Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO KASUS 2

Sering Marah dan Pelupa

Seorang laki-laki berusia 75 diantar oleh anaknya ke poliklinik umum. Anaknya


menceritakan ayahnya sering marah-marah dirumah tanpa sebab yang jelas, sehingga
membuat tidak nyaman dilingkungan keluarga. Penderita juga sering lupa nama anak-
anaknya sendiri. Setelah dilakukan wawancara terhadap pasien dokter memperoleh
keterangan bahwa pasien sering marah karena merasa dirinya tidak berguna dalam
keluarga, dan berpikir hanya menyusahkan orang-orang disekitarnya, dia juga sering
merasa jengkel karena harus minum obat banyak tiap harinya, dalam sehari dia bisa
mengkonsumsi 5-6 macam obat.

STEP 1. KLARIFIKASI ISTILAH


-

STEP 2. RUMUSAN DAFTAR MASALAH


2.1 Perkembangan apa saja yang terjadi pada lansia ( psikologi, mental dan fisik)
2.2 Penyebab sering marah dan pelupa ?
2.3 Demensia (definisi, penyebab, patofisiologi, gejala, penatalaksanaan,
pencegahan dan prognosis) ?
2.4 Bagaimana pendekatan klinis pada lansia ?
2.5 Bagaimana pelayanan dan perawatan pada lansia ?
2.6 Apa pengaruh minum obat pada lansia (farmakodinamik dan farmakokinetik) ?
2.7 Depresi pada lansia ?

STEP 3. ANALISIS MASALAH


3.1 Perkembangan pada lansia
1. Perkembangan fisik
a. Kondisi tubuh menurun, jaringan pada kulit keriput, bungkuk
b. Pengelihatan menurun
c. Pendengaran menurun
d. Osteoporosis karena penurunan penyerapan kalsium dari tulang
2

e. Proses regenerasi sel menurun (homeostatis)


2. Perkembangan Psikologis
a. Bersyukur apa yang sudah dicapai
b. Mudah depresi
c. Mulai ada persiapan untuk kematian
d. Tipe-tipe perkembangan
1. Tipe konstruktif: Integritas baik, menikmati kehidupan, toleransi
tinggi, humoristik, fleksibel, tahu diri dan menikmati masa pensiun
dengan tenang.
2. Tipe ketergantungan atau dependent: Lansia masih diterima di
masyarakat dengan baik, tetapi selalu pasif, tidak terambisi, tidak
mempunyai inisiatif, dan bertindak tidak praktis, menikmati masa
tua dengan senang.
3. Tipe depensif: Pada masa kerja tidak mempunyai kerjaan yang
stabil, selalu bersifat menolak, emosi tidak stabil atau tidak
terkontrol, bersifat konfulsif-aktif tidak menyukai masa pensiun.
4. Tipe bermusuhan: Menganggap orang lain punya agresi, curiga,
menyukai masa tua, iri hati dan takut mati.
5. Tipe menyalahkan diri sendiri: Bersifat kritis, menyalahkan dii
sendiri, tidak punya ambisi, tidak takut mati karena mati adalah
akhir dari penderitaan.
6. Lebih deket pada anak dan cucu
7. Lebih baik dirawat oleh keluarga
3. Perkembangan Mental
a. Lebih sering mangingat hal yang baru daripada hal yang lama
b. Minat dan aktivitas berpikir menurun
c. Lebih berhati-hati dalam mangambil keputusan
d. Penurunan neurotransmiter menyebabkan penurunan kognitif pada
lansia
3.2 Penyebab Sering Marah dan Lupa
a. Faktor usia
b. Penurunan neurotransmiter
c. Lingkungan (keluarga dan masyarakat)
3.3 Demensia
a. Definisi: 1. suatu penurunan gangguan memori, kognitif dan tingkah laku
b. Etiologi:D= Drug
E= Emotional
M= Metabolik
E= Eye and ear
3

N= Nutrition
T= Tumor and trauma
I= Infeksi
A= Ateriosklerosis
c. Tipe: 1. Alzheimer
2. Multi infark
3. Reversibel
4. Gangguan lain (neurologik)
d. Patofisiologi: Penurunan pada neurotransmiter gangguan otak temporal
dan frontal volume otak menurun.
e. Gejala: 1. Halusinasi
2. Marah
3. Ilusi
4. Apatis
5. Eforia
6. Lemes
7. Depresi
f. Penatalaksanaan:1. ACE inhibitor
2. Acetilkolin
3. Antioksidan
4. Hormon estrogen
g. Prognosis: makin lama makin buruk.
3.4 Pendekatan Klinis
a. Anamnesis: sering marah, mudah lupa, merasa jengkel, merasa tidak berguna
dan riwayat mengkonsumsi obat.
b. Diagnosis: Demensia Alzheimer
DD: Alzheimer, multi infark, reversibel dan gangguan lain
3.5 Pelayanan Pada Lansia
a. Panti jompo
b. Posbindu
c. Poliklinik Geriatri
3.6 Pengaruh Obat (Farmakokinetik dan Farmakodinamik)
a. Terjadi penurunan akumulasi di otak
3.7 Depresi Pada Lansia
a. Karena perubahan pada SSP
b. Karena faktor psikologi
4

STEP 4. SISTEMATIKA MASALAH

Pengaruh Penyebab sering


Perkembangan marah dan lupa
konsumsi
pada lansia
obat Depresi
(fisik, psikologi
dan mental) Ganggua
Perawatan n kognitif Demensia
pada lansia pada
Pendekatan
lansia
Klinis
Klinis
Gambar 1.1 Skema Kasus

STEP 5. SASARAN BELAJAR


5.1 Proses penuaan otak pada lansia ?
5.2 Pengaruh konsumsi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik)
5.3 Perubahan metabolisme pada lansia ?
5.4 Dimensia ?
5.5 Depresi ?

STEP 6. BELAJAR MANDIRI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

STEP 7. PENJELASAN

1. Proses Penuaan Otak pada Lansia


Pengkajian dan penelitian otak pada era pasca 1960 membuktikan hal yang
lain, bahkan sebaliknya. Perkembangan otak menjadi tua terbukti dapat berlanjut
5

terus sampai usia berapapun kalau saja otak memperoleh stimulasi yang terus
menerus, baik secara fisik dan mental ( Kusumoputro, 2003 ). Hal ini disebut
juga kemampuan plastisitas otak yang terjadi juga pada usia lanjut. Walaupun
jumlah sel-sel otak berkurang setiap hari dengan beberapa puluh ribu sehari,
tetapi pengurangan ini tidak bermakna bila dibandingkan jumlah sel yang masih
ada sebagai cadangan. Ditambah lagi bukti-bukti penelitian yang menunjukkan
bahwa pada stimulasi lingkungan yang kaya (enriched environment), jaringan
antar sel dalam permukaan otak (corteks serebri) bertambah terus jumlahnya
sehingga dampaknya sumber daya otak dan kemampuan kognitif usia lanjut
dapat terus berkembang.
Proses menua sehat (normal aging) secara fisiologi juga terjadi kemunduran
beberapa aspek kognitif seperti kemunduran daya ingat (memori) terutama
memori kerja (working memory) yang amat berperan dalam aktifitas hidup
sehari-hari, hal ini menjelaskan mengapa pada sebagian lanjut usia menjadi
pelupa. Selain itu fungsi belahan otak sisi kanan (right brain) sebagai pusat
intelegensi dasar akan mengalami kemunduran lebih cepat daripada belahan otak
sisi kiri (left brain) sebagai pusat inteligensi kristal yang memantau pengetahuan.
Dampak dari kemunduran belahan otak sisi kanan pada lanjut usia antara lain
adalah kemunduran fungsi kewaspadaan dan perhatian.

Otak merupakan organ manusia yang paling canggih, karena sifatnya yang
adatif dan plastis dengan sel neuron yang berkwalifikasi tinggi. Otak yang menua
akan mengalami perubahan struktur dan kimiawi yang khas. Perubahan ini terjadi
secara heterogen dan terjadi biasanya pada usia 50 - 60 tahun. Beberapa orang
akan tampak perubahan makin nyata pada usia 70 an.
Otak akan kehilangan berpuluh-puluh ribu sel neuron ( sel otak ) setiap
harinya. Berat otak akan mengalami penurunan berangsur-angsur pada penuaan
dan pada usia lanjut otak akan kehilangan berat 150 - 200 gram dibandingkan
usia muda. Penurunan berat ini terjadi perlahan-lahan sampai usia 50 tahun,
kemudian turun secara lebih cepat. Otak pada usia 40 tahun mengalami atrofi
girus di bagian tertentu ( parasagital, frontal, dan temporal ). Sesudah usia 50
6

tahun, volum otak akan berkurang karena berkurangnya volum masa alba. Hal
demikian terjadi juga di bagian lain otak seperti di korteks asosiasi dan sistem
limbik, termasuk hipokampus. Sistem limbik merupakan pusat pengaturan proses
belajar ( pembelajaran ), memori dan emosi. Setiap dekade, hipokampus
kehilangan sel neuron sebanyak 5 persen sejak usia pertengahan. Sel neuron akan
sedikit berkurang di bagian hipothalamus, yaitu bagian otak yang mengatur
sekresi hormon. Selain itu pada penuaan otak juga terjadi perubahan timbulnya
plak amiloid dan neurofibrillary tangle. Perubahan tersebut mirip yang terjadi
pada penyakit alzheimer, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil. Dilihat dari aspek
fungsi luhur terjadi pula penurunan berbagai fungsi akibat perubahan fisiologis
pada proses menua otak. Fungsi yang menurun secara linier dengan
bertambahnya usia, antara lain adalah daya ingat (memori) berupa penurunan
kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang
telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from
memory). Penurunan linier fungsi secara normal ini tidak terjadi pada
kemampuan kognisi dan tidak mempengaruhi rentang kehidupan. Walaupun
belum ada data pasti, tetapi orang menduga bahwa pada usia sekitar 70 tahun
terjadi penurunan kemampuan daya ingat sebanyak 25 % dibandingkan sewaktu
masih berusia 20 tahun.
2. Pengaruh konsumsi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik)

A. FARMAKOKINESIS

Ini terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.


Sesudah diabsorpsi, obatmelewati hati dan mengalami metabolisme pintas
awal. Bila tahap ini turun, sisa dosis obat yang masuk dalam darah dapat
melebihi perkiraan dan mungkin menambah efek obat, bahkan sampai efek
yang merugikan (ADR, adverse drug reaction = efek obat yang
merugikan). Pada obat dengan metabolisme pintas awal tinggi ada beda besar
antara dosis intravena (rendah) dan dosis oral (tinggi). Makanan dan obat lain
dapat memengaruhi absorpsi obat yang diberikan oral (lihat pembahasan segi
7

interaksi). Distribusi obat dipengaruhi oleh berat dan komposisi tubuh, yaitu
cairan tubuh, massa otot, fungsi dan peredaran darah berbagai organ, juga organ
yang mengatur ekskresi obat. Kadar albumin plasma memastikan kadar obat
bebas dalam sirkulasi. Hal ini memerlukan pedoman yang menyesuaikan
dosis obat dengan berat badan untuk meningkatkan rasio risiko/kegunaan
pada pasien tua yang kurus. Metabolisme di hati dipengaruhi oleh umur,
genotipe, gaya hidup, curah jantung, penyakit dan interaksi antara berbagai
obat. Obat dapat mengalami bio-transformasi di hati dengan cara oksidasi
(mengaktifkan obat) dan konjugasi (obat jadi inaktif). Mengecilnya massa
hati dan proses menua dapat memengaruhi metabolisme obat. Untuk obat
yang ekskresinya terutama liwat ginjal pedoman bersihan kreatinin 24 jam
penting diperhatikan, yaitu untuk memperkirakan dosis awal. Kadar kreatinin
serum tidak menggambarkan penurunan fungsi ginjal karena massa otot
berkurang pada proses menua. GFR (glom.filtr.rate) lebih penting danjika turun
sampai 10-50 ml/menit, dosis obat harus disesuaikan.

B. FARMAKODINAMIK

Ada perubahan lain pada usia lanjut, yaitu perubahan reaksi pada
reseptor seperti penurunan kegiatan reseptor adrenergik J3 atau perubahan di
jaringan dan organ, berakibat kesadaran makin turun. Sebagai contoh : hilang
ingatan dengan benzodiazepin. Perubahan mekanisme homeostasis tidak
mampu mengurangi denyut jantung dan menurunkan curah jantung waktu
tekanan darah naik akibat obat pada pasien muda. Hipotensi postural akibat
obat tertentu pada pasien tua disebabkan kurang tanggapnya pengendalian
liwat pembuluh darah tepi yang menghasilkan tekanan darah. Perubahan
farmakokinesis dan farmakodinamik obat harus diperhatikan oleh dokter
8

yang meresepkan obat kepada pasien tua. Makin besar jumlah obat baru tidak
memudahkan tugas ini.

Faktor lain yang berperan pada pemberian obat ialah multipatologi


(adanya lebih dari satu penyakit) pada pasien geriatri.

C. MULTIPATOLOGI DAN PENGOBATAN

Walaupun cara nonfarmakologi juga merupakan pilihan dalam


penanganan berbagai masalah, obat tetap menjadi pilihan utama sehingga
macam dan jumlah obat banyak.

D. POLIFARMASI

Ada beberapa definisi untuk istilah ini : 1). Meresepken obat melebihi
indikasi klinis; 2). Pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang
tidak perlu; 3). Penggunaan empirik lima obat atau lebih. Telah dibuktikan
bahwa pada pasien usia lanjut sering terjadi interaksi antara obat yang
digunakan; makin banyak obat, makin sering interaksinya Beberapa jenis
/nteraksi serta akibatnya perlu diketahui:

1. Jenis Interaksi dan Akibatnya

a) Obat-makanan. Bila absorpsi obat sangat dipengaruhi makanan, obat


haras digunakan sebelum atau sesudah makan, tergantung toleransi
pasien terhadap obat waktu puasa. Contoh : antikoagulasi warfarin
berkurang pada suplemen nutrisi berisi vitamin K.

b) Obat-penyakit. Penyakit yang mengenai hati dan ginjal atau yang


menghambat sampainya obat ke organ itu menyebabkan interaksi yang
landasannya farmakokinesis dan farmakodinamik. Contoh : perabahan
prednison menjadi bentuk aktif prednisolon terhambat, obstipasi
bertambah karena suplemen Ca dan opioid.
9

c) Obat-obat. Interaksi di sini juga berlandasan farmakokinesis dari


tahap absorpsi sampai ekskresi. Landasan farmakodinamik dapat
terjadi bila NSAID diberikan bersama antikoagulan oral, yang dapat
menambah risiko perdarahan. Risiko dan akibat yang dibahas di atas
sebaiknya menjadi pedoman untuk menghindari polifarmasi. Suatu
tulisan tentang 50 pasien diabetes usia lanjut dengan berbagai
komplikasi melaporkan bahwa 74 % menggunakan kurang dari lima
obat.

d) Interaksi Farmakodinamik

1. Interaksi yang menyebabkan efek yang berlawanan


Beta-bloker menghilangkan (antagonis) efek bronkodilatasi
aktivator 2-adrenoceptor (salbutamol atau terbutaline) yang
digunakan untuk asma.
Efek catecholamine pada denyut jantung (via aktivasi -
adrenoceptor) diantagonis oleh inhibitor acetylcholinesterase yang
bekerja melalui ACh (via reseptor muscarinik).
Antagonis oleh obat agonis-antagonis (mis, pentazocine) atau oleh
partial agonis (mis, pindolol), yang harus hati-hati bila digunakan
dengan obat agonis murni.
Beberapa obat antagonis tidak mengalami interaksi reseptor.
Misalnya, nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) dapat
menurunkan efek antihipertensi ACE inhibitor dengan
menurunkan eliminasi sodium via renal.
2. Interaksi yang menyebabkan efek aditif
Interaksi Aditif adalah jumlah efek 2 obat. Kedua obat tersebut
bisa bekerja pada reseptor yang sama atau reseptor yang berbeda.
Penggunaan tricyclic antidepressant dengan diphenhydramine atau
promethazine menimbulkan atropine-like effect yang berlebihan
10

karena semua obat ini mempunyai efek mem-blok reseptor


muscarinik.
Efek depresi SSP aditif disebabkan karena pemberian sedative,
hypnotic, dan opioid, bersama dengan konsumsi ethanol.
Obat-obat hipertensi yang diberikan bersamaan, dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat rendah.
Efek aditif obat anticoagulant menyebabkan komplikasi
perdarahan. Efek samping perdarahan dapat meningkat bila
warfarin yang diberikan bersama dengan aspirin (via efek
antiplatelet, inhibisi biosintesis platelet thromboxane A2
menyebabkan perdarahan lambung), quinidine (aditif
hypoprothrombinemia), thrombolytic (via aktivasi plasminogen,),
dan hormon thyroid (via peningkatan katabolisme clotting factor).
Warfarin ber-kompetisi dengan vitamin K, mencegah sintesa
hepatik berbagai faktor koagulasi. Bila produksi vitamin K di
intestine di-inhibisi (mis, oleh antibiotik), maka efek antikoagulan
warfarin meningkat.

e) Interaksi Farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi obat dari traktus gastrointestinalis dipengaruhi oleh
senyawa :
yang mengikat obat
o antasida: menurunkan absorpsi GIT digoxin, ketoconazole,
antibiotik quinolone, dan tetracycline.
o erythromycin meningkatkan bioavailabilitas oral digoxin, dengan
cara menurunkan flora usus yang men-degradasi digoxin.
o makanan yang tinggi kalsium dengan tetracycline akan
membentuk senyawa kompleks yang tidak bisa diabsorpsi
o zat besi dengan teh
11

o colestyramine (bile acid-binding resin - untuk terapi


hypercholesterolaemia) mengikat warfarin dan digoxin
sehingga tidak di-absorpsi.
yang meningkatkan (metoclopramide) atau menurunkan
(antimuskarinik atropine, opiate) motilitas gastrointestinal
Senyawa dalam jus anggur dan obat yang meng-inhibisi P-
glycoprotein transporter obat pada intestinal epithelium, dapat
meningkatkan absorpsi obat yang menjalani proses ini.
2. Distribusi Obat
Pergeseran obat dari binding site di plasma atau jaringan dapat
meningkatkan kadar obat bebas / tak terikat, tetapi hal ini diikuti
dengan peningkatan eliminasi sehingga terjadi steady state baru,
dimana kadar obat total di plasma menurun tetapi kadar obat bebas
sama dengan sebelum digeser oleh obat lain.
Ada beberapa keadaan klinis yang penting:
Dapat terjadi toksisitas apabila kadar obat bebas meningkat
sebelum steady state yang baru tercapai.
Apabila merubah dosis untuk memenuhi target kadar plasma total,
harus diingat bahwa kadar terapetik target akan dipengaruhi oleh
obat yang menggeser.
Bila obat kedua yang menggeser, menurunkan eliminasi obat
pertama, maka kadar obat bebas meningkat bukan hanya akut
tetapi juga kronis pada steady state yang baru, dapat menyebabkan
toksisitas berat.

Tabel 1. Interaksi Obat


Obat yang Obat yang dipengaruhi Keterangan
menyebabkan
interaksi
Alcohol CNS depressants Additive CNS
depression, sedation,
ataxia, increased risk of
accidents
12

Acetaminophen Increased formation of


hepatotoxic
metabolites of
acetaminophen
Aminoglycosides Loop diuretics Enhanced ototoxicity
Antacids Digoxin, iron supplements, Decreased gut
fluoroquinolones, absorption due either to
ketoconazole, reaction with the drug
tetracyclines, thyroxine affected or reduced gut
acidity
Antibiotics Estrogens, including oral Many antibiotics lower
contraceptives estrogen levels and
reduce contraceptive
effectiveness
Antihistamines Anti muscarinics, sedatives Additive effects with
(H1-blockers) the drugs affected

Antimuscarinic Drugs absorbed from the small Slowed onset of effect


drugs intestine because stomach
emptying is delayed
Barbiturates, Azoles, calcium channel Increased clearance of
especially blockers, cyclosporine, the affected drugs due
Phenobarbital propranolol, protease to enzyme induction,
inhibitors, quinidine, steroids, possibly leading to
warfarin, and many other decreases in drug
drugs metabolized in the liver effectiveness

Beta-blockers Insulin Masking of symptoms


of hypoglycemia
Prazosin Increased first-dose
syncope
Bile acid-binding Acetaminophen, digitalis, Reduced absorption of
resins thiazides,thyroxine the affected drug
Carbamazepine Cyclosporine, doxycydine, Reduced effect of other
estrogen, haloperidol, drugs because of
theophylline, warfarin induction of
metabolism
Cimetidine Benzodiazepines, lidocaine, Increased effect of
phenytoin, propranolol, other drugs due to
quinidine, theophylline, inhibition of hepatic
warfarin metabolism
Disulfiram Ethanol Increased hangover
metronidazole, effect of ethanol
certain because aldehyde
13

cephalosporins dehydrogenase is
blocked
Erythromycin Carbamazepine, cisapride, Risk of toxicity due to
quinidine, sildenafil, inhibition of
theophylline metabolism these drugs
Furanocoumarins Aprazolam, Increased effect of
(grapefruit atorvastatin, cydosporine, other drugs due to
juice) midazolam, triazolam inhibition of
hepatic metabolism
Ketoconazole and Benzodiazepines, cisapride Risk of toxicity due to
other azoles cyclosporine, fluoxetine, inhibition of
lovastatin, omeprazole, metabolism of these
quinidine,tolbutamide,warfarin drugs
MAO inhibitors Catecholamine releasers Increased NE in
(amphetamine, ephedrine) sympathetic nerve
endings released by the
interacting drugs
Tyramine-containing foods Hypertensive crisis
and beverages
Nonsteroidal anti- Anticoagulants Increased bleeding
tendency because of
inflammatory reduced platelet
drugs aggregation

ACE inhibitors Decreased anti


hypertensive efficacy
of ACE inhibitor
Loop diuretics, thiazides Reduced diuretic
efficacy
Phenytoin Doxycycline, methadone, Increased metabolism
quinidine, verapamil of other drugs due to
induction; decreased
efficacy

Quinidine Digoxin Increased digoxin


levels due to decreased
clearance;
displacement may play
a role
Rifampin Azole antifungal drugs, Decreased efficacy of
corticosteroids, these drugs due to
methadone, theophylline, hepatic P450 isozymes
tolbutamide
Ritonavir Benzodiazepines, Decreased metabolism
14

cyclosporine, diltiazem, of other drugs;


dronabinol, HMG-CoA increased effects may
reductase inhibitors, lidocaine, lead to toxicity
metaprolol, other HIV
protease inhibitors,
propoxyphene, selective
serotonin reuptake inhibitors
Salicylates Corticosteroids Additive toxicity of
gastric mucosa
Heparin, warfarin Increased bleeding
tendency
Methotrexate Decreased clearance,
causing greater
methotrexate toxicity
Sulfinpyrazone Decreased uricosuric
effect
Selective MAO inhibitors, meperidine, Serotonin syndrome
serotonin tricydic antidepressants, hypertension,
reuptake St. John's wort tachycardia, muscle
inhibitors rigidity, hyperthermia,
seizures
Thiazides Digitalis Increased risk of
digitalis toxicity
because thiazides
diminish potassium
stores
Lithium Increased plasma levels
of lithium due to
decreased total body
water
Warfarin Amiodarone, cimetidine, Increased anticoagulant
disulfiram, erythromycin, effect via inhibition of
fluconazole, lovastatin, warfarin metabolism
metronidazole
Anabolic steroids, aspirin, Increased anticoagulant
NSAIDs, quinidine,thyroxine effects via
pharmacodynamic
mechanisms
Barbiturates, carbamazepine, Decreased
phenytoin, rifabutin, rifampin, anticoagulant effect
St. John's wort due to increased
clearance of warfarin
via induction of hepatic
P450 isozymes
15

Tabel 2. Obat induksi enzim metabolisme

Obat yang Obat yang metabolismenya dipengaruhi


induksi enzim
Phenobarbital Warfarin
Rifampicin Kontrasepsi oral
Griseofulvin Corticosteroid
Phenytoin Ciclosporin
Ethanol Obat-obat di kolom kiri juga dipengaruhi
Carbamazepine

Tabel 3. Obat inhibisi enzim metabolisme

Obat yang inhibisi Obat yang metabolismenya dipengaruhi


enzim
Allopurinol Mercaptopurine, azathioprine
Chloramphenicol Phenytoin
Cimetidine Amiodarone, phenytoin, phethidine
Ciprofloxacin Theophylline
Corticosteroids Trycyclic antidepressants, cyclophosphamide
Disulfiram Warfarin
Erythromycin Ciclosporin, theophylline
Monoamine Pethidine
oxidase inhibitors
Ritonavir Saquinavir

E. PRINSIP PENGOBATAN PADA USIA LANJUT


Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Riwayat pemakaian obat
Informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan,
mengingat sebelum datang ke dokter. umumnya penderita sudah
melakukan upaya pengobatan sendiri.
16

Informasi ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah


keluhan/penyakitnya ada kaitan dengan pemakaian obat (efek samping),
serta ada kaitannya dengan pemakaian obat yang memberi interaksi.
2. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat.
Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada
kecurigaan diagnosis ke arah dispepsia.
3. Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu
dilakukan untuk menghindari kemungkinan intoksikasi, karena penanganan
terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih sulit.
4. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi
resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis
obat. Jika terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan
cara pemberian yang bisa dilakukan pada saat yang bersamaan.

3. Perubahan metabolisme pada lansia

Hepar berperan penting dalam metabolisme obat, tidak hanya


mengaktifkan obat ataupun mengakhiri aksi obat tetapi juga membantu
terbentuknya metabolit terionisasi yang lebih polar yang memungkinkan
berlangsungnya mekanisme ekskresi ginjal. Kapasitas hepar untuk
memetabolisme obat tidak terbukti berubah dengan bertambahnya umur, tetapi
jelas terdapat penurunan aliran darah hepar yang tampaknya sangat
mempengaruhi kemampuan metabolisme obat. Pada usia lanjut terjadi pula
penurunan kemampuan hepar dalam proses penyembuhan penyakit, misalnya
oleh karena virus hepatitis atau alkohol. Oleh sebab itu riwayat penyakit hepar
terakhir seorang lanjut usia sangat perlu dipetimbangkan dalam pemberian obat
yang terutama dimetabolisme di hepar. Sementara itu beberapa penyakit yang
sering pula terjadi pada usia lanjut seperti misalnya kegagalan jantung kongestif,
secara menyolok dapat mengubah kemampuan hepar untuk memetabolisme obat
dan dapat pula menurunkan aliran darah hepar.
17

Tabel 4. Perubahan yang terjadi pada lansia


1. Integumen
Warna Kulit Pigmentasi berbintik/bernoda di area yang terpajan sinar
matahari, pucat walaupun tidak ada anemia 18
Kelembaban Kering, kondisi bersisik
Suhu Ekstremitas lebih dingin, penurunan perspirasi
Tekstur Penurunan elastisitas, kerutan, kondisi berlipat dan kendur
Distribusi Penurunan jumlah lemak pada ekstremitas, peningkatan
lemak jumlahnya pada abdomen
2. Rambut
Penipisan dan beruban pada kulit kepala, penurunan jumlah rambut aksila dan
pubis serta rambut pada ekstremitas, penurunan rambut wajah pada pria,
kenungkinan rambut dagu dan di atas bibir pada wanita
3. Kuku
Penurunan laju pertumbuhan
4. Kepala
Tulang nasal dan wajah menajam dan angular, hilangnya rambut alis mata pada
wanita, alis mata tebal pada pria
5. Mata
Penurunan ketajaman penglihatan, penurunan akomodasi, penurunan adaptasi
dalam gelap, sensitivitas terhadap cahaya yang menyilaukan
6. Telinga
Penurunan membedakan nada, berkurangnya refleks ringan, berkurangnya
ketajamna pendengaran
7. Hidung dan sinus
Peningkatan rambut nasal, penurunan indra pengecapan, atropi papila ujung
lateral lidah
8. Mulut dan faring
Penggunaan jembatan atau gigi palsu, penurunan indra pengecap, atrofi papila
tepi lateral lidah
9. Leher
Kelenjar tiroid nodular, deviasi trakea ringan akibat atofi otot
10. Toraks dan paru-paru
Peningkatan diameter antero-posterior, peningkatan rigiditas dada, peningkata
frekuensi pernafasan dengan penurunan ekspansi paru, peningkatan resistansi
jalan nafas
11. Sistem jantung dan vaskular
Peningkatan signifikan pada tekanan sistolik dengan peningkatan ringan pada
tekanan diastolik, biasanya terjadi perubahan yang tidak signifikan pada denyut
jantung saat istirahat, murmur diastolik umum, nadi perifer mudah dipalpasi,
nadi kaki lebih lemah dan ekstremitas bawah lebih dingin, terutama pada
malam hari
12. Payudara
Berkurangnya jaringan payudara, kondisi menggantung dan kendur
13. Sistem gastrointestinal
Penurunan sekresi saliva yang dapat menyebabkan kesulitan menelan,
penurunan peristaltik, penurunan produksi enzim digestif, termasuk asam
hipoklorit, pepsin dan enzim pankreatik, konstipasi, penurunan motilitas
19

4. Dimensia

1. DEFINISI
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat
dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan,
bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi,
pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu diagnosis demensia
menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV) mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial
atau pekerjaan yang berat dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi
sebelumnya.
2. KLASIFIKASI
Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.
a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik: Hal ini meliputi
hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi, kompleks
demensia AIDS, dan sebagainya.
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi: Kelompok ini
meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses demielinasi
lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma otak; infeksi
otak dan meningeal; dan sejenisnya.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang
mencolok: Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick adalah termasuk
dalam kategori ini.
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan
demensia subkortikal. Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara
demensia yang reversibel dan irreversibel (tabel).

Tabel 5. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal


Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
20

Aktivitas Normal Lamban


Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara Normal Ataksia, festinasi, seolah
berjalan berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia
Output Normal Disatria, hipofonik, volum suara
verbal lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia, Normal
anomia
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara (dilapidated)
memanipulasi
pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan retrieval)
belajar)
Kemampuan Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
visuo- konstruksi) gerakan)
spasial
Keadaan Abnormal (tak Abnormal (kurang dorongan
emosi memperdulikan, tak drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear Palsy,
Parkinson, Penyakit Wilson,
Huntington.

Tabel 6. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang belum dapat


diobati/ irreversibel.
Primer degenerative
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
21

- Progressive Supranuclear Palsy


- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses

Tabel 7. Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel


Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-
konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi
(Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik
(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine,
Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-
sistemik hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera;
hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi
pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal,
atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi
hepatolenticular.
Gangguan insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau
intrakranial encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor,
abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis,
normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen- systemic lupus erythematosus, temporal arteritis,
vascular sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,
trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury,
arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,
22

bromide, hydrocarbons.

3. ETIOLOGI
Demensia mempunyai banyak penyebab, tetapi demensia tipe Alzheimer
dan demensia vaskular sama-sama berjumlah 75 persen dari semua kasus.
Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit
Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma kepala.
3.1. Demensia tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang
selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia
menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan
demensia progresif selama empat setengah tahun. Diagnosis akhir penyakit
Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; namun
demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan
klinis setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari
pertimbangan diagnostik.
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak
diketahui penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari
setengah penderita yang meninggal karena demensia senil mengalami
penyakit jenis Alzheimer ini. Pada kebanyakan penderita, berat kasar otak
pada saat otopsi jauh lebih rendah dan ventrikel dan sulkus jauh lebih besar
dibandingkan yang normal untuk seukuran usia tersebut. Demielinasi dan
peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan
ventrikel lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemisfer
serebrum pada penderita manula, khususnya mereka yang menderita
penyakit Alzheimer.
Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat
peningkatan dramatis (dibandingkan dengan penderita manula normal)
dalam jumlah kekusutan neurofibril dan plak neuritik dan juga penurunan
23

60-90 persen dalam kadar kolin asetiltransferase (enzim yang menghasilkan


sintesis asetilkolin) di korteks.
3.2. Demensia Vaskular
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit
vaskular serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala
demensia. Gangguan dulu disebut sebagai demensia multi-infark dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang di
revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling sering pada laki-laki,
khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya atau
faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark
menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang
luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah oleh plak
arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai
contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung.
3.3. Penyakit Pick
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit
Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam
daerah frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan
neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab penyakit Pick
tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima persen dari semua
demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki,
khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama dengan
kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe
Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh
perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif
bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya,
24

hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah jauh lebih sering pada


penyakit Pick dibandingkan pada penyakit Alzheimer.
3.4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang
jarang, yang disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat
ditransmisikan (yaitu, agen infektif), paling mungkin suatu prion, yang
merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau RNA.
Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion adalah scrapie
(penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem saraf pusat
yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan
melalui kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-Straussler (suatu
demensia progresif, familial, dan sangat jarang). Semua gangguan yang yang
berhubungan dengan prion menyebabkan degenerasi berbentuk spongiosa
pada otak, yang ditandai dengan tidak adanya respon imun inflamasi.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-
Jakob dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea
atau instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit,
tampaknya sporadik, mengenai individual dalam usia 50-an. Terdapat bukti
bahwa periode inkubasi mungkin relatif singkat (satu sampai dua tahun) atau
relatif lama (delapan sampai 16 tahun). Onset penyakit ditandai oleh
perkembangan tremor, ataksia gaya berjalan, mioklonus, dan demensia.
Penyakit biasanya secara cepat progresif menyebabkan demensia yang berat
dan kematian dalam 6 sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal
biasanya tidak mengungkapkan kelainan, dan pemeriksaan tomografi
komputer dan MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan yang
lanjut. Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang
tidak biasa, yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan
tinggi.
3.5. Penyakit Binswanger
25

Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik


kortikal. Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil
pada substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Walaupun penyakit
Binswanger sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan
teknik pencitraan yang canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi
magnetik (magnetic resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa
kondisi tersebut adalah lebih sering daripada yang sebelumnya dipikirkan.
3.6. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan
demensia. Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe
demensia subkortikal, yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih
banyak dan kelainan bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe demensia
kortikal (tabel 1). Demensia pada penyakit Huntington ditandai oleh
perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang kompleks,
tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada stadium awal dan
menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia
menjadi lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe
Alzheimer adalah tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping
gangguan pergerakan koreoatetoid yang klasik.
3.7. Penyakit Parkinson
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit
pada ganglia basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi.
Diperkirakan 20 sampai 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson
menderita demensia, dan tambahan 30 sampai 40 persen mempunyai
gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur. Pergerakan yang lambat
pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah disertai dengan berpikir yang
lambat pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri yang disebut oleh
beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).
3.8. Demensia yang berhubungan dengan HIV
26

Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali


menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi
dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen.
Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma immunodefisiensi didapat
(AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf pusat saat otopsi.
Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai
oleh tampaknya kelainan parenkimal pada pemeriksaan MRI.
3.9. Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala
Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala,
demikian juga berbagai sindroma neuropsikiatrik.
4. GAMBARAN KLINIK
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan
gangguan kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam
hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga
mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja,
berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari
lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.
4.1. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru,
atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari.
Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi.
Penderita seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang
meninggalkan bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing
terhadap tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori
menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah,
tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri.
4.2. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang,
tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama
27

perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia


mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar
mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak
menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
4.3. Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda.
Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan
ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak
menentu misalnya anu, itu, apa itu. Bahasa lisan dan tertulis dapat
pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau
mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan
apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang suara atau kata
terus-menerus.
4.4. Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun
kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap
baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda
tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali
(melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak,
mengenakan pakaian, menggambar.
4.5. Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi
benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat
mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak
mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak
pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak
mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang
disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
4.6. Gangguan fungsi eksekutif
28

Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia.


Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau
jaras-jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi
eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan,
mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan
kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul
sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi
yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
4.7. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang
paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian
sebelumnya mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien
dengan demensia juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang
memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien
demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan
terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan
frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang
jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk
pemeriksaan suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-
teman, dan perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien
yang berusia lebih dari 40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis demensia
harus dipertimbangkan dengan cermat.
Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa harus
diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan, penyangkalan, atau
rasionalisasi yang ditujukan untuk menyembunyikan defisit kognitif.
Keteraturan yang berlebihan, penarikan sosial atau kecenderungan untuk
menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam perincian yang kecil-kecil dapat
merupakan karakteristik. Ledakan kemarahan yang tiba-tiba atau sarkasme
29

dapat terjadi. Penampilan dan perilaku pasien harus diperhatikan. Labilitas


emosional, dandanan yang kotor, ucapan yang tidak tertahan, gurauan yang
bodoh, atau ekspresi wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong
menyatakan adanya demensia, terutama jika disertai dengan gangguan ingatan.
5.1. Demensia tipe Alzheimer
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk demensia tipe Alzheimer
menekankan adanya gangguan ingatan dan disertai terdapatnya sekurang-
kurangnya satu gejala lain dari penurunan kognitif (afasia, apraksia, agnosia,
atau fungsi eksekutif yang abnormal). Kriteria diagnostik juga memerlukan
suatu penurunan yang terus menerus dan bertahap pada fungsi, gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan, dan menyingkirkan penyebab demensia lainnya.
DSM-IV menyatakan bahwa usia dari onset dapat digolongkan sebagai awal
(pada usia 65 tahun atau kurang) atau lambat (setelah usia 65 tahun) dan
gejala perilaku yang predominan dapat diberi kode dengan diagnosis, jika
sesuai.
5.2. Demensia Vaskular
Gejala umum dari demensia vaskular adalah sama dengan gejala untuk
demensia tipe Alzheimer, tetapi diagnosis demensia vaskular memerlukan
bukti klinis maupun laboratoris yang mendukung penyebab vaskular dari
demensia.
5.3. Demensia karena kondisi medis lainnya
DSM-IV menuliskan enam penyebab spesifik demensia yang dapat
diberi kode secara langsung: penyakit HIV, trauma kepala, penyakit
Parkinson, penyakit Huntington, penyakit Pick, dan penyakit Creutz-feldt-
Jakob. Suatu kategori ketujuh memungkinkan dokter menspesifikasi kondisi
medis nonpsikiatrik lainnya yang berhubungan dengan demensia.
5.4. Demensia menetap akibat zat
Alasan utama bahwa kategori DSM-IV ini dituliskan dengan demensia
dan gangguan yang berhubungan dengan zat adalah untuk mempermudah
dokter berpikir tentang diagnosis banding. Zat spesifik yang merupakan
30

referensi silang DSM-IV adalah alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, atau


ansiolitik, dan zat lain atau yang tidak diketahui.
6. TERAPI
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan
dilakukan tepat pada waktunya. Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan
fisik, dan tes laboratorium, termasuk pencitraan otak yang tepat, harus
dilakukan segera setelah diagnosis dicurigai. Jika pasien menderita akibat suatu
penyebab demensia yang dapat diobati, terapi diarahkan untuk mengobati
gangguan dasar.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk
gejala perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien,
lingkungan yang mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik
diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan
simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi
dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris, dan pengobatan
masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus,
dan disfungsi kardiopulmonal. Perhatian khusus karena diberikan pada
pengasuh atau anggota keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan
masalah psikologis saat mereka merawat pasien selama periode waktu yang
lama.

Obat untuk demensia:


a. Cholinergic-enhancing agents
31

Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan


penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan
hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian secara
keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia alzheimerntidak semata-
mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini juga
disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara itu,
kombinasi kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks;
pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena dapat terjadi
interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.

b. Choline dan lecithin


Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia
Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan
memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada
neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan lecithin merupakan
salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun demikian tidak
memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline ada sedikit
perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual. Dengan lecithin
hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis yang berlebih
sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan dalam cairan
serebrospinal naik sampai 58 persen.
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh
perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat semantik yang
berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan
psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki daya konsentrasi
dan memperbaiki keadaan umum.
d. Nootropic agents
32

Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering
digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-dergocrine
mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin. Co-
dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara
mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen
otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi
bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak
bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku.
e. Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type
calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic
dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan saraf
pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk mengembalikan fungsi
kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis Alzheimer.
Nimodipin memelihara sel-sel endothelial/kondisi mikrovaskular
tanpa dampak hipotensif; dengan demikian sangat dianjurkan sebagai
terapi alternatif untuk lansia terutama yang mengidap hipertensi
esensial.

5. Depresi

1. PENGERTIAN DEPRESI
Dadang Hawari (2001) menyebutkan Depresi adalah gangguan alam
perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang
mendalam dan berkelanjutan sehingga menyebabkan hilangnya kegairahan
hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA masih baik), kepribadian yang utuh (tidak mengalami keretakan
kepribadian/spliting of personality, perilaku dapat mengganggu tetapi masih
dalam batas-batas normal.
2. STRESOR PENCETUS
33

Stuart dan Sundeen (1998), menyatakan ada empat sumber utama yang
dapat mencetuskan gangguan alam depresi yaitu :
A. Kehilangan keterikatan
Kehilangan nyata atau yang dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
B. Peristiwa besar dalam kehidupan
Kegagalan dalam memyelesaikan masalah, kegagalan dalam upaya
yang keras sehingga menimbulkan ketidak berdayaan, menyalahkan diri
sendiri, keputusasaan, dan rasa tidak berharga.
C. Peran dan ketegangan peran
Sering ditemukan adanya ketegangan peran dimana peran tidak sesuai
ataupun ketidak mampuan melaksanakan peran dapat menjadi stressor
pencetus depresi.
D. Perubahan fisiologik
Diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik kronik yang
melemahkan tubuh seperti infeksi, neoplasma, gangguan keseimbangan
metabolik, dan HIV/AIDS.
3. FAKTOR RISIKO DEPRESI
Menurut Amir N (2005), faktor resiko depresi adalah jenis kelamin
(wanita lebih cepat depresi dibandingkan laki-laki), usia rata-rata awitan
antara 20-40 tahun), status perkawinan terutama individu yang bercerai atau
berpisah, geografis (penduduk dikota lebih sering depresi daripada penduduk
di desa), riwayat keluarga yang menderita gangguan depresi (kemungkinan
lebih sering terjadi depresi), kepribadian : mudah cemas, hipersensitif, dan
lebih tergantung orang lain, dukungan sosial yaitu seseorang yang tidak
terintegrasi ke dalam masyarakat, stresor sosial : peristiwa-peristiwa baik akut
maupun kronik, tidak bekerja terutama individu yang tidak mempunyai
pekerjaan atau menganggur.
Depkes RI (2001) menyatakan ada beberapa keadaan yang beresiko
menimbulkan depresi yaitu kehilangan/meninggal orang (objek) yang dicintai,
34

sikap psimistik, kecendrungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman


yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi, berpenyakit degeneratif
kronik, tanpa dukungan sosial yang kuat.
4. GAMBARAN KLINIS DEPRESI PADA USIA LANJUT.
Mengenali depresi pada usia lanjut memerlukan suatu keterampilan dan
pengalaman, karena manifestasi gejala-gejala depresi klasik (perasaan sedih,
kurang semangat, hilangnya minat/hobi atau menurunya aktivitas) sering tidak
muncul. Sangat tidak mudah untuk membedakan sekuele gejala psikologik
akibat penyakit fisik dari gangguan depresi atau gejala somatik depresi dari
efek sistemik penyakit fisik. Keduanya bisa saja terjadi pada seorang individu
usia lanjut pada saat yang sama. Usia lanjut yang mengalami depresi bisa saja
mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan menyangkal
adanya mood depresi, yang sering terlihat adalah gejala hilangnya
tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur, atau kehilangan rasa
sakit/nyeri (Depkes RI, 2001).
Menurut Brodaty, 1991 dalam Depkes RI (2001), gejala yang sering
muncul adalah anxietas atau kecemasan, preokupasi gejala fisik, perlambatan
motorik, kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran bunuh diri, dan insomnia.
Sedangkan gejala depersonalisasi, rasa bersalah, minat seksual menurun agak
jarang. Sebagai petunjuk kearah depresi perlu diperhatikan tanda-tanda
berikut (Depkes RI, 2001) : rasa lelah yang terus menerus bahkan juga
sewaktu beristirahat, kehilangan kesenangan yang biasanya dapat ia nikmati
(tidak merasa senang lagi jika dikunjungi oleh cucu-cucunya), dan mulai
menarik diri dari kegiatan dan interaksi sosial.
Gambaran klinis depresi pada usia lanjut dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda berbeda, usia lanjut cenderung meminimalkan atau
menyangkal mooddepresinya dan lebih banyak menonjolkan gejala
somatiknya, disamping mengeluh tentang gangguan memori, juga pada
umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena kurang dapat
35

menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan depresi yang


mereka alami.
5. DIAGNOSA DEPRESI
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ
III (Pedoman Penggolongan Diagnosis gangguan Jiwa di Indonesia III) yang
merujuk pada ICD 10 (International Classification of Deseases 10).
Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang, dan berat sesuai
dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap kehidupan
seseorang.
Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders IV). Depresi berat menurut DSM IV jika
ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut dibawah ini, yang terjadi hampir
setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari gejala tersebut adalah mood
terdepresi atau hilangnya rasa senang/minat.
Gejala-gejala tersebut :
1. Mood depresi hampir sepanjang hari
2. Hilang miknat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal
3. Berat badan menurun atau bertambah
4. Insomnia atau hipersomnia
5. Agitasi atau retardasi psikomotor
6. Kelelahan dan tidak punya tenaga
7. Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan
8. Sulit berkonsentrasi
9. Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri.
Menurut ICD 10, pada gangguan depresi, ada tiga gejala utama yaitu :
1. Mood terdepresi
2. Hiulang minat/semangat
3. Hilang tenaga/mudah lelah.
Disertai gejala lain :
1. Konsentrasi menurun
36

2. Harga diri menurun


3. Perasaan bersalah
4. Psimis memandang masa depan
5. Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri
6. Pola tidur berubah
7. Nafsu makan menurun

Tabel 8. Pedoman Pengelompokan Berat Ringannya Depresi


Gejala utamaGejala lain
Depresi Fungsi Keterangan
minimal minimal
Ringan 2 3 Baik Distres
Berlangsung minimal 2
Sedang 2 3 atau 4 Terganggu
minggu
Sangat
Berat 3 4 Intensitas gejala berat
terganggu

6. PROGNOSIS
Roth dkk (1950) dan Murphy (1980) dalam Depkes RI (2001),
menyatakan bahwa hanya sepertiga dari pasien-pasien dengan depresi yang
sembuh setelah selama satu tahun dirujuk kepelayanan psikiatri usia lanjut.
Setengah dari pasien-pasien tersebut mengalami relaps. Penelitian-penelitian
lainnya melaporkan prognosis yang lebih cerah yaitu lebih dari 60 % sembuh
dalam waktu satu tahun. Tingkat mortalitas pada pasien depresi cukup tinggi
yaitu sepertiga dari pasien Murphy meninggal dalam waktu empat tahun
follow up. Penyebab kematian tidaklah berhubungan langsung dengan depresi
tetapiterutama karena penyakit vaskular atau infeksi paru dan bukan bunuh
diri.
Prognosis depresi pada lanju usia tidak banyak berbeda dengan
prognosis pada usia muda. Umumnya penderita akan sembuh dan tetap
befungsi dengan baik jika depresi diobati dan ditatalaksana dengan baik. Hasil
37

terapi yang kurang baik tampaknya berhubungan dengan episode awal yang
parah dan adanya kemorbiditas dengan penyakit lain.
7. PENATALAKSANAAN DEPRESI PADA USIA LANJUT
Penatalaksanaan yang adekuat menggunakan kombinasi terapi
psikologis dan farmakologis disertai pendekatan multidisiplin yang
menyeluruh. Terapi diberikan dengan memperhatikan aspek individual
harapan-harapan pasien, martabat (dignity) dan otonomi/kemandirian pasien.
Problem fisik yang ada bersama-sama dengan penyakit mental harus diobati.
a) Obat (Farmakologis)
Secara umum semua jenis obat antidepresan sama efektivitasnya.
Pengobatan dimulai dengan dosis separuh dosis dewasa, lalu dinaikkan
perlahan-lahan sampai ada perbaikan gejala. Beberapa kelompok anti
depresan adalah Trisiklik, SSRI's (Selective Serotonin Re-uptake
Inhibitors),MAOI's (Monoamine Oxidase Inhibitors) dan Lithium.
b) Psikoterapi
Psikoterapi Individu dan kelompok paling efektif dilakukan bersama-
sama dengan pemberian anti depresan. Perlu diperhatikan teknik
psikoterapi dan kecocokan antara pasien dengan terapis sehingga pasien
merasa lebih nyaman, lebih percaya diri dan lebih mampu mengatasi
persoalannya sendiri.
c) Terapi Kognitif
Terapi Kognitif bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mapu, dsb)
ke arah pola pikir yang netral atau yang positif.
d) Terapi Keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit
depresi, sehingga dukungan/support terhadap pasien sangat penting. Proses
penuaan mengubah dinamika keluarga, ada perubahan posisi dari dominasi
menjadi dependen pada orang usia lanjut. Tujuan dari terapi terhadap
keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustrasi
38

dan putus asa, mengubah dan memperbaiki sikap/struktur dalam keluarga


yang menghambat proses penyembuhan pasien.
e) Penanganan ansietas
Teknik yang umum dipakai adalah program relaksasi progresif baik
secara langsung dengan infra struktur (psikolog atau terapis okupasional)
atau melalui tape recorder. Teknik ini dapat dilakukan dalam praktek umum
sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Amir N. 2005. Depresi, Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana, Jakarta :


Balai Penerbit FKUI.
Dadang Hawari D. 2002. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi, Jakarta : Gaya
Baru.
39

Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Pedoman Pembinaan Kesehatan Jiwa
Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan, Jakarta.
Isaac. 2003. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa, Jakarta : tp.
Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia, Jakarta : EGC.
Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua.In: H.Hadi Martono dan Kris Pranarka (eds):
Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
Kusumoputro, S., Sidiarto, L. D., Sarmino, Munir, R., Nugroho, W. 2003. Kiat
Panjang Umur dengan Gerak dan Latih Otak, Jakarta: UI.

Anda mungkin juga menyukai