Anda di halaman 1dari 2

Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi menjadi semakin penting mengingat

aktivitas pemberian obat kepada pasien ternyata bukan sekedar penyerahan obat dari penyedia obat
kepada pasien.
Menurut Rinda dan Atmaja (2017), pengalaman dokter dalam berkolaborasi dengan
apoteker masih sangat terbatas sehingga diperlukan peran aktif apoteker dalam membangun
komunikasi dengan dokter agar kolaborasi dapat tercapai. Salah satu cara yang mampu
meningkatkan kolaborasi dokter dan apoteker adalah melalui suatu catatan pengobatan pasien yang
berperan seperti rekam medis yang dapat dibawa oleh pasien ke setiap tempat pelayanan kesehatan
yang dikunjunginya. Pada dasarnya penulisan rekam medik merupakan sumber informasi tentang
pasien yang dibuat bukan hanya untuk penulis tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat dalam
penanganan pasien pada saat tersebut atau di masa mendatang. Masalah yang sering timbul adalah
tulisan yang sulit dibaca oleh petugas lainnya, bahkan kadang-kadang penulis sendiri pada
kesempatan berikutnya tidak dapat membaca kembali tulisannya.
Wujud kerja sama atau kolaborasi antara dokter dan ahli farmasi antara lain, penelusuranan
informasi riwayat obat yang lengkap dan akurat, penyediaan informasi obat, pemanfaatan
evidencebased prescribing, deteksi dini kesalahan peresepan obat, pemantauan obat
(meningkatkan keamanan obat), meningkatkan cost-effectiveness dalam peresepan obat,
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masing-masing pihak demi kepuasan pasien. Kerja
sama yang tidak optimal dapat merugikan pasien. Oleh karena itu, dengan komunikasi yang baik
antara dokter dengan ahli farmasi sebenarnya banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama
dalam hal keamanan dan keselamatan (pengobatan) pasien. Namun dalam praktek sehari-hari baik
di rumah sakit (rawat inap) maupun rawat jalan, jalur untuk membina komunikasi ini sangatlah
minim atau tidak ada sama sekali. Jalur komunikasi yang tertata dalam sistem tidak pernah terjalin.
Komunikasi yang terjalin ketika masalah muncul sering kali terjadi secara informal dan
bersifat insidentil. Komunikasi informal ini memang dapat membantu, namun ada beberapa
komponen dalam berkomunikasi yang hilang sehingga belum memadai untuk sebuah kolaborasi.
Komunikasi informal (melalui telepon misalnya) sering kali waktunya (timing-nya) tidak tepat,
saat dokter menerima telepon belum tentu langsung dapat mengingat pasien mana yang sedang
dibicarakan. Jika seorang ahli farmasi harus menyampaikan pesan temannya yang kebetulan sudah
lewat waktu tugasnya namun belum sempat berjumpa dengan dokter yang merawat, maka belum
tentu ahli farmasi tersebut memahami betul keadaan klinis pasien sehingga hasil akhir
pembicaraan/ konsultasi tidak optimal. Agar komunikasi terjalin dengan efisien, interaksi/
komunikasi harus masuk dalam sebuah sistem (tim terpadu misalnya); akan ada kesempatan untuk
memperkenalkan diri dan menjelaskan peran ahli farmasi pada pengelolaan pasien yang
bersangkutan. Selanjutnya, baik dokter mau pun ahli farmasi dapat saling berbagi (dari sudut
pandang masing-masing) dan berdiskusi tentang pengelolaan pasien tersebut. Dengan sistem yang
dibangun seperti di atas maka kesalahan akibat miss communication dapat dihindari.
Komunikasi dalam dunia kesehatan sangatlah penting, salah satunya komunikasi antar petugas
(dokter dan apoteker). Pentingnya tujuan dari komunikasi antar dokter dengan apoteker adalah
sama sama meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal-hal yang akan dibahas dalam komunikasi
antar dokter dengan apoteker terkait tetntang dosis obat, kepatuhan pasien, riwayat pasien, dan
lain-lain.
Cara komunikasi yang dilakukan dapat melalui telepon, catatan rekam medis.

Anda mungkin juga menyukai