Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

A. Anatomi dan Fisiologi


a) Anatomi Appendiksitis

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-


kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari
protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum
yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens
Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea
coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi
appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi
appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul)
31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%.
b) Fisiologi Appendiks
Appendiks berfungsi untuk menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal
lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh karea jumlah jaringan lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
jaringan di saluran cerna dan seluruh tubuh.

B. Konsep Dasar Penyakit Appendiksitis


1. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10
cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk,
2007).
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Appendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak
berfungsi terletak pada bagian inferior dzri sekum. Penyebab yang paling umum
dari apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai
aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman,
1989).

2. Epidemiologi
Apendisitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal
yang sering dijumpai pada anak. Di Amerika 60.000-80.000 kasus apendisitis
didiagnosa per tahun, rata rata usia anak yang mengalami apendisitis adalah 10
tahun. Di Amerika Serikat angka kematian akibat apendisitis 0.2-0.8%
(Santacroce & Craig, 2006). Di Indonesia Apendisitis menjadi penyakit
terbanyak diderita dengan urutan keempat tahun 2006 setelah dyspepsia, gastritis
dan duodenitis (DepKes RI, 2006). Kelompok usia yang umumnya mengalami
apendisitis yaitu pada usia 10 30 tahun. Satu dari 15 orang pernah mengalami
apendisitis dalam hidupnya (Sisk, 2004).
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian apendisitis dinegara maju
lebih tinggi dari pada negara berkembang, Amerika menangani 11 kasus/10.000
kasus apendisitis setiap tahun. Menurut data RSPAD Gatot Subroto, jumlah
pasien yang menderita apendisitis di Indonesia adalah sekitar 32% dari jumlah
populasi penduduk Indonesia (Sulistyawati, Hasneli, Novayelinda, 2012).

3. Etiologi
Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi
lumen appendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan
apendisitis antara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia
jaringan limfoid, dan infeksi virus (Hockenberry & Wilson, 2007). Penyebab
lainnya dari apendisitis antara lain; benda asing, infeksi bakteri, parasit, dan
tumor appendiks atau sekum (Lynn, Cynthia, & Jeffery, 2002).
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).

4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
5. Klasifikasi
a) Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis
akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti
oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan
tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga
semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding
apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus /
nanah pada dinding apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat
disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian
menyebar secara hematogen ke apendiks.
b) Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di
dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans
muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler
dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis
umum.
c) Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d) Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak
perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara
patologik.Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi
karena sering penderita datang dalam serangan akut.
e) Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang
dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f) Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g) Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka,
sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada
sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin
yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai
radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan
pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau
hemikolektomi kanan.

6. Tanda dan Gejala


a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

7. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
(1) Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Denyut nadi
Pre operasi
a) Abdomen :
Inspeksi: Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi perut.
Auskultrasi: Pada umumnya adanya penurunan peristaltik akibat
konstipasi
Perkusi : Pada umumnya perkusi normal (timpani) pada seluruh
kuadran
Palpasi: Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan
di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).Nyeri
tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.

Post operasi
b. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
c. Sistem gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan
bising usus dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena
pasien dalam efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan
peristaltik usus menjadi menurun.
d. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
post operasi
e. Sistem Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
f. Sistem Integumen : adanya luka bekas operasi pada kulit bagian
abdomen kanan bawah.
g. Abdomen :
Inspeksi : Akan tampak adanya luka bekas operasi pada abdomen
kanan bawah.
Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan paristaltik usus akibat dari
pengaruh sisa obat anastesi
Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada kuadran ke-4
normal (timpani)
Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) dan
Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di
angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas
sign), bila tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.

8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1. Laboratorium.
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2. Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED
akan meningkat.
3. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan appendisitis.
4. Radiologi.
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks
yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
5. Pemeriksaan USG.
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
6. Pemeriksaan Barium enema. Suatu pemeriksaan X-Ray dengan
memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
8. Laparoscopi.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

9. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan medis.
a. Sebelum operasi
Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai
adanya appendisitis atau bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah ( leukosit dan hitung
jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen tegak dilakukan untuk
mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis dilakukan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah
dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
Intubasi bila perlu
Berikan Antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau
klindomisin)
b. Operasi appendiktomi
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
c. Pasca operasi Perlu dilakukan:
Observasi TTV dan tanda tanda syok.
Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan
dan selama itu pasien dipuasakan.
Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan
menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring
dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari post operasi pasien dianjurkan miring kiri / kanan dan
secara bertahap duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat diberdirikan dan duduk di luar
kamar.
Pada hari ke tiga rawat luka dengan teknik aseptic
Hari berikutnya diberikan makanan lunak dan anjurkan berdiri
tegak dan berjalan di luar kamar
Hingga hari ketujuh luka jahitan diangkat, dan jika tidak ada
keluhan delegasikan kepada dokter agar pasien dapat
dipulangkan.
2) Penatalaksanaan keperawatan
Adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan pasien
untuk apendiktomi diantaranya: perawat memastikan kepada dokter
bahwa pasien melakukan tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah
dilaksanakan. Kemudian tindakan keperawatan yang dapat diberikan
post-op adalah perawatan luka jahitan dan mobilisasi pasien secara
teratur untuk mencegah dekubitus.

10. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangankomplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada
anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum
lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun
jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal
ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

11. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika
pecah pada orangtua. Kematian atau aspirasi; prognosis emboli parubiasanya
berasal dari sepsis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan
antibiotic yang lebih baik. Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua.
Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali
insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses
intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan
perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh
abses atau kontriksi dari jahitan kantong.
Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan
adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi
mekanis 2000) dan hernia. (Schwartz)
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis
kronis sebenarnya tidak ada. (De Jong 2005).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose
medis, dan status pernikahan.
2) Identitas penanggung jawab klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, status
pernikahan, dan hub. Dengan klen.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan utama masuk rumah sakit
Pasien mengeluh mual, nyeri hilang timbul pada abdomen bagian kanan
bawah, dan pasien merasa lemas.
2) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah
3) Riwayat kesehatan sekarang
Pre operasi: pasien mengeluh nyeri pada abdomen bagian kanan bawah
Post operasi: Pasien mengeuh nyeri pada luka post operasi apendektomi,
mual muntah, lemas dan badan terasa panas.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan
konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan
timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh keluarga pasien.
6) Riwayat alergi
Riwayat alergi merupakan apakah pasien ada alergi terhadap makanan
dan obat tertentu atau tidak.
c. Genogram
Adanya genogram untuk mengetahui garis keturunan dari pasien, agar
mengetahui informasi bilamana ada penyakit keturunan pada keluarga
pasien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan menurut Gordon
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pre operasi dan Post operasi
Mengkaji apakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,
alkohol dan kebiasaan olah raga (lama frekwensinya),dan bagaimana
cara pasien selama ini memelihara kesehatannya.
2. Nutrisi dan metabolic
Pre operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya
nyeri di daerah abdomen bagian kanan bawah. Umumnya pola minum
pasien tidak mengalami gangguan.
Post operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya
nyeri di daerah abdomen yang disertai pengaruh anastesi. Umumnya pola
minum pasien tidak mengalami gangguan.
3. Aktivitas dan latihan
Pre operasi
Umumnya pasien masih bisa melakukan aktivitas namun masih dibantu
orang lain, hal ini disebabkan karena adanya nyeri pada daerah abdomen
bagian kanan bawah.
Post operasi
Umumnya pada pasien operasi apendiktomy pola aktivitas mengalami
gangguan karena disebabkan nyeri pada daerah bekas insisi. aktifitas
biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah
pembedahan.
4. Tidur istirahat
Pre operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan
nyeri pada abdomen bagian kanan bawah.
Post operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan
nyeri pada luka insisi.
5. Eliminasi
Pre operasi
Pada pola eliminasi urine akan terjadi penurunan akibat rasa nyeri pada
abdomen. Pola eliminasi alvi umumnya akan mengalami gangguan akibat
terjadinya konstipasi, sehingga terjadi penurunan fungsi.
Post operasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung
kemih akibat efek dari obat anastesi, rasa nyeri atau karena tidak biasa
BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola
eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena
efek obat anastesi dapat menurunkan peristaltik lambung
6. Pola persepsi kesehatan (konsep diri)
Pre operasi
Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita
mengalami emosi yang tidak stabil.
Post operasi
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala
kebutuhan harus dibantu. sehingga penderita mengalami emosi yang
tidak stabil.
7. Peran dan hubungan social
Pre operasi
Pada umumnya pasien mengalami gangguan pada peran serta hubungan
social akibat nyeri pada abdomen yang disebabkan karena penyakit
appendiksitis
Post operasi
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan
peran baik dalam keluarganya.
8. Seksual dan reproduksi
Pre operasi dan Post operasi
Pada umumnya pola seksual dan reproduksi akan mengalami gangguan
akibat nyeri pembedahan appendiktomi
9. Manajemen koping
Pre operasi
Jika klien setres mengalihkan pada hal lain.
Post operasi
Klien kalau stress murung sendiri, seperti mencoba menutup diri
10. Kognitif perceptual
Pre operasi dan Post operasi
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,
kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua,
waktu dan tempat.
11. Nilai dan kepercayaan
Pre operasi
Umumnya pasien masih bisa melakukan aktivitas spiritual dengan
dibantu oleh orang lain
Post operasi
Umumnya pada pasien apendiktomy keadaan spiritualnya mengalami
gangguan karena terjadinya nyeri akibat dari proses pembedahan
abdomen

2. Pathway

PATHWAY APPENDISITIS

Fekolit Feses yang keras), Konsumsi


hiperplasia limfoid & Tumor rendah serat

Konstipasi

Obstruksi pada lumen

Bendungan Mukus

Peningkatan tekanan intra-lumen


(penekanan pada dinding appendiks)

Aliran darah terganggu

Edema, Invasif bakteri akibat ulserasi pada dinding appendiks

Respon Appendiks Meradang Nyeri abdomen


Hipertermia Nyeri
Inflamasi (Appendisitis) kuadran kanan
bawah
Peritonitis Peritonium
Mual, Muntah

Appendiktomi
Risiko Kekurangan Volume
Defisiensi Kurang pengetahuan Cairan
Pengetahuan tentang proses pengobatan

Ansietas
Jaringan
Risiko Infeksi Luka Insisi
(Portal) Terbuka
3. Diagnose keperawatan
Diagnosa pre-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos
sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah.
4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
Diagnosa post-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder akibat operasi
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder akibat pembedahan
3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan
kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.

4. Intervensi
Diagnosa pre-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot
polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam
diharapkan pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria
hasil :
Pasien tampak lebih tenang.
Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan
orang tua.
Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi :
1) Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2) Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3) Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian
pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen
nyeri.
4) Pantau perkembangan nyeri pasien.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang
dialami pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
2. Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam
diharapkan suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5
37,5o C / aksila).
Intervensi :
1) Observasi TTV.
R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi
dilakukan.
2) Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.
3) Lakukan kompres air hangat.
R/ : Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.
4) Ukur TTV.
R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.
3. Dx 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual
dan muntah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam
diharapkan kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi dengan kriteria
hasil:
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal,
mukosa bibir tidak kering)
Pasien tidak merasa haus.
Pasien tampak segar.
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.
R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi
agar dapat mengetahui tindakan yang harus dilakukan.
2) Awasi cairan masuk dan cairan keluar.
R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.
3) Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan
melalui intravena.
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi
cairan per oral karena pasien yang akan dilakukan tindakan
apendiktomi harus dipuasakan.
4. Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam
diharapkan cemas pasien berkurang, dengan kriteria hasil :
Pasien tampak tenang.
Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis
yang akan dilakukan.
Intervensi :
1) Kaji keadaan emosi pasien.
R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat
menentukan tindakan dan waktu yang tepat untuk melakukan
tindakan keperawatan.
2) Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu
memungkinkan.
R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus
melaksanakan pendekatan agar tindakan keperawatan yang dilakukan
lebih mudah.
3) Eksplorasi perasaan pasien.
R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.
4) Biarkan pasien mengungkap perasaannya.
R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa
lebih tenang.
5) Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.
R/ : Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang
mendukungnya.
Diagnosa post-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder akibat operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam,
diharapkan nyeri yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :
Pasien tidak meringis.
Pasien tampak tenang.
Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan
orang tua.
Intervensi :
1) Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2) Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3) Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian
pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen
nyeri.
4) Berikan analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.
2. Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya
organisme sekunder akibat pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam
diharapkan luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor,
dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor,
lubor, tumor, dan perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.
2. Lakukan perawatan luka.
R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.
3. Jaga luka agar tetap steril.
R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.
4. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan
luka, menjaga luka agar tetap kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat
berkembang.
5. Berikan salep betadine di atas luka pasien.
R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.
3. Dx 3 : Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi)
berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai
perawatan luka post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam
diharapkan tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka
dapat meningkat.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.
R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.
2) Lakukan BHSP.
R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.
3) Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua
pasien.
R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.
4) Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan
perasaannya.
R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk
mengungkap kesulitan yang dihadapi.
5) Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.
R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.
5. Evaluasi
Diagnosa pre-tindakan
1) Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2) Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 37,5o
C / aksila).
3) Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4) Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1) Nyeri yang dialami pasien berkurang
2) Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor,
lubor, tumor, perubahan fungsi)
3) Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart.
Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai