dan meningkatkan istirahat
4. Kolaborasi pemberian antibiotic, dan pemberian ekspectoran
Rasional: Mengobati infeksi dan memudahkan pengeluaran secret sehingga
mengurang rasa sakit saat batuk.
Diagnosa 3: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
Tujuan: bersihan jalan nafas kembali efektif
Kriteria hasil: Usaha nafas kembali normal dan meningkatnya suplai oksigen ke paru-paru.
Intervensi:
1. Observasi tanda vital, adanya sianosis, serta pola kedalaman dalam pernapasan.
Rasional: sebagai dasar dalam menentukan intervensi selanjutnya.
2. Berikan posisi yang nyaman pada klien.
Rasional: semi fowler dapat meningkatkan ekspansi paru dan memperbaiki ventilasi.
3. Ciptakan dan pertahankan jalan napas yang bebas.
Rasional: untuk memperbaiki ventilasi.
4. Anjurkan untuk tidak memberikan minum selama periode tachypnea.
Rasional: Agar tidak terjadi aspirasi
5. Kolaborasi
1) Pemberian oksigen
Rasional: untuk memenuhi kebutuhan oksigen
2) Nebulizer
Rasional: Mengencerkan sekret dan memudahkan pengeluaran secret
3) Pemberian obat bronchodilator
Rasional: Untuk vasodilatasi saluran pernapasan.
15

Diagnosa 4: Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, intake
inadekuat.
Tujuan: Tidak terjadi nutrisi kurang dari kebutuhan
Kriteria Hasil: Nutrisi adekuat ditandai dengan nafsu makan klien meningkat, porsi makan
yang diberikan tampak dihabiskan, tidak terjadi penurunan berat badan 15-20%.
Intervensi:
1. Kaji status nutrisi klien
Rasional: Sebagai indikator dalam menentukan intervensi selanjutnya
2. Timbang berat badan setiap hari
Rasional: Mengetahui perkembangan terapi
3. Berikan diet dalam porsi kecil tapi sering
Rasional: untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien
4. Anjurkan keluarga untuk menyajikan makanan dalam keadaan hangat
Rasional: Meningkatkan nafsu makan
5. Jelaskan kepada keluarga pentingnya nutrisi yang adekuat dalam proses kesembuhan
Rasional: Peningkatan pengetahuan mengembangkan kooperatif keluarga dalam
pemberian tindakan
6. Kolaborasi dengan bagian gizi
Rasional: untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien sesuai kebutuhan.
Diagnosa 5: Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk
Tujuan: Pola tidur kembali optimal
Kriteria Hasil: Pola tidur membaik ditandai dengan orang tua melaporkan anaknya sudah
dapat tidur, klien nampak segar
Intervensi:
1. Kaji gangguan pola tidur yang dialami klien
Rasional: sebagai indicator dalam melakukan tindakan selanjutnya
2. Ciptakan lingkungan yang tenang
Rasional: Mengurangi rangsangan suara yang dapat menyebabkan klien tidak nyaman
untuk tidur
3. Berikan bantal dan seprei yang bersih
Rasional: meningkatkan kenyamanan
4. Kolaborasi pemberian obat sedative
Rasional: membantu klien untuk istirahat
16

d. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, yaitu kategori dari
perilaku keperawatan di mana tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan hasil
yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Implementasi
dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat sebelumnya berdasarkan
masalah keperawatan yang ditemukan dalam kasus, dengan menuliskan waktu pelaksanaan
dan respon klien (Patricia A. Potter, 2005).
e. Evaluasi
Evaluasi menentukan respons klien terhadap tindakan keperawatan dan seberapa jauh
tujuan perawatan telah terpenuhi (Patricia A. Potter, 2005). Sedangkan menurut (Hidayat
2008: 124) evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan, evaluasi menyediakan
nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan
perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap
perencanaan.
Evaluasi pada diagnosa menurut (Khaidir, 2008) pada diagnosa satu: peningkatan
suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi, hasilnya hipertermi/peningkatan suhu dapat
teratasi.
17

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media


Aesculapius.
Carpenito Lynda Juall.2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. jakarta : EGC.

Marilyan, Doenges E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatyan px) Jakarta :EGC.

Black, Joyce M & Esther Matassarin-Jacobs. 1997. Medical Surgical Nursing : Clinical
Management for Continuity of Care, Edisi 5, W.B. Saunders Company,
Philadelphia.

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilyn E, et all. 2000. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company, Philadelphia.

Gale, Danielle & Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. EGC.
Jakarta.

Lab. UPF Bedah, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi , RSDS-FKUA, Surabaya.

Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Alih Bahasa: Yayasan Ikatan.

Muchlis Ramli dkk, 2000. Deteksi Dini Kanker, FKUI, Jakarta.


18

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Infeksi saluran pernapasan adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan
nafas dalam menghadapi organisme asing. Infeksi pernapasan akut (ISPA) adalah proses
inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikoplasma), atau aspirasi
subkutan asing, yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Donna,
2003: 458). Menurut Widoyono (2008), penyakit saluran pernapasan akut (ISPA), dengan
perhatian khusus pada radang paru (pneumonia).
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri
penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.

5.2 Saran
Harapan kepada masyarakat Perawat, keluarga dan masyarakat harus menjadi bagian
dari proses pemulihan pasien. Agar pemulihan dapat berhasil, maka seluruh komponen
masyarakat harus menjadi intregitas yang saling berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai