Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit Lupus ini adalah
Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Istilah Lupus berasal dari bahasa latin yang
berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa
yunani berarti kemerah!merahan. "ada saat itu diperkirakan penyakit kelainan kulit
kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Karena itulah penyakit ini diberi nama Lupus. Penyakit lupus adalah penyakit baru
yang mematikan setara dengan kanker, tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak
tertolong. Terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai lebih dari ribuan kasus
baru terjadi setiap tahunnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syndrom Lupus Erythomateus (SLE)


SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya
autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan
penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibodi yang muncul dan organ yang terlibat serta dapat menunjukkan manifestasi
pada musculoskeletal, Arthralgia, deformitas sendi, dan kelainan pada sendi
temporomandibular dan nekrosis avaskular yang telah terjadi pada pasien SLE.
Jenis-jenis penyakit lupus diantaranya yaitu Butterfly Rash, Discoid Rash,
Fotosensitivitas, Ulkus oral, Arthritis, Serositis, Gangguan Ginjal, Gangguan
neurologik, Gangguan hematologik, Gangguan Imunologis, Antibodi Antinuklear.

Gambar 1.1 Penderita Lupus jenis Butterfly Rash


2.2 Prevelensi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Pada data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan sebanyak 1.4% kasus SLE
dari total pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di Rumah
sakit Hasan Sadikin Bandung sebanyak 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi pada tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011).

2.3 Patofisiologi
Patofisiologi SLE meliputi faktor genetik mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

A. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

B. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T.

2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B


Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor
untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga
akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya
SLE.

4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Seperti infeksi virus
dan bakteri, paparan sinar ultraviolet, stress dan obat-obat. Faktor infeksi dan
virus yaitu Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
Faktor paparan sinar ultraviolet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri
tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

2.3.1 Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat
sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat
timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan,
kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa
organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis,
dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE
penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.

Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2
dibawah ini.
No Gejala Pengertian

1 Malar Rash (Butterfly Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi
rash) pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)

2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan


sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat
terjadi

3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan


bercak-bercak

4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat


ditemukan

5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai
rasa nyeri, bengkak, atau efusi

6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau


bukti adanya efusi pleura

7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8 Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

9 Gangguan hematologik Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>

10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid


11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui
tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA
sebelumnya.

2.4 Terapi Non Farmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja serta hindari kerja yang
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga merupakan faktor pola hidup yang dapat memicu terjadinya SLE.
Belum ada data yang mengatakan bahawa diet yang spesifik bagi penderita SLE.
Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 iu
dan 500 iu/kg dapat menurukan produksi sitokin prainflamasi seperti IL-4,IL-6, TNF-
a, IL10 dapat menurunkan kadar antibodi anti-DNA
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunkan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat
pada sinar matahari ketika akan beraktifitas diluar rumah.
2.5 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan
dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada
tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada
otot, sendi dan jaringan lain. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan
selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID
yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari
satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek
samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID
gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau
antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul.

Tabel II.2 NSAID lain yang digunakan pada SLE (Herfindal et al., 2000;Burnham et
al., 2001)
Dosis Half Ikatan
BA Eks.Renal Eks.Feses
Obat sehari Frekuensi life Protein
(%) (%) (%)
(mg) (hours) (%)
Diklofenak 100-200 BID-QID 50-60
Ketodolac 400-900 BID-QID > 80
2 > 99 65
Fenoprofen 1200- TID-QID NS
7,3 90 60 33
Flurbiproven 3200 BID-TID NS
3 99 90
Ibuprofen 200-300 TID-QID > 80
5,7 > 99 > 70
Indometasin 1200- BID-QID 98
1,8-2 99 45-79
Ketoprofen 3200 TID-QID 90
4.5 > 99 60 33
Ketolorac 50-200 TID-QID 100
2,1 90 80
Meklofenamat 150-300 QID NS
5-6 > 99 91 6
Nabumeton 20-40 BID-QID > 80
1,3 99 70 30
Naproxen 200-400 BID 95
22,5 > 99 80 9
Oxaprosin 500-2000 QID 95
12-17 > 99 95
Piroksikam 500-1100 QID N
42-50 > 99 65 35
Sulindac 600-1800 BID S
50 98,5 NS NS
Tolmetin 10-20 QID 90
7,8 > 93 50 25
Celecoxib 200-400 BID-QID N
2-7 NS ~ 100
600-2000 S
11 97 27 57
200-400 N
S
Keterangan : NS = Not Studied

2. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan
respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
terapi kortikosteroid. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk
antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter
laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul.
Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai
6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka
panjang. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan
dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat
fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan
sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen.
Kortikosteroid yang sering digunakan adalah metilprednisolon dalam bentuk
intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan
pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.

3. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang
(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan
kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria
adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim
lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan
produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu
pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan
menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum
pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien
kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000). Obat malaria
yang sering digunakan adalah :

A. Kloroquin
Kloroquin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak
dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan
150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi
ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular,
dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya
bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh,
mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan
mata, 50% 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di
ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses.

B. Hidrosiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin
sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati
jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu.

C. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan
sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa
digunakan pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil
(MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide.
Cyclophosphamide Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan
merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan
mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel.
Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi.
Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi
dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan
resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan
monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count.
Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute
pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi
penyakit.
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila
pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada
pasien SLE 2 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi
menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG,
sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui
supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada
penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001).
Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid
sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering
azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas
limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi
sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring
fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik
di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek
imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak
ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau
toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh
diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 4,2 menit, sedangkan
merkaptopurin 0,9 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin
mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang.
Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan
atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada
pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker
limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan,
hepatotoksik.
Methotreksat merupakan analog asam folat yang dapat mengikat
dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat
sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 15 mg secara oral
satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi
obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini
didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor
aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit,
dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan
melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus
dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari
30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam
(McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat,
gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik.
Mikofenolat mofetil efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang
tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid.
Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan
secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi,
menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al.,
2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan
inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase
(IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida
guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari
mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah,
diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia)
(Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah
daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al.,
2000). Dosis yang diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12
bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin.
Antibodimonoklonal Jika obat-obat lain tidak memberikan efek bagi
penderita SLE, dokter akan menganjurkan rituximab. Obat ini termasuk
jenis baru dan awalnya dikembangkan untuk menangani kanker darah
tertentu, misalnya limfoma. rituximab terbukti efektif untuk menangani
penyakit autoimun, seperti SLE dan artritis reumatoid. Cara kerja rituximab
adalah dengan mengincar dan membunuh sel B. Ini adalah sel yang
memproduksi antibodi yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini akan
dimasukkan melalui infus yang akan berlangsung selama beberapa jam.
Selama proses pengobatan ini berlangsung, kondisi Anda akan dipantau
dengan cermat.
Efek samping yang umum dari rituximab meliputi pusing, muntah, dan
gejala yang mirip flu (misalnya menggigil dan demam tinggi selama
pengobatan berlangsung). Efek samping lain yang mungkin terjadi (meski
sangat jarang) adalah reaksi alergi. Reaksi ini umumnya muncul selama
pengobatan berlangsung atau tidak lama setelahnya.
Table 4. Medications for the Management of SLE

Medication Dose Range Drug Serious or Common Adverse


Interactions Effects
NSAIDs, salicylates Doses toward A2R/ACE NSAIDs: Higher incidence of
(Ecotrina and St. Joseph's upper limit of inhibitors, aseptic meningitis, transaminitis,
a
aspirin approved by recommended glucocorticoids, decreased renal function, vasculitis
FDA for use in SLE) range usually fluconazole, of skin; entire class, especially
required methotrexate, COX-2-specific inhibitors, may
thiazides increase risk for myocardial
infarction
Salicylates: ototoxicity, tinnitus
Both: GI events and symptoms,
allergic reactions, dermatitis,
dizziness, acute renal failure,
edema, hypertension
Topical glucocorticoids Mid-potency None known Atrophy of skin, contact dermatitis,
for face; mid folliculitis, hypopigmentation,
to high infection
potency other
areas
Topical sunscreens SPF 15 at None known Contact dermatitis
least; 30+
preferred
a
Hydroxychloroquine 200400 mg None known Retinal damage, agranulocytosis,
(quinacrine can be added qd (100 mg aplastic anemia, ataxia,
or substituted) qd) cardiomyopathy, dizziness,
myopathy, ototoxicity, peripheral
neuropathy, pigmentation of skin,
seizures, thrombocytopenia
Quinacrine usually causes diffuse
yellow skin coloration

DHEA 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities, high


(dehydroepiandrosterone) serum levels of testosterone
Methotrexate b (for 1025 mg Acitretin, Anemia, bone marrow suppression,
dermatitis, arthritis) once a week, leflunomide, leucopenia, thrombocytopenia,
PO or SC, NSAIDs and hepatotoxicity, nephrotoxicity,
with folic salicylates, infections, neurotoxicity,
acid; decrease penicillins, pulmonary fibrosis, pneumonitis,
dose if CrCl probenecid, severe dermatitis, seizures
<> sulfonamides,
trimethoprim
Glucocorticoids, orala Prednisone, A2R/ACE Infection, VZV infection,
(several specific brands prednisolone: antagonists, hypertension, hyperglycemia,
are approved by FDA for 0.51 mg/kg antiarrhythmics hypokalemia, acne, allergic
use in SLE) per day for class III, 2, reactions, anxiety, aseptic necrosis
severe SLE cyclosporine, of bone, cushingoid changes, CHF,
0.070.3 NSAIDs and fragile skin, insomnia, menstrual
mg/kg per day salicylates, irregularities, mood swings,
or qod for phenothiazines, osteoporosis, psychosis
milder disease phenytoins,
quinolones,
rifampin,
risperidone,
thiazides,
sulfonylureas,
warfarin
Methylprednisolone For severe As for oral As for oral glucocorticoids (if used
a
sodium succinate, IV disease, 1 g glucocorticoids repeatedly); anaphylaxis
(approved for lupus IV qd x 3
nephritis) days
b
Cyclophosphamide 725 mg/kg q Allopurinol, bone Infection, VZV infection, bone
IV month x 6; marrow marrow suppression, leukopenia,
consider suppressants, anemia, thrombocytopenia,
mesna colony- hemorrhagic cystitis (less with IV),
administration stimulating carcinoma of the bladder, alopecia,
with dose factors, nausea, diarrhea, malaise,

doxorubicin, malignancy, ovarian and testicular


rituximab, failure
succinylcholine,
zidovudine
b
Mycophenolate mofetil 23 g/d PO; Acyclovir, Infection, leukopenia, anemia,
decrease dose antacids, thrombocytopenia, lymphoma,
if CrCl <25> azathioprine, bile lymphoproliferative disorders,
acidbinding malignancy, alopecia, cough,
resins, diarrhea, fever, GI symptoms,
ganciclovir, iron, headache, hypertension,
salts, probenecid, hypercholesterolemia,
oral hypokalemia, insomnia, peripheral
contraceptives edema, transaminitis, tremor, rash

Azathioprineb 23 mg/kg ACE inhibitors, Infection, VZV infection, bone


per day PO; allopurinol, bone marrow suppression, leukopenia,
decrease marrow anemia, thrombocytopenia,
frequency of suppressants, pancreatitis, hepatotoxicity,
dose if CrCl interferons, malignancy, alopecia, fever, flulike
mycophenolate illness, GI symptoms
mofetil,
rituximab,
warfarin,
zidovudine

Algoritma Penatalaksanaan SLE


BAB III
STUDI KASUS

Studi Kasus Penderita SLE


Nama : Sinta
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 22

Pemeriksaan
Hasil Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 6.6 12-16 g/dl
Leukosit 4.4 4.8-10.8/mm3
Trombosit 433 15-450 /mm3
Hematokrit 26 37-47 %
Diff coun't (TH-1)
Neutrofil 53 40-74 %
Lymphosit 39 19-48 %
Monosit 5 2-8 %
Eosinfil 2 0-7 %
Basofil 1 0-1.5 %

Keluhan yang sering dialami oleh Nn.Sinta adalah Nyeri pada sendi-sendi,
Mudah lelah, Mudah terkena demam.

Maka dari pemeriksaan diatas dapat disimpulkan, bahwa Nn.Sinta menderita


Lupuserimatosis sistemik disertai dengan anemia dan rheumatoid artritis. Ini dilihat
dari ciri-ciriyang diderita oleh Nn. Sinta berupa Nyeri pada sendi-sendi, Mudah lelah,
Mudah terkenademam. Dimana pada penderita Lupus, tubuh menjadi overacting
terhadap rangsangan darisesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi
atau semacam protein yang malahditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri.
Dengan demikian, Lupus disebut sebagaiautoimmune disease (penyakit dengan
kekebalan tubuh berlebihan).

HASIL PEMERIKSAAN

Dari Hasil pemeriksaan lab diatas diketahui nilai Hemoglobin, Leukosit dan
Hematokrit yang berada di bawah rata-rata.
Kelainan pertamaNilai HBnormal adalah 12-16 gr/dl , sedangkanHByang
dimiliki oleh Nn.Sinta adalah 6,6 gr/dl. Dilihat dari hasil pemeriksaan
hematologi penurunanHBmenunjukan bahwa pasien memilikianemiayaitu
kurang butir-butir darah merah pada tubuh Nn.Sinta
Kelainan kedua adalahLeukositnyadimana, NilaiLeukositnormal adalah 4,8-
10,8 mm3 sedangkan yang dimiliki oleh Nn.Sinta adalah 4,4 mm3 Dilihat dari
hasilpemeriksaan hematologi penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada
penderitainfeksi virus dan SLE (Sistemic Lupus Eryhmatosus).
Kelainan ketiga adalah NilaiHematokritdimana nilaihematokritnormal adalah
37-47 % sedangkanhematokritdalam tubuh Nn.Sinta adalah 26 %. Dilihat dari
hasilpemeriksaan hematologi Penurunan nilai HMT menunjukan bahwa
pasien diketahuimenderita anemia, leukimia, SLE (Sistemic Lupus
Eryhmatosus), Arthritis Rheumatoid.

Pengobatan Farmakologi
Biasanya penderita lupus diberikan obat-obatan steroid seperti methyl prednisolone
yang dikombinasikan dengan asam folat.
DAFTAR PUSTAKA

Ehrenpreis, Seymour and Ehrenpresis, Eli. 2001. Clinicians Handbook of


Prescription Drugs. McGrawHill : Medical Publishing Devision

Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC

Komalig, F.M., Hananto, M.,, Sukana. B. Faktor Lingkungan yang Dapat


Meningkatkan Risiko Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik.Jurnal Psikologi
Kesehatan Vol 7 no.2. (Agustus, 2008). P747-57.

Rachman, R.N. Studi Deskriptif Mengenai derajat Resilience pada Orang dengan
Lupus (People With Lupus) di Yayasan Syamsi Dhuha
Bandung.(2010).Bandung : Universitas Kristen Maranatha.
LAMPIRAN

Terminologi medik

1. Penyakit autoimun adalah istilah yang digunakan saat sistem imunitas atau
kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri.
2. Antibodi adalah protein khusus yang dibentuk sebagai respon terhadap
antigen.
3. Antigen adalah yang menyebabkan tubuh membentuk antibody
4. Autoantibodi adalah antibody yang terbentuk akibat antigen milik tubuh
sendiri
5. Autohemolysin adalah antibodi yang menyerang sel darah sendiri
6. Immune adalah aman, dikecualikan
7. Alergi adalah hipersensitiv terhadap alergen sehingga muncul gejala
8. Hypersensitivity adalah kesensitifan berlebihan terhadap agen
infeksi,kimia.
9. Immune response adalah pembentukan antibody akibat rangsangan
spesifik.
10. Rejection phenomenon adalah reaksi penolakan terhadap organ yang
berasal dari donor.
11. Anti nuclear antibody adalah antibodi yang mempunyai kemampuan
mengikat pada struktur-struktur tertentu di dalam inti (nuckleus) dan sel-
sel leukosit.
12. Makula eritema adalah suatu kondisi kulit akut, selft limited dan kadang-
kadang rekurer karena reaksi hipersensitivitas tipe IV yang berhubungan
dengan infeksi,medikasi, dan berbagai pemicu lain yang menyebabkan
kulit kemerahan.
13. Ulser mulut yaitu ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring,biasanya
tidal nyeri jika sudah kronis.
14. Hormon adalah zat aktiv dari sekresi internal
15. Serositis adalah radang pada garis paru-paru disebut juga pleura atau pada
jantung disebut juga pericardium
16. Discoid rash adalah bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis
dan sumbatan folikel,parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama
timbul.
17. LED yaitu Laju Endapan Darah
18. Infeksi konjugtiva yaitu ada luka di konjugtiva
19. Konjugtiva anemis yaitu terlihat pucat seperti kurang darah
20. Butterfly rash yaitu adanya kemerahan pada pipi
21. Alopecia yaitu rambut rontok
22. Vaskulitis yaitu berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku
dan ujung jari, atau berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi
borok
23. Fotosensitivitas yaitu pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan
kadang di sertai pusing.
24. Anemia adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di
bawah normal.
25. Anemia hemolitika adalah usia sel singkat, penghancuran sel berlebih.
26. Arthralgia adalah nyeri sendi
27. Arthritis adalah peradangan pada suatu atau lebih persendian, yang
disertai dengan rasa sakit ,kebengkakan,kekakuan, dan keterbatasan
bergerak.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas Khusus
    Tugas Khusus
    Dokumen4 halaman
    Tugas Khusus
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Tugas
     Tugas
    Dokumen6 halaman
    Tugas
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Validasi
    Validasi
    Dokumen2 halaman
    Validasi
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Tugas Khusus
    Tugas Khusus
    Dokumen4 halaman
    Tugas Khusus
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi
    Hipertensi
    Dokumen10 halaman
    Hipertensi
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Validasi Industri
    Validasi Industri
    Dokumen4 halaman
    Validasi Industri
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Uji Mutu
    Uji Mutu
    Dokumen7 halaman
    Uji Mutu
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Rini
    Rini
    Dokumen5 halaman
    Rini
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Uji
    Uji
    Dokumen7 halaman
    Uji
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Validasi Industri
    Validasi Industri
    Dokumen4 halaman
    Validasi Industri
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen8 halaman
    Tugas
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Farmasi Industri
    Farmasi Industri
    Dokumen5 halaman
    Farmasi Industri
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Rini
    Rini
    Dokumen7 halaman
    Rini
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • P
    P
    Dokumen54 halaman
    P
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • GLAUKOMA
     GLAUKOMA
    Dokumen25 halaman
    GLAUKOMA
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Permekes 2016
    Permekes 2016
    Dokumen10 halaman
    Permekes 2016
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • E Commerce Project Indonesia
    E Commerce Project Indonesia
    Dokumen34 halaman
    E Commerce Project Indonesia
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • A
    A
    Dokumen2 halaman
    A
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • E Commerce Project Indonesia
    E Commerce Project Indonesia
    Dokumen34 halaman
    E Commerce Project Indonesia
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Kasus
    Kasus
    Dokumen1 halaman
    Kasus
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • E Commerce Project Indonesia
    E Commerce Project Indonesia
    Dokumen34 halaman
    E Commerce Project Indonesia
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Permenkes 72-2016 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit - 2 PDF
    Permenkes 72-2016 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit - 2 PDF
    Dokumen63 halaman
    Permenkes 72-2016 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit - 2 PDF
    Dewi Sulthoniyah
    100% (1)
  • Rini Andriana
    Rini Andriana
    Dokumen4 halaman
    Rini Andriana
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • A
    A
    Dokumen2 halaman
    A
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Rini Andriana
    Rini Andriana
    Dokumen4 halaman
    Rini Andriana
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Rini Andriana
    Rini Andriana
    Dokumen4 halaman
    Rini Andriana
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Farmasi Industri
     Farmasi Industri
    Dokumen4 halaman
    Farmasi Industri
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • Rini Andriana
    Rini Andriana
    Dokumen4 halaman
    Rini Andriana
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat
  • In Vitro
    In Vitro
    Dokumen12 halaman
    In Vitro
    RiniAndriana
    Belum ada peringkat