Pada masa Abdul Malik bin Marwan, Dinasti bani Umayyah dapat
mencapai puncak kejayaannya. Ia meninggal pada tahun 705 M dalam
usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya-karya terbesar di dalam
sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8
bulan.
Daulah tersebut.
Ketika Kholifah Umar bin Abdul Aziz wafat, Yazid bin Mutholib
segera melarikan diri. Ia khawatir kholifah terpilih ,Yazid bin Malik akan
mengambil tindakan tegas atas dirinya. Sejak awal memang sering
terjadi pertentangan antara dua orang yang senama itu.Yazid bin
Muhallib melarikan diri ke Irak. Karena pernah menjabat di wilayah itu,
ia pun diteima oleh masyarakat.
Adapun kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh Walid bin
Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-
orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili
untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan
tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang.
12. Khalifah Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126-127 H/ 744 M)
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Walik bin Abdul Malik, sepupu
dari khalifah sebelumnya, Walid bin Yazid bin Abdul Malik. Ia adalah
anak dari Walid bin Abdul Malik, khalifah keenam dinasti bani Umayyah.
Pemerintahan Yazid bin Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat,
karena kebijakannya suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa
pemerintahannya tidak stabil dan banyak pemberontakan. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Dia wafat dalam usia
46 tahun.
13. Khalifah Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik (127 H / 744 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik,
saudara kandung Yazid bin Walid bin Abdul Malik, Khalifah sebelumnya.
Dia diangkat menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat di dalam
lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Kerana itu, keadaan
negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia
menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia
menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan
Khalifah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia
memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada
masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali,
dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur,
dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul,. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan
serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi
ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi
sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia,
Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa
politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu
Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan
secara turun temurun) mulai diperkenalkan, di mana ketika dia mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin
Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang
ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah
bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut di
mana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah
padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan hadits nabi yang mendukung
pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi
perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan
bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat
Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera
mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat
yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah
tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa
penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang
terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin
Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680
M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali
untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang
kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[7], Husain bin Ali terbunuh,
kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di
Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan
Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan
Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah
kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan
wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan
Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan
oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-
720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan
memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam
agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, di mana
pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat,
kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya
sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya.