Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH S K I

DISUSUN OLEH :
1. MUHLARO WARDI
2. AMARA RUSNINDI
3. MUH.HALIHANAFIAH
4. DEDE MINGGRA MUJIBURAHMAN
PROSES RUNTUHNYA DINASTI UMMAYAH
Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran) (QS Ali Imran
[3]:140). Gelombang aksi unjuk rasa masih melanda negara-negara di Timur
Sudah menjadi sunatullah sebuah kekuasaan akan mengalami kejayaan dan
keruntuhan. Ketika peradaban Islam menguasai dunia, secara bergantian
dinasti-dinasti Islam memegang tampuk kekuasaan. Setiap kerajaan atau
kesultanan Islam yang berkuasa tentu pernah mengalami masa-masa
keemasan.

Tak dapat dipungkiri, sejarah telah membuktikan dinasti-dinasti Islam di era


keemasannya telah memberikan kontribusi dan sumbangan yang begitu
besar bagi peradaban manusia. Tanpa kejayaan peradaban Islam, barangkali
dunia Barat pun belum tentu mencapai kemajuan. Diakui atau tidak, Barat
banyak belajar dari peradaban Islam.

Sejarah selalu kaya akan hikmah dan pelajaran. Yang dapat dipelajari dan
diambil hikmah dari peradaban Islam tak hanya masa keemasannya saja. Era
kejatuhan dan ambruknya dinasti-dinasti Islam juga menarik untuk
dipelajari. Redup dan tenggelamnya sebuah dinasti Islam pada masa silam
itu tentu mengandung begitu banyak pelajaran.

Setelah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pada 20 Ramadahan 40


Hijirah (660M) era Khilafah Rasyidah berakhir, munculah Dinasti
Umayyah yang didirikan pada 661 M oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun, ungkap
Sejarawan Islam, Prof Badri Yatim dalam buku bertajuk Sejarah Peradaban
Islam.

Dinasti Umayyah yang melanjutkan tradisi kerajaan-kerajaan pra-Islam di


Timur Tengah mengundang kritik keras dan memunculkan kubu oposisi.
Kelompok oposisi terbesar yang sejak awal menentang pemerintahan
keluarga Bani Umayyah adalah kelompok Syiah, yaitu para pengikut dan
pecinta Ali bin Abi Thalib serta keturunannya yang merupakan Ahlulbait
(keturunan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari anak dan menantunya,
Fatimah dan Ali).

Selain kelompok Syiah, pemerintahan Dinasti Umayyah juga mendapat


penentangan dari orang-orang Khawarij. Kelompok Khawarij ini merupakan
orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena mereka
merasa tidak puas terhadap hasil tahkim atau arbitrase dalam perkara
penyelesaian persengketaan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah.

Usaha menekan kelompok oposisi terus dijalankan oleh penguasa Umayyah


bersamaan dengan usaha memperluas wilayah kekuasaan Islam hingga
Afrika Utara dan Spanyol.

Selain menghadapi persoalan eksternal, para penguasa Umayyah juga


menghadapi persoalan internal, yaitu pemberontakan dan pembangkangan
yang dilakukan oleh para orang-orang dekat khalifah di berbagai wilayah
kekuasaan Umayyah, seperti di Irak, Mesir, Palestina, dan Yaman.

Pemberontakan yang terjadi selama pemerintahan Dinasti Umayyah


umumnya dipicu oleh faktor ketidakpuasaan terhadap kepala daerah yang
ditunjuk oleh khalifah. Pada masa pemerintahan Khalifah Marwan bin
Muhammad (Marwan II), misalnya, terjadi sejumlah pemberontakan di
wilayah kekuasaannya.

Di Mesir, kerusuhan terjadi karena gubernur yang diangkat Marwan II


menghentikan pemberian tunjangan yang dulu diperintahkan oleh Yazid III
untuk diberikan kepada para anggota baru dalam angkatan darat dan laut.
Sementara di Yaman, kerusuhan timbul antara lain karena pemerintah
setempat memungut pajak sangat tinggi dari orang Arab.

Kesibukan Marwan II dalam menumpas pemberontakan membuat wilayah


Khurasan dikuasai Bani Abbas (dinasti yang didirikan Abu Abbas as-
Saffah). Gerakan Bani Abbas ini merupakan ancaman terbesar bagi
kelangsungan hidup Dinasti Umayyah.
Setelah Khurasan dapat dikuasai, gerakan Bani Abbas bergerak menuju Irak
dan dapat merebut wilayah itu dari pejabat Bani Umayyah. Setelah
menguasai wilayah Irak sepenuhnya, pada tahun 132 H/750 M, Abu Abbas
as-Saffah dibaiat sebagai khalifah yang menandai berdirinya Dinasti
Abbasiyah.

Sejak saat itu, Bani Abbas mulai melakukan ekspansi untuk memperluas
wilayah kekuasaannya. Wilayah-wilayah yang dahulu dikuasai oleh Dinasti
Umayyah pun berhasil direbut. Bahkan, pasukan Bani Abbas berhasil
membunuh Marwan II dalam sebuah pertempuran kecil di wilayah Bushair,
Mesir. Kematian Marwan II menandai berakhirnya Dinasti Umayyah yang
berkuasa dari tahun 41 H/661 M-133 H/750 M.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BANI UMMAYAH

A . KELEBIHAN

Kemajuan dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi sehingga menjadi


negara Islam yang besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa di bawah
naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru.
Meskipun demikian, banu Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada
kebudayaan Arab.

Pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al-
Hajjaj, mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa remi seluruh negeri,
meskipun bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya di hilangkan. Orang-orang non-
Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa Arab.
Perhatian bahasa Arab mulai diberikan untuk menyempurnakan pengetahuan
mereka tentang bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli
bahasa, seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliah
pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.

Bidang pembangunan juga diperhatikan pada khalifah bani Umayyah. Masjid-


masjid di semenanjung Arabia di bangun, Katedral St. John di Damaskus diubah
menjadi masjid, dan ketedral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan
gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiah telah dikembangkan pula,
seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan ilmiah ini
adalah Kuffah dan Basrah di Irak.

Ekspansi ke Barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan


Walid bin Abdul Malik. Pada masa ini dikenal dengan masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa, yaitu
pada tahun 771 M. Ekspesidi tersebut dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan
menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa. Meraka
kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan Gibraltar (Jabal
Tariq). Tariq berhasil mengalahkan tentara spanyol dan dapat menguasai
Cordova, Sevila, Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh
kemenanga dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat
yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dinasti Umayyah di
samping telah berhasil dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan
sebelumnya, juga berhasil di berbagai bidang di antaranya dalam bidang
administrasi pemerintahan yang meliputi sebagai berikut.
KELEMAHAN

Ketidakcakapan para penguasa serta kejahatan perilaku mereka merupakan faktor


utama hancurnya kekuasaan dinasti ini. Hampir semua penguasanya lemah kecuali 5
khalifah besar bani Umayyah. Khalifah-kahalifah setelah Hisyam adalah penguasa yang
tidak cakap dan bermoral jahat. Kesenangan mereka hanya berburu, meneguk anggur
serta asyik mendengarkan musik dan tarian dari harem-harem istana. Para penguasa
lupa mengurusi pemerintahan dan nasib rakyat, mereka malah membebani rakyatnya
dengan pajak yang tinggi.[18]

Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang
tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.[19]

Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok Mudariyah (Arab Utara) yang menempati Irak dan kelompok
Himyariah (Arab Selatan) yang berdiam di wilayah Suriah. Di Zaman Umayyah,
persaingan antaretnis itu mencapai puncaknya karena para khalifah cenderung kepada
satu fihak dan menafikan yang lainnya.[20]

Egoisme para pejabat pemerintahan dan terjadinya pembelotan militer. Pada umumnya
para penguasa mempercayakan urusan pemerintahan kepada para pejabat istana.
Pejabat istana menjalankan amanah itu untuk memuaskan ambisi dan tujuan-tujuan
pribadi. Mekanisme pemerintahan tersebut tidak memuaskan semua pihak sehingga
menimbulkan gerakan yang mengguncang stabilitas kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan
bergabungnya tentara kerajaan dengan pihak musuh.[21]

Perlakuan yang tidak Adil terhadap non-Arab (Mawali). Muslim non-Arab merasa tidak
senang dengan tindakan penguasa Umayyah yang selalu membedakan mereka dengan
Muslim Arab baik dari segi sosial politik maupun ekonomi. Akibatnya muslim non-Arab
sering melakukan pemberontakan dan terakhir mereka bergabung dengan gerakan
Abbasiyah. [22]

Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut
menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang
mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim
Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka
untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti
tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil
dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.

Propaganda dan gerakan Syiah. Mereka adalah pendukung Ali yang berkembangan
menjadi suatu aliran setelah tragedi Karbala. Sejak semula kelompok ini tidak mengakui
pemerintahan Umayyah dan menganggap para penguasanya sebagai perampas
kekuasaan. Mereka tidak pernah memaafkan kejahatan pembunuhan Ali, Hasan dan
Husen. Misi dan propaganda mereka untuk membela keturunan Nabi Muhammad
secara efektif berhasil menarik simpati kelompok yang tertindas.[23]

Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas wilayahnya,
sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik, tambah lagi
dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat menguasai
sepenuhnya wilayah yang luas itu.

Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum Syiah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan
oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
Umayyah.

Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak
sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di
samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.

Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan


terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi
yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib
dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah dan kaum
mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini menjadi
penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.[24]

Propaganda dan gerakan Abbasiah. Propaganda kelompok Abbasiyah secara gencar


menyerang segi-segi negatif dan kelemahan-kelemahan sepanjang pemerintahan
dinasti Umayyah. Setelah propaganda mereka berhasil memobilisasi berbagai kelompok
masyarakat termasuk tiga kelompok terbesar yaitu Abbasiyah, Syiah dan Mawali yang
dipimpin oleh Abu Abbas, mereka berkoalisi mengadakan penyerbuan dan berakhir
dengan runtuhnya Daulah Umayyah di bawah pemerintahan khalifah terakhir Marwan
Ibn Muhammad.[25]

KEKURANGAN

Anda mungkin juga menyukai