Anda di halaman 1dari 5

1. Deskripsi Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia.

Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau


masyarakat, untuk menerapkan agama ataukepercayaan dalam ruang pribadi atau umum.
Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut
setiap agama. Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain
bebas dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang
lain dari agama resmi. Pasal 18 dalam Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik menyatakan kebijakan yang menafikan kebebasan seseorang untuk
mengamalkan agamanya adalah satu kezaliman spiritual. Kebebasan beragama merupakan
satu konsep hukum yang terkait, tetapi tidak serupa dengan, toleransi agama, pemisahan
antara agama dan negara, atau negara

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas
kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Definisi hak kebebasan beragama
secara formal terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hak ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan
agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat
umum maupun yang tersendiri.

Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari hak
untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara
mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat
umum atau tempat pribadi.

2 . Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.


Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945):

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama
merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945juga menyatakan bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD
1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-
pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap
patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
3. UUD yang mengatur /menegaskan kebebasan beragama.

landasan hukum tentang kebebasan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:

a) Pasal 28 E

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.

b) Pasal 28 I

1. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

c) Pasal 29

1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing


dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

d) Pasal 22

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Negara harus menjamin:

a. Bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, dan

b. Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.

e) Pasal 4

Hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun.
UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (pasal 1, ayat 1).
Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum.

Hukum Internasional

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

a). Pasal 18

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran.

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

4. Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila
diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Norma-Norma Kebebasan Beragama

Ada delapan norma yang

Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga
mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah
agama dan kepercayaannya.

Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan
kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam mengajaran,
praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat
dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan
bersama-sama orang lain.

Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu
dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain,
setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh
siapa pun.

Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban


menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya
memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asal-usul
bangsa, kekayaan dan status kelahiran.

Kelima, Rights of parent and guardian(Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara
berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk
memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan
mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas
beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.

Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status
hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan
kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau
membentuk asosiasi.

Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom(Pembatasan yang


diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau
mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan
alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar
lainnya.

Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau
kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun

4.Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Berkeyakinan di Indonesia.

Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama di Indonesia
ternyata negara dan pemerintah belum benar-benar bisa menegakkan pasal pasal yang ada
di dalam UUD 1945. Mulai dari aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat
malah menjadi pelanggar HAM terbanyak. Negara juga kurang tegas dalam menangani
kasus kasus pelanggaran tesebut maka dari itu bukan semakin berkurang kasus yang terjadi
tetapi malah semakin bertambanhnya kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan
beragama, bukan hanya tentang kebebasan beragama tapi masih banyak juga pasal lain
yang masih sering dilanggar.

-Dari pantauan Komnas HAM selama satu tahun terakhir, kasus-kasus terkait rumah ibadah
cenderung meningkat. Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk
penutupan, perusakan, penyegelan, atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu
menonjol," kata Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat saat konferensi pers di Kantor
Komnas HAM, Jakarta, Selasa

Beberapa kasus pengabaian pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus lama


pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya: pengabaian penyelesaian
pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pengabaian
penyelesaian pembangunan gereja HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, serta pengabaian
penyelesaian pemulangan warga Ahmadiyah Lombok dari tempat pengungsian Mataram,
Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, ada pula kasus pengabaian penyelesaian pembangunan musala Asyafiiyyah,
Denpasar, Bali, GKI Taman Yasmin Bogor, dan pengabaian penyelesaian pemulangan
pengungsi warga Syiah Sampang dari tempat pengungsian di Surabaya, Jawa Timur.

Keberadaan kebijakan diskriminatif juga dinilai menjadi penyebab tingginya tindak


pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, yaitu Penetapan Presiden RI Nomor
1/PNSP/1965 tentang Pencegahan Penyalahdayagunaan dan/atau Penodaan Agama.

Anda mungkin juga menyukai