Anda di halaman 1dari 6

Penerbit :pustaka setia

penulis :rini kurniasih


tahun terbit :2003
harga :12.500

Cindelaras, Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Baginda Raden Putra, raja kerajaan Jenggala seorang raja yang termasyur. Sayang, kadang-
kadang sikapnya kurang bijaksana. Misalnya dalam istrinya yang kedua. Sang Baginda sering
menurut saja, bagaikan seekor kerbau dicocok hidungnya.

Istri kedua sang Prabu memang cantik rupawan. Namun, hatinya tidak seindah wajahnya. Wanita
ini kerap dikuasai rasa dengki yang keterlaluan. Lebih-lebih dalam masalah dengan istri pertama
Baginda, yaitu sang Permaisuri.

"Aku seharusnya yang pantas menjadi permaisuri!" pikir wanita pendengki itu setiap kali. "Satu-
satunya jalan ialah dengan menyingkirkan perempuan musuhku itu! sebelum cita-citaku ini
menjadi kenyataan, takkan tenteram perasaanku." Padahal sebenarnya Permaisuri itu orang baik,
juga terhadap istri kedua.

Pada suatu hari, istri kedua melaksanakan rencana yang telah berhari-hari dipikirkannya. Ia
berpura-pura jatuh sakit. Sakitnya sepertinya parah sekali.

Baginda Raden Putra merasa panik melihat istrinya tampak menderita seperti itu. Ia berusaha
dengan segala cara supaya istrinya bisa sembuh kembali.

Dibutuhkan tabib dan dukun untuk menolong wanita itu. Salah seorang dukun yang sebenarnya
adalah orang suruhan istri kedua menjelaskan sebab-sebab penyakit istri kedua kepada Baginda.
"Sesungguhnya sakit Tuan Putri itu disebabkan perbuatan seseorang yang tidak menyukainya.
Dia adalah Tuanku Permaisuri sendiri. Agaknya Tuanku Permaisuri merasa iri karena Baginda
sangat menyayangi Tuan Putri. Itu sebabnya ia menaruh racun yang nyaris mematikan dalam
makanan istri Paduka ini."

Mendengar laporan itu, tanpa menyelidiki lebih jauh, Baginda langsung meradang. Saat itu juga
ia menyuruh Patih untuk membawa Permaisuri ke hutan dan membunuhnya di sana. Baginda
bahkan tidak peduli bahwa saat itu Permaisuri sedang mengandung.

Patih adalah orang yang bijaksana. Ia tahu sifat Permaisuri. Ia juga tahu bagaimana perangai istri
kedua. "Tidak mungkin Permaisuri sampai hati melakukan perbuatan keji, seperti yang
dituduhkan istri kedua itu. Permaisuri orang baik. Sebaliknya istri kedua tidak bisa dipercaya.
Sayang, Baginda terlalu mudah dipengaruhi oleh perempuan pendengki itu," pikir Patih.

Atas pertimbangan-pertimbangan itu, patih tidak sepenuhnya melaksanakan perintah Baginda.


Permaisuri memang dibawanya ke sebuah hutan, namun Patih tidak membunuhnya.

Mulai saat ini, saya anjurkan Tuanku untuk tinggal di hutan ini. Berusahalah untuk bertahan
sampai Tuanku melahirkan. Oleh kehendak Dewata, saya percaya pada suatu saat Tuanku akan
dapat kembali ke istana," kata Patih kepada Permaisuri," kata Patih kepada Permaisuri, setibanya
di sebuah hutan yang terletak jauh dari istana.

"Akan tetapi, bagaimana dengan Anda, Paman Patih?" Bukankah Baginda memerintahkan Anda
membunuh saya? Baginda pasti akan menghukummu jika mengetahui Anda justru
melindungiku," kata Permaisuri.

"Tentang hal itu, Tuanku tidak perlu khawatir. Saya bisa mengatasinya. Saya akan meyakinkan
Baginda. Percayalah."

"Anda adalah orang yang bijaksana. Terima kasih, Paman Patih," sahut Permaisuri penuh rasa
haru. "Kesempatan untuk tetap hidup yang Anda berikan tidak akan saya sia-siakan. Saya akan
membesarkan anak saya. Semoga kelak dia dapat berjumpa dengan ayahnya."

Sejak saat itu Permaisuri hidup di hutan itu. Sampai pada suatu hari ia melahirkan seorang bayi
laki-laki, yang kemudian dikenal dengan nama Cindelaras.

Cindearas tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan cerdas. Ia bersahabat dengan binatang-
binatang penghuni hutan itu dan mengerti bahasa mereka.

Pada suatu hari, tengah ia bermain-main di hutan, seekor burung rajawali terbang ke arahnya.
Burung itu terbang kian merendah, lalu menjatuhkan sesuatu. Oh, ternyata sebutir telur ayam
hutan!

Cindelaras mengambil dan mengamati-amati telur itu. Rasanya telur itu lebih besar daripada
ukuran telur pada umumnya.
"Hemmm, rajawali sepertinya sengaja menghadiahkan telur ini padaku. Akan kutetaskan telur
ini!" katanya.

Lalu Cindelaras menemui ular, sahabatnya. Kepada ular besar itu Cindelaras minta bantuan
untuk mengerami telur pemberian rajawali.
"Boleh saja. Tarauh telur itu," kata ular.
Cindelaras pun meletakkan telur di tengah gulungan badan ular yang panjang itu.

Beberapa waktu kemudian telur itu menetas.


"Wah, hasilnya seekor ayam jantan!" seru Cindelaras girang. Lalu dipeliharanya ayam itu sampai
besar. Ternyata ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang nampak kekar dan kuat.
Lebih mengherankan adalah bunyi kokoknya:
Kukuruyuuuuuuuk....
Jagone Cindelaras
Omahe tengah alas
Payone godhong klaras
Bapakne Raden Putra....
(Kukuruyuuuuuuk...Ayam jantan milik Cindelaras, Rumahnya di tengah hutan, Atapnya daun
kelapa, Ayahnya bernama Raden Putra ....)

Cindelaras tak habis heran mendengar bunyi kokok yang aneh itu. Oleh karena dorongan rasa
ingin tahunya, kemudian ia menanyakan makna kokok ayam itu kepada ibunya.

Permaisuri tercenung mendengar pertanyaan putranya. "Agaknya saatnya sudah tiba," pikirnya.
Lalu wanita itu menjelaskan asal-usulnya kepada Cindelaras. Juga, masalah yang menyebabkan
sehingga ia terpaksa menyamar menjadi seorang perempuan desa dan hidup di tepi hutan.

"Wah, jadi aku ini anak seorang raja?" tanya Cindelaras terkejut.

"Benar, Anakku."
"Dan nama ayahku Raden Putra?"
"Ya"
"Kalau begitu aku harus menemui Ayah."
"Itu tidak mungkin, Nak," Permaisuri berusaha mencegah. "Pertama, ayahmu tidak akan percaya
kepadamu. Kedua, kalau sampai tahu, istri muda ayahmu itu pasti tidak akan tinggal diam."

"Aku akan memikirkan caranya, Bu," jawab Cindelaras. "Yang pasti, aku tidak ingin Ibu terus
begini. Hidup menderita, sementara perempuan licik itu enak-enakan hidup di istana."
Permaisuri sadar, tekad anaknya tidak mungkin dicegah.

Pada suatu hari Cindelaras turun ke desa dengan membawa ayam jantan peliharaannya.
Setibanya di desa ia menantang adu ayam kepada pemilik-pemilik ayam jantan yang
dijumpainya.
Tantangan Cindelaras memperoleh sambutan. Akan tetapi, ayam jantan Cindelaras ternyata
sangat perkasa. Tak ada seekor ayam jantan pun dari desa itu yang bisa mengalahkannya.

"Wah, ayam ini kuat sekali!" puji orang banyak.

Berita tentang seorang anak laki-laki yang memiliki ayan jantan tak terkalahkan segera menyebar
ke mana-mana. Hingga akhirnya sampai ke telinga Baginda Raden Putra. Kebetulan Baginda
juga punya kegemaran menyabung ayam.

"Aku ingin mencoba kehebatan ayam milik anak itu," ujar Baginda. "Carilah dia, dan bawa ke
hadapanku."
Cindelaras pun dibawa menghadap Baginda. Baginda mengamati Cindelaras dengan cermat.
"Anak ini nampak tampan dan cerdas. Sepertinya bukan anak orang kebanyakan," pikir Baginda.
"Siapa dia sebenarnya?"

Pada saat pandangannya beradu dengan sinar mata Cindelara, Baginda merasakan ada getaran
aneh dalam dadanya. Baginda semakin merasakan sesuatu yang aneh.

"Hemmm, jadi kamu yang bernama Cindelaras, pemilik ayam jantan yang terkenal itu? Dan
itukah ayammu?" tanya Baginda.

"Betul, Yang Mulia."

"Aku yakin ayamku akan bisa mengalahkan ayammu."

"Kita coba saja," tantang Cindelaras penuh rasa percaya diri." Namun, apa taruhannya, Paduka?"

"Apa sebaiknya menurut kamu?" balas Baginda.

"Saya tidak punya apa-apa. Maka taruhan saya adalah leher ini," jawab Cindelaras sambil
menuding lehernya. "Kalau ayam saya kalah, Baginda boleh menyuruh penggal leher saya. Akan
tetapi, kalau saya menang, Paduka harus rela menyerahkan separuh dari kerajaan Paduka."
Baginda Raden Putra makin terkesan melihat ketegasan dan keberanian Cindelaras. Tanpa
berpikir panjang, beliau langsung menjawab, "Setuju! Dan jangan berlama-lama, sabung ayam
kita mulai sekarang saja!"

"Baik, Baginda!" Cindelaras lalu melepaskan ayamnya ke arena. Demikian pula pembantu
Baginda.

Dua ekor ayam jantan saling berhadapan. Sesudah saling menaksir kekuatan lawan, mereka pun
mulai berlaga. Lagi-lagi ayam jantan Cindelaras menunjukkan keperkasaannya. Dalam waktu
tidak terlama lama, ayam Baginda berhasil dibikinnya lari lintang pukang ke luar arena!

"Horeeee!" sorak para penonton mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.

Baginda menatap tajam ke arah Cindelaras, lalu berkata, "Aku sudah kalah. Dan aku tidak akan
mengingkari janjiku. Tetapi sebelum kuserahkan separuh kerajaan ini kepadamu, tolong katakan
siapa dirimu sebenarnya."

Cindelaras balas memandang Raden Putra. Sesudah itu ia membungkuk dan membisikkan
sesuatu kepada ayamnya. Saat itu juga ayam jantan itu menegakkan lehernya. Kemudian dengan
suara nyaring hewan itu berkokok berulang-ulang:
Kukuruyuuuuuuuk....
Jagone Cindelaras
Omahe tengah alas
Payone godhong klaras
Bapakne Raden Putra...."

Baginda tersentak mendengar suara kokok ayam itu. Sementara dengan suara mantap Cindelaras
berkata, "Paduka sudah mendengarnya sendiri, bukan? Nama saya adalah Cindelaras. Ibu saya
adalah Permaisuri yang sah dari kerajaan ini. Ayah saya adalah Anda sendiri ....."
"Jadi ... kamu anakku? Tetapi bagaimana mungkin?" tanya Baginda terbata-bata.

Seseorang nampak maju lalu menghaturkan hormat kepada Baginda. Dia adalah si Patih. Patih
yang bijaksana itu lalu menuturkan duduk perkaranya kepada Baginda.

"Jadi, ini semua karena ulah saya, Tuanku. Jika Tuanku menganggap saya bersalah, silakan
menghukum saya."

"Oh, tidak...tidak!" tukas Baginda cepat. "Justru kamu sangat bijaksana, Paman Patih. Kalau saja
waktu itu kau benar-benar membunuh Adinda Permaisrui..... ohh, betapa bodoh dan cerobohnya
aku!" seru Baginda sambil menepuk jidatnya.

Baginda lalu menghampiri Cindelaras dan memeluknya erat-erat. "Maafkan ayahmu, Nak. Ayah
menyesal sekali." Baginda nampak menyeka matanya. "Bagaimana keadaan ibumu?"

"Ibu, baik-baik saja. Dan Ibu tidak pernah membenci Ayah," jawab Cindelaras.

"Aku akan menjemput ibumu. Aku sendiri yang akan berangkat!"

Begitulah Raden Putra lalu berangkat ke hutan menjemput Permaisuri. Sementara itu, istri kedua
dan komplotannya harus menanggung akibat kelicikan mereka. Mereka semua dijatuhi hukuman
berat.

Permaisuri kembali diboyong ke istana, dan hidup bahagia di samping suami dan putranya yang
tercinta.

Kesimpulan
Cerita ini tergolong dongeng. Dongeng Cindelaras dan ayam jantannya sangat terkenal di
daerah Jawa Timur. Dari dongeng ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebenaran pada
akhirnya akan mencuat.

Tidak ada sesuatu pun yang dapat menutupi kebenaran. Di samping itu, dongeng ini juga
menggambarkan bahwa ketidakbijaksanaan bisa menyebabkan kecerobohan. Seperti yang
dilakukan Raden Putra terhadap permaisurinya. Sebaliknya, ketabahan dalam menghadapi
penderitaan dan keadaan yang sulit, pada akhirnya akan membuahkan kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai