Anda di halaman 1dari 40

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diabetes Mellitus (DM)

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2011), Diabetes

Mellitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan

tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat

gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya.

Diagnosis DM menurut ADA jika hasil pemeriksaan gula darah:

1. Kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl
2. Kadar gula puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl
3. Kadar gula darah lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam setelah

beban glukosa 75 pada tes toleransi glukosa. Diabetes Mellitus

merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya

hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan

kelainan pada karbohidrat, metabolime lemak, dan protein. DM

merupakan penyakit kronik, progresif dengan karakteristik

ketidakmampuan tubuh dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak,

dan protein, yang menyebabkan peningkatan level gula darah (Black &

Hawks, 2009).

DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan

sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin

(Soegondo dkk, 2011). DM adalah gangguan kesehatan yang berupa


9

kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa)

darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin (Bustan, 2007). DM

merupakan penyakit yang heterogenik, baik karena manifestasinya maupun

karena jenisnya. DM adalah sindrom yang disebabkan oleh terganggunya

insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia yang disertai

abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Inzucchi, 2004).

B. Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2005

penderita DM tipe 2 mencapai 217 juta dan memperkirakan pada tahun 2030

mencapai 366 juta jiwa. Adanya globalisasi dan perubahan gaya hidup

menyebabkan peningkatan kejadian overweight dan obesitas. Kedua hal

tersebut diketahui merupakan faktor resiko Diabetes Mellitus tipe 2, sehingga

dengan semakin banyaknya orang yang mengalami overweight atau obesitas,

semakin banyak pula orang yang menderita DM (Aso, 2008). Prevalensi

nasional penyakit DM adalah 1,1%, sebanyak 17 provinsi mempunyai

prevalensi penyakit diabetes mellitus diatas prevalensi nasional, yaitu

Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung,

Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa

Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur,

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat (Riskesdas,

2007).

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia

dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
10

Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM

sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes

Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di

Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa.

Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada

tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun.

(PERKENI, 2015).

Data yang didapatkan dari Puskesmas Trosobo, Kecamatan Taman,

Kabupaten Sidoarjo, jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Trosobo

(9 desa) yang menderita DM tipe 2 sebanyak 1.647 jiwa selama 6 bulan

terakhir, yaitu dari Oktober 2016-Maret 2017. Desa dengan jumlah penduduk

yang paling banyak menderita DM tipe 2 adalah Desa Kramat Jegu. Dari data

yang didapatkan, jumlah pasien DM di Desa Kramat Jegu, Kecamatan

Taman, Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan. Berdasarkan data rekam

medik Puskesmas Trosobo pada bulan Oktober 2016-Maret 2017 jumlah

penderita DM di Desa Kramat Jegu sebanyak 220 jiwa. Pada bulan Oktober

terdapat kasus DM 27 kasus, bulan November kasus DM meningkat menjadi

31 kasus, bulan Desember sebanyak 32 kasus, bulan Januari sebanyak 33

kasus, bulan Februari sebanyak 39 kasus dan tertinggi pada bulan Januari

didapatkan kasus DM sebanyak 58 kasus.

C. Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM)


11

Klasifikasi DM berdasarkan kebutuhan terhadap penggunaan

insulin dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu :

1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (InsulinDependent Diabetes Mellitus atau


IDDM)
Diabetes Mellitus Tipe 1 (IDDM) muncul pada saat pankreas tidak

dapat atau kurang mampu memproduksi insulin sehingga insulin dalam

tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Glukosa di dalam darah

menumpuk karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. DM tipe ini

tergantung pada insulin, oleh karena itu penderita memerlukan suntikan

insulin (Tandra, 2007).

Diabetes Tipe 1 (IDDM) merupakan suatu gangguan autoimun

(autoimmune disorder) yang ditandai dengan kerusakan sel-sel

langerhans pankreas. Karena itu, DM jenis ini kebanyakan ditemukan pada

anak atau usia muda, minimal sebelum usia 35 tahun. Sebaliknya, DM Tipe

2 akan kebanyakan menyerang usia lanjut, karena berhubungan dengan

degenerasi atau kerusakan organ dan faktor gaya hidup (Bustan, 2007). DM

Tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik, dimana penderita diabetes mewarisi

predisposisi/kecenderungan terhadap terjadinya DM tipe 1, biasanya

ditemukan pada individu yang memiliki antigen H. Selain itu disebabkan

oleh faktor imunologi, adanya respon autoimun yang abnormal, serta

adanya kerusakan sel pankreas.

2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus atau


NIDDM)
12

Diabetes Mellitus Tipe 2 (NIIDM) merupakan diabetes yang paling

sering ditemukan di Indonesia. Penderita tipe ini biasanya ditemukan pada

usia diatas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih (Nabil, 2009).

Kemungkinan lain terjadinya DM tipe 2 adalah karena sel-sel jaringan

tubuh tidak peka atau resisten terhadap insulin. Resistensi terhadap insulin

pada DM tipe 2 ini terjadi karena turunnya kemampuan insulin untuk

merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan menghambat

produksi oleh sel hati (Tandra, 2007).

Selain itu, ada klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi

yang terbagi menjadi 4, yaitu: (PERKENI, 2011)

Tabel II.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi

Klasifikasi Etiologi
Diabetes Mellitus Tipe 1 Destruksi sel , umumnya karena defisiensi
insulin absolut:
a. Autoimun
b. Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2 Bervariasi mulai dari yang dominan yaitu
resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes Mellitus Gestasional adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa
yang timbul selama masa kehamilan dan
biasanya berlangsung hanya sementara.
Diabetes Mellitus Tipe Lain a. Defek genetik fungsi sel dan kerja
insulin
b. Penyakit eksokrin pankreas
c. Endokrinopati
d. Karena obat atau zat kimia
e. Infeksi
f. Sebab imunologi yang jarang

D. Patogenesis Diabetes Mellitus (DM)


13

DM merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan

insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3

jalan, yaitu:

1. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia

tertentu, dll) ataupun dari dalam (penyakit autoimun)


2. Desensitisasi atau penurunan sensitivitas reseptor glukosa pada kelenjar

pankreas
3. Desensitisasi/kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar

dari makanan yang masuk. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi

asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Agar dapat berfungsi sebagai

bahan bakar, zat makanan itu harus masuk terlebih dahulu ke dalam sel agar

dapat diolah. Didalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui

proses metabolisme, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Dalam

proses metabolisme ini insulin memegang peran yang sangat penting yaitu

memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai

bahan bakar. Hidrat arang dalam makanan diserap oleh usus halus dalam

bentuk glukosa. Glukosa darah dalam tubuh manusia diubah menjadi glikogen

hati dan otot oleh insulin. Sebaliknya, jika glikogen hati maupun otot akan

digunakan, dipecah lagi menjadi glukosa oleh adrenalin. Jika kadar insulin

darah berkurang, kadar glukosa darah akan melebihi normal, menyebabkan

terjadinya hiperglikemia. Insulin yang dikeluarkan oleh sel pankreas

membantu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian didalam sel

glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka

glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya glukosa akan tetap berada
14

di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam darah meningkat.

Dalam keadaan ini badan akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energi

didalam sel (Syah, 2011).

Menurut Suyono (2006), patogenesis DM berbeda berdasarkan tipe penyakit

yaitu:

1. DM Tipe 1

Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada

reaksi autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap tipe 1,

terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadanya oleh

karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantarnya virus

cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan

pada sel (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel

. Pada insulitis yang diserang hanya sel , biasanya sel alfa dan delta

tetap utuh. Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM

tipe 1 dengan HLA DR3 dan DR4.

2. DM Tipe 2

Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin

perifer, gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan

fungsi sel , yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel .

E. Patofisiologi Diabetes Mellitus (DM)


DM terutama DM tipe 2 merupakan tipe yang paling sering dijumpai

pada penderita DM dan mempunyai riwayat perjalanan alamiah yang unik dan

patofisiologi penyakit yang kompleks. Patofisiologi DM tipe 2 ditandai


15

dengan adanya gangguan metabolik ganda yang progresif yaitu resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin oleh sel pankreas. Awalnya resistensi

insulin menyebabkan kemampuan insulin menurunkan kadar gula darah

menjadi berkurang. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih banyak

untuk mengatasi kenaikan kadar gula darah. Pada tahap ini, kemungkinan

individu tersebut akan mengalami gangguan toleransi glukosa (tahap

pradiabetes), tetapi belum memenuhi kriteria penderita DM. Kondisi resistensi

insulin akan terus berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas

tidak mampu lagi terus menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin

yang cukup untuk mengontrol gula darah. Peningkatan produksi glukosa hati,

penurunan pemakaian glukosa dan lemak oleh otot berperan atas terjadinya

hiperglikemia kronik saat puasa dan setelah makan. Akhirnya sekresi insulin

oleh sel pankreas akan menurun dan kenaikan kadar gula darah bertambuah

berat. Perubahan proses toleransi glukosa, mulai dari kondisi normal, toleransi

glukosa terganggu dan DM tipe 2 dapat dilihat sebagai keadaan yang

berkesinambungan (Soewondo, 2007).


F. Faktor Resiko Diabetes Melitus (DM)

Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2,

berkaitan dengan beberapa faktor yaitu faktor resiko yang tidak dapat diubah

(internal) dan faktor resiko yang dapat diubah (eksternal). Menurut

American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor

resiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first

degreerelative), umur 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan

berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM
16

gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg). Faktor

resiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT 25kg/m2 atau

lingkar perut 80 cm pada wanita dan 90 cm pada laki-laki, Kurangnya

aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat. Faktor lain yang

terkait dengan resiko diabetes adalah penderita Polycystic Ovary Syndrome

(PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa

terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya,

memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau

Peripheral Arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres,

kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein.

1. Faktor yang tidak dapat diubah (internal)


a. Usia

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu

keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang

mati.

Katagori umur atau usia menurut DEPKES RI tahun 2009:

1) Masa balita : 0-5 tahun


2) Masa kanak-kanak : 5-11 tahun
3) Masa remaja awal : 12-16 tahun
4) Masa remaja akhir : 17-25 tahun
5) Masa dewasa awal : 26-35 tahun
6) Masa dewasa akhir : 36-45 tahun
7) Masa lansia awal : 46-55 tahun
8) Masa lansia akhir : 56-65 tahun
9) Masa manula : > 65 tahun

Umumnya penderita DM tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang

secara drastis, DM tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun keatas


17

dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya

tidak peka terhadap insulin.

Peningkatan kejadian DM sangat erat kaitannya dengan peningkatan

usia karena lebih dari 50% DM tipe 2 terjadi pada kelompok umur

lebih dari 60 tahun (Goldstein dan Muller, 2008). Menurut PERKENI

batasan umur yang berisiko terhadap DM tipe 2 di Indonesia adalah

45 tahun keatas (PERKENI, 2006). Pengaruh penuaan terhadap

kejadian DM tipe 2 terjadi karena adanya perubahan pada sel

pankreas yang menyebabkan perubahan sekresi insulin karena

berhubungan dengan perubahan metabolisme glukosa pada usia tua

(Rumiyati, 2008). Dengan adanya perubahan metabolisme glukosa

tersebut, maka kebutuhan kalori pada usia 40-59 tahun harus

dikurangi 5%, sedangkan antara 60-69 tahun dikurangi 10% dan

diatas 70 tahun dikurangi 20%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbangkes tahun 2008,

mendapatkan bahwa pada kelompok umur yang lebih tua, prevalensi

kejadian diabetes mellitus semakin meningkat. Dari penelitian

tersebut didapatkan prevalensi DM pada kelompok umur 15-24 tahun

sebesar 0,6%, kelompok umur 25-34 tahun sebesar 1,8%, kelompok

umur 35-44 tahun sebesar 5%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar

10,5%, kelompok umur 55-64 tahun sebesar 13,5%, kelompok umur

65-74 tahun sebesar 14,0% dan kelompok umur 75 tahun keatas

sebesar 12,5%. Penelitian yang dilakukan Rahajeng tahun 2007


18

mendapatkan bahwa pada kelompok umur 41-64 tahun memiliki

resiko untuk menderita DM 3,3 kali lebih muda dibanding dengan

kelompok umur 25-40 tahun.

b. Jenis Kelamin

Menurut Inzucchi dalam Wahyuni (2010), prevalensi antara pria dan

wanita tidak jauh berbeda dan prevalensi meningkat sebanding

dengan semakin buruknya toleransi glukosa. Secara prevalensi,

wanita dan pria mempunyai peluang yang sama terkena DM. Hanya

saja, dari faktor resiko, wanita lebih beresiko mengidap DM karena

secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh

yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome),

pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi

mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita

beresiko menderita DM tipe 2. Selain itu pada wanita yang sedang

hamil terjadi ketidakseimbangan hormonal progesteron tinggi,

sehingga meningkatkan sisetem kerja tubuh untuk merangsang sel-sel

berkembang (termasuk pada janin), tubuh akan memberikan sinyal

lapar dan pada puncaknya menyebabkan sistem metabolisme tubuh

tidak bisa menerima langsung asupan kalori dan menggunakannya

secara total sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah saat

kehamilan (Damayanti, 2010).

Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi DM tipe 2 pada laki-laki

sebesar 4,9% sedangkan pada permpuan 6,4%. Penelitian yang


19

dilakukan oleh Rumiyanti tahun 2008, mendapatkan sebanyak 67,0%

wanita menderita DM sedangkan laki-laki 33,0% namun tidak

ditemukan hubungan yang signifikan. Sedangkan penelitian lain yang

dilakukan oleh Puhilan (2006) dan Iswanto (2004) juga tidak

menemukan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin

dengan DM.

c. Faktor Genetik
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen DM. Diduga

bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang

bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita DM.


Faktor genetik ini terutama pada DM tipe 2 berasal dari interaksi

genetis dan berbagai faktor mental. Penyakit ini sudah lama dianggap

berhubungan dengan agregasi familial. Resiko empiris dalam hal

terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika

orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini.


2. Faktor yang dapat diubah / Faktor Eksternal
a. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit

DM tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan

memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan, tingkat

pendidikan juga mempengaruhi aktivitas fisik seseorang karena

terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Orang yang tingkat

pendidikan tinggi biasanya lebih banyak bekerja di kantoran

dengan aktivitas fisik sedikit, sedangkan yang tingkat pendidikan

rendah lebih banyak menjadi buruh maupun petani dengan


20

aktivitas fisik yang cukup (Irawan, 2010). Berdasarkan data

penelitian yang dilakukan oleh Adi, dkk dalam Wahyuni (2010)

bahwa orang yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai

hubungan yang signifikan untuk tidak mengalami kejadian DM

dibanding orang yang berpendidikan rendah.

Pendidikan didefinisikan sebagai pendidikan formal yang dapat

diselesaikan oleh seseorang yang dikategorikan menjadi 2 yaitu

pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan

tamat SMP), pendidikan tinggi (SMA, tamat SMA dan tamat

perguruan tinggi (DIII ke atas)) (Sartono dan Utaminingrum,

2012). Menurut Notoadmodjo (2010) yang mengemukakan bahwa

umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah

mendapatkan informasi dan akhirnya mempengaruhi perilaku

seseorang.

Tingkat pendidikan dapat meningkatkan kematangan intelektual

seseorang. Kematangan intelektual ini berpengaruh pada wawasan,

cara berfikir, baik dalam cara pengambilan keputusan maupun

dalam pembuatan kebijakan. Tetapi, seseorang dengan tingkat

pendidikan rendah tidak mutlak akan memiliki pengetahuan yang

buruk. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari

pendidikan formal saja, akan tetapi dapat pula diperoleh dari

pendidikan non formal.

b. Tingkat Pengetahuan
21

Pengetahuan merupakan hasil tahu, sebagian besar pengetahuan itu

diperoleh melalui mata dan telinga, yaitu yang berasal dari

pendidikan, pengalaman, dan hubungan sosial (Notoatmodjo,

2010).

Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan

perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih kekal

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

tingkat pendidikan, informasi, budaya, serta pengalaman

(Notoatmodjo, 2010).

Penelitian terkait mengenai Diabetes Mellitus yang dilakukan oleh

Famawati (2010) bahwa pengetahuan responden tentang DM

secara signifikan dengan kejadian DM tipe 2 ditemukan sebanyak

35,1% responden yang berpengetahuan rendah cenderung

mengalami DM tipe 2 karena sebagian responden tidak tahu

tentang pencegahan DM.

c. Pekerjaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2017, kerja

didefinisikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu untuk mencari

nafkah. Jenis pekerjaan erat kaitannya dengan aktivitas fisik yang

dilakukan seseorang, jenis pekerjaan dapat dikelompokkan


22

berdasarkan berat ringannya aktivitas fisik yang dilakukan

seseorang, seperti (Sukardji, 2009):

1) Ringan: pegawai kantor, pegawai toko, guru, ibu rumah

tangga, ahli hukum, pegawai di industri ringan,

mahasiswa, dan militer yang sedang tidak berperang.


2) Berat: petani, buruh, militer dalam keadaan latihan, penari,

atlet, tukang becak, tukang gali dan pandai besi.

Menurut Sudoyo (2009), jenis pekerjaan juga erat kaitannya

dengan tingkat pendapatan seseorang dan kemakmuran suatu

bangsa dapat mempengaruhi tingginya prevalensi DM di negara

tersebut yang disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup

terutama di kota-kota besar. Menurut Riskesdas 2007 mendapatkan

prevalensi DM tertinggi pada kelompok yang tidak bekerja dan ibu

rumah tangga yaitu sebesar 6,9% dan 7,0%, sedangkan pada

kelompok yang lain bervariasi, yaitu 1,0% pada kelompok sekolah,

5,9% pada pegawai, 5,9% pada wiraswasta, 2,8% pada petani atau

buruh dan 9,0% pada kelompok lainnya.

d. Stres
Stres adalah reaksi seseorang, baik secara fisik maupun kejiwaan

karena adanya perubahan. Stres merupakan bagian dari kehidupan

manusia yang tidak dapat dihindari, stres selalu terjadi pada setiap

orang, dan terjadi pada setiap waktu selama orang tersebut

menjalani kehidupan sosialnya. Reaksi stres dapat bersifat positif

maupun negatif. Bersifat positif, jika menimbulkan dampak pasitif


23

atau menjadi pendorong orang berusaha untuk mencapai kehidupan

yang lebih baik dan bersifat negatif, jika terjadi keluhan atau

gangguan terhadap orang tersebut. Reaksi stres yang bersifat

positif seperti melakukan latihan jasmani, olahraga, atau memacu

seseorang untuk berusaha dengan baik. Sedangkan reaksi negatif

stres yang bersifat fisik seperti jantung berdebar-debar, otot-otot

tegang, sakit kepala, sakit perut atau mencret, letih, lelah,

gangguan makan (tidak berselera makan atau makan berlebihan),

eksim atau kulit gatal-gatal. Reaksi negatif stres yang bersifat

kejiwaan seperti sukar memusatkan perhatian, pelupa, sukar tidur

atau banyak tidur, cenderung menyalahkan orang lain, cemas,

menarik diri dan menyerang (Rahajeng, 2007).

Stres dapat menjadi faktor risiko terhadap kejadian DM tipe 2

karena pada keadaan stres akan berkaitan dengan peningkatan berat

badan dan inaktif, yang disebabkan karena makan yang tidak

terkendali, tidak berolahraga, gangguan secara emosional dan

tubuh memproduksi hormon epinefrin dan kristol yang dapat

menghambat kerja insulin sehingga dapat meningkatkan kadar gula

darah.

e. Obesitas
Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan

skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam

tubuh. Bila lemak tubuh lebih dari 30% pada wanita dan 25% pada

pria maka dikategorikan obesitas. Pada prinsipnya, pada obesitas


24

ditemukan ketidakseimbangan antara masukan energi dan energi

yang dikeluarkan, dimana masukan energi lebih besar daripada

pengeluarannya. Obesitas merupakan manifestasi dari kelebihan

berat badan yang artinya mempunai lemak tubuh terlalu banyak.

Obesitas berbeda dengan overweight yang hanya kelebihan berat

badan, karena kelebihan berat badan bisa dimungkinkan karena

adanya masa otot, tulang atau air yang berlebih (misalnya pada

kasus atlet binaraga). Meskipun kedua istilah tersebut (obesitas dan

overweight) sama-sama bermakna seseorang yang mempunyai

berat badan melebihi berat badan yang normal sesuai tinggi

badannya. Kriteria obesitas adalah berdasarkan Indeks Masa Tubuh

(IMT) yang merupakan perbandingan antara berat badan dengan

tinggi badan. Cara menghitung IMT adalah sebagai berikut: berat

badan (kg)/ (tinggi badan (m) x tinggi badan (m)) (Tandra, 2007).

Prevalensi obesitas berkorelasi positif dengan kejadian DM.

Timbunan lemak yang tergambar sebagai penambahan ukuran

lingkar pinggang akan mendorong perkembangan penyakit

degeneratif seperti diabetes mellitus, peningkatan insulin plasma

dan sindrom resistensi insulin. Keberhasilan mengurangi berat

badan hingga 10 kg kemungkinan besar dapat menormalkan kadar

glukosa darah, selain itu penurunan berat badan juga dapat

memperlambat perkembangan dini dan perluasan pembentukan

plak pada pembuluh darah. Pada orang yang mengalami obesitas,


25

terdapat kelebihan kalori akibat makan yang berlebih menimbulkan

penimbunan lemak di jaringan kulit. Resistensi insulin akan timbul

pada daerah yang mengalami penimbunan lemak sehingga akan

menghambat kerja insulin di jaringan tubuh dan otot yang

menyebabkan glukosa tidak dapat diangkat ke dalam sel dan

menimbun di dalam pembuluh darah. Penumpukan glukosa ini

akan meningkatkan glukosa dalam darah. Prevalensi obesitas dan

DM tipe 2 meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Sekitar 60%

dari mereka yang obesitas menderita DM tipe 2. Semakin besar

(IMT) semakin besar risiko menderita DM tipe 2 (Tandra, 2007).

f. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang

diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya. Gaya hidup

menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi

dengan lingkungan. Menurut Darmojo (1999), gaya hidup adalah

sebagai praktek perilaku dan praktek sosial yang mendukung

kesehatan dan merupakan cerminan dari nilai-nilai dan jati diri dari

kelompok dan masyarakat dimana penduduk hidup dan

menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memenuhi

kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan fisik.


1) Konsumsi Serat (Sayur dan Buah).
Serat adalah bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna

oleh tubuh. Ada dua macam serat yaitu serat larut (pembentuk

gel) seperti pectin dan guargum dan serat tidak larut seperti

sellulose dan bran. Kedua jenis serat tersebut banyak terdapat


26

pada padi-padian, kacang-kacangan, tempe, sayuran serta buah

(Sukardji, 2009).

The American Cancer Society, The American Heart

Association dan The American Diabetic Association

menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan

seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus Nasional

pengelolaan DM di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi

orang yang berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2011).

Konsumsi serat terutama insoluble fiber (serat tidak larut) yang

terdapat dalam biji-bijian dan beberapa tumbuhan, dapat

membantu mencegah terjadinya DM dengan cara

meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah

di dalam tubuh.

Asupan serat yang direkomendasikan untuk orang dengan DM

sama dengan untuk orang yang tidak DM yaitu dianjurkan

mengkonsumsi 20-35 g serat makanan dari berbagai sumber

bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25

g/1000 kalori dengan mengutamakan serat larut. Dari hasil

Penelitian terhadap 17 wanita dengan berat badan lebih selama

tiga hari melakukan diet dengan mengkonsumsi roti yang

diperkaya dengan serat tidak larut dan tiga hari lainnya juga

mengkonsumsi roti yang sama, namun rendah serat. Setelah

beberapa harimengkonsumsi roti yang kaya akan serat,


27

pengaturan sensitivitas insulin pada wanita tersebut semakin

membaik (Sukardji, 2009). Penelitian prospektif yang

dilakukan oleh Tjokroprawiro tahun 2006 membuktikan bahwa

konsumsi diit-B (68% kalori karbohidrat, 20 kalori lemak dan

12% kalori protein) yang banyak mengandung serat dari

sayuran golongan A dan sayuran golongan B dapat

memperbaiki glukose uptake (pembakaran glukosa) dari jarinan

perifer, memperbaiki kepekaan sel pankreas dan dapat

menekan kenaikan kadar kolesterol darah. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Rahajeng tahun 2004 juga menyatakan bahwa

konsumsi serat 25 gram/hari dapat mencegah terjadinya

penyakit diabetes melitus tipe 2 dengan HR 0.29 - 0.42 kali.

Hasil analisis data SKRT tahun 2004 yang dilakukan oleh

Hermita 2006, menyatakan bahwa 12,6% orang yang

mengkonsumsi serat <5 porsi/hari menderita diabetes dan

sekitar 11,1% orang yang mengkonsumsi serat cukup (5

porsi/hari) menderita DM. Hasil laporan Riskesdas 2007

menyatakan bahwa prevalensi DM pada orang yang kurang

konsumsi serat (<5 porsi/hari) sebesar 5,0% sedangkan

prevalensi diabetes pada orang yang mengkonsumsi cukup

serat (5 porsi/hari) sebesar 4,9% dengan rata-rata konsumsi

kurang serat secara nasional adalah 93,6% dan tinggi di semua

provinsi.
28

Kebutuhan akan serat yang dapat larut dalam air seperti apel,

jeruk, pir, kacang merah dan kedelai juga perlu untuk tubuh.

Selain sebagai sumber serat, buah dan sayuran juga merupakan

sumber vitamin dan mineral. Pola makanan yang tidak

seimbang antara asupan dengan kebutuhan baik jumlah

maupun jenis makanannya, seperti makan makanan tinggi

lemak, kurang mengonsumsi sayuran, buah dan sebagainya

juga makan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh bisa

menyebabkan obesitas atau kegemukan (Supariasa, 2002).

Menurut Depkes RI (2005), ukuran saat mengukur sayuran

adalah sudah matang tanpa kuah dalam keadaan basah, buah

buahan dalam ukuran gram, kacang-kacangan diukur dalam

ukuran gram dan sudah siap saji, untuk melihat daftar

kandungan serat perseratus gram (sayur-sayuran, buah-buahan

dan kacang-kacangan) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel II.2. Daftar Kandungan Serat per 100 Gram Sayur-sayuran, Buah-
buahan Serta Produk Olahannya
29

2) Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang

menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang

sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental dan kualitas

hidup yang sehat dan bugar. Pada waktu melakukan aktivitas

fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada

waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian

konsentrasi glukosa darah akan turun. Melalui aktivitas fisik,

insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat

masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga


30

(Soegondo, 2011). WHO merekomendasikan untuk

melakukan aktivitas fisik dengan intesitas sedang selama 30

menit per hari dalam satu minggu atau 20 menit perhari

selama 5 hari dalam satu minggu dengan intensitas berat

untuk mendapatkan hasil yang optimal dari aktivitas fisik

atau olahraga. Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun

kepada 87.353 perawat wanita yang melakukan olahraga

ditemukan penurunan resiko penyakit diabetes mellitus tipe

2 sebesar 33% atau relative risk (RR) 0,87 (Goldstein dan

Muller, 2008). Menurut Riskesdas tahun 2007, melaporkan

48,2% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik

(<5 hari dan <150 menit per hari). Kurang aktivitas fisik

tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas

(76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dilihat dari jenis

kelamin, kurang aktivitas fisik lebih tinggi pada perempuan

(54,5%) dibanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008).

Menurut Rahajeng tahun 2007, aktivitas fisik yang

dilakukan selama 120 menit/hari mampu mencegah

terjadinya DM dengan hazard rasio (HR) 0,56 pada

kelompok yang telah mengalami TGT. Menurut Depkes RI

(2008) gaya hidup juga bisa mempengaruhi kerentanan fisik

terutama karena kurangnya aktivitas fisik akibatnya timbul

penyakit yang sering diderita antara lain DM atau kencing


31

manis, penyakit jantung, hipertensi, kanker atau keganasan

dan lain-lain. Gaya hidup pada jaman modern ini telah

mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti jarang

bergerak karena segala sesuatu atau pekerjaan dapat lebih

mudah dikerjakan dengan adanya teknologi. Gaya hidup

seperti itu tidak baik untuk kesehatan karena tubuh kita

menjadi manja, karena kurang bergerak, sehingga tubuh

menjadi lembek dan rentan penyakit. Untuk menciptakan

hidup yang sehat, segala sesuatu yang kita lakukan tidak

boleh berlebihan karena hal tersebut bukannya menjadikan

lebih baik tetapi sebaliknya akan memperburuk keadaan.

Jadi lakukanlah atau kerjakanlah sesuatu hal itu sesuai

dengan kebutuhan.

3) Merokok

Merokok adalah salah satu faktor resiko terjadinya penyakit

DM tipe 2, menurut American Diabetes Association asap

rokok dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen

dalam jaringan, meningkatkan kadar kolesterol dan tekanan

darah dan dapat meningkatkan kadar gula darah sehingga

orang yang sering terpapar dengan asap rokok memiliki

risiko terkena penyakit DM lebih mudah dibanding dengan

orang yang tidak terpapar dengan asap rokok (Tarigan,

2009). Merokok juga menyebabkan meningkatnya kadar


32

gula darah sebagai akibat dari terjadinya resistensi insulin

yang merupakan awal dari terjadinya DM tipe 2 (Norma J,

2007). Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus

termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari

tanaman Nicotiana Eabacum, Nicotiana rustica dan spesies

lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar

dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes RI, 2010).

Merokok dapat menyebabkan diabetes mellitus karena

aktivitas merokok sangat mungkin menjadi penyebab dari

resistensi insulin (penyebab DM tipe 2) dan respon yang

tidak cukup terhadap sekresi insulin. Merokok tidak hanya

bisa meningkatkan resiko seseorang terserang DM tipe 2

tetapi juga komplikasi DM yang berbahaya. Komplikasi DM

yang paling mematikan adalah tekanan darah tinggi yang

bisa menyebabkan penyakit jantung. Menurut sebuah

penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa resiko

terserang penyakit DM bagi mereka yang merokok lebih dari

20 batang per hari adalah sebesar 61% sedangkan mereka

yang dikategorikan perokok ringan hanya memiliki kenaikan

resiko DM sebesar 29% (Tandra, 2007). Kebiasaan merokok

menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan

peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan

peningkatan resiko terkena DM. Hasil penelitian ini


33

menunjukkan orang dengan kebiasaan merokok lebih

beresiko terkena DM tipe 2 (Wicaksono, 2011).

4) Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol erat kaitannya dengan kegemukan, ketika

alkohol masuk ke dalam tubuh, maka akan dipecah menjadi

asetat. Hal ini membuat tubuh membakar asetat terlebih

dahulu daripada zat lainnya seperti lemak atau gula. Alkohol

juga menghambat proses oksidasi lemak dalam tubuh, yang

menyebabkan proses pembakaran kalori dari lemak dan gula

terhambat dan akhirnya berat badan akan bertambah

(Suyanto, 2010). Alkohol juga dapat mempengaruhi kelenjar

endokrin, dengan melepaskan epinefrin yang mengarah

kepada hiperglikemia transien dan hiperlipidemia sehingga

konsumsi alkohol kontraindikasi dengan DM. Konsumsi

alkohol hendaknya dibatasi dan dihindari bagi penderita

diabetes karena dapat meningkatkan risiko terjadinya

hipoglikemia pada mereka yangmenggunakan insulin dan

sulfonilurea, terutama bila dikonsumsi pada saat sebelum

makan. Pembatasan konsumsi alkohol hendaknya tidak lebih

dari 1-2 minuman saja, tidak lebih dari dua kali seminggu.

Untuk yang menggunakan insulin, tidak lebih dari 2

minuman alkohol (1 minuman alkohol setara dengan 340 g


34

bir, 140 g anggur atau 42 g distilled spirits), 1 minuman

alkohol sama dengan 2 penakar lemak (Sukardji, 2009).

G. Gejala Klinis Diabetes Mellitus (DM)


Gejala klinis DM dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut

diabetes melitus yaitu: polifagi (banyak makan), polidipsia (banyak minum),

Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan

bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4

minggu), mudah lelah. Gejala kronik DM yaitu: kesemutan, kulit terasa panas

atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah

mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,

kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada

ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau

dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

H. Diagnosis Diabetes Melitus (DM)


Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa

darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan

toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.

Sekurang - kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk

konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral

(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas

hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,

berat badan yang menurun cepat. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan

pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang


35

menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM

(usia>45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat

abortus berulang, melahirkan bayi >4000gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau

trigliserida 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif

uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan

kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat

diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

I. Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)


Prinsip penatalaksanaan DM secara umum ada lima sesuai dengan

Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan penatalaksanaan DM adalah


1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa

nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.


2. Jangka panjang: pencegahan dan terhambatnya progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien

secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan

perilaku.

a) Diet
36

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama

dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing

individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,

terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan

protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI

(Body Mass Index). Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index

(BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status

gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan

kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung

dengan rumus, berikut:

b) Exercise (latihan fisik/olahraga)

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama

kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous,

Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai

dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan
37

kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang

gerak atau bermalas-malasan.

c) Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.

Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada

kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder

diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan

kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah

mengidap DM dengan penyulit menahun.

d) Obat: oral hipoglikemik, insulin

Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik

tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka

dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik

3. Obat Obat Diabetes Melitus (DM)


a) Anti diabetik oral

Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan

kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan

menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan

mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin

adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk

penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal

dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta

olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu
38

upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200

mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya

diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral yang

tepat sangat menentukan keberhasilan terapi DM. Pemilihan terapi

menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat

atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral

yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit

DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-

penyakit lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik

oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa

glukosidase dan insulin sensitizing.

b) Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada

manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua

rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfida, terdapat perbedaan

asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol

dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan

obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadang dijadikan pilihan

sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2

yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin

merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat

maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain

menaikkan pengambilan glukosa ke dalam selsel sebagian besar


39

jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan

pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian

glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.

J. Komplikasi Diabetes Mellitus (DM)

Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian

akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat DM yang timbul dapat berupa

komplikasi akut dan kronis.

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut adalah komplikasi yang muncul secara mendadak.

Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani. Termasuk dalam kelompok

ini adalah:

a. Hipoglikemia (Glukosa Darah Turun Terlalu Rendah)


Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu

keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah

terlalu rendah (<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang

menerima suntikan insulin dan obat anti diabetes. Hipoglikemia

ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti diabetes

tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda

jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi

alkohol. Pada saat mendapat suntikan penderita harus makan

dengan kalori yang sesuai untuk mengimbangi efek insulin.

Jadwal makan juga haruslah teratur, tiga kali makan utama dan
40

selingan dua kali di antara makan utama, makan snack pada

malam hari sangat penting karena makanan hanya dapat tahan

hingga jam tiga pagi (Nabil,2009).

Olahraga membakar glukosa dalam tubuh, tetapi perlu

diperhatikan kesesuaian antara olahraga dengan dosis obat dan

pola diet penderita. Latihan fisik dan olahraga berlebihan dapat

menyebabkan hipoglikemia pada malam hari atau keesokan

harinya disebut dengan delayed onset low blood sugar. Pengaruh

alkohol bekerja dengan menghambat kemampuan hati untuk

melepaskan glukosa alkohol juga menghambat kerja hormon

yang menaikkan glukosa darah serta meningkatkan efek insulin,

dan dapat menyebabkan hipoglikemia berat (Tandra, 2007).

Tanda dari gejala hipoglikemia dapat bervariasi tergantung

penurunan kadar glukosa darah. Keluhan pada dasarnya dapat

berupa keluhan pada otak, ini dikarenakan otak tidak mendapat

kalori yang cukup sehingga mempengaruhi fungsi intelektual,

antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, lelah,

kejang hingga koma. Keluhan lain seperti lapar, nadi cepat,

kejang atau koma. Keluhan akibat efek samping hormon lain

yang berusaha menaikkan kadar glukosa darah, misalnya pucat,

berkeringat, nadi cepat, berdebar, cemas serta rasa lapar (Tandra,

2007).

b. Hiperosmolar Non-Ketotik
41

Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya

sehingga darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini

dinamakan Hiperosmolar non-ketotik (HNOK), atau Diabetic

Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar glukosa darah dapat

mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air keluar sel

dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami

dehidrasi. Penderita DM dalam keadaan ini menunjukkan gejala

nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki

dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma (Tandra,

2007). Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang

berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului

stress akut (Suryono, 2004).


c. Ketoasidosis (Terlalu Banyak Asam Dalam Darah)
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang

tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat

menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya

tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi pemecahan

lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan keton di

dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat

keasaman (pH) dalam darah menurun (asidosis). Pada pasien

dengan ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan

kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes

atau insulin. Gejala yang timbul dapat berupa kadargula darah

tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil
42

banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga

koma (Nabil, 2009).


2. Komplikasi Kronik

Komplikasi kronik ini terjadi karena glukosa darah berada di atas

normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul

secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan

membahayakan. Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi

makrovaskular diantaranya:

a. Kerusakan Saraf (Neuropati Diabetik)

Baik pada penderita DM tipe 1 maupun pada penderita DM tipe 2

bisa terkena neuropati.Hal ini bisa terjadi setelah terkena DM

dalam waktu yang lama, dengan glukosa darah tinggi yang tidak

terkontrol. Dalam jangka lama, glukosa darah yang tinggi akan

merusak dinding pembuluh darah kapiler yang member makanan

ke saraf menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang disebut

neuropati diabetik. Saraf tidak dapat mengirim dan

menghantarkan pesan-pesan rangsangan impuls saraf. Keluhan

yang terjadi bervariasi, mungkin nyeri pada tangan dan kaki,

gangguan pencernaan dan lain sebagainya (Tandra, 2007). Gejala

dapat berlanjut dengan rasa tebal di kaki, tidak ada rasa nyeri pada

kaki, penderita tidak dapat mengetahui adanya infeksi. Apabila

terjadi goresan luka akan menyebabkan munculnya ulkus (borok)

di kaki yang disebut dengan neuropatic ulcer. Bila tidak diobati


43

akan menyebabkan infeksi dan kerusakan tulang yang

memerlukan tindakan amputasi.

Gangguan yang muncul setelahnya adalah gangguan pada

pembuluh darah, sehingga aliran darah tidak mencukupi ke kaki

dan tangan menyebabkan luka dan infeksi sukar sembuh (Nabil,

2009). Neuropati yang lain yang dapat terjadi adalah neuropati

otonom, saraf yang rusak adalah saraf otonom yaitu saraf yang

mengatur bagian tubuh yang tidak disadari misalnya denyut

jantung, saluran cerna kandung kemih, alat kelamin dan kelenjar

keringat. Saraf ini berhubungan dengan sum-sum tulang belakang

dan otak. Neuropati otonom kardiovaskuler ditandai dengan

denyut jantung yang cepat terutama pada saat tidur. Denyut nadi

bisa juga berubah pada saat bernapas. Pada saat nafas denyut nadi

jadi lebih lambat, saat mengeluarkan nafas denyut nadi menjadi

lebih lambat (Tandra, 2007).

Neuropati gastrointestinal terjadi pada saraf otonom lambung dan

usus. Penyerapan makanan menjadi lambat yang menyebabkan

kembung, rasa penuh walau baru makan sedikit, mual dan bahkan

muntah. Masalah lambung pada penderita DM disebabkan oleh

kerusakan saraf sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan

makanan menjadi lemah dan lambung menggelembung dan

menyebabkan proses pengosongan lambung (Tjokroprawiro,

2015). Neuropati otonom genitourinarius menyerang organ genital


44

dan saluran kemih. Termasuk gangguan ereksi, sukar mencapai

organisme serta gangguan kemih. Pada penderita DM gangguan

ereksi disebabkan oleh rusaknya urat saraf pada alat kelamin.

Kesukaran pengosongan kandung kemih disebut dengan diabetic

neurogenic bladder di mana bila kantung penuh tidak terasa, bila

ingin berkemih juga tidak terasa. Neuropati otonom sudumotor

adalah jenis komplikasi yang lain yang ditandai dengan keringat

yang abnormal. Pada lengan dan tungkai hanya ada sedikit

keringat dan tubuh bagian tengah dan wajah berkeringat banyak.

Neuropati otonom pada pupil mata, mengatur masuknya sinar ke

dalam bola mata. Di tempat yang gelap pupil tetap kecil dan tidak

membuka lebar walaupun berada di dalam ruangan gelap (Tandra,

2007).

b. Mata (Retinopati)

Penyakit diabetes dapat merusak mata dan menjadi penyebab

kebutaan. Ada tiga macam disebabkan oleh DM yaitu retinopati,

katarak, glukoma. Retinopati diabetik merupakan salah satu

komplikasi yang serius. Diawali kerusakan pembuluh darah

kapiler pada jaringan yang berfungsi sebagai sensor cahaya

(retina). Gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata

berupa melemahnya dinding pembuluh kapiler. Selanjutnya

dinding pembuluh menggembung membentuk suatu struktur yang


45

disebabkan mikroaneurisme, pembentukan mikroaneurisme akan

diiringi dengan penyumbatan pembuluh kapiler (Nabil, 2009).

c. Jantung
Penyakit DM dapat menyebabkan berbagai penyakit jantung dan

pembuluh darah (kardiovaskuler) antara lain angina (nyeri dada),

serangan jantung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung. DM

merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan

penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan

tekanan darah meningkat. Keluhan sakit jantung sangat bervariasi,

biasanya tidak ada keluhan, tetapi selanjutnya akan timbul gejala

akibat penyumbatan antara lain sesak nafas, nyeri dada, rasa lelah,

sakit kepala, detak jantung cepat dan tidak teratur, berkeringat

banyak. Akan tetapi, kadang pada penderita DM disertai tanpa

rasa nyeri. Hal ini disebabkan karena saraf yang mengantar rasa

nyeri telah rusak (Tandra, 2007).


d. Kerusakan Ginjal (Nefropati Diabetik)
Semakin lama terkena DM, pasien akan lebih mudah mengalami

kerusakan ginjal. Pada awalnya terjadi peningkatan glomerular

filtration rate hingga 150 ml/menit pada penderita DM. Apabila

keadaan ini berlanjut bertahun-tahun akan ada sedikit protein yang

keluar ke dalam urine. Keadaan ini disebut sebagai

mikroalbuminuria yaitu keluarnya protein albumin dalam jumlah

30-300 mg dalam 24 jam. Selanjutnya akan menimbulkan

makroalbuminuria atau keluarnya protein dalam jumlah banyak


46

dalam urin (proteinuria) yang akan menjurus ke nefropati stadium

lanjut atau end-stage renal disease (Tandra, 2007).

K. Pencegahan Diabetes Melitus (DM)

Pencegahan penyakit diabetes melitusdibagi menjadi empat bagian

yaitu: pencegahan premordial. Pencegahan premodial adalah upaya untuk

memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak

mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya.

Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premodial

pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga

masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola

makan yang kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas

adalah kurang baik bagi kesehatan.

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang

termasuk kelompok resiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita

DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya :

1) Kelompok usia tua (>45tahun)


2) Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
3) Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
4) Riwayat keiuarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
6) Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
7) Pernah TGT atau glukosa darah terganggu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor

tersebut.Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini

hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan


47

jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar

tidak terlalu gemuk dan resiko merokok bagi kesehatan.


b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan

pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak

awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan

terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:

1) penyuluhan
2) perencanaan makanan
3) latihan jasmani
4) obat berkhasiat hipoglikemik.
c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih

lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan

tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi

antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan,

misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung,

mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai