Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku Kesehatan

2.1.1. Pengertian Perilaku Kesehatan

Untuk dapat lebih memahami pengertian perilaku kesehatan, perlu kiranya

dipahami terlebih dahulu arti dari perilaku, yang menurut Edwin G. Boring dalam

Mappiare (2006) menyatakan perilaku merupakan kumpulan respon yang menjadi

sangat kompleks yang selalu berkaitan dengan situasi, sebagaimana sebuah

respons selalu terkait dengan sebuah stimulus.

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah respon seseorang

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan

faktor-faktor yang mempengaruhi sehat sakit (kesehatan) seperti lingkungan,

makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan.

Menurut Sarafino (2006) perilaku kesehatan adalah setiap aktivitas

individu yang dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi

kesehatan tanpa memperhatikan status kesehatan. Sedangkan menurut Taylor (2003)

mengatakan bahwa perilaku kesehatan adalah tindakan yang dilakukan individu

untuk meningkatkan atau mempertahankan kondisi kesehatan mereka.

2.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Kesehatan

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) perilaku kesehatan ini

ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yakni:

Universitas Sumatera Utara


1) Faktor Pendorong (predisposing factors)

Merupakan faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,

tradisi, dan sebagainya.

2) Faktor pemungkin (enabling factors)

Merupakan faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan.

Faktor pemungkin maksudnya adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan, misalnya: Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,

tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan

bergizi, uang dan sebagainya.

3) Faktor penguat (reinforcing factors)

Merupakan faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

Kadang-kadang meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi

tidak melakukannya.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan menurut Taylor

(2003), antara lain:

1) Faktor demografik, perilaku kesehatan berbeda-beda berdasarkan pada faktor

demografik. Individu yang masih muda, lebih makmur, memiliki tingkat

pendidikan yang lebih baik dan berada dalam kondisi stress yang rendah dengan

dukungan sosial yang tinggi memiliki perilaku sehat yang lebih baik dari pada

orang yang memiliki resources yang lebih sedikit.

Universitas Sumatera Utara


2) Usia, perilaku kesehatan bervariasi berdasarkan usia. Secara tipikal perilaku

kesehatan pada anak-anak dapat dikatakan baik, memburuk pada remaja dan

orang dewasa, namun meningkat kembali pada orang yang lebih tua.

3) Nilai, nilai-nilai sangat mempengaruhi kebiasaan perilaku sehat individu.

Misalnya latihan bagi wanita sangat diinginkan bagi budaya tertentu tetapi tidak

bagi budaya lain.

4) Personal Control, persepsi bahwa kesehatan individu dibawah personal

control juga menentukan perilaku sehat seseorang. Misalnya penelitian yang

dilakukan pada Health locus of control scale yang mengukur derajat sejauh

mana persepsi individu dapat mengontrol kesehatan mereka.

5) Pengaruh Sosial, juga dapat mempengaruhi perilaku sehat individu. Keluarga,

teman, dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi perilaku sehat.

6) Personal Goal, kebiasan perilaku sehat juga memiliki hubungan dengan tujuan

personal. Jika tujuan menjadi atlet berprestasi merupakan tujuan yang penting,

individu akan cenderung olah raga secara teratur dibandingkan jika hal itu bukan

tujuan personal.

7) Perceived Symptoms, kebiasaan sehat dikontrol oleh perceived symptoms.

Misalnya perokok mungkin mengontrol perilaku merokok mereka berdasarkan

sensasi pada paru- paru mereka.

8) Akses ke Health care delivery system, akses ke health care juga mempengaruhi

perilaku kesehatan. Menggunakan program pengobatan tuberkolosis, pap smear

Universitas Sumatera Utara


yang teratur, mamogram, imunisasi, merupakan contoh perilaku kesehatan yang

secara langsung berhubungan dengan health care system.

9) Faktor kognisi, perilaku kesehatan memiliki hubungan dengan faktor kognisi,

seperti keyakinan bahwa perilaku tertentu dapat mempengaruhi kesehatan.

2.1.3. Aspek-aspek Perilaku Kesehatan

Menurut Roizen (1999) mengatakan ada 7 (tujuh) aspek perilaku kesehatan

yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku kesehatan seorang individu, yaitu:

1) Makan dan minum, meliputi: a) mengkonsumsi makanan rendah kalori dan

lemak, diet berbagai jenis makanan yang bergizi tinggi; b) mengkonsumsi

makanan berbahan kacang kedelai segar; c) mengkonsumsi ikan yang kaya omega

3; c) minum minimal 8 gelas air mineral perhari; d) sarapan setiap hari; e)

mengkonsumsi makanan yang kaya vitamin B6, C, D, E, folate, kalsium atau

suplemen; f) menghindari kurang vitamin dan tambahan mineral; g) menghindari

diet; dan h) menghindari minuman beralkohol.

2) Olah raga, meliputi: a) olah raga teratur; b) membangun stamina; dan c)

membangun kekuatan otot.

3) Kebiasan sehat, meliputi: a) menggosok gigi dan flosis setiap hari; b) tidur yang

baik; c) mendapat sinar matahari selama 10-20 menit untuk menghasilkan

vitamin D; d) menggunakan sabuk pengaman dan memiliki kantong udara di

mobil; dan e) tinggal di daerah yang memiliki udara bersih.

4) Seks, mencakup: a) memiliki seks sehat; dan b) memiliki orgasme yang lebih

sering.

Universitas Sumatera Utara


5) Stres dan dukungan sosial, mencakup: a) menghindari stres yang tinggi atau

menghadapi stres dengan baik; b) hidup sesuai dengan penghasilan dan

menghindari kebangkrutan; dan c) mengembangkan hubungan sosial dengan

keluarga dan teman.

6) Berat badan dan jantung sehat, mencakup: a) mempertahankan berat badan yang

ideal; b) menjaga tekanan darah normal; dan c) kolesterol yang lebih rendah.

7) Tembakau dan rokok, meliputi: a) tidak merokok atau menggunakan produk

tembakau; b) tidak bekerja atau tinggal di daerah yang berasap; dan c)

menghindari menggunakan obat-obatan terlarang.

2.2. Konsep Perilaku Merokok

2.2.1. Definisi Perilaku Merokok

Menurut Armstrong (1990) dalam Komalasari (2000), perilaku merokok

adalah menghisap asap tembakau yang dibakar kedalam tubuh dan

menghembuskannya kembali keluar. Sedangkan menurut Levy (1984) dalam

Komalasari (2000) mendefinisikan perilaku merokok sebagai sesuatu yang dilakukan

seseorang berupa membakar dan menghisap rokok serta dapat menimbulkan asap

yang dapat terhisap oleh orang-orang di sekitarnya.

2.2.2. Tahapan dalam Perilaku Merokok

Menurut Levental dan Clearly dalam Komalasari (2000) menyatakan ada 4

(empat) tahap dalam perilaku merokok seseorang sehingga menjadi perokok, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1) Tahap perpatory, seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan

mengenai merokok dengan cara: mendengar, melihat atau dari hasil bacaan

sehingga timbul minat untuk merokok.

2) Tahap initiation, tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan

meneruskan atau tidak terhadap perilaku merokok.

3) Tahap becoming a smoker, bila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4

(empat) batang per hari, maka akan mempunyai kecenderungan menjadi perokok.

4) Tahap maintenance of smoking, pada tahap ini merokok sudah menjadi salah satu

bagian dari cara pengaturan diri untuk memperoleh efek psikologis yang

menyenangkan.

2.2.3. Tipe-tipe Perilaku Merokok

Tipe perilaku merokok dibedakan berdasarkan berbagai aspek, sebagai

berikut:

1) Berdasarkan tempat aktivitas merokok dilakukan, Mutadin (2002) dalam

Komalasari (2000) menggolongkan tipe perilaku merokok menjadi: a) Merokok

di tempat umum atau ruang publik, meliputi: (1) kelompok homogen yang sama

perokok, secara berkelompok mereka menikmati kebiasaannya; (2) kelompok

heterogen atau merokok di tengah orang lain yang tidak merokok, seperti: anak

kecil, orang jompo, orang sakit, dan sebagainya; dan b) merokok di tempat yang

bersifat pribadi, meliputi: (1) kantor atau kamar tidur pribadi; dan (2) Toilet,

perokok jenis ini dapat digolongkam sebagai orang yang suka berfantasi.

Universitas Sumatera Utara


2) Berdasarkan manajemen terhadap afeksi yang ditimbulkan rokok, Silvan dalam

Mutadin ( 2002) ada 4 ( empat) tipe perilaku merokok berdasarkan management

theory of affect, keempat tipe tersebut adalah: a) tipe perokok yang dipengaruhi

oleh perasaan positif, meliputi: (1) pleasure relaxation, perilaku merokok hanya

untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah di dapat; (2)

stimulation to pick them up, perilaku merokok hanya dilakukan sekedar

menyenangkan perasaan; dan (3) pleasure of handling the cigarette, kenikmatan

yang diperoleh dari memegang rokok; b) tipe perokok yang dipengaruhi

perasaan negatif, banyak orang yang merokok untuk mengurangi perasaan

negatif yang dirasakannya; c) tipe perokok yang adiktif, perokok yang sudah

adiksi akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari

rokok yang dihisapnya berkurang; dan d) tipe perokok yang sudah menjadi

kebiasaan, mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk

mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan.

3) Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap dalam sehari, menurut Sitepoe (2000)

dalam Alamsyah R.M (2009) membagi perokok atas 4 (empat) bagian, yaitu: 1)

perokok ringan, adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 1-10 batang

perhari; 2) perokok sedang, adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara

11-20 batang perhari; 3) perokok berat, adalah sesorang yang mengkonsumsi

rokok lebih dari 20 batang perhari; dan 4) perokok yang menghisap rokok dalam-

dalam.

Universitas Sumatera Utara


2.2.4. Dampak Perilaku Merokok

Menurut Wijaya (2011) dalam Prasasti (2011) menyatakan dampak buruk

rokok terhadap kesehatan pertama sekali ditemukan pada tahun 1951, dan sejak saat

itu banyak penelitian yang membuktikannya. Dampak rokok terhadap kesehatan

sering disebut silent killer karena timbul secara perlahan dan dalam tempo yang

relatif lama, tidak langsung dan tidak tampak nyata. Kebiasaan merokok merupakan

salah satu faktor resiko bagi banyak penyakit tidak menular yang berbahaya. Merokok

juga dapat mengurangi setengah usia harapan hidup perokok dan 50% dari kematian

terjadi pada usia 30 69 tahun.

Odgen (2000) dalam Nasution (2007) membagi dampak perilaku merokok

menjadi dua, yaitu:

1) Dampak positif

Merokok menimbulkan dampak positif yang sangat sedikit bagi kesehatan. Para

perokoktersebut menyatakan bahwa perokok menyebutkan dengan merokok dapat

menghasilkan mood positif dan dapat membantu individu menghadapi keadaan

yang sulit. Smet (1994) dalam Nasution (2007) menyebutkan keuntungan

merokok (terutama bagi perokok) yaitu mengurangi ketegangan, membantu

berkonsentrasi, dukungan sosial dan menyenangkan.

2) Dampak negatif

Merokok dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang sangat berpengaruh

bagi kesehatan. Merokok bukanlah penyebab suatu penyakit, tetapi dapat memicu

suatu jenis penyakit sehingga boleh dikatakan merokok tidak menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


kematian, tetapi dapat mendorong munculnya jenis penyakit yang dapat

mengakibatkan kematian. Menurut Sitepoe (2001) dalam Nasution (2007)

berbagai jenis penyakit yang dapat dipicu karena merokok, antara lain: penyakit

kardiolovaskular, neoplasma (kanker), saluran pernafasan, peningkatan tekanan

darah, memperpendek umur, penurunan vertilitas (kesuburan) dan nafsu seksual,

sakit mag, gondok, gangguan pembuluh darah, penghambat pengeluaran air seni,

ambliyopia (penglihatan kabur), kulit menjadi kering, pucat dan keriput, serta

polusi udara dalam ruangan (sehingga terjadi iritasi mata, hidung dan

tenggorokan).

2.2.5. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Merokok

Ada banyak faktor yang menyebabkan perilaku merokok pada remaja,

menurut Aditama (1997) dalam Sulistyorini I.R (2008) menyebutkan bahwa perilaku

merokok pada remaja ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya, adalah:

1) Faktor kepribadian (personal)

Seseorang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin

melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan.

2) Faktor sosio-kultural

Seseorang merokok karena pengaruh orang tua dan peer group atau teman dan

kelompoknya. Perilaku merokok akan lebih kuat pengaruhnya apabila orang tua

juga merokok dan berbagai fakta mengungkapkan bahwa remaja yang merokok

kemungkinan besar teman-temannya adalah perokok.

Universitas Sumatera Utara


3) Faktor lingkungan

Seseorang merokok oleh karena iklan, seseorang dengan melihat iklan di media

massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah

lambang kematangan, kedewasaan, popularitas, dan bahkan lambang kejantanan.

Sehingga menyebabkan remaja menganggap kalau mereka merokok, maka

mereka akan mendapatkan semua predikat tersebut.

Mu`tadin (2002) dalam Kemalasari (2007) mengemukakan faktor yang

mempengaruhi perilaku merokok pada remaja diantaranya sebagai berikut:

1) Pengaruh orang tua

Remaja perokok adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak

bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anaknya dibandingkan

dengan remaja yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia.

Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit untuk terlibat

dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang

permisif, dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri

menjadi contoh figur yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin

sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada

mereka yang tinggal dengan orang tua tunggal (single parent). Remaja

berperilaku merokok apabila ibu mereka merokok daripada ayah yang merokok

yang lebih terlihat pada remaja putrid.

Universitas Sumatera Utara


2) Pengaruh teman

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka

semakin besar kemungkinan teman- temannya adalah perokok juga dan

demikian sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari fakta tersebut,

pertama remaja tersebut terpengaruh oleh teman-temannya atau sebaliknya.

Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu

atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok

3) Faktor kepribadian

Seseorang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin

melepaskan diri dari rasa sakit dan kebosanan. Satu sifat kepribadian yang

bersifat pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial.

Pendapat ini didukung Atkinson (1999) yang menyatakan bahwa orang yang

memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih menjadi

perokok dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah.

4) Pengaruh iklan

Dengan melihat iklan di media masa dan elektronik yang menampilkan gambaran

bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja

seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.

Sedangkan menurut Maman (2009) beberapa faktor yang berperan dalam

perilaku merokok pada seseorang, antara lain:

Universitas Sumatera Utara


1) Faktor individu

Perilaku merokok pada seseorang juga timbul karena pengaruh emosi yang

menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Saat ini seseorang menghadapi

berbagai tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya

lebih banyak dan kompleks dari pada yang dihadapi pada generasi sebelumnya.

Semua ini sangat berpotensi menyebabkan seseorang merasa tertekan dan stress.

Seseorang yang mengalami stress ini sangat mengembangkan perilaku merokok

sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya

perkembangan keterampilan menghadapi masalah secara kompeten dan

pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Individu dengan dimensi

kepribadian tertentu juga dapat menyebabkan mereka lebih sering mengalami

stres pribadi sehingga lebih mungkin untuk berprilaku merokok.

2) Faktor lingkungan

Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai

seseorang terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-

hubungan sosial interpersonal. Menurut Jessor dalam Maman (2009) perilaku

bermasalah pada seseorang termasuk merokok, merupakan hasil interaksi dari

kepribadian, sikap, dan perilaku dengan sistem lingkungan termasuk lingkungan

keluarga dan teman sebaya.

3) Faktor demografis

Beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah

usia, jenis kelamin, ras dan etnik serta tingkat sosial ekonomi. Status sosial

Universitas Sumatera Utara


ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga

mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Sebuah

penelitian di Finlandia Timur, ditemukan bahwwa status sosial ekonomi

khususnya tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku

merokok. Hasil penelitian Rachiotis dkk (2008) menemukan bahwa usia yang

semakin tua, jenis kelamin pria dan tingkat pendidikan orang tua yang semakin

rendah berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok.

Selain itu, Hansen dalam Nasution (2007) juga menyatakan beberapa faktor

yang mempengaruhi perilaku merokok, yaitu:

1) Faktor biologis

Banyak penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan salah

satu bahan kimia yang berperan penting pada ketergantungan merokok. Hal ini

didukung oleh penemuan kadar nikotin dalam darah perokok yang cukup

tinggi.

2) Faktor psikologis

Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa

kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan, juga dapat

memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang

sering bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari.

Universitas Sumatera Utara


3) Faktor lingkungan sosial

Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan dan perhatian

individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku merokok dengan

memperhatikan lingkungan sosialnya

4) Faktor demografis

Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia

dewasa semakin banyak. Namun, pengaruh jenis kelamin saat ini tidak terlalu

berperan karena baik pria maupun wanita sudah merokok.

5) Faktor sosial-budaya

Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi

pekerjaan akan mempengaruhi perilaku merokok pada individu

6) Faktor sosial-politik

Faktor ini menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah

politik yang bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan

usaha melancarkan kampanye promosi kesehatan untuk mengurangi perilaku

merokok.

2.3. Konsep Interaksi Sosial

Manusia adalah mahluk individu sekaligus juga mahluk sosial. Manusia

sebagai mahluk sosial memiliki motif untuk mengadakan hubungan, dan hidup dengan

orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya, yang disebut dengan

dorongan sosial. Manusia membutuhkan hubungan bukan saja dengan individu lain,

Universitas Sumatera Utara


tetapi juga dengan lingkungan tempatnya berada.

Lingkungan memengaruhi individu dalam mengembangkan, menggiatkan, dan

memberikan sesuatu yang manusia butuhkan. Hubungan manusia dengan individu

lainnya dan lingkungan disebut dengan interaksi sosial. Interaksi sosial dapat juga

disebut dengan proses sosial dan merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas

sosial. Agar lebih mudah dipahami, maka dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut

tentang hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat.

2.3.1. Defenisi Interaksi Sosial

Menurut Sitorus (1999) dalam Mubarak (2009) interaksi sosial adalah

hubungan-hubungan dinamis yang menyangkut hubungan antar individu dan individu,

individu dan kelompok, kelompok dan kelompok dalam bentuk kerja sama serta

persaingan atau pertikaian. Interaksi sosial menurut Walgito (2001) dalam Mubarak

(2009) adalah hubungan antar individu satu dan individu lain, individu satu dapat

memengaruhi yang lainnya atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan yang timbal balik.

Berdasarkan kedua defenisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,

interaksi sosial adalah hubungan yang dinamis antar sesama manusia baik orang dan

perorangan, perorangan dan kelompok di dalam suatu lingkungan masyarakat yang

menciptakan satu keterikatan kepentingan yang menciptakan status sosial.

2.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Proses Interaksi Sosial

Berlangsungnya suatu proses interaksi sosial didasarkan kepada berbagai

faktor-faktor yang memengaruhinya, faktor yang dimaksudkan antara lain (Mubarak,

2009):

Universitas Sumatera Utara


1) Faktor imitasi

Faktor imitasi ini mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi sosial

yang dapat mendorong seseorang mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Salah

satu segi positif dari imitasi ini adalah dapat mendorong seseorang untuk

mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Segi negatif dari imitasi ini

misalnya ditirunya tindakan-tindakan yang menyimpang. Imitasi dapat juga

melemahkan dan bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

2) Faktor sugesti

Faktor ini memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya

kemudian diterima oleh pihak lainnya. Faktor sugesti berlangsung apabila

seseorang memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya,

kemudian diterima oleh pihak lain.

3) Faktor identifikasi

Faktor yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan

dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identikasi sifatnya

lebih mendalam karena kepribadian seseorang dapat terbentuk melalui proses ini.

4) Faktor simpati

Faktor yang merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik kepada

pihak lain. Dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting,

walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak

lain dan bekerja sama dengannya. Faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri

maupun tterpisah atau dalam keadaan bergabung, apabila masing-masing ditinjau

secara lebih mendalam.

Universitas Sumatera Utara


2.3.3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa: 1) kerjasama (cooperation); 2)

persaingan (competition); dan 3) pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu

pertikaian mungkin mendapatkan suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut

hanya dapat diterima untuk sementara waktu saja, proses ini dinamakan akomodasi

(accomodation) dan ini berarti bahwa kedua belah pihak belum tentu puas

sepenuhnya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi

sosial. Keempat bentuk pokok dari interaksi sosial ini tidak perlu menjadi suatu

kontinuitas, dalam arti bahwa interaksi sosial dimulai dari kerja sama yang kemudian

menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian dan akhirnya sampai pada

akomodasi (Mubarak, 2009).

Gillin dan Gillin (1993) menggolongkan 2 (dua) macam proses sosial yang

timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: 1) proses yang assosiatif

(processes of association) yang terbagi kedalam 3 (tiga) bentuk khusus, yakni:

akomodasi, asimilasi, dan akulturasi; 2) proses yang dissosiatif (processes of

dissociation) yang mencakup persaingan, persaingan yang meliputi kontravensi dan

pertentangan atau pertikaian (conflict).

2.4. Konsep Kebudayaan

2.4.1. Pengertian Kebudayaan

Istilah kebudayaan berasal dari kata Budh berasal dari bahasa sansekerta. Dari

kata Budh ini kemudian dibentuk kata Buddhayah, sehingga kata kebudayaan diartikan

Universitas Sumatera Utara


sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal manusia. Kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dari hasil karya manusia dalam rangka

membangun kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia, kebudayaan

telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan

mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, kebudayaan diperlukan oleh

manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku (Mubarak, 2009).

2.4.2. Ciri - ciri Kebudayaan

Ciri-ciri kebudayaan adalah sebagai berikut: 1) bersifat historis, dimana

manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan

secara turun temurun; 2) bersifat geografis, dimana kebudayaan manusia tidak selalu

berjalan seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang lamban. Dalam interaksi

dengan lingkungan, kebudayaan tersebut berkembang pada komunitas tertentu dan

meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras, selanjutnya kebudayaan itu meluas dan

mencakup wilayah / regional serta makin meluas keseluruh penjuru belahan bumi; dan

3) bersifat perwujudan dan nilai-nilai tertentu, dimana dalam perjalanan kebudayaan,

manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Disinilah manusia

terbentur pada nilai dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan (Mubarak, 2009).

2.4.3. Unsur-unsur Kebudayaan

Ada 7 (tujuh) unsur kebudayaan menurut sarjana sosiologi yaitu: 1) peraturan

dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat

transportasi dan sebagainya); 2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi

Universitas Sumatera Utara


(pertanian, peternakan, sistem produksi, distribusi, dan sebagainya); 3) sistem

kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem

perkawinan, dan sebagainya); 4) bahasa (lisan maupun tertulis); 5) kesenian (seni

rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); 6) sistem pengetahuan (pengetahuan

alam dan fisika dan sebagainya) dan 7) religi (sistem kepercayaan) (Mubarak, 2009).

2.4.4. Faktor yang Memengaruhi Kebudayaan

Menurut Soekanto (1986) dalam Nurlysa (2013) faktor-faktor penyebab

perubahan kebudayaan dibagi menjadi 2 (dua) golongan besar, sebagai berikut:

1) Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, antara

lain sebagai berikut: 1) bertambahnya atau berkurangnya penduduk, pertumbuhan

penduduk yang cepat dapat menyebabkan perubahan dalam struktur masyarakat

seperti munculnya kelas sosial yang baru dan profesi yang baru. Selain itu

pertambahan jumlah penduduk juga mengakibatkan bertambahnya kebutuhan-

kebutuhan seperti sandang, pangan, dan papan. Padahal sumbersumber

pemenuhan kebutuhan tidak seimbang, sehingga akan imbul masalah sosial

seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, dan lain-lain. Kondisi ini akan

mengubah pola interaksi dan meningkatnya mobilitas sosial. Selain itu,

berkurangnya penduduk yang diakibatkan oleh migrasi dan urbanisasi akan

mengakibatkan kekosongan dalam pembagian kerja dan jumlah angkatan kerja,

sehingga akan memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan; 2) adanya

penemuan baru (discovery), penemuan baru dalam masyarakat di bidang ilmu

Universitas Sumatera Utara


pengetahuan dan teknologi mengakibatkan terjadinya perubahan social; 3)

pertentangan (conflix) masyarakat, dalam interaksi sosial di masyarakat yang

heterogen dan dinamis, pertentangan-pertentangan (konflik) mungkin saja terjadi

baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok

dengan kelompok. Apalagi pada masyarakat yang berkembang dari masyarakat

tradisional ke masyarakat modern akan selalu terjadi pertentangan, misalnya

golongan muda yang ingin mengadopsi budaya asing, golongan tua yang tetap

mempertahankan tradisi lama. Konflik ini akan menimbulkan perubahan nilai-

nilai, pola perilaku dan interaksi yang baru di masyarakat tersebut; 4) Terjadinya

pemberontakan (revolution), revolusi adalah perubahan yang sangat cepat dan

mendasar yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Revolusi akan

berpengaruh besar pada struktur masyarakat dan lembaga-lembaga

kemasyarakatan. Pengaruh tersebut mulai dari lembaga negara sampai keluarga

yaitu mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Contohnya revolusi

industri di Inggris, revolusi Perancis, revolusi fisik tahun 1945 di Indonesia.

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat, antara lain

berikut ini: 1) lingkungan alam fisik, salah satu faktor penyebab perubahan yang

bersumber dari lingkungan alam seperti terjadinya bencana alam banjir, longsor,

gempa bumi, kebakaran hutan, dan sebagainya. Di daerah yang terkena banjir

menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar daerah tersebut terpaksa harus

mencari tempat tinggal baru, sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan

Universitas Sumatera Utara


lingkungan barunya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada

lembaga masyarakat; 2) peperangan, peperangan antara negara satu dengan

negara yang lain kadang bisa menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik

pada lembaga kemasyarakatan maupun struktur masyarakatnya. Biasanya negara

yang menang memaksakan nilai-nilai, cara-cara, dan lembaga yang dianutnya

kepada negara yang kalah. Hal itu berakibat terjadinya perubahan-perubahan pada

struktur lembaga kemasyarakatan; dan 3) pengaruh kebudayaan lain, di era

globalisasi ini tidak ada satupun negara yang mampu menutup dirinya dari

interaksi dengan bangsa lain. Interaksi yang dilakukan antara dua negara

mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh lain kadang juga bisa

menerima pengaruh dari masyarakat lain. Dengan demikian akan timbul suatu

nilai-nilai sosial budaya yang baru sebagai akibat asimilasi atau akulturasi kedua

budaya.

Menurut Soekanto (1986) dalam Nurlysa (2013), dalam kaitannya dengan

pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dikenal istilah-istilah sebagai berikut:

1) Akulturasi (cultural contact)

Akulturasi adalah suatu kebudayaan tertentu yang dihadapkan dengan unsur-

unsur kebudayaan asing, yang lambat laun unsur kebudayaan asing tersebut

melebur atau menyatu ke dalam kebudayaan sendiri (asli), tetapi tidak

menghilangkan ciri kebudayaan lama. Hal-hal yang biasa terjadi dalam akulturasi

seperti berikut: 1) substansi, yaitu: unsur kebudayaan yang ada sebelumnya

diganti, dan melibatkan perubahan struktural yang kecil sekali; 2) sinkretisme,

Universitas Sumatera Utara


yaitu unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan membentuk sistem yang

baru; 3) adisi, yaitu unsur-unsur baru ditambahkan kepada unsur yang lama; 4)

dekulturasi, yaitu hilangnya bagian substansial sebuah kebudayaan; 5) orijinasi,

yaitu tumbuhnya unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan situasi yang

berubah; dan 6) rejection (penolakan), yaitu perubahan yang sangat cepat,

sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya, menyebabkan

penolakan, pemberontakan, dan gerakan pembangkitan.

2) Difusi

Difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat

lain, dari orang ke orang lain, dan dari masyarakat ke masyarakat lain. Manusia

dapat menghimpun pengetahuan baru dari hasil penemuan-penemuan. Difusi

dapat dibedakan ke dalam jenis, berikut: 1) difusi intra-masyarakat, difusi intra-

masyarakat dipengaruhi hal-hal berikut: a) pengakuan bahwa penemuan baru

bermanfaat bagi masyarakat; b) ada tidaknya unsur kebudayaan yang

memengaruhi (untuk diterima/ditolak); c) unsur yang berlawanan dengan unsur

fungsi lama akan ditolak; d) kedudukan penemu unsur baru ikut menentukan

penerimaan; dan e) ada tidaknya batasan dari pemerintah. 2) difusi antar

masyarakat, difusi antarmasyarakat dipengaruhi hal-hal berikut: a) kontak

antarmasyarakat tersebut; b) kemampuan mendemonstrasikan; c) kegunaan; d)

menyaingi unsur lama atau mendukung; e) peran penemu dan penyebarannya; dan

f) pemaksaan.

Universitas Sumatera Utara


3) Penetrasi

Penetrasi adalah masuknya unsur-unsur kebudayaan asing secara paksa, sehingga

kebudayaan lama kalah. Apabila kebudayaan baru seimbang dengan kebudayaan

lama, masing-masing kebudayaan hampir tidak mengalami perubahan atau tidak

saling memengaruhi. Hal yang demikian disebut hubungan simbiotik,

4) Invasi

Invasi adalah masuknya unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan

setempat, dengan peperangan (penaklukan) bangsa asing terhadap bangsa lain.

5) Asimilasi

Asimilasi adalah proses penyesuaian (seseorang/ kelompok orang asing) terhadap

kebudayaan setempat. Dengan asimilasi kedua kelompok baik asli maupun

pendatang lebur dalam satu kesatuan kebudayaan.

6) Hibridisasi

Hibridisasi adalah perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh perkawinan

campuran antara orang asing dengan penduduk setempat.

7) Milenarisme

Milenarisme adalah salah satu bentuk kebangkitan yang berusaha mengangkat

golongan masyarakat bawah yang tertindas dan telah lama menderita dalam

kedudukan sosial yang rendah.

8) Adaptasi

Adaptasi adalah proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh

organisme pada lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan

Universitas Sumatera Utara


pada organisme (penyesuaian dua arah).

9) Imitasi

Imitasi adalah proses peniruan kebudayaan lain tanpa mengubah kebudayaan

yang ditiru

2.4.5. Sifat-sifat dari Kebudayaan

Sifat-sifat dari kebudayaan, adalah sebagai berikut:

1) Adaptif, kebudayaan bersifat adaptif, artinya kebudayaan selalu mampu

menyesuaikan diri, sifat adaptif ini akan melengkapi manusia pendukungnya

dengan menyesuaikan diri pada hal-hal seperti kebutuhan fisiolologis badan

mereka sendiri, lingkungan fisik-geografis dan lingkungan social.

2) Integrative, kebudayaan bersifat integratif artinya kebudayaan memadukan semua

unsur dan sifat-sifatnya menjadi satu, bukan sekumpulan kebiasaan yang

terkumpul secara acak-acakan saja. Karena itulah kebiasaan yang dimiliki dalam

suatu kebudayaan tidak dapat dengan mudah dimasukan kedalam kebudayaan

lain.

3) Dinamis, kebudayaan bersifat dinamis artinya kebudayaan itu selalu berubah dan

terus bergerak mengikuti dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat.

Dinamika kehidupan sosial budaya terjadi sebagai akibat dari interaksi manusia

dengan lingkungan sekitar, penafsiran-penafsiran atau interpretasi yang berubah

tentang norma-norma, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara


2.5. Konsep Kepribadian (Personality)

2.5.1. Defenisi Kepribadian/Personality

Kepribadian menurut Allport (1967) dalam Suryabrata (2008) adalah

organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofosis yang menentukan caranya

yang khas dalam individu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Jadi persoalan

mengenai kepribadian adalah persoalan mengenai segala aktivitas individu, baik yang

tampak maupun tidak tampak (Suryabrata, 2008). Kepribadian menurut Cattel (1983)

dalam Engler (2009) kepribadian adalah suatu prediksi mengenai apa yang akan

dilakukan oleh seseorang dalam berbagai situasi yang terjadi pada dirinya.

Sedangkan menurut Pervin, dkk (2005) dalam Prasasti (2011) kepribadian

mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan

perilaku yang konsisten. Defenisi tersebut memiliki arti agar kita fokus pada banyak

aspek yang berbeda pada setiap orang. Namun hal tersebut juga menganjurkan kita

untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang

diukur secara teratur.

2.5.2. Faktor-faktor yang Membentuk Kepribadian

Menurut Alfin (2010) dalam Prasasti (2011) secara umum perkembangan

kepribadian seseorang dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu:

1) Warisan biologis (heredity),

Warisan biologis mempengaruhi kehidupan manusia dan setiap manusia

mempunyai warisan biologis yang unik dan berbeda dari orang lain. Hal ini berarti

tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang sama

persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Warisan biologis ini

Universitas Sumatera Utara


yang terpenting terletak pada perbedaan intelegensi dan kematangan biologis.

Keadaan ini membawa pengaruh pada kepribadian seseorang.

2) Warisan lingkungan alam (natural environment)

Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam menyebabkan manusia harus

menyesuaikan diri terhadap alam tersebut. Melalui penyesuaian diri itu, dengan

sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaanya akan dipengaruhi oleh

alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata pencaharian

sebagai nelayan, mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang yang tinggal

di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras dari pada

mereka yang tinggal di daerah pertanian, karena suara harus menyamai deburan

suara ombak. Hal itu terbawa kedalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi

kepribadiannya.

3) Warisan sosial (social heritage) atau kebudayaan

Kita mengetahui bahwa antara manusia, alam, dan kebudayaan mempunyai

hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Manusia berusaha untuk

mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan

hidup. Misalnya saja manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.

Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam memberikan warna

kepribadian anggota masyarakatnya.

4) Pengalaman kelompok manusia (group experinces)

Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya. Kelompok manusia sadar atau

tidak sadar telah memengaruhi anggota-anggotanya, dan para anggotanya

menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan

Universitas Sumatera Utara


pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada anggotanya,

sehingga timbul kepribadian khas anggota masyarakat tersebut.

5) Pengalaman unik (unique experinces)

Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang lain, walaupun

orang itu berasal dari keluarga yang sama, dibesarkan dalam kebudayaan yang

sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang sama pula. Walaupun mereka

mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam

hal yang lainnya. Mengingat pengalaman setiap individu adalah unik dan tidak ada

pengalaman siapapun yang secara sempurna menyammainya.

Menurut Setiawan (2011) pengalaman-pengalaman yang membentuk

kepribadian dibedakan dalam 2 (dua) golongan, yaitu:

1) Pengalaman yang umum, dialami oleh setiap individu dalam kebudayaan tertentu.

Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan seseorang dalam

masyarakat. Meskipun demikian kepribadian seseorang tidak dapat sepenuhnya

diramalkan atau dikenali hanya berdasarkan pengetahuan tentang struktur

kebudayaan dimana seseorang tersebut hidup. Hal ini disebabkan: a) pengaruh

kebudayaan terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya (orangtua,

saudara, media massa) tidaklah sama juga pada setiap orang; dan b) tiap individu

mempunyai pengalaman-pengalaman yang khusus dan yang terjadi pada dirinya

sendiri.

2) Pengalaman yang khusus, dialami oleh individu sendiri dan pengalaman ini tidak

bergantung pada status dan peran seseorang yang bersangkutan dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


2.6. Landasan Teori

Perilaku merokok menurut Levy (1984) dalam Komalasari (2000)

mendefinisikan perilaku merokok sebagai sesuatu yang dilakukan seseorang berupa

membakar dan menghisap rokok (dikategorikan perokok aktif) serta dapat

menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang di sekitarnya (dikategorikan

sebagai perokok pasif).

Banyak faktor yang menyebabkan perilaku merokok pada seseorang, menurut

Aditama (1997) dalam Sulistyorini I.R (2008) menyebutkan bahwa perilaku merokok

ditentukan oleh: 1) faktor kepribadian (personal), dimana seseorang mencoba untuk

merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau

jiwa, membebaskan diri dari kebosanan; 2) faktor sosio-budaya, dimana seseorang

merokok karena pengaruh orang tua dan peer group atau teman dan kelompoknya.

Perilaku merokok akan lebih kuat pengaruhnya apabila orang tua juga merokok dan

berbagai fakta mengungkapkan bahwa remaja yang merokok kemungkinan besar

teman-temannya adalah perokok; dan 3) faktor lingkungan, dimana seseorang

merokok oleh karena iklan, seseorang dengan melihat iklan di media massa dan

elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kematangan,

kedewasaan, popularitas, dan bahkan lambang kejantanan. Sehingga menyebabkan

seseorang menganggap kalau mereka merokok, maka mereka akan mendapatkan

semua predikat tersebut.

Menurut Mu`tadin (2002) dalam Kemalasari (2007) mengemukakan faktor

yang mempengaruhi perilaku merokok pada seseorang, sebagai berikut: 1) pengaruh

orang tua, seorang perokok adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang

Universitas Sumatera Utara


tidak bahagia, di mana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya

dibandingkan dengan seseorang yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang

bahagia. Seseorang yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit untuk

terlibat dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang

permisif, dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri

menjadi contoh figur yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin

sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada

mereka yang tinggal dengan orang tua tunggal (single parent). Seseorang

berperilaku merokok apabila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok

yang lebih terlihat pada seseorang; 2) pengaruh teman, berbagai fakta

mengungkapkan bahwa semakin banyak seseorang merokok maka semakin besar

kemungkinan teman- temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Ada

dua kemungkinan yang terjadi dari fakta tersebut, pertama seseorang tersebut

terpengaruh oleh teman-temannya atau sebaliknya. Diantara seorang perokok

terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang

perokok begitu pula dengan seseorang non perokok; 3) faktor kepribadian,

seseorang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan

diri dari rasa sakit dan kebosanan. Satu sifat kepribadian yang bersifat pada

pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Pendapat ini

didukung Atkinson (1999) yang menyatakan bahwa orang yang memiliki skor

tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih menjadi perokok dibandingkan

dengan mereka yang memiliki skor yang rendah; dan 4) pengaruh iklan, dengan

melihat iklan di media masa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa

Universitas Sumatera Utara


perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu

untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.

Sedangkan menurut Maman (2009) beberapa faktor yang berperan dalam

perilaku merokok pada seseorang, antara lain: 1) faktor individu, dimana perilaku

merokok pada seseorang juga timbul karena pengaruh emosi yang menyebabkan

seorang individu mencari relaksasi. Saat ini seseorang menghadapi berbagai tuntutan,

harapan, resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan

kompleks dari pada yang dihadapi pada generasi sebelumnya. Semua ini sangat

berpotensi menyebabkan seseorang merasa tertekan dan stress. Seseorang yang

mengalami stress ini sangat mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu cara

untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan

keterampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang

bertanggung jawab. Individu dengan dimensi kepribadian tertentu juga dapat

menyebabkan mereka lebih sering mengalami stres pribadi sehingga lebih mungkin

untuk berprilaku merokok; 2) faktor lingkungan, melalui teori social learning

berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seseorang terbentuk oleh sekumpulan

interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Menurut

Jessor dalam Maman (2009) perilaku bermasalah pada seseorang termasuk merokok,

merupakan hasil interaksi dari kepribadian, sikap, dan perilaku dengan sistem

lingkungan termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya; 3) faktor demografis,

beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah usia,

jenis kelamin, ras dan etnik serta tingkat sosial ekonomi. Status sosial ekonomi yang

terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga mempunyai hubungan

Universitas Sumatera Utara


yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Sebuah penelitian di Finlandia

Timur, ditemukan bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan

mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Hasil penelitian Rachiotis

dkk (2008) menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria dan tingkat

pendidikan orang tua yang semakin rendah berhubungan secara signifikan dengan

perilaku merokok.

Selain itu, Hansen dalam Nasution (2007) juga menyatakan beberapa faktor

yang mempengaruhi perilaku merokok, yaitu: 1) faktor biologis, banyak penelitian

menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan salah satu bahan kimia yang

berperan penting pada ketergantungan merokok. Hal ini didukung oleh penemuan

kadar nikotin dalam darah perokok yang cukup tinggi; 2) faktor psikologis, bahwa

merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk,

mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan, juga dapat

memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering

bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari; 3) faktor

lingkungan sosial, bahwa lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan

dan perhatian individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku merokok dengan

memperhatikan lingkungan sosialnya; 4) faktor demografis, faktor ini meliputi

umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia dewasa semakin banyak.

Namun, pengaruh jenis kelamin saat ini tidak terlalu berperan karena baik pria

maupun wanita sudah merokok; 5) faktor sosial-budaya, bahwa kebiasaan budaya,

kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan akan

mempengaruhi perilaku merokok pada individu; 6) faktor sosial-politik, faktor ini

Universitas Sumatera Utara


menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah politik yang

bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan usaha

melancarkan kampanye promosi kesehatan untuk mengurangi perilaku merokok.

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka dan landasan teoritis yaitu: faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Hansen dalam Nasution (2007)

di atas, maka kerangka konsep penelitian ini, sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Faktor biologis, yaitu: ketergantungan

Faktor psikologis (personal), meliputi:


konsentrasi, menghalau kantuk, persaudaraan,
kesan modern, dan berwibawa.

Faktor lingkungan sosial, yaitu: memperhatian


lingkungan sosial
Perilaku Merokok

Faktor demografis, meliputi: usia,dan jenis


kelamin.

Faktor sosial-budaya, meliputi: kebiasaan


budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan,
penghasilan, dan gengsi pekerjaan.

Faktor sosial-politik, yaitu: kesadaran hukum akan


merokok.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: Diteliti : Tidak diteliti

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai