Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi


klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug.
Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi termasuk dalam
bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering
diberikan kepada pasien.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari hormon
kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi
tubuh.3,4
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid
sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas
mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya
deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit
pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk
para ahli kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang
diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit, melicinkan, atau
mendinginkan area yang dirawat. 3,4,5
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid
adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah
kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang
dermatologi pada umumnya lebih ditekankan sebagai obat antialergi. Terapi
dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi pengendalian
atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal. Sejak kortikosteroid
digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita.
Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat,

1
misalnya dermatitis, penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian,
misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan
kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Jhonson yang berat dan nekrolisis
epidermal toksik.3,6
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid
sudah menjadi kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap
hidrokortison asetat pertama kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada
tahun 1952, perkembangan pengobatan dengan kortikosteroid berjalan dengan
pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak pula ditemukan berbagai
jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan dan efek
samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan
mengenai mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit,
khususnya mengenai peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan ini, pemakaian
kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di


bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.8
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan
glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan
zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah
kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan
khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol
dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid
sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.3,9
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan
deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip
dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak
mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol,
meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-
inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.1,3,9

3
2. Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.


Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif
di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada
beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau
toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.1,3,9,11

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.


Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan
imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat
yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol
dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya
pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh
dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis
seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan
CBG.1
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit,
waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai
kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan
lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur

4
kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh.1
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan
fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap
cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid
lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan
ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.
Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan
molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh
glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa
kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan
eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan
tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.
Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke
dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah,
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.1
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,
metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan
sintesis prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor. 1

5
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran
dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan
efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran
klinis ; keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas
mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler
kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler (telangiektasis,
purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang
lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke
dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas
sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru
yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi,
menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses
radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom,
sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.3,11
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering
dipakai. Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid
dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan
menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas
ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat
secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi
dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif
secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison
banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih
baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis
kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik
penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada
kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang
diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah
lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah telapak
kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui

6
tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali
melalui kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang
terinfeksi dermatitis atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis
eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk penetrasi.2,3,11
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.
Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada
kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi
urtikariapigmentosa.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang
dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya
dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam
arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi
kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran
lisosom dari sel-sel fagosit. 2,3,11

3. Klasifikasi

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik,


umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga
golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan
potensi mineralokortikoid. 1,2,5,6,9

Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,


(antimitosis) antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang
akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini
biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi
ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu
agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7
golongan besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan

7
antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi
lemah).2

Tabel 1. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis :


2,3,6,11

Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik


Golongan 1: (super Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
poten) Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream

Cyclocort ointment 0,1% amcinonide


Golongan II: (potensi Diprosone ointment 0,05% betamethasone dipropionate
tinggi) Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone

Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide


Golongan III: (potensi Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
tinggi) Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate

8
Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Golongan IV: (potensi Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
medium) Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate

Cordran cream 0,05% flurandrenolide


Golongan V: (potensi Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
medium) Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

Aclovate ointment 0,05% aclometasone


Golongan VI: (potensi Aclovate cream
medium) Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate

Obat topical dengan


Golongan VII: (potensi hidrokortison, dekametason,
lemah) glumetalone, prednisolone,
dan metilprednisolone

9
4. Peggunaan Klinik

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat


pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan
pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan
potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada
kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis
kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis,
dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.2,3,6,11
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid
dipakai dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan
adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap
kortikosteroid ialah lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan
kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis,
liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi
dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada
eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.2,3,11
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan
adalah prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada
gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar
menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid
jangan dipakai pada pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit
berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom
Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara
intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednison.6
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan
lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan
sedikit efek samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi
lemah dan dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki
risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan

10
fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis,
ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga
kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan
angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.2,11 Pada geriatri memiliki kulit yang
tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga
telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan.
Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan
dengan pengawasan yang ketat.1,2

5. Dosis Dan Mekanisme Pemberian

Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek
samping sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di
pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu
stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi.
Perlu juga dipertimbangkan umur penderita3,11
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis.
Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit
yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk
pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi
obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda
pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim
untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu,
krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi
alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion
mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan

11
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel
komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit.
Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah
dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada
daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman
pada pasien.2,6
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis
ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat
yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya
akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan
timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu
untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.2,3,9
Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :3,11
1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,
sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah
salah satu dari golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison
asetat 1%.
3. Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea)
untuk semua dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan
pakai kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu
dermatosis. Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan
gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian kortikosteroid.
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan
keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena
efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah
kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya
digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang dugunakan untu

12
mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari.
Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa
tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat
diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari
seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah
dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5
sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk
memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.2
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya
tidak mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan
sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak
dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari
dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah,
lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39C. 6

Tabel 3. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta


dosisnya:1,6

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari


Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut
pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita.

13
Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa
hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.6

14
6. Monitor

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan


kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat
personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki
predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang
terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan
pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan
menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau
dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).2
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan
evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi,
nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan
glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius
terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di
monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap
diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang
menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan
terjadinya katarak dan glaukoma.2

Tabel 4. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid


jangka panjang2
No. Efek samping Monitor
1. Hipertensi Tekanan darah
2. Berat badan meningkat Berat badan
3. Reaktivasi infeksi PPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)
4. Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes
dan hiperlipidemia)
5. Osteoporosis Densitas tulang
6. Mata
Katarak Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12
Glaukoma bulan)
7. Ulkus peptik Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke
enam)
8. Supresi kelenjar adrenal Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau
proton pump inhibitor

15
Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum
kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

7. Efek Samping

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi


klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi.6

Tabel 5. Efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.1

Tempat Macam efek samping


1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
2. Otot kolitis ulseratif.
3. Susunan saraf pusat Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
4. Tulang mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
5. Kulit Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
6. Mata Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
7. Darah akneiformis, purpura, telangiektasis.
8. Pembuluh darah Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
9. Kelenjar adrenal Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
bagian kortek Kenaikan tekanan darah
10. Metabolisme protein, Atrofi, tidak bisa melawan stres
KH dan lemak
11. Elektrolit Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
12. Sistem immunitas
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita
saat menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas
muka bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral,
striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga
gangguan menstruasi, nyeri kepala, psedudotumor serebri, impotensi,

16
hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan aterosklerosis
dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.6

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik 1

Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek
samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
Gangguan tidur
Meningkatkan nafsu makan

Meningkatkan berat badan

Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi

Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat


dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes
dan nekrosis aseptik yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama1


Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan
steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang
dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA)
penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan,
kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau
trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua,
orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan
diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah
tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini
terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan
lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari
pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.

Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar


ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).

17
Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.

Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi


pinggul).

Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).

Kenaikan lemak darah (trigliserida).

Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.

Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan


berat badan dan gagal jantung.

Kegoyahan dan tremor.

Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan


katarak subcapsular posterior.

Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,


kegembiraan, delirium atau depresi.

Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi


diresepkan (misalnya tuberkulosis).

Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-


inflamasi.

Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping,


hendaknya diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama
pada usia diatas 40 tahun dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit,
hitung jenis, L.E.D, urin lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula darah
(seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3bulan sekali).6

18
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :
3,11

1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.


2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat
atau penggunaan sangat oklusif.

Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat


potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah
dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal
sistemik. Dengan ini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan
bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang
cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang
lebih paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis
setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.3,11
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa
tingkat yaitu3,11

Efek Epidermal
Ini termasuk :
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik
dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan
pendataran dari konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan
penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan.
Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid
intrakutan.

Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar.
Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah

19
akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu
blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata,
yang terlihat seperti usia kulit prematur.

Efek Vaskular
Efek ini termasuk :
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan
pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa
mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.

Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam


kortikosteroid. Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek
samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa
bulan/tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut,
yaitu :6
Diet tinggi protein dan rendah garam
Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
Obat anabolik
ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH
sintetik yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali
Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
Antasida
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan
relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada
keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas
biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif
kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.
Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan

20
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,
positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic,
katarak, osteoporosis, kehamilan.18

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin Taufik. Oral Corticosteroid. 2009. Diunduh dari


http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid
2. Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork; Mc
Graw-Hill Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327

3. Maftuhah. Husni, Abidin. Taufik, Oral Kortikosteroid. 2009. Fakultas


Kedokteran Universitas Mataram. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/13461799/kortikosteroid-topikal

4. Sutarman Putu Ngakan, Roma Julius. Pengaruh Kortikosteroid Terhadap


Sistem Imun. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedoteran Universitas
Hasanuddin Rumah Sakit Ujumg Pandang. Cermin Dunia Kedokteran
No.85;1993. Diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PengaruhKortikosteroid085.pdf/13Pen
garuhKortikosteroid085.html

5. Sularsito Adi Sri Dr, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi
Obat Alergik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1995; 23-26

6. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi


kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347

7. Agusni Indropo. Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal. Bagian Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Soetomo. Surabaya; 2001. Diunduh dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bipkk/article/viewFile/191/191

8. Doctorology Indonesia. Kortikosteroid dan Efek Sampingnya. 2009.


http://doctorology.net/?p=61

9. Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Balai


penerbit FKUI, 1995 ; 484-500

10. Polito Andrea; Aboab Jrme; Annane Djillali, PhD. Adrenal insufficiency
in sepsis. 2009.Diunduhdari
http://infoomega3.wordpress.com/2008/05/17/omega-3-3/

11. Ashari Irwan. Kortikosteroid Topikal. 2009. Diunduh dari


http://irwanashari.blogspot.com/2009/02/kortikosteroid-topikal.html

22
12. Stress, Insomnia and the Adrenal Glands (Cortisol and DHEA). 2009.
Diunduh dari
http://www.nutritionalmedicine.org.uk/phdi/p1.nsf/supppages/franklin?
opendocument&part=6

23

Anda mungkin juga menyukai