Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

Bergerak dan Mempertahankan Sikap yang dibutuhkan (Mobilisasi)

I. Konsep Mobilisasi
1.1 Definisi mobilisasi
Mobilitas atau mobilisasi merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktifitas dalam rangka mempertahankan kesehatannya (Potter & Perry, 2005).
Mobilitas adalah rangkaian gerakan yang terintegrasi antara system
musculoskeletal dan system persyarafan.

1.2 Fisiologi sistem mobilisasi


1.2.1 Tulang
Tulang merupakan jaringan yang paling banyak mengisi tubuh manusia.
Tulang merupakan jaringan tubuh yang berfungsi untuk menopang tubuh
dan bagian-bagiannya. Karena fungsi untuk menopang tulang mempunyai
struktur yang kaku. Tulang dibentuk jaringan utama yang terdiri dari
kalsium yang kaku.

1.2.2 Otot dan Tendon


Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh
bergerak sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang,
serta dihubungkan dengan tulang melalui tendon, yaitu suatu jaringan ikat
yang melekat dengan sangat kuat pada tempat insersinya tulang.
Terputusnya tendon akan mengakibatkan kontraksi otot tidak dapat
menggerakkan organ di tempat insersi tendon yang bersangkutan, sehingga
diperlukan penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali.
1.2.3 Ligamen
Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.
Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu
jika terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.

1.2.4 Sistem Saraf


Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai
fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf
dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat dan
susunan saraf perifer. Setiap saraf memiliki bagian somatis dan otonom.
Bagian somatis memiliki fungsi sensorik dan motorik. Terjadinya
kerusakan pada sistem saraf pusat seperti pada fraktur tulang belakang
dapat menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan kerusakan saraf
tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah yang diinsersi, dan
kerusakan pada saraf radial akan mengakibatkan drop hand atau gangguan
sensorik di daerah radial tangan.

1.2.5 Sendi
Merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat
segmentasi dari kerangka tubuh dan memungkinkan gerakan antarsegmen
dan berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa jenis sendi,
misalnya sendi sinovial yang merupakan sendi kedua ujung tulang
berhadapan dilapisi oleh kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup kapsul
sendi dan berisi cairan sinovial. Selain itu terdapat juga sendi bahu, sendi
panggul, lutut, dan sendi lainnya (Tarwoto,dkk 2009).

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sistem mobilisasi


1.3.1 Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi
seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan
sehari-hari.
1.3.2 Proses penyakit/Cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita
fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas
bagian bawah.Demikian pula orang yang baru menjalani operasi.Karena
adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban.Ada kalanya
klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita penyakit.

1.3.3 Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi
kebudayaan.Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan
jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat, sebaliknya ada orang
yang mengalami gangguan mobilisasi (sakit) karena adat dan budaya
tertentu dilarang untuk beraktivitas.

1.3.4 Tingkat energi


Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas.Agar seseorang dapat
melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang
cukup.Seseorang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya
dibandingkan dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.

1.3.5 Usia dan Status Perkembangan


Terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia yang
berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat
gerak sejalan dengan perkembangan manusia.Usia berpengaruh terhadap
kemampuan seseorang dalam melakukan mobilisasi. Pada individu lansia,
kemampuan untuk melakukan aktifitas dan mobilisasi menurun sejalan
dengan penuaan (A. Aziz Alimul H. 2009).
1.4 Menurut Alimul Aziz (2006) dampak dari imobilitas fisik dalam tubuh dapat
mempengaruhi sistem tubuh, seperti:
1.4.1 Perubahan metabolisme
Imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam
tubuh, hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolisme
rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-
sel tubuh sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel.
1.4.2 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilitas mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi
protein berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh.
1.4.3 Gangguan perubahan zat gizi
Menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat menyebabkan perubahan
zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, dimana sel tidak lagi
menerima glukosa, asam amino, lemak dan oksigen dalam jumlah yang
cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.
1.4.4 Gangguan fungsi gastrointestinal
Imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna sehingga
penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan gangguan
proses eliminasi.
1.4.5 Perubahan sistem pernafasan
Kadar hemoglobin yang menurun, ekspansi paru menurun dan terjadinya
lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu.
Terjadinya penurunan hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran
oksigen dari aveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia.
1.4.6 Perubahan kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat
berupa hipotensi ortostatik karena kemampuan saraf otonom yang
menurun. Pada posisi yang tetap dan lama refleks neurovaskular akan
menurun dan menyebabkan vasokontriksi, kemudian darah terkumpul
pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat
terhambat.

1.5 Jenis-jenis mobilisasi


1.5.1 Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari.Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi
saraf motoris volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area
tubuh seseorang (A. Aziz Alimul H. 2009).

1.5.2 Mobilisasi sebagian


Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan yang jelas sehingga tidak mampu bergerak secara bebas
karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuhnya.Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang
dengan pemasangan traksi.Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motoris dan
sensoris(A. Aziz Alimul H. 2009).

Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:


Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
seperti adanya dislokasi sendi dan tulang.
Mobilisasi sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya tetap. Hal tersebut disebabkan
oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel. Contohnya terjadinya
hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang,
dan untuk kasus poliomielitis terjadi karena terganggunya sistem saraf
sensorik dan motorik.
1.6 Cara Mobilisasi Pasien
a. Mobilisasi pasien duduk di tempat tidur
Mobilisasi pasien duduk ditempat tidur adalah menempatkan pasien pada
posisi duduk diatas tempat tidur yang bertujuan untuk memberi posisi yang
nyaman pada pasien, menyiapkan posisi untuk prosedur keperawatan yang
akan dilakukan seperti melakukan personal hygine, makan dan minum.
Prosedur pelaksanaannya :
1. Atur tempat tidur pasien
- Atur bagian kepala tempat tidur pada posisi datar.
- Sesuaikan ketinggian tempat tidur sehingga sejajar dengan pusat
gravitasi anda.
- Fiksasi atau kunci semua roda tempat tidur dan pasang pagar tempat
tidur pada posisi yang jauh dari anda,
2. Atur posisi perawat dan pasien dengan tepat
- Berdiri disisi tempat tidur, dekat dengan bokong klien dengan wajah
menghadap ke kepala tempat tidur. Lebarkan kaki perawat dengan
kaki yang menjadi tumpuan berat badan berada di depan kaki lainnya.
- Minta klien untuk meletakkan kedua tangannya dibahu perawat
dengan telapak tangan menelungkup.
3. Angkat klien ke posisi duduk.
- Letakkan tangan perawat dibawah bahu klien
- Letakkan tangan yang lainnya diatas permukaan tempat tidur.
- Angkat tubuh klien dengan menarik bahunya menggunakan lengan dan
tangan anda, sambil menolakkan tangan lainnya ke permukaan tempat
tidur, dan pindahkan berat badan anda dari kaki depan ke kaki
belakang.
4. Pastikan klien merasa nyaman dengan posisi yang perawat berikan.
1.7 Gangguan-gangguan Mobilisasi
a. Kelainan postur tubuh.
Kelainan postur tubuh yang menyebabkan gangguan dalam mobilisasi
diantaranya adalah bowlegs (Genu varum) yaitu keadaan dimana satu atau dua
kaki bengkok keluar pada lutut, kifosis, lordosis, dan skiliosis.
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan system syaraf pusat.
d. Trauma langsung pada system musculoskeletal dan neuromuscular
e. Kekakuan otot.

II. Rencana asuhan keperawatan dengan mobilisasi


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilisasi dan imobilisasi,
seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilisasi dan
imobilisasi, daerah terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama
terjadinya gangguan mobilitas.

2.1.2 Riwayat keperawatan penyakit yang pernah diderita


Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilisasi, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis
(kecelakaan cerebrovascular, trauma kepala, peningkatan tekanan
intracranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera medulla spinalis, dan
lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark miokard, gagal
jantung kongestif), riwayat penyakit musculoskeletal (osteoporosis, fraktur,
artritis), riwayat penyakit sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi
menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat pemakaian obat, seperti
sedative, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksania, dan lain-lain.
2.1.3 Riwayat kesehatan keluarga
Ada atau tidaknya riwayat alergi, stroke, penyakit jantung, diabetes
mellitus dalam keluarga.

2.1.4 Pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum : Composmentis

2. TTV : TD = mmHg HR= x/mnt


R= x/mnt T= c

3. Kepala dan leher


a. Kepala :
- Inspeksi : kulit kepala, bentuk kepala, ada atau tidaknya
trauma pada kepala
- Palpasi : ada atau tidaknya benjolan, adanya nyeri tekan.
b. Mata :
- Inspeksi : kesimetrisan bola mata, keadaan pupil,
kunjungtiva, menggunakan alat bantu, fungsi penglihatan mata.
- Palpasi : tidak ada masa, tidak ada benjolan dan nyeri tekan.
c. Hidung :
- Inspeksi : bentuk hidung, kebersihan hidung, tidak ada
epitaksis, tidak ada polip, tidak ada secret.
- Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada masa, tidak ada nyeri
tekan, tidak ada pembengkakkan.
d. Mulut dan tenggorokan :
- Inspeksi : mukosa bibir , lidah temor, tidak ada caries.
- Palpasi : tidak ada kesulitan menelan, tidak ada masa tau
benjolan, tidak ada pembengkakan pada gusi.
e. Telinga :
- Inspeksi : bentuk simetrsis atau tidak, tidak ada lesi , tidak
ada serumen.
- Palpasi : tidak ada masa atau benjolan, tidak ada nyeri
tekan, tidak ada serumen, fungsi pendengaran baik.
f. Leher :
- Inspeksi : bersih, tidak ada lesi, tidak ada pembesaran tiroid.
- Palpasi : tidak terabanya pembesaran kelenjar tiroid, tidak
ada bendungan vena jugularis.
g. Dada :
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak ada lesi, tidak ada
tarikan nafas intercosta, tidak ada benjolan, penyebaran warna
merata.
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan/ massa
- Auskultasi : Ronchi (-) negatif, wheezing (-) negative
- Perkusi : Sonor bunyi normal paru yaitu karena adanya
darah dan udara pada paru dan jaringan paru.
h. Jantung
- Palpasi : Ictus cordis terdapat pada intercosta ke V
- Perkusi : Pekak bunyi normal pada jantung yaitu bunyi I
dan II
- Auskultasi : Tidak ada bunyi tambahan
i. Payudara dan ketiak
- Inspeksi : Jarak kedua putting susu simetris, tidak ada lesi,
ada rambut pada axilla, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
- Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfe,
tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan.
j. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk simetris, bersih, penyebaran warna
merata.
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi, tidak ada
massa
- Perkusi : Hipertimfani adanya kelainan pada abdomen.
- Auskultasi : Bising usus 15x/menit

k. Genetalia : Terpasang kateter atau tidak.


l. Ekstremitas
Ekstremitas atas
- Inspeksi : Tidak ada edema, tangan sinestra terpasang infus
RL 20 tetes/menit, jumlah jari lengkah dan normal
- Palpasi : Ada nyeri tekan pada tempat pemasangan infus,
tidak adanya pembengkakan.

Ekstremitas bawah
- Inspeksi : Paha bagian kiri terdapat fraktu dan tidak bisa
digerakkan, tidak ada varises, jumlah jari kaki normal, tidak ada
keluhan.
- Palpasi : Ada nyeri tekan pada femur bagian kiri.
m. Kulit dan kuku
- Warna kulit : Sawo matang, tidak ada lessi, turgor kulit tidak
ada jaringan parut
- Kuku : Warna merah muda, bentuk lonjong, tidak ada
lesi, pengisian kapiler 2 detik.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa I : Hambatan mobilitas fisik
2.2.1 Definisi:
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau
satu ekstremitas atau lebih.
2.2.2 Batasan karakteristik
- Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan aktivitas dan kecepatan
berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan
dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke
samping).
- Keterbatasan rentang pergerakan sendi
- Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
- Kesulitan membolak balikkan posisi tubuh.
2.2.3 Faktor yang berhubungan
- Gangguan neuromuscular
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan sensori persepsi
Diagnosa II : Hambatan kemampuan berpindah
2.2.4 Definisi:
Keterbatasan gerakan mandiri diantara dua permukaan yang dekat.
2.2.5 Batasan karakteristik
Hambatan kemampuan untuk berpindah:
- Dari tempat tidur ke kursi dan dari kursi ke tempat tidur.
- Dari berdiri ke lantai atau dari lantai ke berdiri.
- Dari berdiri ke tempat tidur atau dari tempat tidur ke berdiri
2.2.6 Faktor yang berhubungan
- Gangguan neuromuscular
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan keseimbangan
- Gangguan penglihatan

2.3 Perencanaan
Diagnosa I : Hambatan mobilitas fisik
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria)
- Pasien akan mencapai mobilitas ditempat tidur yang dibuktikan oleh
pengaturan posisi tubuh: kemauan sendiri, performa mekanika tubuh,
gerakan terkoordinasi, pergerakan sendi aktif, dan mobilitas yang
memuaskan.
- Pasien akan melakukan rentang pergerkan penuh seluruh sendi
- Pasien akan berbalik sendiri di tempat tidur atau memerlukan bantuan
pada tingkat yang realistis.
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
1. Terapi latihan fisik : ambulasi, keseimbangan, sendi, pengendalian otot.
- Rasional :
membantu untuk memperthankan atau mengembalikan fungsi tubuh
outonom dan gerakan tubuh yang terkendali.
2. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh
yang benar saat melakukan aktivitas.
- Rasional : mencegah terjadinya cedera saat pasien melakukan aktivitas.
3. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
- Rasional : mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot.

Diagnosa II : Hambatan kemampuan berpindah


2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria)
- Menunjukkan kemampuan berpindah yang dibuktikan oleh
keseimbangan posisi tubuh.
- Pesien melakukan rentang pergerakan sendi penuh pada semua sendi.

2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional


1. Terapi latihan fisik : ambulasi, keseimbangan, sendi, pengendalian otot.
- Rasional : memperthankan atau mengembalikan fungsi tubuh outonom
dan gerakan tubuh yang terkendali.
2. Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh
yang benar saat melakukan aktivitas.
- Rasional : mencegah terjadinya cedera saat pasien melakukan aktivitas.
3. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif atau pasif.
- Rasional : mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot.
4. Pencegahan jatuh
- Rasional : meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang
mempunyai resiko jatuh.

III. DAFTAR PUSTAKA


A. Aziz alimul H. (2009). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: salemba medika.
Daniel S. Wibowo, Anatomi Tubuh Manusia , Jakarta: Gramedia, 2004.

Tarwoto, dkk. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta: TIM.

Wikinson M , Nancy R (2011) Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA,


intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Banjarmasin, 05 Nopember 2016

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

Yurida Olviani, Ns.,M.kep (...)


LAPORAN PENDAHULUAN ELIMINASI

I. Konsep Eliminasi
1.1 Definisi Eliminasi
Eliminasi merupakan kebutahan dasar manusia yang esensial dan berperan penting
dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi adalah pelepasan sisa-sisa
metabolisme tubuh. Secara umum sisa-sisa metabolisme dibagi menjadi dua yaitu
eliminasi fekal ( buang air besar/defekasi) dan eliminasi urine (buang air kecil/BAK).
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses
dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus (Haryono, 2012).
Sedangkan eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi
dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin. Sebagian besar hasil filtrasi akan
diserap kembali di tubulus ginjal untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Tarwoto &
Wartonah, 2010).

Dalam kondisi normal urine yang dikeluarkan sebanyak 1400-1500cc/24jam atau


sekitar 30-50ml/jam pada orang dewasa, bayi 60-400ml/hari, anak-anak 500-
1000ml/hari.

1.2 Fisiologi sistem eliminasi


1.2.1 Eliminasi Urine
a. Ginjal Ginjal adalah organ berbentuk kacang berwarna merah tua, panjang
12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm. Beratnya kurang lebih 125 sampai 175 gram
pada laki-laki dan 115-155 gram pada wanita. Ginjal terletak pada bagia
belakang rongga abdomen bagian atas setinggi vertebrata thorakal 11 dan 12,
ginjal dilindungi oleh otot-otot abdomen, jaringan lemak atau kapsul adiposa.
Nefron merupakan unut struktural dan fungsional ginjal. 1 ginjal
mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urine.
Proses filtrasi, absorbsi dan sekresi dilakukan di nefron.
Filtrasi terjadi di glomerulus yang merupakan yang merupakan gulungan
kapiler dan dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsul
bowman. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan sisa nitrogen, toksin, ion
dan obat-obatan, mengatur jumlah dan zat-zat kimia dalam tubuh,
mempertahankan keseimbangan antara air dan garam-garam serta asam dan
basa, menghasilkan renin, enzim untuk membantu pengaturan tekanan darah,
menghasilkan hormon Universitas Sumatera Utara 4 eritropoitin yang
menstimulasi pembentukan sel-sel darah merah di sum-sum tulang dan
membantu dalam pembentukan vitamin D.

b. Ureter
Setelah urine terbentuk kemudian akan di alirkan ke pelvis ginjal lalu ke
bladder melalui ureter. Panjang ureter pada orang dewasa antara 26 sampai
30 cm dengan diameter 4 sampai 6 mm. Setelah meninggalkan ginjal, ureter
berjalan ke bawah dibelakang peritoneum ke dinding bagian belakang
kandung kemih. Lapisan tengah ureter terdiri atas otot-otot yang di stimulasi
oleh transmisi impuls elektrik berasal dari saraf otonom. Akibat gerakan
peristaltik ureter maka urine di dorong ke kandung kemih.

c. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat penampungan urine, terletak di dasar
panggul pada daerah retroperitoneladan terdiri atas otot-otot yang dapat
mengecil. Kandung kemih terdiri atas dua bagian fundus atau body yang
merupakan otot lingkar, tersusun dari otot detrusor danbagian leher yang
berhubungan langsung dengan uretra. Pada leher kandung kemih terdapat
spinter interna. Spinter ini di kontrol oleh sistem saraf otonom. Kandung
kemih dapat menampug 300 sampai 400 ml urine.

d. Uretra
Merupakan saluran pembuangan urine yang langsung keluar dari tubuh.
Kontrol pengeluaran urine terjadi karena adanya spinter kedua yaitu spinter
eksterna yang dapat di kontrol oleh kesadaran kita. Panjang uretra wanita
lebih pendek yaitu 3,7 cm sedangkan pria 20 cm. Sehingga pada wanita lebih
sering beresiko terjadinya infeksi saluran kemih (Hidayat, 2006).

1.2.2 Fisiologi Eliminasi fekal (defekasi/Bab)


a. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Mulut
terletak dibagian kepala dan umumnya merupakan bagian awal sistem
oencernaan lengkap yang berakhir di anus. Proses menelan dimulai
secara sadar dan berlanjut secara otomatis.

b. Esofagus
Esofagus adalah sebuah tube yang panjang. Sepertiga bagian atas
adalah terdiri dari otot yang bertulang dan sisanya adalah otot yang
licin. Permukaannya diliputi selaput mukosa yang mengeluarkan
sekret mukoid yang berguna untuk perlindungan.

c. Lambung Gumpalan makanan memasuki lambung, dengan bagian


porsi terbesar dari saluran pencernaan. Pergerakan makanan melalui
lambung dan usus dimungkinkan dengan adanya peristaltik, yaitu
gerakan konstraksi dan relaksasi secara bergantian dari otot yang
mendorong substansi makanan dalam gerakan menyerupai gelombang.
Pada saat makanan bergerak ke arah spingter pylorus pada ujung distla
lambung, gelombang peristaltik meningkat. Kini gumpalan lembek
makanan telah menjadi substansi yang disebut chyme. Chyme ini
dipompa melalui spingter pylorus kedalam duodenum. Rata-rata waktu
yang diperlukan untuk mengosongkan kembali lambung setelah makan
adalah 2 sampai 6 jam.

d. Usus kecil
Usus kecil (halus) mempunyai tiga bagian :
1) Duodenum, yang berhubungan langsung dengan lambung
2) Jejenum atau bagian tengah dan
3) Ileum

e. Usus besar (kolon)


Kolon orang dewasa, panjangnya 125 150 cm atau 50 60 inch,
terdir dari :
1) Sekum, yang berhubungan langsung dengan usus kecil
2) Kolon, terdiri dari kolon asenden, transversum, desenden dan
sigmoid.
3) Rektum, 10 15 cm / 4 6 inch.

Fisiologi usus besar yaitu bahwa usus besar tidak ikut serta dalam
pencernaan/absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai sekum,
maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan sampai isinya cair
(disebut chyme). Selama perjalanan didalam kolon (16 20 jam)
isinya menjadi makin padat karena air diabsorpsi dan sampai di rektum
feses bersifat padat lunak. Fungsi utama usus besar (kolon) adalah :
1) Menerima chyme dari lambung dan mengantarkannya ke arah
bagian selanjutnya untuk mengadakan absorpsi / penyerapan
baik air, nutrien, elektrolit dan garam empedu.
2) Mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai protektif sehingga
akan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri dan trauma
asam yang dihasilkan feses.
3) Sebagai tempat penyimpanan sebelum feses dibuang.

f. Anus / anal / orifisium eksternal Panjangnya 2,5 5 cm atau 1 2


inch, mempunyai dua spinkter yaitu internal (involunter) dan eksternal
(volunter).
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses
kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Defekasi
biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
1) Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk
memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid,
dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu
gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak
menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
2) Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan
gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk
ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma
yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi
muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses
melalui saluran anus.

Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan


tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan
kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang
dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine dan feses, diantaranya :
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine tetapi juga
berpengaruh terhadap control eliminasi itu sendiri. Pada anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar dan air kecil. Pada usia lanjut juga akan
mengalami penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat hal ini yang
menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses yang beresiko
mengalami konstipasi, selain itu, pada usia lanjut juga akan akan terjadi penurunan
control otot springter sehingga terjadi inkontinesia.

b. Diet
Makanan merupakan faktor utama yang berpengaruh pada eliminasi fekal dan urine.
Makanan berserat sangatlah diperlukan untuk pembentukan feses, sedangkan
makanan yang rendah serat akan menyebabkan pergerakan sisa digestif menjadi
lambat mencapai rectum, sehingga meningkatkan penyerapan air yang menybabkan
terjadinya konstipasi.

c. Cairan
Bila intake cairan tidak adekuat atau output cairan berlebihan, maka tubuh akan
mengabsorbsi cairan dari usus besar dalam jumlah besar yang menyebabkan feses
menjadi keras, kering dan sulit melewati saluran pencernaan. Kurangnya intake
cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal difiltrasi menjadi
berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat.

d. Stress psikologis
Stress yang berlebihan akan mempengaruhi eliminasi fekal dan urine.
e. Termperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena menigkatnya aktivitas metabolik. Hal ini yang akan menyebabkan tubuh
akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi menyebabkan konstipasi
dan pengeluaran urine sedikit.

f. Hormon antidiuretik (ADH)


Hormon ini dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian belakang. Jika darah sedikit
mengandung air, maka ADH akan banyak disekresikan ke dalam ginjal, akibatnya
penyerapan air meningkat sehingga urin yang terjadi pekat dan jumlahnya sedikit.
Sebaliknya, apabila darah banyak mengandung air, maka ADH yang disekresikan
ke dalam ginjal berkurang, akibatnya penyerapan air berkurang pula, sehingga urin
yang terjadi akan encer dan jumlahnya banyak.

1.4 Macam-macam gangguan yang terjadi pada system eliminasi


1.4.1 Eliminasi urine
a. Retensi urine
Retensi urine adalah kesulitan miksi (berkemih) karena kegagalan
mengeluarkan urin dari vesika urinaria. Rasa sakit yang hebat didaerah
suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan, sering kali
urin keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran,2000).
b. Poliuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal tanpa adanya asupan
cairan. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan diabetes mellitus,
defisiensi anti deuretik hormone (ADH, dan penyakit ginjal kronik).
c. Disuria
Keadaan rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini ditemukan pada
penyakit infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria dan struktur
uretra.
1.4.2 Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala dan tanda bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras dan
mengedan. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama,
sehingga banyak air diserap.
b. Fecal impaction
Fecal impaction merupakan masa feses yang keras dilipatan rectum yang
diakibatkan oleh retensi dan akumulasi material feses yang berkepanjangan.
Tanda yang jelas adalah ketidak mampuan mengeluarkan feses selama
beberapa hari walupun dapat keinginan berulang melakukan defekasi.
c. Diare
Diare merupakan keluarnya feses cair dan meningkatnya frekuesi buang air
besar melalui air besar akibat cepatnya melewati usus besar, sehingga usus
besar tidak mempunyai waktu cukup untuk menyerap air.
d. Inkontenensia ani
Suatu keadaan dimana tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spinkter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal. Seperti diare, inkontenensia bisa menyebabkan
kerusakan kulit.
e. Hemoroid
Pembengkakan vena pada dinding rectum (bisa internal dan eksternal). Hal
ini terjadi defekasi yang keras, kehamilan, dan mengedan saat BAB maka
dinding pembuluh darah meregang. Jika terjadi inflamasi dan pengerasan
maka klien merasa panas dan rasa gatal.
II. Rencana Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
a. Pola BAB atau BAK
b. Gambaran feses atau urine dan perubahan yang terjadi
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi

2.1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : composmentis
b. Tanda-tanda vital : TD= N=
R= T=
c. Skala Nyeri (bila ada)
d. Sistem pencernaan :
Mukosa mulut kering, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau
tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa
minum.
Abdomen :
- Inspeksi : Bentuk abdomen secara umum, kontur permukaan
abdomen, adanya retraksi, atau ketidaksimetrisan
- Auskultasi : Bising usus (peristaltik)
- Perkusi : ada atau tidaknya gas, cairan, atau massa dalam abdomen
- Palpasi : bentuk, ukuran, konsistensi organ serta struktur dalam
Abdomen.
e. Sistem perkemihan :
Produksi urine , frekuensi berkurang dari sebelum sakit, pola berkemih,
Frekuensi dan volume urine yang dikeluarkan.

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium :
- feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
- Serum elektrolit : Hipo natremi, Hipernatremi, hipokalemi
- AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, pO2 meningkat, pcO2
meningkat, HCO3 menurun).
b. Faal ginjal : UC meningkat (GGA)

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa I : Kesiapan untuk meningkatkan eliminasi urine
2.2.1 Definisi
Pola fungsi perkemihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan eliminasi
dan dapat ditingkatkan.
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif : - mengungkapkan keinginan untuk meningkatkan eliminasi urine
Objektif : - jumlah haluaran urine dalam batas normal
- Asupan cairan adekuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
- Urine tidak berbau
- Urine kuning kecoklatan
- Mengatur posisi diri untuk mengosongkan kandung kemih.
2.2.3 Faktor yang berhubungan : -

Diagnosa II : Inkontenensia Urine fungsional


2.2.4 Definsi
Ketidak mampuan individu yang biasanya kontinen untuk mencapai toilet tepat
waktu guna menghindari pengeluaran urine yang tidak disengaja.
2.2.5 Batasan karakteristik
- Mampu mengosongkan kandung kemih secara tuntas,
- Mengeluarkan urine sebelum mencapai toilet
- Merasakan dorongan jika ingin bekemih

2.2.6 Faktor yang berhubungan


- Perubahan faktor lingkungan
- Gangguan kognisi
- Gangguan penglihatan
- Faktor psikologis
- Kelemahan struktur penyokong pangul
- Keterbatasan neuromuscular

Diagnosa III : Konstipasi


2.2.7 Definisi
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai pengeluaran feses yang sulit
atau tidak lampias atau pengeluaran feses yang sangat keras dan kering.
2.2.8 Batasan Karakteristik
Subyektif : - nyeri tekan pada abdomen
- Anoreksia
- Perasaan penuh dan tekanan pada rectum
- Kelelahan umum
- Sakit kepala
- Peningkatan tekanan abdomen
- Nyeri saat defekasi
Objektif : - perubahan pola defekasi
- Bunyi pekak pada perkusi abdomen
- Adanya massa pada abdomen saat dipalpasi
- Distensi abdomen

2.3 Perencanaan
Berdasarkan diagnosa I : Kesiapan untuk meningkatkan eliminasi urine
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcome criteria) :
Pasien akan :
a. Menunjukkan eliminasi urine.
b. Tetap bebas dari infeksi saluran kemih
c. Melaporkan jumlah dan karakteristik urine normal
d. Tidak terjadi hematuria.
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
1. Managemen eliminasi urine
Rasional : memelihara pola eliminasi pasien yang optimum.

Berdasarkan diagnosa II : Inkontenensia Urine fungsional

2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria):


a. Pasien dapat menunjukkan keinginan berkemih
b. Melakukan eliminasi secara mandiri
c. Mempertahankan pola eliminasi yang dapat diduga
d. Mencapai toilet antara waktu dorongan berkemih dan pengeluaran urine.

2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional


1. Meningkatkan kontenensia urine dengan diingatkan secara verbal pada waktu
tertentu.
Rasional : memberikan umpan balik yang positif kepada pasien dapat
meningkatkan keberhasilan eliminasi.
2. Managemen eliminasi urine
Rasional : pola eliminasi urine dapat terkontrol

Berdasarkan diagnosa III : Konstipasi


2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria)
Pasien akan menunjukkan :
a. Melaporkan keluarnya feses disertai berkurangnya nyeri dan mengejan
b. Memperlihatkan hidrasi yang adekuat (turgor kulit baik, asupan cairan sama
dengan haluaran)
c. Konstiapsi menurun

2.3.6 Intervensi dan Rasional


1. Managemen defekasi
Rasional : mempertahankan pola eliminasi dan defekasi yang teratur
2. Managemen Konstipasi
Rasional : mengeluarkan feses dengan konsistensi dan frekuensi yang
normal.
3. Managemen cairan/elektrolit
Rasional : mencegah terjadinya komplikasi akibat kadar cairan yang tidak
normal.

III. DAFTAR PUSTAKA


Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan medical bedah system pencernaan. Gosyen Publishin:
Yogyakarta
Priharjo, Robert .2012. Pengkajian fisik keperawatan edisi 2. Jakarta : EGC
Wartonah, Tarwonto. 2010. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Jakarta.
Salemba Medika.
Wikinson M , Nancy R (2011) Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA,
intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Banjarmasin, 05 November 2016


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

( Yurida Olviani, Ns., M.Kep ) (.)

Anda mungkin juga menyukai