Anda di halaman 1dari 26

Selamatkan Fasilitas

Kesehatan dan Tenaga Medis


Indonesia
(Tinjauan Terhadap Masalah Vaksin dan Vaksinasi di Indonesia)
T. MUDWAL
Telah tertanam pada mayoritas masyarakat Indonesia bahwa kesehatan balita
adalah berjalan lurus dengan imunisasi atau vaksinasi. Karena itu isu adanya
vaksinasi palsu dalam satu bulan belakangan ini, benar-benar menggegerkan
Indonesia. Tidak kurang dari bapak Presiden RI, memerintahkan untuk
mengusut tuntas masalah vaksin palsu ini dan menginstruksikan memberikan
hukuman seberat-beratnya pada para pelakunya. Dalam suatu survey kecil-
kecilan, dari 8 orang calon dokter (co ass), seluruhnya setuju, yang tersangkut
vaksin palsu, dihukum seberat-beratnya. Dan dari 8 orang dokter umum, 5
orang setuju dengan hukuman seberat-beratnya. Bahkan ada internist, yang
tidak setuju hukuman seberat-beratnya di lakukan dengan tembak mati. Dia
menginginkan hukum picis atau sayat sampai mati. Karena itu adalah logis bila
terjadi kepanikan masyarakat setelah berita vaksin palsu ini disebarluaskan.
Beberapa rumah sakit yang diberitakan memakai vaksin palsu diserang dan
sebagian dokter yang berada di rumah sakit tersebut mengalami
penganiayaan.
Apakah vaksinasi di Indonesia berjalan lurus dengan harapan akan makin
sehatnya seorang balita? Bila seorang balita sehat maka diharapkan dia akan
berkembang menjadi manusia dewasa Indonesia yang sehat. Indikator utama
sehatnya seorang balita adalah menurunnya angka kematian balita di negara
tersebut. Berdasarkan laporan UNICEF tahun 2015, Indonesia termasuk negara
yang sangat berhasil menurunkan angka kematian balita yaitu dari 84 kematian
per 1000 kelahiran hidup menjadi 27 kematian per 1000 kelahiran hidup.
Dengan hebatnya kampanye tentang perlunya vaksinasi pada balita, maka
mayoritas rakyat Indonesia termasuk pada dokternya meyakini bahwa turunnya
angka kematian tersebut karena berhasilnya vaksinasi atau imunisasi. Sebab
cakupan imunisasi lengkap sejak tahun 2013 telah mencapai 90%. Pada tahun
1974 hanya 5% saja. Karena itu orang-orang yang berkecimpung dalam
masalah vaksinasi ini mengusulkan vaksinasi tambahan seperti vaksinasi
Typhoid, DBD, Hepatitis A, Rotary Virus (penyebab diare) demi lebih
menurunnya angka kematian balita. Pada saat ini vaksinasi lengkap yang telah
dilakukan adalah vaksinasi campak, polio, BCG, DPT, Hepatitis B dan vaksinasi
Influenza.
Pertanyaannya adalah apakah angka UNICEF tersebut dapat dipercaya?
Tersebar isu bahwa kematian balita oleh karena DBD, tidak dilaporkan oleh
rumah sakit. Dan kematian itu cukup besar yaitu 1-2 balita perbulan. Angka
kematian balita oleh karena gizi buruk pun seperti marasmus dan kwashiokor
kabarnya juga tidak dilaporkan. Angka kematian yang menurun yang
dilaporkan UNICEF, dipastikan angka kematian balita yang dirawat dirumah
sakit. Sedangkan angka kematian balita yang diluar rumah sakit (yang
dipastikan lebih besar dari angka kematian di rumah sakit), tidak diketahui.
Seperti misalnya, kematian pasien DBD di Indonesia. Indonesia tahun 2012,
melaporkan angka kematian DBD hanya 408 orang dari 45.964 pasien DBD
(0,86%). Padahal berdasarkan perkiraan WHO, 2% dari populasi, pada daerah
hiperendemis dengue seperti Indonesia, diperkirakan terkena DBD setiap
tahunnya. Maka perkiraan banyaknya orang yang terinfeksi DBD di Indonesia
adalah 2% x 240.000.000 orang = 4,8 juta orang. Berarti sekitar 4.750.000
orang yang terkena DBD (99,14%), tidak diketahui nasibnya. Atau angka
kematian 0,86% itu, sebenarnya tidak berarti apa-apa.
• Begitu juga dengan pujian UNICEF pada Indonesia sebenarnya
tidak berarti apa-apa. Karena kematian balita diluar rumah sakit
dan tidak tercatat itu, diyakini jauh lebih besar.
• Walaupun demikian kita tetap bersyukur atas angka kematian
yang menurun dan dipuji UNICEF itu. Betapapun itu hanya
angka kematian balita di rumah sakit. Masalahnya adalah
apakah angka kematian yang menurun itu oleh karena
keberhasilan vaksinasi?
• Seperti dituliskan diatas cakupan imunisasi pada balita Indonesia telah
mencapai 90% pada tahun 2013. Dimana vaksinasi yang diberikan saat
ini adalah untuk penyakit campak, polio, tetanus, dipteri, pertusis, TBC,
hepatitis B dan influenza. Indonesia telah dinyatakan bebas dari penyakit
cacar tahun 1974. Imunisasi Indonesia sudah dilakukan sejak tahun
1956. Sejak 1990 terjadi penurunan dari penyakit-penyakit polio,
campak, tetanus, dipteri dan pertusis. Tetapi penyakit TBC dan hepatitis
B bukannya menurun bahkan meningkat. Padahal imunisasi BCG untuk
penyakit TBC telah dilakukan sejak tahun 1956. Sedangkan imunisasi
hepatitis B, sudah dilakukan sejak 1980. Indonesia adalah penderita TBC
terbanyak ke-3 sedunia. Dimana penderita TBC pertahun selalu naik, dan
terakhir menurut WHO (2015) adalah 1 juta kasus baru pertahun atau
dengan kata lain tidak terlihat efek dari vaksinasi BCG yang telah
dilakukan sejak tahun 1956 itu.
• Begitu juga dengan vaksinasi hepatitis B. Riset kesehatan dasar Depkes
RI tahun 2013, melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi
hepatitis B pada seluruh kelompok umur, bila dibandingkan prevalensi
hepatitis B pada seluruh kelompok umur pada tahun 2007. Padahal
negara-negara lain melaporkan terjadinya penurunan prevalensi hepatitis
B sejak vaksinasi hepatitis B dilakukan secara nasional di negara tersebut.
Amerika Serikat misalnya melaporkan menurunnya prevalensi hepatitis B.
Mereka melakukan vaksinasi hepatitis B sejak tahun 1982 dan
melaporkan penurunan prevalensi hepatitis B sampai dengan 75%, pada
setiap kelompok umur. Begitu juga dengan negara-negara lainnya.
Bahkan negara setingkat Gambia, berani mengklaim kesuksesan vaksinasi
hepatitis B, dengan melaporkan bahwa masyarakat Gambia yang
mengidap Hbs Ag positif telah menurun dari 10% menjadi 0.6%.
• Dengan alasan-alasan diatas, sangat sulit bagi kita untuk
mengatakan vaksinasi lah sebagai penyebab turunnya angka kematian
balita (baca: kematian balita di rumah sakit), sampai dengan 68% itu oleh
karena keberhasilan vaksinasi. Sebab vaksinasi yang diakui berhasil
hanyalah untuk cacar, campak, dipteri, pertusis dan tetanus. Sedangkan
polio tidak berhubungan dengan angka kematian balita. Bila kita telusuri
tentang angka kematian bayi, maka 80% kematian bayi sebelum berumur
1 tahun, bukanlah disebabkan oleh karena belum di vaksinasi. Tetapi
penyebabnya adalah kelahiran prematur, adanya komplikasi selama kelahiran
dan infeksi berat. Semua vaksinasi lengkap harus telah dilakukan
sebelum berumur 1 tahun. Tapi vaksinasi itu tidak mungkin mencegah
terjadinya infeksi berat pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. Apalagi
untuk mencegah prematuritas dan komplikasi kelahiran lainnya.
• Faktor utama untuk mencegah terjadinya prematuritas, komplikasi kelahiran
dan infeksi berat pada bayi berumur kurang dari 1 tahun, tidak dapat
dipungkiri yang terutama adalah gizi buruk, baik pada ibu, maupun pada
anaknya. Gizi buruk tersebut mempermudah untuk terjadinya prematuritas,
komplikasi selama kelahiran dan infeksi berat pada balita. Kalau gizi anak
dan ibu secara nasional termasuk gizi buruk dan vaksinasi belum berefek
pada umur bayi kurang dari 1 tahun maka turunnya angka kematian
bayi berumur kurang dari 1 tahun disebabkan membaiknya fasilitas
kesehatan dengan para tenaga medisnya. Para tenaga medis yang aktif dan
terampil itulah yang akan meningkatkan pengetahuan para ibu dalam
masalah kesehatan. Jadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun bukanlan
vaksinasi penyebab utama turunnya angka kematian.
Bagaimanakah gizi balita Indonesia? Kesepakatan internasional, tubuh
kerdil/pendek/stunting dan kurus adalah indicator gizi buruk pada
balita. Menurut Milenium Challenge Account (MCA), lebih sepertiga
balita Indonesia atau 8,9 juta, bertubuh kerdil. Dan itu disebabkan
kekurangan gizi secara kronis yaitu sejak fase janin. Riset kesehatan
dasar (Riskeda) Depkes RI tahun 2013 juga mendukung hal tersebut.
37,2% balita Indonesia, bertubuh kerdil dan angka ini meningkat bila
dibandingkan dengan tahun 2010 yang hanya mencapai 35,6%.
Sedangkan UNICEF tahun 2015 melaporkan 12% balita Indonesia
berbadan kurus. Dan menurut UNICEF, Indonesia adalah peringkat
keempat gizi terburuk sedunia. Dengan data-data itu, tidak ada
keraguan bahwa gizi bayi dan balita Indonesia memang buruk.
• Berdasar hasil survey, demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, angka kematian Neonatal/AKN (anak umur kurang 4
minggu), angka kematian bayi/AKB (anak umur 4 minggu sampai 11
bulan) dan angka kematian balita/AKBAL (anak umur 1-4 tahun)
terjadi penurunan. (sesuai dengan laporan UNICEF). AKN, menurun
dari 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991, menjadi 19 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, begitu juga dengan AKB dan
AKBAL. AKB menurun dari 68 (1991) menjadi 32 per 1000 kelahiran
hidup (2012) dan AKBAL menurun dari 97 (1991) menjadi 40 per
1000 kelahiran hidup (2012).
• Kita telah membahas penyebab turunnya angka kematian anak
sebelum umur 1 tahun (AKN dan AKB). Kemudian apakah penyebab
turunnya angka kematian balita (AKBAL)? Seperti yang telah ditulis
diatas, vaksinasi yang terbukti bermanfaat bagi balita adalah untuk
penyakit cacar, polio, dipteri, pertusis, campak dan tetanus. Jadi
apakah vaksinasi terhadap penyakit tersebut yang mengakibatkan
turunnya AKBAL? Data Depkes 2011, melaporkan mayoritas
kematian balita (44,8%) oleh karena infeksi yaitu penemonia
20,5%, diare 13,3%, meningitis 4,7%, DHF 3,6%, dan sepsis 2,7%.
Sedangkan 55,2% disebabkan oleh karena lain lain seperti
tenggelam, gangguan kongenital, kecelakaan, keganasan dsb.
• Dengan kenyataan hanya vaksin DPT, campak dan cacar yang jelas-jelas
berhubungan dengan angka kematian maka hanya penyakit itu saja lah
yang di perhitungkan sebagai penambah atau pengurang kematian balita.
Vaksinasi dari penyakit-penyakit itu telah dilakukan sejak 1974, dan rezim
Soeharto tahun 1990 mengklaim telah melakukan vaksinasi DPT dan
campak pada 90% balita Indonesia. Dan memang angka kematian balita
menurun dari 128 per 1000 kelahiran hidup(1960), menjadi 97 per 1000
kelahiran hidup 1991 (24,2%). Tidak diragukan bahwa sebelum era
vaksinasi, penyakit infeksi pada balita termasuk juga akibat campak, dipteri,
pertusis dan tetanus adalah penyebab utama tingginya angka kematian
balita. Dengan turunnya kasus dipteri, tetanus, pertusis dan campak pada
tahun 1991 itu maka bisa saja kita mengklaim bahwa turunnya angka
kematian dari 128 per 1000 kelahiran hidup 1960 menjadi 97 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 1991 oleh karena keberhasilan program
vaksinasi. Walaupun demikian hal itu belum tentu benar. Karena pada
zaman Soeharto terjadi peningkatan gizi balita, dan pembangunan fasilitas
kesehatan di seluruh Indonesia lengkap dengan tenaga medisnya.
• Berapakah kira-kira sumbangan kematian akibat penyakit dipteri, pertusis
pada angka kematian bayi dan balita bila mereka tidak di vaksinasi DPT dan
campak? Satu kepustakaan menyebutkan bahwa kematian akibat penyakit
dipteri, pertusis, tetanus dan campak pada bayi dan balita di Indonesia
menyumbang 5% dari angka kematian bayi dan balita. Atau 95%
kematiannya bukanlah karena penyakit-penyakit tersebut. Tetapi karena
infeksi penyakit lainnya dan sebab-sebab non infeksi lainnya. Dengan
demikian angka kematian balita tahun 1991 ke tahun 2012 yang turun
sampai dengan 56% (91 per 1000 menjadi 40 per 1000) seyogyanya adalah
dibawah 5%. Sebab kasus DPT dan campak secara signifikan telah menurun
sejak awal tahun 2000-an. Jadi bila seorang balita tidak di vaksinasi DPT dan
campak, angka kematian maksimal hanya menurun menjadi 51%. Berarti
turunnya angka kematian balita itu pada tahun 2012 juga terutama
disebabkan oleh perbaikan fasilitas kesehatan termasuk juga meningkatnya
aktivitas tenaga kesehatan. (sama dengan penyebab turunnya angka
kematian pada bayi berumur kurang dari 1 tahun).
• Tetanus di Indonesia menurut WHO telah menurun sebanyak 92% sejak
tahun 2007 atau dibawah satu kasus per 1000 kelahiran hidup.
Sedangkan laporan penyakit dipteri Depkes menyebutkan bahwa tidak
ada kasus dipteri, pada daerah-daerah yang cakupan imunisasinya tinggi.
Begitu juga dengan kasus pertusis. Kematian karena pertusis telah
menurun sampai dengan 96%, setelah adanya vaksinasi. Kasus campak
menurun sampai dengan 78% setelah vakasinasi. Bila terjadi kenaikan
kasus-kasus penyakit tersebut pada daerah-daerah tertentu di Indonesia
itu disebabkan karena adanya daerah-daerah kantong yang cakupan
imunisasinya rendah akibat penolakan orang tua.
Dengan uraian diatas terlihat bahwa vaksinasi Indonesia hanya berefek
sedikit atau tidak berbanding lurus dengan kemajuan kesehatan anak
Indonesia, yang dilambangkan dengan berkurangnya angka kematian dari
128 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1960 (sebelum vaksinasi) menjadi
40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Dengan data bahwa gizi anak
balita Indonesia tidak bertambah baik secara signifikan maka penyebab
turunnya angka kematian bayi dan balita di Indonesia adalah karena
membaiknya fasilitas kesehatan di Indonesia (dalam arti luar). Oleh karena
itu usulan untuk menambah vaksinasi lagi pada bayi dan balita di Indonesia
seperti vaksinasi hepatitis A, Thypoid, DBD, rotary virus(diare), adalah tidak
relevan. Gizi anak Indonesia lah yang perlu di tingkatkan. Secara
keilmuanpun, penyakit-penyakit tersebut tidak relevan. Untuk DBD bila kita
men-searching tentang dasar penyebab terjadinya DBD (DHF Pathogenesis
and Pathofisiologi), Maka teori terkuat atau rangking pertama adalah teori
yang menyatakan bahwa dasar terjadinya penyakit DBD adalah
hipersensitifitas. Dan mem-vaksinasi penyakit dengan dasar terjadinya
penyakit tersebut adalah hipersensitifitas merupakan kontra indikasi.
• Begitu juga dengan penyakit Thypoid. Kebersihan makanan yang buruk
meyakinkan kita, akan adanya kuman Thypoid dalam darah sebagian
besar anak Indonesia, walaupun mereka tidak sakit (carrier Thypoid).
Dengan demikian jelas vaksinasi Thypoid tidak berguna. Bahkan vaksinasi
influenza pun secara keilmuan, juga tidak jelas gunanya. Demam, batuk,
pilek 2 hari untuk kemudian disebabkan oleh karena influenza adalah sangat
berlebihan. Tidak pernah ada penelitian, tentang virus influenza lah yang
menyebabkan itu. Banyak penyakit yang bisa memberikan gambaran seperti
itu. Dengan alasan itu menyatakan bahwa peneumonia yang terjadi pada
anak anak Indonesia oleh karena virus influenza adalah sangat absurd.
Bakteri lah sebagai penyebab peneumonia anak-anak Indonesia. Begitu juga
dengan vaksinasi rotary virus, yang dikatakan untuk mencegah diare pada
anak-anak. Terlalu banyak penyebab diare pada anak-anak. Dan belum
pernah dibuktikan bahwa rotary virus lah sebagai penyebab utama diare
pada anak-anak. Sedangkan hepatitis A sangat jarang menyebabkan
penyakit hati kronis dan berakibat fatal.
MASALAH VAKSIN PALSU
• Apa yang ditakuti apabila anak-anak mendapat vaksinasi palsu?
Berdasar uraian diatas, vaksin yang jelas bermanfaat adalah vaksin
untuk penyakit campak, pertusis, dipteri, tetanus dan polio. Untuk
vaksinasi hepatitis B bisa bermanfaat bila ada evaluasi setelah di
vaksinasi yaitu adanya anti Hbs yang positif dan Hbs Ag yang negatif.
Hampir seluruh vaksinasi hepatitis B di Indonesia tidak mengadakan
evaluasi tersebut. Justru yang ada adalah laporan Depkes yang
menyebutkan prevalensi hepatitis B meningkat pada seluruh kelompok
umur. Dari uraian diatas diharapkan masyarakat tahu (termasuk juga
Presiden dan wartawan media), bahwa vaksinasi tidak berjalan lurus
dengan kesehatan bayi dan balita, maka tidak ada yang perlu di
takutkan.
• Pengaruh vaksinasi DPT dan campak, hanya 5% saja untuk
menyebabkan kematian. Status gizi, gaya hidup sehat, peningkatan
fasilitas kesehatan yang baik, itulah yang berjalan lurus dengan
kesehatan bayi dan balita. Kegegeran masalah vaksin palsu hanya
menyebabkan hilangnya fokus masyarakat pada berita-berita yang
menarik. Pada saat itu, berita menarik tentang keterlibatan gubernur
DKI Ahok dalam korupsi pembelian lahan RSSW dan keberanian
Ahok dalam menentang perintah menteri kemaritiman Rizal Ramli
dalam masalah reklamasi Pulau Seribu menjadi hilang.
• Tidak di vaksinasi polio pun, bukan menjadi alasan ketakutan, bahwa
anaknya akan menjadi lumpuh. Sebab pada Maret 2014, WHO telah
mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia,
sudah dinyatakan bebas dari polio, dan vaksinasi polio tidak perlu
diberikan lagi. Tapi yang aneh adalah pada tahun 2015 WHO
menyatakan bahwa vaksin polio oral trivalent yang mengandung strain
1,2 dan 3 itu justru menimbulkan polio. Strain 2, dituduh, bisa menjadi
biang kerok dari terjadinya wabah polio kembali. Sebab pada
beberapa negara, seperti Nigeria, Somalia, Suriah, Irak dan Pakistan
ditemukan polio dari strain 2 virus polio.
• Oleh karena itu WHO meng-khawatirkan wabah polio strain 2 akan
menyerang dunia. Karena tertular dari negara-negara tersebut. Oleh
karena itu menurut WHO vaksin polio trivalent itu harus diganti
dengan vaksin polio oral bivalent yang tidak mengandung virus polio
strain 2. Walaupun demikian WHO masih khawatir juga akan terjadi
wabah polio karena vaksinasi oral itu. Karena vaksin oral mengandung
virus polio hidup yang dilemahkan. Karena itu, WHO menganjurkan
untuk memberikan vaksinasi dengan virus polio yang telah mati. Dan
untuk lebih efektif perlu diberikan dengan suntikan, betapapun
harganya mahal dan hanya negara-negara maju yang dapat membuat
vaksin tersebut.
• Bagi saya alasan WHO, kuranglah kuat. Sudah terbukti bahwa T-OPV
memberikan hasil yang baik bagi dunia termasuk juga Indonesia. Semua
strain virus polio dapat dilawan. Terjadinya polio pada 5 negara yang
disebutkan WHO akhir-akhir ini, kemungkinan oleh karena vaksinasi yang
dilakukan tidak di booster atau tidak lengkap. Atau gizi buruk dari anak-anak
didaerah tersebut karena kesulitan ekonomi akibat perang. Pergerakan virus
polio dari orang-orang yang terkena di 5 negara tersebut, tidak perlu
dikhawatirkan. Hal ini disebabkan karena telah adanya kekebalan pada
penduduk dunia, terhadap strain 2 virus polio tersebut. Dimana hal ini
dibuktikan dengan pernyataan WHO sendiri tahun 2014 yang menyatakan
bahwa Asia Tenggara telah bebas polio dan tidak perlu di vaksinasi polio
lagi. Itu menunjukkan telah terjadi eradikasi virus polio dan adanya
kekebalan pada anak-anak Indonesia.
• Kita baru takut, bila virus polio yang berasal dari 5 negara tersebut telah
mengalami mutasi genetik atau terjadi virus polio baru. Tapi vaksin oral
polio yang baru (B-OPV) atau vaksin injeksi polio, tidaklah mengandung
strain virus polio yang baru. Jadi tidak ada gunanya mengganti vaksin polio.
Ketakutan akan terjadi polio akibat vaksin adalah virus hidup yang
dilemahkan tidaklah berdasar. Tidak ada kasus Vaccine Associated Polio
Paralysis / VAPP/polio akibat penggunaan vaksin trivalent (T-OPV) selama
40 tahun lebih penggunaan vaksin T-OPV di Indonesia dan negara-negara
lainnya di dunia. Kelebihan vaksin polio secara injeksi, pada hemat saya
hanyalah satu. Vaksin tersebut dapat diberikan pada orang-orang dengan
kekebalan yang rendah (immunodefisiensi).
• Kita baru takut dengan vaksin palsu bila vaksin palsu itu berisi zat-zat yang
membahayakan jiwa. Sedangkan berdasarkan bacaan, vaksin palsu itu
hanya berisi antibiotik gentamycin. Sama sekali tidak membahayakan jiwa.
KESIMPULAN
1. Vaksinasi tidak berjalan lurus dengan kesehatan anak-anak
Indonesia.
2. Yang berjalan lurus dengan kesehatan anak-anak Indonesia
adalah gizi yang baik, dan fasilitas kesehatan yang baik beserta
keaktifan dan keterampilan tenaga medisnya.
3. Dengan dasar nomor 2, harus lah semua pihak terutama para key
person, menjaga fasilitas kesehatan tersebut termasuk tenaga
medisnya. Karena itu semua komentar, yang membahayakan
fasilitas kesehatan beserta tenaga medisnya harus dipikirkan
secara matang.
4. Vaksinasi adalah bisnis yang menggiurkan karena menyangkut
puluhan juta orang dan keuntungannya tidak pernah putus sampai
dengan hari kiamat. Karena itu diperlukan kehati-hatian dari
pemerintah dalam masalah program vaksinasi ini.
5. Perlu diberikan hukuman pada pembuat vaksin palsu ini termasuk
juga pihak-pihak yang secara sadar memberikan kemudahan dalam
penyebaran vaksin palsu tersebut. Begitu juga para pelaksana
pemberian vaksin palsu ini, apabila diyakini bahwa mereka tahu isi
dari vaksin tersebut adalah palsu. Tapi berdasarkan uraian-uraian
diatas jelas hukumannya tidaklah seberat para koruptor kakap dan
pengedar narkoba itu(bukan hukuman yang seberat-beratnya).
Semoga Allooh SWT selalu melindungi Indonesia.
Aamiin YRA

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai

  • Refrat Kelompok Uuh
    Refrat Kelompok Uuh
    Dokumen32 halaman
    Refrat Kelompok Uuh
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bahan PBL
    Bahan PBL
    Dokumen10 halaman
    Bahan PBL
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Refrat Kelompok Uuh
    Refrat Kelompok Uuh
    Dokumen32 halaman
    Refrat Kelompok Uuh
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen13 halaman
    Bab Ii
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen4 halaman
    Bab I
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Traumatologi
    Traumatologi
    Dokumen17 halaman
    Traumatologi
    Satrio Primaeso
    Belum ada peringkat
  • Akut 1 Aspek
    Akut 1 Aspek
    Dokumen1 halaman
    Akut 1 Aspek
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Aspek
    Aspek
    Dokumen2 halaman
    Aspek
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Akut 1 Aspek
    Akut 1 Aspek
    Dokumen1 halaman
    Akut 1 Aspek
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Kronik 2
    Kronik 2
    Dokumen9 halaman
    Kronik 2
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bismillah PPT TB
    Bismillah PPT TB
    Dokumen51 halaman
    Bismillah PPT TB
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Gastrointestinal Bleeding
    Gastrointestinal Bleeding
    Dokumen13 halaman
    Gastrointestinal Bleeding
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen14 halaman
    Tugas
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bismillah Presentasi
    Bismillah Presentasi
    Dokumen26 halaman
    Bismillah Presentasi
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bismillah Presentasi
    Bismillah Presentasi
    Dokumen26 halaman
    Bismillah Presentasi
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Akut 1
    Akut 1
    Dokumen9 halaman
    Akut 1
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Akut 1 Aspek
    Akut 1 Aspek
    Dokumen1 halaman
    Akut 1 Aspek
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Aspek
    Aspek
    Dokumen2 halaman
    Aspek
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Contoh Kasus
    Contoh Kasus
    Dokumen5 halaman
    Contoh Kasus
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Lapsus TB Dongo
    Lapsus TB Dongo
    Dokumen14 halaman
    Lapsus TB Dongo
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Akut 1
    Akut 1
    Dokumen9 halaman
    Akut 1
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Kronik 2
    Kronik 2
    Dokumen2 halaman
    Kronik 2
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Kasus Kronik DM
    Kasus Kronik DM
    Dokumen9 halaman
    Kasus Kronik DM
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Kuliah Geriatri
    Kuliah Geriatri
    Dokumen113 halaman
    Kuliah Geriatri
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • PBL KASUS 2 (Step)
    PBL KASUS 2 (Step)
    Dokumen39 halaman
    PBL KASUS 2 (Step)
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • PRESENTASI HIPERTENSI Baru
    PRESENTASI HIPERTENSI Baru
    Dokumen47 halaman
    PRESENTASI HIPERTENSI Baru
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Referat Tumor Payudara
    Referat Tumor Payudara
    Dokumen25 halaman
    Referat Tumor Payudara
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Bismillah Presentasi
    Bismillah Presentasi
    Dokumen79 halaman
    Bismillah Presentasi
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Sistem Reproduksi Pada Lansia, Gabungan
    Gangguan Sistem Reproduksi Pada Lansia, Gabungan
    Dokumen30 halaman
    Gangguan Sistem Reproduksi Pada Lansia, Gabungan
    mahdalenacicit
    Belum ada peringkat