STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama : Ny.H
TTL : 02-01-1969
Usia : 45 tahun
RMK : 197878
B. ANAMNESIS
Keluhan tambaha : sebelumnya pasien mengeluh lemas dan tidak nafsu makan
Pasien datang ke IGD RSIJ suka pura karena pingsan 45 menit SMRS. Sebelumnya pasien
diketahui merasa lemas dan tidak nafsu makan sejak beberapa hari terakhir. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak 2 tahun terakhir dan jarang control ke
dokter atau puskesmas, selama beberapa hari terakhir tidak mengonsumsi obat sakit gulanya.
Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum pingsan. BAB dan BAK normal.
Dari penuturan keluarganya beberapa hari terakhir pasien hanya makan sedikit Karena pasien
takut gula darahnya naik lagi. Beberapa hari sebelumnya (2/11-14) pasien dirawat di RSIJ
suka pura karena keluhan lemas yang berkepanjangan, dan didiagnosa mengalami
hiperglikemia dengan GDS 653mg/dl. Pasien memiliki riwayat jatuh sekitar 1 tahun yang
lalu, sehingga sikut kanannya bengkak dan pasien mengurut sikut kanannya tsb. Hingga
beberapa minggu setelahnya di daerah memar tersebut muncul luka yang hingga sekarang
tidak sembuh. Pada saat itu (2/11-14) pasien juga menngeluhkan demam yang naik-turun,
nyeri uluhati, dan keluhan batuk yang dialami sejak 1 bulan sebelumnya. Kaki pasien juga
terlihat bengkak, pasien mengaku memiliki sakit darah tinggi dan jarang minum obat. Pada
1
perawatan sebelumnya pasien didiagnosa menderita TB paru. Pasien juga mengeluh
pengelihatannya kabur. Pada saat kunjungan terakhir ke IGD GDS pasien 36mg/dl serta
terlihat luka di sikut kanan pasien belum sembuh dan terlihat kelemahan otot di tangan
kanan.
Pasien memiliki Riwayat darah tinggi dan sakit gula yang tidap dikontrol. Pasien pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya (2/11-14) dan dirawat di RSIJ sukapura. Pasien
juga didiagnosis menderita TB paru 1 minggu yang lalu.
Riwayat pengobatan :
Pada keluhannya sekarang pasien belum berobat. Setleah rawatan sebelumnya pasien diberi
obat obat diabetes oral namun sejak 3 hari terakhir pasien tidak mengonsumsinya.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa pasien, namun paman adik pasien
menderita darah tinggi dan ibu pasien menderita sakit gula. Riwayat sakit jantung dan asma
disangkal.
Riwayat psikososial :
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktifitas fisik (olah raga) yang tergolong
sangat kurang. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien makan dengan teratur 2-3 kali
sehari namun tidak membatasi porsi dan jenis makanan yang ia makan. Namun sekita 3 hari
SMRS (8/11-14) pasien makan sangat sedikit karena ia takut gula darahnya naik. Pasien tidak
merokok, mengonsumsi alkohol atau pun mengonsumsi obat-obat herbal.
C. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Disorientasi
GCS : M=5 (dengan rangsang nyeri), V=3 (bicara tak sesuai), E=3
(rangsang suara)
2
Tanda vital:
Nadi : 130x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,5 oC
Antropometri
BB : 59 kg
TB : 155 cm
IMT : 24,6
Status generalis:
Kepala : Normocephal,
Hidung : Mukosa hipertrofi (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka inferior eutrofi
Thorax :
Pulmo :
3
Palpasi : Bag.dada tertinggal (-/-),vokal fremitus simetris
Jantung :
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba adanya benjolan, hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : timpani
Ekstremitas :
Ekstr. Atas : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-/-), ikterik (-)
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (+/+), ikterik (-)
4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
18.00 323 15ui
24.00 232
4/11- 06.00 183
2014
NILAI
PEMERIKSAAN 8/11-14 9/11-14 11/11-14 SATUAN
RUJUKAN
4.300
Leukosit 9.000 8.700 5.800 /L
10.400
NILAI
PEMERIKSAAN 12/11-14 13/11-14 SATUAN
RUJUKAN
4.300
Leukosit 7.600 6.600 /L
10.400
6
Pemeriksaan lain : 12 November 2014
Imunologi
o Anti TB IgG Positif (+)
Analisa gas darah
o Measured 28,5C
o pH 7,261 (7,350-7,450)
o pCO2 15,9 mmHg (32,0-45,0)
o pO2 94,0 mmHg (75,0-100,0)
o HCO3act 6,8 mmol/L
o HCO3std 12,1 mmol/L (21-25)
o BE(ecf) -19,9 mmol/L -2.5 s.d. +2.5
o BE(B) -16,9 mmol/L
o O2 Sat. 95,7% (85-96)
24.00 255
7
Waktu 12/11-14 Waktu 13/11-14
(mg/dl)
(mg/dl)
E. RESUME
Pasien wanita 45 tahun datang dengan pingsan sejak 45 menit SMRS, pasien merupakan
penderita DM tiipe II dan hipertensi yang tidak terkontrol. Sebelum pingsan pasien mengeluh
lemas dan diketahui tidak nafsu makan selama 3 hari sebelumnnya. Pasien juga menderita tb
paru duplex serta terdapat ulkus diabetikum di lengan kanannya. Demam (-), riwayat polifagi
(+), riwayat poliuri(+), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK (t.a.k.). Satu minggu sebelumnya
pasien dirawat di RSIJ karena hiperglikemia serta demam yang hilang timbul dan batuk yang
tidak sembuh sejak 1 bulan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran pasien yang menurun disertai dengan
disorientasi. Nyeri tekan epigastrium (+), edema tungkai (+), dan ditemukan adanya ulkus di
tangan (sukut) kanan.
Nadi : 130x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,5 oC
8
IMT : 24,6
Pemeriksaan penunjang :
GDS : 36 mg/dl
F. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
08-11- Kesadaran TD: 150/90 DM Tipe2 dg Oral
2013 menurun, mmhg Riw.Hipoglike Ambroksol 3x1
Nafsumakan S : 38,5 C mia OMZ 3x1
menurun, lemas, RR : 22 x/mnt TB Paru duplex Domperidone 3x1
batuk (+) N : 98 x/mnt Hipertensi Metformin 500 3x1
GDS: 36 mg/dl Acarbose 50 3x1
Rifampicin 1x600mg
INH 1x300mg
Pirazinamide 1x1500
Etambutol
1x1500mg
Injeksi
o Ceftriaxone 1x2gr
o Ranitidine 1x2
o Citicolin 500 3x1
o Humulin 3x5ui
o Streptomycin 1x1
09-11- Kesadaran menurn TD:110/70 DM Tipe2 dg Terapi lanjutkan
2013 namun lebih baik mmhg Riw.Hipoglike
disbanding S : 37,2C mia
kemarin, bicara RR : 20 x/mnt TB Paru duplex
ngelantur, kondisi N : 82 x/mnt Hipertensi
sama dengan hari
sebelumnya,
terlihat bingun,
nafsumakan
menurun
10-11- Kesadaran TD : 110/80 DM Tipe2 dg Terapi lanjutkan
2013 menurun , bicara mmhg Riw.Hipoglike
ngelantur, terlihat S : 36,9 C mia
bingun, RR : 19 x/mnt TB Paru duplex
nafsumakan N : 86 x/mnt Hipertensi
menurun
Batuk berkurang
9
11-11- Kesadaran TD : 130/80 DM Tipe2 dg Terapi lanjutkan
2013 menurun kondisi mmhg Riw.Hipoglike
sama dengan S : 36,6 C mia
kemarin, bicara RR : 19 x/mnt TB Paru duplex
ngelantur, terlihat N : 84 x/mnt Hipertensi
bingun,
nafsumakan
menurun, pasien
terlihat mengantuk
12-11- Kesadaran TD : 120/90 DM Tipe2 dg Terapi lanjutkan
2013 menurun kondisi mmhg Riw.Hipoglike
sama dengan S : 36,6 C mia
kemarin, bicara RR : 19 x/mnt TB Paru duplex
ngelantur, terlihat N : 84 x/mnt Hipertensi
bingun,
nafsumakan
menurun
13-11- Kesadaran TD : 130/90 DM Tipe2 dg Terapi lanjutkan
2013 menurun kondisi mmhg Riw.Hipoglike
sama dengan S : 36,6 C mia
kemarin, bicara RR : 19 x/mnt TB Paru duplex
ngelantur, terlihat N : 84 x/mnt Hipertensi
bingun,
nafsumakan
menurun
Pada tanggal 13 November 2014 mulai pukul 14.20 kondisi pasien memburuk :
Tanggal 13 November 2014 pukul 19.05 pasien apneu, dilakukan RJP dan dimasukkan 1 ampul
adrenalin. Respon (-), reflex pupil (-). Pada pukul 19.10 pasien dinyatakan meninggal dunia oleh
dokter jaga ruangan (dr. mirad).
G. DAFTAR MASALAH
1. Hipoglikemia, Diabetes mellitus tipe II
2. TB paru Duplex
3. Hipertensi
4. Susp. CHF
5.
10
H. ASSESMENT
11
- Edukasi : berikan penjelasan pada pasien dan keluarganya bahwa sakit gula (Diabetes
mellitus) tidak dapat disembhkan dan untuk memperbaiki kondisinya harus dilakukan
dengan disiplin dalam mengontrol kondisinya ke dokter, dan harus di dukung dengan
modifikasi gaya hidup menjadi gaya hidupp yang lebih sehat.
2. TB paru Duplex
Pada anamnesis pasien mengeluhkan batuk yang tak kunjung sembuh sejak lebih dari 1 bulan
sebelumnnya. Pasien juga bercerita kalau ia telah didiagnosa mengidap TB paru duplex pada
rawatan sebelumnya (1 minggu sebelumnya) oleh dr. Rosa Sp.P dan sekarang dalam terapi
OAT.
Pada pemeriksaan imunologi didapatkan anti Tb IgG + (positif).
Rencana perawatan :
- Rawat di ruang isolasi
- Hidrasi RL 1kolf/6jam
- Oksigenasi 2 liter/mnt
- Nutrisi berikan sesuai dengan kondisi DM tipe II pasien
- Pemeriksaan Rongent dan BTA ulang
- Pemberian :
o Rifampicin 1x600mg
o INH 1x300mg
o Pirazinamide 1x1500
o Etambutol 1x1500mg
o Streptomycin inj. 1x1
- Edukasi : pasien hharus di berikan informasi kalau kondisinya ini sangat berbahaya
bbagi dirinya maupun orang lain, dikarenakan infeksi kuman Tb yang ada dalam
tubuhnya berkemungkinan untuk menginfeksi organ lain diluar paru-parunya. Serta
dapat pula menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Ajari pula pasien untuk tidak
membuang dahaknya sembarangan dan ajarkan pasien untuk menutup mulutnya
dengan kain, masker, atau saputangan bila batuk.
3. Hipertensi
Pada anamnesis pasien mengaku sering pusing dan kaku di kepala bagian belakang, dan
pasien sudah pernah dinyatakan mennderita Hipertensi oleh dokter, 2 tahun yang lalu.
12
Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan 150/90 mmHg.
Rencana perawatan
- Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan
kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien
- Nutrisi : hindari makanan yang memiliki kadar garam tinggi
- Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar.
- Pemeriksaan penunjang : Rongent thorax, pemeriksaan darah lengkap, EKG,
pemeriksaan fungsi ginjal.
- Penanganan : Captipril 12,5 mg 1x1
- Edukasi : ajarkan pasien untuk menghindarai makanan-makanan yang mengandung
tinggi garam dan anjjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik (olahraga) rutin
minimal 3 kali seminggu dengan pola latihan tidak boleh sampai ngos-ngosan
(aerobik).
4. Susp. CHF
Pada anamnesis pasien mengaku kakinya terlihat membesar 2 bulan terakhir, bengkak
berkurang bila pasien memposisikan kakinya agak tinggi (tidak diwabah atau pun
menggantung).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya piting edem di ekstremitas bawah (kedua tungkai
pasien).
Pemeriksaan JVP tidak dilakukan karena pasien tidak koopratif. Pada auskultasi jantung
bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-).
Rencana perawatan
- Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan
kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien
- Nutrisi : hindari makanan yang memiliki kadar garam tinggi
- Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar.
- Pemeriksaan penunjang : Rongent thorax, pemeriksaan darah lengkap, EKG,
pemeriksaan fungsi ginjal.
- Penanganan : Captopril 12,5 mg 1x1, furosemide 2x1 tab.
- Edukasi : ajarkan pasien untuk menghindarai makanan-makanan yang mengandung
tinggi garam dan anjjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik (olahraga) rutin
minimal 3 kali seminggu dengan pola latihan tidak boleh sampai ngos-ngosan
(aerobik).
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIABETES MELITUS
1. Defnisi
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabanein, tembus atau pancuran air) (bahasa
Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula
adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa
hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin Tu penurunan
sensitivitas jaringan tehadap insulin.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010)
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
14
Fisiologi Kedokteran Guyton and Hall, Diabetes Melitus terbagi menjadi :
DM tipe I (IDDM) diabetes melitus yg tergantung insulin
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes,
yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula
darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu
insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus
B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam
terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau pulau langerhans pankreas, yang
membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana
antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya
memainkan peran munculnya penyakit ini
15
maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak
ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.
Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan
karena faktor obesitas dan kehamilan.
Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000
menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030
3. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena
hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia
puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi
penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia).
Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan
lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam
basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis.
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun
kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai
resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
16
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II.
4. Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran
darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi
diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi
sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus
dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi
yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
17
5. Diagnostik
Langkah-Langkah Diagnostik DM (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
di Indonesia 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler.
Diagnosis diabetes mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan
dalam praktek sangat jarang dilakukan.
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
18
(IPD FKUI.2009 dan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).
19
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
b. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
c. diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
e. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
f. diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok 3
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
20
6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.
Pilar Penatalaksanaan DM :
a. Edukasi
b. Terapi Gizi medis
c. Latihan Jasmani
d. Intervensi Farmakologi
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
21
b. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
22
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok
teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt,
lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
b. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
c. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
d. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,
neotame.
e. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake / ADI )
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
23
faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
24
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
d. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan Bila
kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk
tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200
kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh
mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
25
Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
26
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
27
Cara Pemberian OHO, terdiri dari 1:
a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
b. Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
c. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
d. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
e. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
f. Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
F:1-2x/hari a.c
F:3x/hari a.c
F:1-3x/hari
p.c/bersama mkn
28
No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI
F:1x sehari
F:3x bersama
suapan I
(Farmakologi FKUI.2009)
2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
29
Efek samping terapi insulin
a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
c. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
1. Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak disuntikan.
2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya
efek insulin.
Terdapat 4 buah insulin eksogen yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan
jangka waktu efeknya. Berikut keterangan jenis insulin eksogen :
30
2. Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan
menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat
penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine
Hegedorn ( NPH ),Monotard, Insulatard. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 2.5 jam.
Puncaknya tercapai dalam 4 15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini
mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
31
Cara pemberian insulin
IV, IM, SC
Infus ( Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat
karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6
jam sekali.
Gula darah
< 60 mg % = 0 unit
Dosis :
32
b. DM dewasa kurus 8-10 U kerja sedang 20-30 m sblm mkan pagidan 4-5 U sblm makan malam
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai
kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan.
Demikian pula status gizi dan tekanan darah
33
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa
darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL).
Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat. 3
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
34
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia
berat
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.
Penyulit Kronik
1. Makroangiopati :
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi
- Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
- Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati
- Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan pemeriksaan
neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap
tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat
diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik atau gabapentin. Semua penyandang
diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki. 6
35
Pencegahan Diabetes Melitus
Beberapa cara pencegahan penyakit DM, yaitu:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko
tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita
penyakit ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45
tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat
keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah upaya untuk
menghilangkan faktor-faktor tersebut.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
dengan tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini
bearti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut. Penyuluhan
mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran yang penting untuk
meningkatkan kepatuhan berobat.
3. Pencegahan Tersier
Kalau penyulit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelola harus berusaha
mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini
mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya aspirin dosis rendah
(80--325 mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati. Pelayanan kesehatan yang holistik dan
terintegrasi antar disiplin ilmu terkait sangat diperlukan.
36
HIPGLIKEMIA
Adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl
dengan gejala klinis hipoglikemia pada DM terjadi karena :
Diagnosis
Anamnesis
- Penggunaan preparat insulin atau OHO : dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir,
perubahan dosis
- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
- Lama menderita DM, komplikasi DM
- Penyakit penyerta : ginjal, hati, dll
- Penggunaan obat sistemik lainyya : penghambat adrenergik , dll.
Pemeriksaan fisik
- Pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit
neurologik fokal transien
37
Terapi
- Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
- Hentikan obat hipoglikemik sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
- Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
- Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer :
- Bila GDs <50 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% :
- Bila GDs <50 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
- Bila GDs 100 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
38
7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam :
GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
9. bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100 mg per 4 jam selama
12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam dan dimonitor 1,5
2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab penurunan kesadaran menurun.
Keto-Asidosis Diabetikum
Adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisinesi insulin absolut atau relatif dan
merupakan komplikasi akut DM yang serius. Gambaran klinisnya hiperglikemia, ketosis dan
asidosis metabolik.
Diagnosis
- Keluhan poliuri, polidipsi
- Riwayat berhenti menyuntik insulin
- Demam/infeksi
- Muntah
- Nyeri perut
- Kesadaran : CM, delirium, koma
- Pernapasan Kussmaul
- Dehidrasi
- Syok hipovolemik
Kriteria diagnosis
- Kadar Glc : >250 mg/dl
39
- pH : <7,35
- HCO3- : rendah
- Anion gap : tinggi
- Keton serum : positif dan atau ketonuria
Pemantauan :
- Gula darah : tiap jam
- Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
- AGD : bila pH < 7 saat masuk maka diperiksa setiap 6 jam s.d.pH >7,1.
Selanjutnya setiap hari sampai pasien stabil.
- Pemeriksaan lain sesuai indikasi : kultur darah, kultur urin, kultur pus.
Terapi
Akses iv 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I. Cairan :
- NaCl 0,9% diberikan kurang lebih 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu kurang lebih 1 L pada
jam kedua, lalu 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan 0,25 L pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
- Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
- Jika Na + > 155 mEq/L maka ganti cairan dengan NaCl 0,45 %
- Jika GD < 200 mg/dl maka ganti cairan dengan Dextrose 5 %
II. Insulin (reguler insulin = Rl )
- Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
- Rl bolus 180 mU/KgBB IV dilanjutkan
- Rl drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCL 0,9 %
- Jika GD < 200 mg/dl : kecepatan dikurangi maka Rl drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9 %
- Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12 jam maka Rl drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam
- GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
40
250-300 10
300-350 15
>350 20
- Jika kadar GD ada yang <100 mg/dl : drip Rl dihentikan
- Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari maka
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium
- Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl, dosisb50 mEq/6 jam. Syarat :
tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG,
dan jumlah urin cukup adekuat
- Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
<3,5 : drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5 : drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5-6,0 : drip KCl 25 mEq/6 jam
>6,0 : drip dihentikan
- Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
IV. Natrium Bikarbonat
Drip 100 mEq bila pH <7,0, disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1, disertai KCl 13 mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.
V. Tatalaksana Umum
- Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
- Antibiotika adekuat
- Heparin : bila ada KID atau hiperosmolar ( >380 mOsm/L) terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis
- Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam
- Kesadaran setiap jam
- Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
- Produksi urin setiap jam, balans cairan
- Cairan infus yang masuk setiap jam\
Dan pemantauan labpratorik (lihat pemeriksaan penunjang)
41
B. CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
1. ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan
cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau
hipertensisistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati.Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisanventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan
ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut
diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada
gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein
kontraktil( Price. Sylvia A, 1995).
42
padaatrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena
pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat
memompadarah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan
hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan
terjadi transudasicairan dari pembuluh kapiler paru-paru. Pada saat peningkatan tekanan arteri
pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanintertisiel bronkus mengakibatkan
edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi ekspirasi dan menjadi
lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan di
kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari saluran limfatik
karena ketidaka mampuan limfatik untuk,menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan
dijaringan intertissiel paru-paru yang makin lama akan menggangu alveoli sebagai tempat
pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang
lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan
rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang
berakibat kematian.Gagalnya kkhususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang
mengandung oksigentubuh yang berakibat dua hal: Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak
output seperit dyspnoe de effort (sesak nafas padaakktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat
berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural
paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun) Dan kongesti paru
seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat
pernafasan, edema paru, takikardia, Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi
distolik dini ( proses aktif yangtergantung pada energi) dan kekakuan dindiing ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan
Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa melawan tekanan yang
naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi
sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam
(edema perier) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel
kanantidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan vena kapa
superior dan inferior dan tampak gejala yang ada adalah udema perifer,
hepatomegali,splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang cepat. hal ini
akibaat vetrikel kanan pada saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat
43
berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin meningkat demikin pula mengakibatkan
tekanan dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava
inferior serta selruhsistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis
eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan bendungan-
bedungan pada padaena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik pada di pembuluh kapiler
meningkat melampuitakanan osmotik plasma maka terjadinya edema perifer.
2. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat
dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:I. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki
keluhan pd kegiatan sehari-hari II. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan
aktivitas hanya sedikit, akantetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar,
sesak serta angina III. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas
dan hanya merasa sehat jika beristirahat.IV. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja
bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak
nafas.Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dapat
dilihat pada gambar berikut :
\ renin angiotensin II
44
Menurunkan eksresi Na+ dan HO dalam urin
Edema
3. GEJALA KLINIS
Secara hemodinamik, gejala klinis gagal jantung pada bayi dan anak dapat digolongkan
dalam 3 golongan, yaitu :
i. Gejala perubahan pada jantung/kerja jantung.
a. Takikardia
b. Kardiomegali
c. Failure to thrive
d. Keringat berlebihan
e. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi akibat menurunnya curah
jantung.
ii.Gejala kongesti.
a. Takipnea
b. Kesukaran minum
c. Wheezing
d. Kapasitas vital menurun
iii. Gejala bendungan sistem vena
a. Hepatomegali
b. Peninggian tekanan vena jugularis
c. Edema
4. DIAGNOSIS
Diagnosis CHF ditegakkan berdasarkan
Keluhan penderita berdasarkan tanda dan gejala klinis
Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut,
dan guna mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau
nekrotik pada penyakit jantung kotoner
45
Rontgen thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran
jantung
echocardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk
menyajikandata tentang fungsi jantung
5. PENATALAKSANAAN
Vasodilators
Inotropes
Vasoconstrictors
Dopamine for hypotension 5 g/kg per menit 515 g/kg per menit
46
Vasopression 0.05 units/menit 0.10.4 units/ menit
Diuretics
Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd
Candesartan 4 mg qd 32 mg qd
47
Dosis Awal Dosis Maksimal
Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
Receptor Blockers
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
Additional Therapies
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Non medikamentosa
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar benar dengan tirah baring ( bed
rest ) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet
umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
48
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan
sebanyak 80 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
C. TUBERKULOSIS
1. Definisi TB Paru
2. Epidemiologi TB Paru
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini
telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB
sebagai reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di
Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,11,15
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. S2ecara regional
prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah
Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, 2. Wilayah Jawa dan Bali
angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk, 3. Wilayah Indonesia Timur angka
prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka
prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.
3. Diagnosis TB Paru
TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri
dada. Sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan, dan malaise.
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
49
Bila bronkus belum terlibat pada proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak keluar. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan
pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen
posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma, dan mediastinum.
Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan program TB nasional, diagnosis TB
paru pada orang dewasa ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan
pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB
jika diagnosis dibuat hanya berdasarkan foto thoraks.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, bilasam bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.
b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto
apilordotik, oblik, CT scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada
foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:
a. Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
b. Bayangan berawan atau berbercak
c. Bayangan bercak milier
d. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral
e. Destroyed lobe sampai destroyed lung
f. Kalsifikasi
50
g. Schwarte
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto
toraks dapat dibagi sebgaai berikut:
- Lesi minimal (Minimal Lesion)
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondro sternal junction dair iga kedua
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak
dijumpai kavitas.
- Lesi luas (Far Advanced)
Kelainan lebih luas dari lesi minimal.
c. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB
seperti :
a.BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya
saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.
c.Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot.
Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED
biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di
Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
kepositifan yang didapat besar sekali
5. Klasifikasi TB Paru
Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan.
PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan
51
bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan
strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB:
1. TB Paru BTA positif yaitu:
- Dengan atau tanpa gejala klinis
- BTA positif mikroskopis +
- Mikroskopis + biakan +
- Mikroskopis + radiologis +
- Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru
6. Penatalaksanaan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih mengunqtungkan dan sangat
dianjurkan.
52
- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
53
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5HER3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
54
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB
dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c. OAT sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari)
55
7. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala
56
DAFTAR PUSTAKA
57
1. American thoracic society (ATS). 2001.Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy,
and prevention. Am J Respir Crit. Care Med;163: 1730-54
2. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the initial
management of community acquired pneumonia and evidence based up date by the
canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-421
3. Fauci. 2009. Harrisons manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America: Mc Graw
Hill
4. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of respiratory
medicine. Philadelphia:WB Saunders Co
6. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for management
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-82
8. Nathwani D. 1998. Sequential switch therapy for lower respiratory tract infections.
Chest;113:211s-218s
9. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 1995. Badan Litbang Depkes RI. Jakarta
10. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia: Lippincott &
Wilkins
11. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2 ed. 6.
Jakarta : EGC, 2005
12. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia.
Jakarta:FKUI
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti. Jakarta:FKUI
58
- Lily ismudiati rilanto dkk, (2001). Buku Ajar Kardiologi, penerbit Fakultas Kedokteran
Unversitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta.
- Arthur C. Guyton, dkk. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
- Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC
59