Anda di halaman 1dari 11

SISTEM POLITIK ISLAM

MAKALAH

Oleh
Yahya Nugroho (1715-055)
Amanda Rifky H. (1715-078)
Zuhrotul M. (1718-033)
Rizky Kurniawan (1616-103)

UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Kata Politik berasal dari bahasa latin Kata Politik berasal dari bahasa latin Politicos,
artinya sesuatu yang Politicos, artinya sesuatu yang berhubungan dengan warga
negara berhubungan dengan warga negara dan warga kota dan warga kota
Pengertian Politik sebagai kata Pengertian Politik sebagai kata benda ada tiga:
Pengetahuan mengenai kenegaraan, Segala urusan dan tindakan mengenai
pemerintahan atau terhadap negara lain dan Kebijakan, cara bertindak dalam
Kebijakan, cara bertindak dalam menangani suatu masalah.1
Politik dalam literasi Islam dikenal Politik dalam literasi Islam dikenal dengan
istilah siyasah yang berarti dengan istilah siyasah yang berarti pengaturan
masalah keummatan pengaturan masalah keummatan. Islam sangat mencela orang-
orang Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap yang tidak
mau tahu terhadap urusan ummat. urusan ummat. Siyasah tidak diorientasikan
kepada siyasah tidak diorientasikan kepada kekuasaan karena ia hanya kekuasaan
karena ia hanya berfungsi sebagai sarana berfungsi sebagai sarana menyempurna
pengabdian kepada menyempurna pengabdian kepada Allah.2

1
Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik
2
Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran
BAB 2
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan politik?
2. Bagaimanakah sistem politik menurut perspektif Islam?
3. Bagaimana perspektif islam pada politik di Indonesia?
BAB 3
PEMBAHASAN
Politik Secara Umum
Budaya politik adalah seperangkat sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan
perasaan-perasaan tentang politik yang terjadi dalam sebuah negara pada suatu
waktu tertentu. Budaya politik dibentuk oleh sejarah bangsa dan proses-proses
sosial, ekonomi, dan aktifitas politik yang berlangsung. Budaya politik
mempengaruhi tingkah laku politik individu, isi tuntutan-tuntutan politik mereka
dan respons politik mereka. Dengan demikian budaya politik merupakan orientasi
politik dan sikap individu-individu dalam hubungannya dengan sistem politik
dimana mereka merupakan anggotanya.3
Pada tingkat orientasi individual, sikap individu dibedakan terhadap obyek politik
atas tiga bagian, yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif. Orientasi kognitif individu
meliputi pengetahuan dan kepercayaan yang diukur dengan menggunakan
pengetahuan mengenai sistem politik, tokoh-tokoh politik dan kebijakan politik
yang berlaku. Komponen afektif diukur dengan melihat perasaan individu terhadap
sistem politik, yaitu menerima dan terikat pada sistem atau menolak dan teralienasi
dari sistem dan tokoh-tokoh politik. Komponen evaluasi, melihat sistem dengan
memperhatikan norma evaluatif individu terhadap sistem politik. Misalnya, apakah
individu membenarkan atau tidak membenarkan praktek korupsi yang dilakukan
pejabat pemerintah; atau penilaian individu atas norma-norma demokrasi yang
berlaku dalam sistem.4
Namun ada saling keterkaitan diantara ketiga komponen tersebut, misalnya
pengetahuan tentang sistem politik dibentuk atau membentuk perasaan dan evaluasi
terhadap sistem. Ini berarti pengetahuan tentang sistem politik yang negatif akan
membentuk atau dibentuk oleh perasaan negatif terhadap sistem dan dapat
dipastikan evaluasinya juga akan cenderung negatif.5

3
Peter M Blau dan MW Meyer, Bureaucracy in Modern Society, 1956
4
Martin Albrow, Bureaucracy, 1989 For Change
5
Benveniste, Guy, 1994, Birokrasi
Politik Menurut Perspektif Islam
Politik Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.Oleh sebab itu,
di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syariyyah. Dalam Al
Muhith, siyasah berakar kata ssa -yassu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha
siyasatan bererti Qama alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya,
dan mendidiknya). al-Siyasah juga berarti mengatur, mengendalikan, mengurus,
atau membuat keputusan,mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara
tersirat dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama
lain, yaitu:
1. Tujuan yang hendak di capai melalui proses pengendalian,
2. Cara pengendalian menuju tujuan tersebut
Secera istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai
dengan syara. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn Aqil, sebagaimana yang dikutip
oleh Ibnu Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia
lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun
Rasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukanya.
Pandangan politik menurut syara, realitanya pasti berhubungan dengan masalah
mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar
menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme,
sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum
mengatur sistem politik mereka.Dari sinilah muncul pengertian politik yang
mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi netral.6

Dalil Berpolitik Dalam Islam


Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi
(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim) Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu

6
Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran
bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda :
"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan
dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang
siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk
golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani) 7

Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama

Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syariyyah, hal 168 menjelaskan:Wajib

diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan


kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya.
Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa
adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda:
Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah
satunya sebagai pemimpin (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya
mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka
melakukan amar maruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan,
menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang
yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa
kedudukan agama dan negara saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang
bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu negara
pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.8
Islam dan Politik di Indonesia
Islam Pada Masa Orde Baru
Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah
luput dari filosofi sejarah pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum
refleksi, dan interaksi dialeksi. Ini berarti orde baru, di samping merupakan
perwujudan aksi-reaksi masyarakat yang terawetkan terhadap problem aktual,

7
Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran
8
Abul Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam
memberikan getaran timbal balik pada kehidupan manusia dalam perspektif
kulturalnya, juga merupakan antitesa terhadap sejarah yang mendahuluinya.
Harus diakui Orde Baru telah melahirkan optimisme, pranata dan tawaran alternatif
yang mempengaruhi struktur, pola kultur dan persepsi masyarakat dalam
memandang masa depan negara, bangsa dan masyarakat Indonesia. Tidak
terkecuali dalam hal ini adalah institusi Islam dan persepsi umatnya dalam konteks
upaya aktualisasi diri. Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang
kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai orde pembangunan, telah membawa
perubahan di hampir semua bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik,
ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam bidang politik, perubahan itu terjadi dengan adanya mekanisme perwujudan
partisipasi politik rakyat dan penyegaran kepemimpinan nasional yang
dimanifestasikan melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Berikutnya,
pada tahun 1973 telah dilakukan penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai
menjadi 3 partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang 6 merupakan
gabungan dari partai-partai Islam, NU, Permusi, PSII dan Perti; Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI;
Golongan Karya (Golkar). Tidak satupun dari ketiga parpol itu yang membawa
nama agama atau ideologi kultural lainya. Bahkan satu-satunya partai yang
mengusung Islam, PPP, harus merelakan identitas keislamannya hilang. Padahal
identitas keislamannya itulah menjadi kekuatan PPP. Rekayasa partai politik ini
diikuti juga dengan kebijaksanaan masa mengambang (floating mass) yang
membatasi kegiatan politiknya di Daerah Tingkat II ke atas; dan menetapkan
Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi parpol (1983) dan Ormas (1985).9
Islam Dewasa Sekarang Ini
Komitmen orde baru terhadap program pembangunan bangsa Indonesia melalui
partai Islam dirasakan begitu besar. Akan tetapi arah dan bentuk pembangunan
"ideal" yang akan dilaksanakan di masa akan datang masih terjadi perbedaan
pandangan di awal masa Orde Baru. Fenomena ini sangat beralasa, kalah karena

9
Abul Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam
pada saat itu para birokrat dan teknorat banyak yang berlatar belakang pendidikan
sekular dan kultur priyayiabangan. Dampaknya terlihat pada corak
pembangunan yang dilaksanakan lebih berwatak modernisasi yang kebarat-baratan
(westernized). Warna ini menjadikan umat Islam termasuk para tokoh
modernismenya melihat modernisasi ini penuh dengan kecurigaan, bahkan
menentangnya. Sehingga seringkali umat Islam menjadi sasaran kritik dari pihak
pemerintah dengan klaim bahwa Islam anti pembangunan, anti modern, anti
Pancasila dan seterusnya. Ini terjadi karena gerakan modernisme Islam di awal
masa ini sampai awal orde baru sebenarnya lebih merupakan gerakan pemurnian
Islam dari pada gerakan yang menekankan bagaimana meningkatkan kualitas umat
Islam dan memahami ajaran-ajaran Islam agar dapat merespon perkembangan
kehidupan yang ada. Pemikiran yang muncul dari Masyumi misalnya tentang
politik, ternyata itu hanya merupakan pemikiran yang ditransfer dari Barat dengan
bungkus Islam.
Deliar Noer sebagai tokoh Islam pertama secara terbuka mengatakan bahwa
modernisasi itu tidak bertentangan dengan Islam, melainkan menjadi suatu
keharusan. Pernyataan ini kemudian diikuti oleh Nurcholish Madjid, yang dalam
beberapa hal justru mempunyai jangkuan pemikiran lebih jauh seperti pendapatnya
bahwa langkah utama untuk melakukan modernisasi bagi umat Islam harus dengan
menciptakan iklim yang liberalistik. Salah satu bagian dari proses ini adalah apa
yang diistilahkan dengan sekularisasi yang berbeda dengan istilah baku. Setelah
munculnya dua pemikiran ini, kemudian diikuti pula oleh pemikir-pemikir lainnya,
terutama muncul pada dekade tahun 80-an, yang kemudian menurut Fachry Ali dan
Bachtiar Effendi diklasifikasikan menjadi empat pola utama, yakni: Neo-
modernisme dengan tokohnya Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Majdid,
Sosialisme Demokrasi Islam dengan tokohnya M. Dawam Raharjdo dan Adi
Sasono, Universalisme dengan tokohnya Jalaluddin Rahmat dan AM. Saefuddin,
Modernisme dengan tokohnya Ahmad Syafii Maarif dan Djohan Effendi. Dengan
munculnya pola-pola pemikiran baru ini, dikotomi tradisionalis-modernis tidak
terlihat lagi bahkan menjadi semakin pudar. Sejalan dengan adanya pembaharuan
pemikiran, telah terjadi pula perubahan orientasi organisasi dari para pemimpin
Islam. Sebelumnya format perjuangan Islam lebih difokuskan melalui jalur politik,
dalam perkembangan selanjutnya format perjuangan meliputi bidang yang lebih
luas dan konkrit, terutama upaya-upaya untuk membebaskan umat Islam dari
kebodohan dan kemiskinan. Dahulu ormas-ormas Islam dengan segenap underbow-
nya lebih berperan sebagai penggalang masa dan pemimpinnya berorientasi pada
politik praktis seperti menjadi anggota DPR, dan kalau bergerak di bidang
pendidikan atau sosial misalnya itupun hanya terbatas, maka pada saat ini ormas-
ormas itu berperan untuk membina umat dalam bidang yang lebih luas. Untuk
melaksanakan program pembinaan ini secara efektif, Muhammadiyah misalnya,
telah membentuk badan-badan otonom yang terdiri dari Majelis Ekonomi, Majelis
Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, Majelis Tabligh dan Majlis
Tarjih. Sedangkan NU membentuk lembaga Pendidikan Maarif, Majelis Sosial
Mabarrot, Lembaga Kemaslahatan Keluarga, Lembaga Pengembangan dan
Pembangunan Pertanian, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia, dan Lajnah Tawir wa Nasyr. 10

10
Abul Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam
BAB 4
KESIMPULAN

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.Pemikiran


tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa
prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah,
menjalankan amanah dan menetapkan hokum secara adil atau dapat dikatakan
bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang
kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik
menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam
menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara.
Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan dan memaksakan
kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus dapat melindungi,
mengayomi masyarakat.Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah
pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga
pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang
menyimpang dari prinsip-prinsip islam.Tujuan politik islam pada hakikatnya
menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Abul Ala Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung:
Mizan, 1995.

Cholisin, M. Si dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta : FISE UNY

Peter M Blau dan MW Meyer, Bureaucracy in Modern Society, 1956, alih bahasa
oleh Slamet Rijanto, 2000, Jakarta, Prestasi Pustakaraya

Martin Albrow, Bureaucracy, 1989 For Change, London, Routledge

Benveniste, Guy, 1994, Birokrasi, Jakarta: PT rajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai