Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata
yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi
keropos dan rapuh osto berarti tulang, sedangkan porosis berarti keropos.
Tulang yang mudah patah akibat osteoporosis adalah tulang belakang, tulang
paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti, 2009).
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulng dengan meningkatnya fragilitas
tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah
kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma, Ningsih,
2009).
Menurut konsesus di Kopenhagen 1990, osteoporosis didefinisikan
sebagai suatu penyakit dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan
kerusakan mikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuahan tulang dan
resiko fraktur yang meningkat (Lukman, Nurma, Ningsih, 2009).
Menurut Kholid Rosyidi (2013), osteoporosis adalah suatu keadaan
dimana terdapat pengurangan jaringan tulang per unit volume, sehingga tidak
mampu melindungi atau mecegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal.
Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi
tulang lebih besar dari kecepatanpembentukan tulang, mengakibatkan penurunan
massa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah
patah, tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan
pengaruh pada tulang normal (Brunner & Suddarth, 2009).

2.2 Klasifikasi Osteoporosis


Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia

4
5

(senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti.


Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan
dengan kelainan endokrin misalnya Chusings disease, hipertiriodisme,
hiperparatiroidisme, hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang
gerak, kebiasaan minum alkohol, dan pemakaian obat-obatan/kortikosteroid,
kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma, Ningsih, 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis
postmenopause (Tipe 1) , osteoporosis involutional (TipeII), osteoporosis idiotik,
osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder.
1) Osteoporosis postmenopause (Tipe 1)
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih
dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebakan oleh percepatan resopsi tulang
yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada
masa menopause
2) Osteoporosis involutional (TipeII),
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe
ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama anatara
kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang pada wanita premenopause
dan pada laki-laki yang berusia di bawah 75 tahun . tipe ini tidak berkaitan
dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah
timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis
yang terjadi pada anak-anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid,
atraumatik reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi,
mastisitosis sistemik, hipertiriodisme, varian status hipogonade dan lain-
lain.
6

2.3 Etiologi Osteoporosis


Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-
75 tahun, tetapi bisa mulai lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita
memeliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosispostmenopause, pada
wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada
wanita kulit hitam (Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu
keadaan penurunan massa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia diatas 75 tahun dan dua kali lebih sering menyerang
wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopause
(Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh
obt-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid,dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian
alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok dapat memperburuk keadaan
ini(Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Osteoporosis Juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
normal yang tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukma,
Nurma, Ningsih, 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur
daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran
universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu
memliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban mekanis dan
besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian terjadi proses
7

penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka


individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu
yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukma, Nurma, Ningsih,
2009).
2.4 Patofisiologi Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan
alkohol), dan aktivitas mempungaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa
tulang mulai terjadi setelah tercapainya puncak massa tulang. Pada pria massa
tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak
sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopause dan pada
oofoektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus
selama tahun-tahun pasca menopause (Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan vitamin D yang
tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa
tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan
(RDA, Recommended Daily allowance) meningkat pada usia 11-24 tahun
(adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalkan
puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada
perempuan pasca menoupause 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia
dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena
penyerapan kalsium kurang efisiensien dan cepat dieksresikan melalui ginjal
(Smeiltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan
eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama
sindrom Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan
kehilangan massa tulang. Obat-obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin
antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid
dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi
8

dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorspi lebih cepat
dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan
tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur
maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama
terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama
mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahan. Tulang
belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera
ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari
punggung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika
disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan
menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika
beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang
abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan
otot dan rasa sakit (Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang
ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah
tulang panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan
(radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut
fraktur colles, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami
penyembuhan secara perlahan (Lukma, Nurma, Ningsih, 2009).
2.6 Pengobatan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis
yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah
yulang. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone
replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progesteron. Terapi
lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.
1. Terapi medis
9

Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan


efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk
menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi
rasa sakit.
1). Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan
obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut
memberikan efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung.
Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan
dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti
paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-
dydramol, co-codramol, atau co-proxamol bagi banyak pasien cukup
memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhankan, semua upaya
pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang
yang lebih besar. Namun, demikian pengobatan masih perlu dilakukan pada
kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-
obatan untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat
dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis
merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak
baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara
maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause
lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin
terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian
dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup
semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun,
sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan selama 5-10 tahun untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
10

a. Hormone Replacement Theraphy (HRT)


Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone
pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi
estrogen dan progesteron hormone-hormone tersebut sebenarnya
secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya
semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif dalam upaya pengobatan dan
pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan
terjadinya efek samping berupa munculnya kanker endometrium
(dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang
pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya
terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena
itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan
progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone,
diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan,
mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan
emosi. Namun, demikian efek tersebut biasanya hanya terjadi pada
awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat
juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara
bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya
terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian
dinaikkan secara bertahap.
b. Kalsitonin
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang
biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis
adalah kalsitonin. Kalstonin turut menjaga kestabilan struktur tulang
dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel
osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang
mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara
normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan
11

rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam


bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama
dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek
samping berupa rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi
muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan
c. Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria
penggunaan hormone tstosterone pada wanita dengan osteoporosis
pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang.
Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut
secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan
pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.
3. Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang
paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek
samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua
pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-
hormonal.
a. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintesis yang saat ini sangat
dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama
dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang
(osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-
obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan
alendronat.
b. Etidronat
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa
digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam
bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua minggu.
Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen kalsium harus
dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi
etidronat karena dapat mengngganggu penyerapannya. Kadang kala,
12

konsumsi etidronat memberikan efek samping, tetapi relative kecil.


Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c. Alendronat
Alendronat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan
etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu
dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila
asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan.
Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat
adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta
gangguan pada tenggorokan.
4. Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini
berhubungan dengan gaya hidup dan po;a konsumsi. Beberapa pencegahan
yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari
merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan yang baik.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah
pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan,
sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang
sebelum terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah tulang pemilaian
langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Radiologi
Saat ini, Sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur
ketebalan colum femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara
radiologic caranya dengan menganilis komponen-komponen yang
berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun hasil
pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya
osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic ini digunakan X-ray
13

konvensional sehingga osteoporosis baru akan terlihat apabila massa tulang


sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2. Pemeriksaan Radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foto radionuklida yang dapat
mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis
pemeriksaan yaitu single photon absorptiometry dan dual photon
absorptiometry
a. Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125
dengan dosis 200 mci yang diperiksa.
b. Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida
GA-135 sebanyak 1,5 CI yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev).
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur vertebra dan colum femoris.
3. Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized
tamography merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur
mineral tulang karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang.
Radius tibia, dan vertebra. Keuntungan QCT adalah tidak dipengaruhi oleh
korteks dan artefak kalsifikasi osteosit dan klasifikasi aorta, serta tidak perlu
diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah
paparan radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
pemeriksaan lainnya.
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya.
Alat tersebut tidak memakai radiasi, melainkan hanya adengan lapangan
magnet yang sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan
membutuhkan sarana yang banyak.
5. Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus
tulang. Kemudia dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang
yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band) dan
kekuatan (stiffness). Keuntungannya adalah mudah dibawah kemana-mana
14

tetapi kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi osteoporosis


secara tepat.
6. Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray
absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut
scan tulang. Pengukuran dilakukan pada tulang yang kemudian mudah
patah, seperti tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan atau seluruh
rangka tubuh.
7. Tes darah dan Urine
Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan test urine
dan darah. Namun demikian kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk
mengetahui dan melihat kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa
tulang.

Anda mungkin juga menyukai